Anda di halaman 1dari 17

I.

BIOGRAFI RINGKAS
Max Horkheimer lahir pada 1895 di Stuttgart, Jerman. Bapaknya seorang pengusaha tekstil
yang sukses. Horkheimer dilatih untk mewarisi bisnis keluarga. Dia belajar psikologi dan filsafat di
Universitas Frankfurt dan sempat belajar selama satu tahun di Freiburg dengan Edmund Husserl,
pendiri fenomenologi. Dia menulis disertasi dan habilitation tentang tema Kantian. Dia menolak
menjadi pengusaha seperti bapaknya dan pada 1930 menjadi dosen Filsafat Sosial di Universitas
Frankfurt dan menjadi ketua Institut fr Sozialforschung (Lembaga untuk Penelitian Sosial). Lembaga
itulah yang akan menjadi pusat pemikir-pemikir yang akan disebut sebagai "Mazhab Frankfurt" dan
gagasan yang dikenal sebagai "Teori kritis". Dia hanya sempat memimpin Lembaga selama tiga tahun;
sesudah Hitler mengambil kuasa Jerman, Gestapo (polisi rahasia) menutupi Lembaganya dan
Horkheimer, yang merupakan seorang Yahudi, mengungsi ke Amerika. Di sana dia menulis Dialektik
der Aufklrung (Dialektika Pencerahan), karyanya yang paling terkenal, bersama Theodor Adorno.
Setelah pulang ke Jerman pada 1949, dia menjadi profesor lagi di Frankfurt dan menerima berbagai
penghargaan resmi, baik lokal, nasional, dan internasional. Dia meninggal di Swiss pada 1973.
Theodor W. Adorno lahir pada 1903 di Frankfut, Jerman. Dia belajar filsafat dengan Hans
Cornelius, seorang filsuf Neo-Kantian yang juga pernah mengajar Horkheimer. Habilitationnya tentang
estetika Kierkegaard, dibimbing oleh teologis Paul Tillich. Adorno tertarik dengan musik sejak dia
kecil, dan belajar komposisi dengan Alban Berg, salah satu komposer yang paling penting dalam musik
klasik abad ke-20. Dia hanya sempat mengajar sebagai dosen selama dua tahun sebelum dipecat oleh
kaum Nazi karena turunan Yahudinya. Dia menyusul Horkheimer ke Amerika, di mana mereka
berkolaborasi menulis Dialektika Pencerahan. Sama dengan Horkheimer, Adorno pulang ke Jerman
pada 1949 sebagai profesor filsafat di Frankfurt. Dia menjadi ketua Lembaga untuk Penelitian Sosial
pada 1958. Pada tahun 60-an, saat banyak mahasiswa bergerak melawan otoritas negara, Adorno sering
dikritik dan ceramahnya sering diganggu oleh siswa radikal, sehingga Adorno meninggal akibat
serangan jantung pada 1969.
Pengalaman hidup yang paling berpengaruh yang dialami kedua pemikir ini adalah pengungsian
terpaksa mereka sewaktu Nazi menguasai Jerman. Pengalaman pahit itu menyebabkan mereka
menghadapi langsung masalah fasisme dan totalitarianisme sebagai kecenderungan manusia. Kita akan
melihat di bawah bahwa mereka memandang "akal budi instrumental" (instrumental reason) sebagai
sumber kecenderungan tersebut. Khususnya untuk Adorno, menetap di Amerika mengenalkan dia

dengan budaya massa Amerika, yang nanti akan dia mengkritik secara sangat tajam. Daripada meninjau
gagasan Adorno dan Horkheimer secara menyeluruh (suatu projek yang lingkupnya pasti terlalu luas
untuk sebuah disertasi, apalagi makalah UTS), makalah ini berdasarkan secara primer tiga teks mereka:
(1) "Teori Tradisional dan Teori Kritis" oleh Horkheimer, untuk mengerti orientasi teori kritis pada
umumnya; (2) Dialektika Pencerahan, untuk mengerti kritik Adorno dan Horkheimer terhadap akal
budi instrumental dan budaya massa, dan memeriksa secara khusus pembacaan mereka atas Odyssey
Homer sebagai model untuk pembacaan kritis sastra; dan (3) Teori Estetis oleh Adorno, untuk mencari
penerapan gagasannya kepada sastra yang lebih luas dari yang ditawarkan di Dialektika Pencerahan.
II. TEORI TRADISIONAL DAN TEORI KRITIS
Horkheimer mulai dengan sebuah pertanyaan, "Apa itu teori?" lalu menjawab dengan dua
definisi yang sederhana: teori adalah "keseluruhan dalil-dalil tentang suatu subjek, digabung supaya
ada beberapa yang bersifat dasar dan yang lain menurun dari yang dasar itu", dan teori adalah
"pengetahuan yang disimpan, dalam bentuk yang berguna untuk deskripsi paling dekat atas fakta-fakta"
(Horkheimer 188). Dia nanti merujuk definisi Edmund Husserl yang mendefinisikan teori sebagai
sebuah kumpulan dalil yang digabungkan secara sistematis dan merupakan suatu deduksi yang
disatukan secara sistematis" (190). Teori juga bersifat mencari bentuk yang paling umum yang akhirnya
bisa diterapkan kepada semua objek (189). Semua definisi tersebut diambil dari konteks ilmu
pengetahuan alamiah, tetapi ilmu pengetahuan sosial mengambil sikap teoretis yang sama (190). Dalam
bidang ilmu sosial, misalnya sosiologi, peneliti tidak boleh mulai dengan prinsip umum; dia harus
mulai di tataran fakta-fakta empiris dan dari sanalah 'naik' ke tataran teori melalui nalar induktif (192).
Konsepsi tradisional ini atas teori punya satu masalah bagi Horkheimer: definisi tersebut
menggambarkan teori sebagai sesuatu yang diproduksikan melalui logika belaka secara ahistoris, tetapi
sebenarnya semua teori diciptakan melalui proses sosial yang nyata (194). Dia menulis bahwa "sang
sarjana dan ilmunya tergabung di dalam aparat masyarakat; prestasinya adalah suatu faktor dalam
konservasi dan pembaharuan yang terus-menerus atas keadaan yang ada, biar dia memakai nama cantik
apa saja untuk perlakuannya" (196). Konsepsi ini hanya terkait dengan teori sebagai dipakai oleh
sarjana, tidak sebagai sesuatu yang berdampak kepada kehidupan manusia. Sudut pandang ini
berdasarkan pikiran filosofis Neo-Kantian yang menurut Horkheimer keliru sejauh kegiatan teoretis
seorang sarjana dalam satu bidang kegiatan manusia telah diangkat menjadi kategori universal atau

perwujudan "Logos" yang transenden (198). Orientasi tersebut buta kepada kenyataan sosial manusia.
Teori tradisional, meskipun kelihatan netral, sebenarnya bersifat ideologis, sejauh teori
tradisional bersesuaian dengan kemerdekaan penuh yang dipunyai subjek ekonomi di masyarakat
borjuis. [Subjek ekonomi] percaya bahwa dia bertindak menurut penentuan pribadi, sedangkan pada
kenyataanya, di pertimbangan yang paling rumit pun dia hanya menunjukkan perjalanan suatu
mekanisme sosial yang tak dapat dipertimbangkan" (197). Tidak ada yang namanya pengetahuan murni
yang dapat dilepaskan dari kondisi sosial material yang melandasinya. Kalau kita melupakan fakta
sosial itu, teori kita hanya bisa mereproduksikan rupa dan bentuk masyarakat yang sudah ada.
Misalnya, kondisi kemungkinan untuk hasil percobaan ilmiah yang dianggap 'objektif' terkait erat
dengan kemampuan teknis suatu masyarakat, yang sendiri bergantung kepada proses produksi umum
dalam masyarakat itu (201). Objek alami pun tidak dapat dianggap seratus persen "alami" karena
"kealamiannya ditentukan oleh kontras dengan dunia sosial dan sejauh itu bergantung kepadanya"
(202). Karena menyembunyikan proses sosial yang menciptanya, pengetahuan dan perkembangan
teknis yang berasal dari teori tradisional muncul sebagai sesuatu yang punya eksistensi mandiri. Teori
Marxis memakai istilah 'reifikasi' untuk kemandirian semu tersebut, yang bisa mengasingkan subjek
dari masyarakatnya karena dia melihat masyrarakat dan semua isiniya, tidak sebagai produk kerja
manusia, tetapi sesuatu yang otonomis. Untuk melawan atau mengkoreksi kelemahan-kelemahan
tersebut dalam teori tradisional, kita membutuh suatu teori kritis.
Teori kritis "mempunyai masyarakat sendiri sebagai objeknya" (206). Beda dengan teori
tradisional yang selalu berusaha berguna dalam proses penghimpunan pengetahuan atau optimisasi
proses-proses produksi, teori kritis tidak memproduksikan apa-apa dan bersifat "curiga kepada
kategori-kategori lebih bagus, berguna, tepat, produktif, dan bernilai" karena kategori itulah juga
merupakan hasil dari teori tradisional yang butuh direfleksikan secara kritis (207). Seorang sarjana
yang punya kesadaran tradisional menganggap realitas sosial sebagai sesuatu yang di luar perhatiannya
sebagai sarjana, tetapi pada titik yang sama, di kehidupan di luar kerjanya, dia berpartisipasi dalam
masyarakat lewat partai politik atau ormas tanpa menyadari kedua ranah aktivitas itu sebagai suatu
persatuan (209-210). Teori kritis ingin melampaui dikotomi palsu itu.
Harus dikatakan bahwa teori kritis merupakan gagasan kiri yang tujuan akhir adalah suatu
masyarakat tanpa "eksploitasi atau penindasan" (241) yang lebih adil dan setara dari yang diciptakan
melalui proses kapitalis dan, sebagai dirumuskan Horkheimer dalam esai ini, bersifat emansipatoris,
yaitu: dapat membangun masyarakat tersebut. Pemikiran tradisional melawan tujuan itu karena

fokusnya kepada manusia individu yang "mempertahankan kehidupan masyarakat dengan mengurusi
kebahagiaan sendiri" (212). Menurut Horkheimer, masalah ketimpangan sosioekonomi dalam
masyarakat sudah tidak merupakan masalah teknologi pada abad ke-20, tetapi masalah organisasi sosial
yang kurang bertepatan dengan zaman sekarang (213). Teknologi modern mampu membangun
masyarakat yang lebih setara (217), tetapi tidak akan terjadi tanpa kesadaran kritis; tugas teoris kritis
adalah "mempercepatkan perkembangan yang akan menyebabkan masyarakat tanpa ketidakadilan"
(221).
Esai ini ditulis pada 1937 saat Lembaga untuk Penelitian Sosial masih mengalami
perkembangan bagian awal. Dari sini kita bisa memahami aspek 'kritis' teori kritis secara dual: pertama,
sebagai kritik marxis atas kenyataan sosial kapitalis yang tidak adil, lalu kedua, sebagai kritik Kantian
yang mengkritik akal-budi secara eksplisit sekaligus bergantung kepada akal-budi itu untuk daya
kritisnya (Rush 10). Keniscayaan kritik-diri selalu akan penting bagi pemikir Mazhab Frankfurt. Selain
itu, walaupun bertolak dari konsepsi Kantian secara luas, sebagai kritik atas akal budi sebagai kritikdiri, teori kritis menolak sebagian besar dari gagasan Kant, terutama idealisme (11). Sebagaimana akan
kita lihat di bawah, dalam satu-satunya karya yang ditulis oleh Adorno dan Horkheimer bersama,
Dialektika Pencerahan, kritik terhadap akal budi, terutama akal budi instrumental, dilontarkan secara
tajam.
III. DIALEKTIKA PENCERAHAN
Adorno dan Horkheimer menerbitkan Dialektika Pencerahan untuk pertama kali pada 1944,
sesaat Nazi masih merajalela di Eropa, untuk "menjelaskan kenapa manusia, alih-alih memasuki
keadaan yang sebenarnya manusiawi, sedang tenggelam dia dalam semacam kebiadaban baru" (Adorno
and Horkheimer xiv). Mereka menempatkan sebabnya di gaya pikiran yang mulai di filsafat
Pencerahan (suatu gerakan filsafat Barat yang mulai pada abad ke-17), khususnya rasionalitas
instrumental yang sampai sekarang berjalan secara tidak reflektif dan akhirnya akan menghancurkan
dirinya sendiri (xvi). Melawan kecenderungan ini adalah teori kritis: "perhatian intelek yang benar
adalah suatu negasi atas reifikasi" (xvii). Dalam teks ini mereka memakai istilah "pencerahan" sebagai
pengganti untuk rasionalitas tersebut. Untuk melakukan kritiknya, mereka menjelajahi hubungan
dialektis di antara konsep pencerahan dan mitos, dua istilah yang dianggap berlawanan tetapi
sebenarnya saling memandang satu sama lain: "mitos sudah adalah pencerahan, dan pencerahan

kembali pada mitos" (xviii). Perkataan 'dialektika pencerahan' dapat dimengerti sebagai hubungan
dialektis ini di antara pencerahan dan mitos. Penguraian atas pencerahan yang berikutnya dapat dibaca
juga sebagai suatu ekspansi atas kecenderungan negatif yang tersirat dalam teori tradisional
sebagaimana disinggung di atas.
A. KONSEP PENCERAHAN
Adorno dan Horkheimer mulai dengan sikap dua pemikir Pencerahan yang sangat besar, Francis
Bacon dan Martin Luther, terhadap pengetahuan. Gagasan tokoh tersebut mewakili gagasan proyek
Pencerahan umumnya. Bacon menbayangkan suatu pengetahuan yang di luar genggaman kuasa raja
dan pemerintahnya; pengetahuan itu akan melandasi "kedaulatan manusia" (1) Keduanya menganggap
pengetahuan sebagai hal yang baik hanya sejauh itu membantu manusia secara praktis, yaitu sejauh
pengetahuan bisa dipakai menguasai alam untuk keberuntungan manusia dalam bentuk teknologi.
Menurut Adorno dan Horkheimer pengetahuan seperti ini selalu sudah merupakan semacam kuasa yang
melampaui konsepsi sempit atas kuasa politik yang dilontarkan oleh Bacon. Bagi mereka, "Teknologi
adalah esensi pengetahuan ini. Tujuannya tidak untuk memproduksi konsep, citra, atau sukacita
pengertian, tetapi metode, eksploitasi atas tenaga kerja orang lain, modal" (2). Orientasi seperti ini
mereduksikan semua pengetahuan kepada pertimbangan guna; 'makna', serta semua hal yang tidak
dapat dipertimbangkan secara numerik, menghilang (3). Kehilangan kepentingan objek-objek
pengetahuan, disenchantment dunia, disertai oleh kebesaran peran subjek yang sesuai: "pelbagai
afinitas di antara hal yang berada digusurkan oleh hubungan tunggal di antara subjek yang
meangabulkan makna dengan objek yang tidak bermakna, di antara signifikansi rasional dengan
penyandang disengaja" (7). Pencerahan bersifat "totaliter" tidak hanya karena menguasai semua objek
yang diketahui; hal yang belum diketahui juga sudah mengalami semacam objektifikasi yang
mendahului. Adorno dan Horkheimer memakai contoh persamaan matematika. Kalaupun kita tidak
tahu x, kemampuan kita merumuskannya di dalam satu persamaan mengandaikan kemampuan
menyelesaikan persamaan itu dan mengetahui x; sebenarnya rumusan itu sendiri menyiratkan semacam
pengetahuan (18). Contoh tersebut menunjukkan corak lain dari pencerahan yang berasal dari reduksi
kepada nilai numerik, yaitu prinsip kesetaraan (equivalency). Kalau semua nilai dapat diucapkan secara
numerik, hal apapun dapat diganti dengan yang lain yang nilainya sama. Prinsip ini merasuki
masyarakat, baik pada tataran pertukaran komoditas maupun keadilan (4). Oleh karena itu, pencerahan

tidak hanya menguasai alam tetapi subjek manusia sendiri, yang mengalami proses reifikasi teknis yang
sama (23). Akhirnya, "dominasi alam berbalik melawan subjek yang memikir sendiri; tidak ada sisa
kecuali "saya memikir" yang tidak pernah berubah, yang harus menyertai semua konsepsi saya [konsep
saya memikir ini adalah 'ego transendental' Kant (Carr 36, atau lebih secara lebih umum bab 2, 3366)]. Baik subjek maupun objek ditiadakan. Diri yang abstrak ... dihadapi hanya materi abstrak"
(Adorno dan Horkheimer 20).
Konsep yang bertentangan dengan konsep pencerahan adalah konsep mitos. Kalau pencerahan
dianggap sebagai fenomena modern, mitos adalah fenomena purba. Paradigma pencerahan adalah ilmu
pengetahuan yang diketahui dan diterapkan seorang sarjana melalui metode ilmiah. Paradigma mitos
adalah ilmu dukun yang meniru kekuatan alam; dia tidak mencari prinsip abstrak kebenaran yang
melandasi semua perwujudan kekuatan itu (6). Pencerahan berjalan melalui abstraksi yang menjauhi
subjek dari objek, melainkan tiruan dukun menjadikan dia sebagian dari alam yang tidak terpisah (7).
Prinsip mimesis ini sangat penting bagi Adorno dan Horkheimer karena dia menunjuk suatu tanggapan
ke alam, semacam 'pengetahuan' yang mengelak dominasi pencerahan. Mimesis bukan "proses
intelektual" dan tidak hanya milik manusia tetapi semua makhluk yang hidup (Roberts 66). Mimesis
adalah prinsip yang melandasi penciptaan seni, suatu kegiatan manusia yang akan menjadi sangat
penting untuk kemungkinan resistensi terhadap pencerahan dalam pikiran estetis Adorno (67). Namun,
prinsip mimesis sebagai 'pengetahuan mitis' digerogoti hampir dari awal oleh pengertian yang bersifat
lebih praktis: kosmologi pemikir pra-Sokratik yang membagi materi alam menjadi elemen seperti air,
udara, dan api adalah contoh rasionalisasi yang diturunkan dari mitos (Adorno dan Horkheimer 3).
Satu contoh lagi adalah cara kepercayaan animisme mendahului keterpisahan subjek dan objek: "Kalau
pohon disapa tidak sebagai pohon belaka tetapi sebagai bukti untuk sesuatu yang lain, suatu letak
mana, bahasa mengungkapkan kontradiksi bahwa pohon itu sekaligus merupakan dirinya sendiri dan
sesuatu yang lain dari dirinya, identik dan tidak identik" (11). Kesadaran mitis menjadi kesadaran
pencerahan di saat mitos dipakai sebagai penjelasan yang mutlak: "perhubungan simbolis atas saat ini,
dengan kejadian mitis dalam ritus atau dengan kategori abstrak dalam ilmu pengetahuan, menjadikan
yang baru tampak seperti sesuatu yang telah ditentukan yang demikian adalah sebenarnya yang tua
(21). Untuk menjelajahi interrelasi mitos dan pencerahan secara lebih dalam, kita akan melihat
pembacaan Adorno dan Horkheimer atas puisi epik Yunani Kuno Odyssey oleh Homer.

B. ODISEUS ATAU MITOS DAN PENCERAHAN


Epik Homer mempunyai status unik dalam sejarah peradaban Barat; biasanya dikatakan bahwa
pengaruhnya hanya dilampaui Alkitab. Adorno dan Horkheimer mengangkat Odyssey lagi untuk
melawan pembacaan Nazi yang menafsirkannya sebagai cerita dari dunia legenda, sebagai mitos murni
yang mereka ingin pakai secara ideologis. Bagi Adorno dan Horkheimer, ada banyak bentuk sosial
yang biasanya dianggap modern yang sudah ada di dunia Homer (Roberts 59). Yang mereka lihat
dalam puisi Homer adalah proses revisi atau penafsiran kembali yang dilakukan oleh Homer kepada
mitos masyarakatnya, Odiseus menjadi "prototipe individu borjuis", dan cerita Odyssey adalah cerita
pembentukan subjek modern (Adorno and Horkheimer 35).
Suatu konsep pusat dalam mengerti hubungan rumit antara Odiseus dengan mitos adalah
pengorbanan. Di sinilah kita melihat corak hakiki Odiseus sebagai orang polytropos (secara harafiah
"orang yang banyak berbelok; biasanya ditafsirkan sebagai kelicikan atau kecerdikannya) secara
penuh. Di dunia Homer, manusia sering wajib mengorbankan domba untuk dewa-dewa agar dia
diberkati. Kalau tidak menawarkan kurban secara sah, sering mengalami kecelakaan. Misalnya,
Menelaus tidak menawarkan kurban yang memadai sebelum dia berlayar pulang dari Troy, lalu
kapalnya kena badai sehingga dia terdampar di Mesir (Odyssey III.391-4). Kalau dia akhirnya bisa
berangkat lagi, dia mengorbankan "secara bersemarak" (654-5). Bagi Adorno dan Horkheimer,
pengorbanan selalu merupakan semacam penipuan karena manusia sekaligus menghormati dewa dan
menetralisir dayanya. Odiseus bersifat unik karena hanya dia yang menyadari kepalsuan pengorbanan
tersebut. Terkadang saleh, terkadang fasik, dia mampu mempertimbangkan resiko dan bertindak secara
yang sepantasnya (Adorno dan Horkheimer 40). Ada juga suatu pengorbanan batin yang niscaya untuk
kemunculan kedirian yang beda degan alam. Pengorbanan ini merupakan "suatu pengingkaran atas
alam dalam manusia" yang dibalas dengan kemampuan menguasai alam dengan akal budi (42).
Perilaku Odiseus merupakan pengorbanan sejauh dia tidak boleh mengikuti nalurinya untuk mencari
kenikmatan, misalnya dengan Pemakan Teratai (Odyssey IX.95-117) atau di pulau Helios (XII.283490). Helios adalah dewa matahari; di pulaunya dia punya sekawan sapi yang dia sayangi. Odiseus
memperingatkan awaknya bahwa sapi itu tidak boleh dimakan, tetapi mereka toh memotong dan
membakar beberapa ekor saat Odiseus sedang tidur. Ketika mereka berangkat lagi, Zeus mengirimkan
badai besar yang menghancurkan kapal. Awak tenggelam dan hanya Odiseus yang selamat.

Menurut Adorno dan Horkheimer, kecerdikan Odiseus berasal dari penghayatan pengorbanan,
dan penghayatan itu sesuatu yang niscaya untuk penyelamatan diri (sebagai hewan yang hidup) dan
pembentukan diri (sebagai subjek). Sifat Odiseus ini dapat dikontraskan dengan setiap makhluk mitis
yang ditemuinya. Mereka semua bersifat repetitif dan kompulsif, misalnya raksasa Scylla dan
Charybdis, penyihir Circe, atau cyclops Polyphemus (45). Berlawanan dengan kekuatan yang jauh
lebih besar dari dia, Odiseus terpaksa menjadi seseorang yang mementingkan diri sendiri melalui
kemampuannya menguasai mitos dan alam (48). Ceritanya menggambarkan pernyataan penulis bahwa
"esensi" pencerahan terdiri dari dua pilihan: "manusia selalu harus memilih di antara penaklukannya
oleh alam dan penaklukan alam oleh dirinya" (25). Akhirnya, tujuan Odiseus, yaitu pulang ke anak,
istri, dan kampung halamannya, merupakan hasrat melarikan diri dari dunia purba mitos. "Filsuf" Nazi
saat itu ingin mengangkat konsep "tanah air" sebagai sesuatu yang bersifat mitis dan demikian dapat
dipergunakan membenarkan ideologinya yang nasionalis dan rasis, tetapi "gerakan kritis" itu
merupakan kesalahpahaman besar. Sebenarnya, rumah dan kampung mewakili perpindahan manusia
dari keadaan nomadis kepada keadaan tetap dan kelahiran suatu nostalgia untuk zaman yang lebih
primitif. Justru perkembangan 'modern' ini yang akan mendahului konsep apapun akan tanah air (6061).
Konsep pencerahan di sini bersifat sangat negatif tetapi kita akan salah kalau kita mengatakan
bahwa pandangan Adorno dan Horkheimer terhadap rasionalitas adalah pandangan buruk yang mutlak.
Pada 1940-an, mereka sedang menyaksikan malapetaka yang menurut mereka berasal dari suatu
rasionalitas yang dibiarkan berjalan tanpa kesadaran-diri kritis. Tugas mereka sebagai pemikir kritis
adalah menciptakan kesadaran itu. Jelas bahwa segi positif rasionalitas yang sangat kelihatan di esai
"Teori Tradisional dan Teori Kritis" hampir menghilang di teks ini, tetapi tidak seratus persen.
Misalnya, mereka menutupi bab 1 dengan pernyataan, "Pengetahuan, di mana, bagi Bacon, 'kedaulatan
manusia" terpendam secara yang tak dapat dipertanyakan, sekarang dapat mengabdikan diri untuk
melarutkan kuasa [represif] itu. Tetapi di hadapan kemungkinan ini pencerahan, dalam pelayanan
kepada saat ini, sedang menjadi penipuan langsung atas rakyat" (34). Kalaupun sangat negatif,
pernyataan itu masih menunjukkan harapan, suatu kemungkinan atas jalan lain. Julian Roberts menulis
bahwa satu kemungkinan konkrit untuk masa depan yang lebih positif dari Dialektika Pencerahan
adalah konsepsinya atas keadilan yang tidak mereduksikan setiap perkara menjadi interaksi prinsip
abstrak tetapi selalu mendasari penghakimannya dengan fakta nyata (Roberts 70). Satu kemungkinan
lagi, terutama untuk Adorno, adalah di bidang seni (71), tetapi untuk mengerti konsepsinya atas seni

yang "benar", kita harus mengerti terlebih dulu seni "palsu" yang terdapat dalam budaya massa.
C. INDUSTRI BUDAYA: PENCERAHAN SEBAGAI PENIPUAN MASSA
Di Amerika Adorno dan Horkheimer berhadapan dengan budaya massa, terutama industri film
Hollywood, yang beda dengan yang pernah mereka saksikan sebelumnya. Sepertinya mereka terusik
juga, karena ada kemiripan di antara standardisasi rasa di Amerika dengan semacam standardisasi yang
bersifat sangat buruk di Eropa yang akhirnya memaksa mereka mengungsi dari negaranya sendiri, yaitu
fasisme dalam bentuk khusus Jerman, Nazi. Dasar kritik mereka atas budaya massa Amerika sejalan
dengan kritik Horkheimer atas teori tradisional: persis seperti teori tradisional yang di bidang ilmu
pengetahuan hanya bisa mereproduksikan atau memapankan kenyataan sosial yang melandasinya,
budaya massa dalam bentuk 'seni' (film, siaran radio, cerpen di majalah, dll.) berfungsi secara ideologis
dalam masyarakatnya. Di atas kita sudah membahas istilah "reifikasi", suatu kondisi kapitalisme di
mana produk tenaga kerja manusia menyerupai hal mandiri dengan motivasinya sendiri. Reifikasi
menimbulkan alienasi, perasaan keterpisahan subjek dari produk tenaga kerja sendiri, dari alam, dan
dari sesama manusia. Subjek akan lebih terasing lagi ketika 'objek' alienasinya adalah unsur-unsur
budaya sendiri. Adorno dan Horkheimer memakai istilah 'industri budaya' dalam menekankan bahwa
yang diproduksikan olehnya tidak merupakan seni tetapi komoditas. Pembahasan ini akan melihat
kritik mereka dari tiga sudut pandang yang saling berhubungan: industri budaya sendiri serta
produknya, dampaknya kepada subjek manusia yang mengkonsumsikannya, dan konsepsi "seni benar"
yang bersifat dan berfungsi sangat beda dengan produk industri budaya.
Film dan siaran radio bukan seni, dan tidak berpura-pura pun mencapai status itu. Fakta ini
sudah diakui oleh industrinya sendiri (Adorno dan Horkheimer 95). Seharusnya kita tidak heran kalau
nilai estetisnya rendah karena itu bukan maksudnya. Pembedaan di antara film yang lebih dan kurang
berkualitas adalah pembedaan palsu yang mengaburkan identitas yang pada dasarnya sama: nilai film A
yang dianggap lebih tinggi dibandingkan B berdasarkan berapa banyak uang yang telah diinvestikan,
bukan dari perbedaan apapun dalam 'isi'nya (97). Film dari industri budaya bercorak "kelaziman efek,
pertunjukan yang nyata, rinci teknis," daripada dianggap sebagai satu karya yang seharusnya
menyandang suatu ide (99). Semuanya berdasarkan rumusan yang sudah basi (98) yang ditentukan oleh
kode baik implisit maupun eksplisit, dan tidak ada satu film yang produksinya akan disetujui kecuali
semua unsurnya telah diperiksa dengan seksama yang tidak ditandingi dalam sejarah seni Barat (101).

Produk ini yang bukan seni diciptakan untuk hiburan saja, dan dapat dikatakan bahwa industri budaya
telah menyempurnakan proses produksi hiburan sebagai komoditas serta komoditasnya sendiri,
seandainya kita melihat 'karya'nya dari sudut pandang hiburan saja (108). Lalu apa itu hiburan
sebenarnya, dan apa dampak ideologisnya kepada penonton?
Kalau eksistensi produk-produk industri budaya sering dibenarkan karena mereka memenuhi
kebutuhan atau keinginan rakyat, Adorno dan Horkheimer akan membalas bahwa kebutuhan atau
keinginan itu justru yang diproduksikan oleh industri (95): "Mentalitas publik, yang konon dan
sebenarnya mendukung sistem industri budaya, adalah bagian dari sistemnya dan bukan alasan
untuknya" (96). Pilihan kita dalam sistem ini hanya di antara yang premium atau yang ekonomi, yang
seperti disinggung di atas tidak merupakan perbedaan yang substansial. Industrinya bersifat ideologis
sejauh penonton terarah kepada sistem produksi rasional (98); "Hiburan adalah perpanjangan kerja ...
dicari oleh yang ingin luput dari proses kerja yang dimekanisasi agar mereka bisa bertahan lagi" (109).
Keinginan untuk hiburan berdasarkan ketidakberdayaan, baik sebagai realitas maupun sebagai
indoktrinasi: "[Hiburan] memang pelarian, tetapi tidak, sebagai didaku, pelarian dari realitas yang
buruk tetapi dari pikiran apapun untuk melawan realitas itu" (116). Tujuan mengembangkan diri sendiri
degan usaha keras telah diganti dengan harapan mendapat hadiah, yang sekaligus mempertanyakan
guna usaha keras itu (117). Akhirnya manusia direduksikan oleh industri budaya menjadi nasabah atau
pekerja (118).
Berlawanan dengan industri budaya, Adorno dan Horkheimer menaruh konsep seni, yang di sini
sering didefinisikan secara negatif dan 'aforistis' daripada secara sistematis. Mereka mendukung seni
avant garde, yang "melayani kebenaran" (102). Tujuannya adalah "menyajikan pemenuhan dalam
kehancuran" (111) atau "meniadakan beban tenaga kerja (114). Berbeda dengan produk industri budaya
yang diciptakan menurut rumusan dan 'kebutuhan pasar' untuk bisa diterima siapapun tanpa pemikiran
berat, karya seni berkembang secara formalis, menurut hukum estetis yang intrinsik dalam rupanya,
dan pasti akan susah dimengerti (113). Perbedaan seni dengan produk industri budaya dapat dijelaskan
melalui dua konsep, gaya (style) dan tragedi, dan perannya dalam kedua sistem tersebut. Gaya estetis di
Abad Pertengahan atau Renaissance, misalnya, mengungkapkan bentuk sosial zaman itu, bukan
pengalaman individu seorang seniman. Karya seniman besar justru merupakan pergumulannya dengan
pembatasan itu, dan kreativitasnya merupakan semacam perlawanan untuk mengungkapkan
penderitaannya sebagai suatu "kebenaran negatif". Seniman modern seperti Schnberg, di bidang
musik, atau Picasso, di bidang lukisan, mencurigai konsep gaya dan berusaha mengembangkan suatu

10

pendekatakan yang tidak bergantung kepadanya. Seniman radikal Dada menyerang gaya secara tajam
sebagai suatu kepalsuan yang mutlak yang tidak mampu mengungkapkan kebenaran apapun. Menurut
Adorno dan Horkheimer, kebenaran justru muncul dalam pergumulan dengan gaya. Kebenaran itu tidak
muncul melalui keberhasilan seorang seniman dalam menyelesaikan rupa dan isi secara serasi (yang
selalu akan merupakan kepalsuan) tetapi melalui suatu "kegagalan yang niscaya atas perjuangan asyik
untuk identitas". Industri budaya menawarkan tiruan yang mutlak, semacam produk yang tidak lebih
dari gaya belaka (103). Ada perbedaan serupa dalam tragedi.
Semula, tragedi berdasarkan perlawanan seorang individu dengan masyarakat. Menurut
Nietzche, nilai tragedi adalah "keberanian dan kebebasan untuk merasa di hadapan seteru yang perkasa,
kesulitan yang luhur, suatu masalah yang membangkitkan ketakutan" (124). Perlawanan Oedipus atau
Antigone kepada kekuatan yang lebih besar yang tidak bisa mereka kalahkan mengubah bentuk
penderitaannya menjadi sesuatu yang agung. Industri budaya mengambil unsur-unsur dari tragedi untuk
dipakai dalam ceritanya, tetapi maksudnya beda: "Seperti masyarakat totaliter yang tidak
menghapuskan penderitaan warganya tetapi mendaftarkan dan merencanakannya, massa budaya
melakukan yang sama dengan tragedi" (122). Pertama, unsur tragis memberikan suatu lapisan
'kehormataan estetis' kepada produk industri yang sebenarnya bersifat "sampah" (95) untuk menghibur
orang yang menganggap dirinya punya rasa yang lebih halus. Tetapi lebih penting, secara ideologis,
nilai tragis yang semula, yaitu melawan dan sekaligus pasrah kepada kekuatan mitis, telah diganti
menjadi "tunduk atau dihancurkan" (122). Manusia kapitalisme akhir selalu dituntut membuktikan
loyalitas kepada yang berwenang. Tidak susah melihat bagaimana sistem kuasa ideologis ini mudah
menjelma menjadi fasisme telanjang(124).
Sama dengan analisisnya atas pencerahan, analisis Adorno dan Horkheimer atas seni
bercendurung bersifat negatif. Negativitas ini bukan negativitas yang mutlak (sebenarnya kita sudah
menyaksikan mereka mengangkat negativitas terhadap rasionalisasi sebagai semacam positivitas),
tetapi memang susah, dalam gagasannya di teks ini, kalau kita ingin mencari sesuatu yang dapat
melandasi penerapan konkrit di bidang seni, khususnya bidang sastra. Untuk ketemu pelandasan
tersebut, atau setidaknya untuk mengerti secara lebih positif konsep karya seni, kita harus melihat
bagaimana pikiran Adorno berkembang lebih akhir sebagaimana diungkapkan dalam karya terakhir
(dan mahakaryanya) yang tidak diselesaikannya, Teori Estetis. Banyak dari teori itu merupakan
penerusan dari konsep-konsep yang dilontarkan lebih dulu dalam Dialektika Pencerahan.

11

IV. TEORI ESTETIS


Estetika Adorno tak dapat dipisahkan dari pengertiannya atas akal budi, khususnya akal budi
instrumental, seperti sudah dibahas di atas. Sebenarnya Adorno tidak menyerang akal budi semata
(kalau tidak memakai akal budi, berfilsafat menjadi mustahil) tetapi suatu "rasionalisasi atas akal budi"
yang bercorak semua sifat negatif di atas seperti dominasi atas alam, penindasan ummat manusia, dan
seterusnya. Kelebihan rasionalisasi itu pada umumnya dicirikan suatu penaklukan yang partikuler oleh
yang universal (Bernstein 144). Rasionalisasi ini, bagi Adorno, justru bersifat irasional karena
menyalahpahami sebagian dari akal budi, yaitu akal budi instrumental, sebagai keseluruhan akal budi.
Hal yang tersingkir dari bidang akal budi oleh rasionalisasi, dan yang ingin Adorno rebut kembali,
adalah pengertian sensual yang zaman sekarang hanya bisa 'berlindung' di bidang seni (145). Makanya
dia bisa menulis bahwa "ketidakbenaran yang diserang oleh seni bukan rasionalitas tetapi oposisinya
yang kaku kepada yang partikuler" (AT 98) Pengalaman sensual sudah dicurigai sebagai 'yang-lain'
dari akal budi sejak Plato membuang kaum penyair dari republiknya dan sikapnya diwarisi oleh Kant
dan Nietzsche, dua pemikir yang jarang bersetujuan (Bernstein 140).
Seni modern bagi Adorno bersifat otonomis. Otonominya dapat dirumuskan secara negatif
sebagai suatu kehilangan guna sosial atau secara positif sebagai formalisme yang hanya berurusan
dengan susunan unsur formal dalam satu karya (146). Oleh karena itu, seni modern punya 'ciri dobel':
"sesuatu memisahkan dirinya dari realitas empiris dan demikian dari konteks fungsional masyarakat,
namun sekaligus merupakan bagian dari realitas empiris dan konteks fungsional masyarakat" (AT 252).
Karya seni terpisah dari realitas empiris karena mempertunjukkan suatu hubungan di antara yang
partikuler dengan yang universal yang tidak ada pada kenyataan, tetapi pada saat yang sama, eksistensi
hubungan itu di dalam karya seni itu melontarkan kemungkinan hubungan itu (160). Bagi Nigel Mapp,
[re]presentasi ini menunjuk kemungkinan "rekonsiliasi dengan yang partikuler yang non-identik"
(Mapp 161). Selain formalismenya, karya seni juga merupakan suatu alternatif dari akal budi
instrumental karena 'kealamian'nya. Dalam karya seni plastik yang terdiri dari bahan nyata, ada
semacam makna yang bersifat "non-diskursif" atau "instrinsik" yang melekat pada bahan itu sendiri
(154). Barangkali konsep tersebut kedengaran sedikit 'mistis', tetapi sebenarnya kita mengandaikan
semacam 'kealamian' itu setiap kali kita mengatakan bahwa suatu mahakarya dicirikan 'irredusibilitas',
bahwa karya itu punya makna yang hanya bisa diungkapkan begitu saja. Konsep ini juga bisa diperluas
termasuk sastra dan justru yang dimaksud Adorno sewaktu membicarakan "keindahan alamiah" (AT

12

72).
Satu hal lagi yang sangat penting dalam teori estetis Adorno adalah kaitan seni dengan
penderitaan. Kita sudah melihat di atas betapa penting "impuls mimesis" bagi Adorno dan Horkheimer
sebagai dasar untuk suatu 'pengetahuan' atas alam yang mendahului akal budi instrumental. Impuls ini
berasal dari penderitaan -- "gerakan kejang orang yang disiksa", "sakrat ulmaut makhluk" -- yang
dialami semua hewan, tidak hanya manusia, dan merupakan suatu stratum pengalaman yang dibagi
oleh semua yang hidup (Adorno dan Horkheimer 151). Fakta penderitaan menolak untuk dibenarkan
atau dijelaskan. Usaha menjadikan penderitaan sesuatu yang bermakna -- kebijaksanaan sehari-hari
yang mengatakan bahwa 'segala sesuatu terjadi karena suatu alasan' atau 'semuanya adalah bagian dari
rencana Tuhan -- bagi Adorno merupakan suatu penyangkalan atas penderitaan itu (Bernstein 155).
Karena tidak bisa dikonsepsualisasikan melalui akal budi, penderitaan juga terpaksa melari ke bidang
seni. Representaasi penderitaan dalam seni, atau ketidakhadiran sebagai semacam kehadiran,
merupakan 'tugas suci' untuk seni: "lebih baik kalau suatu hari seni rupa lenyap sama sekali daripada
melupakan penderitaanya yang merupakan pengungkapkannya dan dimana rupa mempunyai substansi"
(AT 260).
Sebagai penerapan konkrit dalam tulisannya sendiri, kita akan melihat pembacaan Adorno atas
drama Endgame oleh Samuel Beckett. Kalau Adorno hidup sampai bisa selesaikan Teori Estetis, dia
berencana mendedikasikannya kepada Beckett, jadi kita bisa menyimpulkan bahwa Adorno yang
bersifat kritis kejam sangat menghargai karyanya. Tokoh utama Endgame adalah Hamm, seorang tuan
yang lumpuh, dan Clov, pelayannya. Hanya ada dua tokoh lagi, Nell dan Nagg, orang tua dari Hamm,
yang tidak berkaki dan tinggal di dua tong sampah di depan panggung. Dunia telah mengalami suatu
malapetaka yang tidak dinamai: tidak ada hewan, laut, alam, atau orang lain. Di luar jendelanya hanya
abu-abu yang tidak jelas siang atau malam. Kebanyakan dramanya terdiri dari dialog di antara Hamm
dan Clov yang dicirikan bahasa yang sangat polos, kaku, dan tanpa harapan. Berikutnya adalah dua
contoh untuk mewarnai diskusinya:
HAMM: Did your seeds come up?
CLOV: No.
HAMM: Did you scratch round them to see if they had sprouted?
CLOV: They haven't sprouted.
HAMM: Perhaps it's still too early.
CLOV: If they were going to sprout they would've sprouted.
(Violently.) They'll never sprout! (Beckett 13)
NELL:
NAGG:
NELL:
NAGG:

I am going to leave you.


Could you give me a scratch before you go?
No. (Pause.) Where?
In the back.

13

NELL: No. (Pause.) Rub yourself against the rim.


NAGG: It's lower down. In the hollow.
NELL: What hollow?
NAGG: The hollow! (Pause.) Could you not? (Pause.) Yesterday you
scratched me there.
NELL: (elegiac) Ah yesterday!
NaGG: Could you not? (Pause.) Would you like me to scratch you?
(Pause.) Are you crying again?
NELL: I was trying. (19-20)

Adorno tidak menafsirkan setting Endgame secara harafiah sebagai dunia pasca-kiamat tetapi
menurut konteks historisnya sendiri, yaitu dunia pasca-perang dunia kedua, atau, lebih tepat pada
pengalaman Adorno sendiri, pasca-Shoah: "Kita hanya bisa berbicara secara eufemistis tentang yang
sepadan dengan semua pengalaman, seperti kita berbicara di Jerman tentang pembunuhan kaum
Yahudi. Sudah menjadi suatu a priori yang total, sehingga kesadaran yang telah dibom sudah tidak
mempunyai posisi darimana bisa merenungi fakta itu" (Endgame 123). Keadaan tokoh-tokoh Endgame,
mengulangi omongan dan tindakan yang tidak bermakna sambil menunggu kematian yang tidak tentu
akan datang, bagi Adorno bersifat filosofis; mereka menyerupai diri transendental Kant yang hanya
mampu berabstraksi dan tidak mampu mengalami (124). Endgame sebagai drama merupakan parodi
yang harus dibedakan dengan ejekan belaka. Parodi terjadi ketika seorang pengarang memakai rupa
dari zaman dulu yang sudah tidak cocok pada zaman sekarang. Pemakaian rupa 'basi' dengan tulus
menunjukkan kemustahilannya untuk sekarang dan membantu rupa untuk berkembang lagi (136).
Harus diingatkan bahwa perkembangan formal seperti ini sangat penting untuk kemampuan seni untuk
menunjukkan semacam rekonsiliasi. Akhirnya, Endgame merupakan suatu pernyataan filosofis yang
sekaligus merupakan suatu ringkasan mengenai gagasan Adorno atas akal budi:
Rasio, yang telah diinstrumentalisasikan secara penuh, dan demikian sama sekali tanpa
refleksi-diri dan refleksi atas yang telah ditiadakan, harus mencari makna yang dia
sendiri telah memadamkan. Tetapi dalam kondisi yang menimbulkan pertanyaan ini
secara niscaya, tidak ada jawaban yang mungkin selain ketiadaan, yang sudah
merupakan bentuk jawaban itu. Keniscayaan historis absurditas ini membiarkannya
nampak ontologis; itulah kerudung ilusi yang diproduksikan oleh sejarah sendiri. Drama
Beckett merobek kerudung ini (148).
Absurditasnya adalah akal budi yang berakhir di ketidakberartian, rasionalitas yang akhirnya kurang
dari mitos. Tema yang ditelusuri di atas seharusnya sudah terbiasa bagi pembaca Adorno dan
Horkheimer atau pembaca makalah ini. Adorno sebagai kritikus sastra mungkin layak dituduh sebagai
seseorang yang membaca filsafatnya sendiri dalam karya orang lain. Bisa juga Adorno memilih karya

yang sudah mengungkapkan filsafatnya. Tetapi ada penjelasan ketiga, yang paling tidak sinis. Samuel
Beckett telah diakui sebagai salah satu penulis yang paling penting dan berpengaruh di abad ke-20, dan
Theodor Adorno telah diakui sebagai seorang pemikir sosial dan estetis yang statusnya sebanding
dengan Beckett dalam bidangnya. Keduanya terkenal sebagai kritikus yang sangat tajam kepada
pengandaian dan konsepsi kita sehari-hari. Mungkin ada suatu kelarasan yang lebih dalam di antara
gagasan keduanya, yang terkait negativitas sebagai satu-satunya positivitas yang masih mungkin.
V. KESIMPULAN
Akhirnya kita sampai di posisi dari mana bisa membahas kedua impetus makalah ini, yakni: (1)
Apakah pertanyaan pokok Adorno dan Horkheimer? dan (2) Bagaimana bisa gagasan mereka
diterapkan kepada sastra? Pertanyaan pokok pertama, dan yang paling mendesak bagi keduanya secara
personal pasti adalah, kenapa/bagaimana bentuk pemerintahan totaliter seperti fasisme bisa muncul?
Ada banyak pertanyaan yang menurunkan dari pertanyaan itu dan jawaban yang dapat dilontarkan,
misalnya: Apa penguasaan manusia atas alam, pemerintah atas warga, universal atas partikuler, subjek
atas objek, merupakan suatu keniscayaan yang historis, atau dapatkah dominasi itu terelak? Kalau
dapat terelak, bagaimana caranya? Kalau niscaya, bagaimana cara melawannya? Bisakah kita
melarikan diri dari totalitas? Bagaimana caranya berpikir secara kritis dari dalam suatu totalitas?
Bagaimana caranya membedakan kesadaran kritis dengan kesadaran palsu, yaitu yang bersifat
ideologis? Kalau Adorno sudah menyimpulkan bahwa situs resistensi adalah di bidang seni, pertanyaan
kemudian menjadi, Bagaimana bisa membedakan seni sejati/benar dengan seni palsu? Bagaimana bisa
menyelesaikan status seni sebagai sesuatu yang tidak berguna secara sosial dengan statusnya sebagai
komoditas pada zaman modern? Bagaimana bisa seorang seniman memperseimbangkan kebutuhan
untuk kemandirian penciptaan artistik dengan kebutuhan untuk pendapatan yang berkecukupan?
Soal penerapan gagasannya kepada sastra menjadi lebih rumit. Mazhab Frankfurt pada
umumnya, dan Adorno secara khusus, dikenal sebagai pemikir yang sangat suram. Sewaktu akademisi
yang berorientasi postmodern ingin meneliti produk budaya massa, Adorno dan Horkheimer sedang
menolaknya secara keras sebagai sampah yang bersifat ideologis. Kutipan Mazhab Frankfurt yang
paling terkenal berasal dari Adorno: "menulis puisi sesudah Auschwitz adalah biadab" (Prisms 33).
Banyak orang menafsirkan pernyataan itu secara harafiah, sebagai suatu pengingkaran atas kegiatan
estetis pada zaman modern yang telah menyaksikan pembunuhan massa sehingga mengorbankan jutaan

jiwa. Tetapi kalau kita memikirkan secara lebih rasional, tidak mungkin Adorno membuang waktu
begitu banyak dalam usaha yang dia anggap begitu rendah. Kita sudah melihat di atas betapa penting
seni baginya sebagai satu-satunya resistensi yang masih ada terhadap totalitas. Dengan pertimbangan
itu, lebih baik menafsirkan kutipan tersebut sebagai berikut: "menulis puisi (atau, lebih umumnya,
menciptakan seni) yang melupakan fakta penderitaan manusia pada skala yang tak dapat terbayang
adalah biadab". Sekarang kita sudah menentukan bahwa kita masih boleh membuat dan membicarakan
seni, tetapi ada satu masalah lagi yang lebih besar yang terkait konsep 'penerapan'.
Sebagaimana sudah disinggung di atas tentang esai Max Horkheimer "Teori Tradisional dan
Teori Kritis", teori kritis dari titik awal bersifat curiga kepada 'guna', baik sebagai tolok ukur maupun
sebagai tujuannya. Penerapan praktis apapun akan melibatkan gagasannya dalam proses produksi yang
telah ditentukan secara ideologis. Kecurigaan terhadap 'guna' ini kelihatan di ketiga tahap pikiran yang
sudah dibahas: di esai Horkheimer sebagai keniscayaan suatu teori kritis yang justru tidak berguna, di
Dialektika Pencerahan sebagai serangan terhadap akal budi instrumental, dan di Teori Estetis Adorno,
otonomi karya seni sebagai kehilangan guna sosial yang memungkinkan presentasi hubungan
universal-partikuler yang baru. Kalau kita belajar apapun dari Horkheimer dan Adorno, seharusnya
bahwa kalau ada yang membenarkan sesuatu karena akan 'berguna', kita harus langsung tanya balik,
'berguna untuk siapa?' Bertolak dari hal ini, pemakaian gagasan mereka sebagai semacam alat untuk
proyek kritis akan merupakan suatu pengkhianatan sangat besar terhadap tumpuan gagasannya. Kita
sudah melihat dalam pembacaan Adorno atas drama Beckett bahwa kritik sastranya lebih merupakan
refleksi filosofis daripada kritik biasa. Yang ditawarkan oleh Horkheimer dan Adorno bukan alat kritis
praktis tetapi konteks filosofis dari mana kita bisa merenungi lembaga kritik sastra sebagai
keseluruhan. Daripada mencari penerapan, lebih baik kita berusaha menghayati kesadaran kritis yang
menurut Horkheimer dan Adorno sangat dibutuhkan untuk kemungkinan atas kemungkinan semacam
'rekonsiliasi' suatu hari. Kita juga bisa mengingat teguran mereka saat kita memilih karya apa dan
penulis apa yang ingin kita teliti. Akhirnya, kita bisa mempertanyakaan status kita sebagai mahasiswa
atau dosen serta status lembaga kita dalam masyrakatnya, fungsi ideologisnya dan bagaimana kita bisa
mengarahkan usaha ilmiah kita kepada pembebasan manusia. Apakah bibit pembebasan itu dapat
ditanam di kampus Universitas Negeri? Kemungkinan itu, mereka akan bilang, kalau ada, akan berasal
dari suatu kesadaran kritis, bukan suatu 'kritik praktis'.

DAFTAR PUSTAKA
Adorno, Theodor W. Aesthetic Theory. Eds. Gretel Adorno and Rolf
Tiedemann. Trans. Robert Hullot-Kentor, New York: Continuum,
2002.
-. Prisms. Trans. Samuel and Shierry Weber. Cambridge, MA: MIT
Press, 1997.
-. "Trying to Understand Endgame". Trans. Michael T. Jones. New
German Critique, No. 26, Critical Theory and Modernity.
(Spring-Summer, 1982), 119-150.
-. and Max Horkheimer. Dialectic of Enlightenment. Trans. Edmund
Jephcott. Stanford University Press, 2002.
Beckett, Samuel. Endgame: A Play in One Act. New York: Grove Press,
1958.
Berendzen, J.C. "Max Horkheimer". The Stanford Encyclopedia of
Philosophy (Fall 2013 Edition). Ed. Edward N. Zalta.
http://plato.stanford.edu/archives/fall2013/entries/horkheimer/.
Bernstein, J.M. "The Dead Speaking of Stones and Stars: Adorno's
Aesthetic Theory". The Cambridge Companion to Critical Theory.
Ed. Fred Rush. 139-164. Cambridge UP, 2004
Carr, David. The Paradox of Subjectivity: the Self in the
Transcendental Tradition. New York: Oxford UP, 1999.
Homer. The Odyssey. Trans. Robert Fagles. New York: Viking Penguin,
1996.
Horkheimer, Max. "Traditional and Critical Theory". Ed., trans.
Matthew J. O'Connell. Critical Theory: Selected Essays. 188-243.
New York: Continuum, 2002.
Mapp, Nigel. "No Nature, No Nothing: Adorno, Beckett,
Disenchantment". Adorno and Literature. Eds. David Cunningham
and Nigel Mapp. 159-170. New York: Continuum, 2006.
Roberts, Julian. "The Dialectic of Enlightenment". The Cambridge
Companion to Critical Theory. Ed. Fred Rush. 57-73. Cambridge
UP, 2004
Rush, Fred. Conceptual Foundations of Early Critical Theory. The
Cambridge Companion to Critical Theory. Ed. Fred Rush. 6-39.
Cambridge UP, 2004
Zuidervaart, Lambert. "Theodor W. Adorno". The Stanford Encyclopedia
of Philosophy (Winter 2011 Edition). Ed. Edward N. Zalta.
http://plato.stanford.edu/archives/win 2011/entries/adorno/.

Anda mungkin juga menyukai