Anda di halaman 1dari 15

Sosiologi merupakan disiplin ilmu yang relatif baru — Ia lahir di awal abad ke-19, ketika

revolusi Perancis mengubah tatanan sosial masyarakat, dan membawa manusia pada era
pencerahan.

Kajian sosial memang sudah dipelopori terlebih dahulu oleh disiplin ilmu yang lebih tua:
filsafat. Namun, berkat buah pemikiran seorang filsuf yang pernah mencoba bunuh diri dan
dirawat di rumah sakit jiwa, sosiologi mampu bersanding dengan cabang ilmu lain.

Nama filsuf tersebut adalah Comte, dan ia dikenal sebagai bapak sosiologi. Buah
pemikirannya, positivisme, berhasil menjadi pondasi bagi perkembangan ilmu sosial modern,
khususnya sosiologi.

Comte dan Sosiologi


Auguste Comte lahir di Perancis pada tahun 1798. Comte memiliki semangat untuk
menyatukan ilmu alam dan ilmu sosial. Menurut Comte, langkah pertama untuk mencapai hal
tersebut adalah dengan menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengkaji fenomena sosial.

Bagi Comte, ilmu sosial harus berkutat dengan fakta, dan memiliki metode pengumpulan data
yang jelas, seperti halnya ilmu alam. Comte menyebut cara pandangnya ini dengan nama
positivisme[1].

Layaknya gravitasi yang mengatur alam semesta, Comte percaya bahwa realitas sosial juga
turut diatur oleh seperangkat hukum yang tidak terlihat. Jika apel jatuh dari pohonnya karena
diatur oleh hukum alam, maka sumber daya ekonomi jatuh dari para pemilik modal ke tangan
pekerja karena diatur oleh hukum sosial.

Menurut Comte, ilmu sosial, melalui prinsip-prinsip positivisme, memiliki kemampuan untuk
menyibak hukum sosial yang tidak terlihat. Berangkat dari premis tersebut, Comte
mencetuskan sebuah istilah, sekaligus disiplin ilmu baru: sosiologi[2].

Comte mendefinisikan sosiologi sebagai studi sistematis tentang fenomena sosial[3]. Bagi
Comte, sosiologi adalah alat untuk meramalkan kondisi masyarakat di masa depan. Sosiologi,
melalui observasi fakta-fakta empiris, memiliki kemampuan untuk mengungkap hukum sosial
yang mengatur jalannya masyarakat.

Comte berpendapat bahwa seperti halnya hukum alam, hukum sosial juga dapat digunakan
untuk memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Comte sendiri pernah meramalkan
bahwa di masa depan, masyarakat akan dipimpin oleh sekelompok akademisi yang ia sebut
sebagai “filsuf positif”[4]. Ramalan yang sampai saat ini belum terbukti kebenarannya.

Terlepas dari kebenaran ramalan tersebut, Comte memiliki tempat spesial dalam sejarah
perkembangan sosiologi. Auguste Comte adalah sosok yang berhasil mengukuhkan posisi
sosiologi sebagai sebuah disiplin ilmu. Pemikiran Comte, khususnya positivisme, terus
dikembangkan dan dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan sosial lain yang mempelajari sosiologi,
termasuk tiga pemikir besar sosiologi klasik: Durkheim, Marx, dan Weber.

Tiga Pemikir Utama Sosiologi: Durkheim, Marx, dan Weber


Dari sekian banyak sosiolog, nama Durkheim, Marx, dan Weber memang sedikit lebih
spesial. Ketiganya sering disebut sebagai canon, nabi, atau pemikir utama sosiologi.
Durkheim merupakan sosiolog kelahiran Perancis, sama seperti Comte, sedangkan Marx dan
Weber lahir di Jerman. Perbedaan konteks sosial dari ketiga sosiolog inilah yang membuat
cara pandang mereka berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Emile Durkheim
Durkheim memiliki cara pandang yang paling mirip dengan Comte. Ia sepakat dengan
Comte, bahwa ilmu sosial harus mengkaji hal-hal yang bersifat empiris, serta menggunakan
metode ilmiah. Namun, Durkheim menganggap Comte belum secara spesifik membahas hal-
hal empiris apa sajakah yang dapat diklasifikasikan sebagai objek kajian sosiologi. Oleh
karena itu, Durkheim mencetuskan sebuah terminologi baru: fakta sosial.

Durkheim mendefinisikan fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, atau berperasaan yang
berada di luar individu, namun memiliki kekuatan untuk memaksa individu tersebut. Menurut
Durkheim, sosiologi adalah studi sistematis tentang fakta sosial[5].

Salah satu sumbangan terbesar Durkheim bagi sosiologi adalah konsep pembagian kerja.
Durkheim menyatakan bahwa masyarakat modern diikat oleh fakta sosial berupa perbedaan
peran antara satu dengan lainnya. Durkheim menyebut hal ini sebagai solidaritas organik[6].
Setiap orang memiliki peran masing-masing dalam masyarakat, seperti organ tubuh manusia
yang mempunyai fungsinya masing-masing. Layaknya organ tubuh yang menjamin
keberlangsungan hidup manusia, pembagian kerja menjamin keberlangsungan masyarakat.

Karl Marx
Jika Durkheim relatif sepakat dengan pemikiran Comte, maka lain halnya dengan Marx.
Meski sama-sama setuju bahwa ilmu sosial harus menggunakan metode ilmiah, serta
memiliki kemampuan untuk menyibak hukum sosial, Marx menolak gagasan Comte tentang
positivisme. Bagi Marx, kajian ilmu sosial tidak hanya terbatas pada hal-hal yang sifatnya
empiris atau dapat dilihat saja. Marx menekankan pentingnya ide, sebagai sesuatu yang
abstrak dan tidak empiris, yang juga harus dikaji oleh ilmuwan sosial[7].

Salah satu sumbangan terbesar Marx bagi sosiologi adalah konsep kelas. Menurut Marx,
masyarakat modern terbagi menjadi dua kelas: borjuis dan proletar. Borjuis memegang
kontrol atas alat produksi (sumber daya alam dan mesin), sedangkan proletar berkerja untuk
borjuis.

Bagi Marx yang besar di era revolusi industri, relasi antara borjuis dan proletar selalu
berakhir dengan opresi. Pihak yang memiliki sumber daya akan selalu menindas pihak yang
tidak memiliki sumber daya. Penindasan ini hanya akan berakhir apabila kelompok proletar
menyatukan kekuatan, dan merebut alat produksi dari borjuis[8].

Pemikiran Marx tentang kelas bertolak belakang dengan pandangan Durkheim tentang
masyarakat. Durkheim melihat masyarakat sebagai kesatuan yang harmonis, sedangkan Marx
melihat masyarakat sebagai arena konflik — konflik kelas tepatnya.

Pihak-pihak yang teropresi akan terus memperjuangkan kepentingannya, sedangkan pihak


yang mengopresi akan berusaha mempertahankan posisi mereka dengan berbagai cara. Bagi
Marx, pembagian kerja yang hierarkis merepresentasikan kesenjangan, karena dalam
pembagian kerja, terdapat pihak yang memiliki sumber daya ekonomi lebih banyak dari
pihak lainnya.
Max Weber
Pemikir klasik selanjutnya, Weber, memiliki sudut pandang yang sangat berbeda dari Comte,
Durkheim, dan Marx. Bagi Weber, realitas sosial bukanlah sesuatu yang dapat dipahami
lewat metode ilmiah. Sama seperti Marx, Weber menolak gagasan Comte dan Durkheim
terkait objek kajian sosiologi, yaitu fakta empiris. Bagi Weber, tidak ada sesuatu yang benar-
benar empiris, karena pemaknaan manusia tentang realitas sosial berbeda antara satu dengan
yang lainnya.

Namun, Weber juga tidak sepenuhnya setuju dengan Marx. Karena realitas sosial bersifat
subjektif dan dapat berubah, Weber menolak teori-teori yang mencoba menjelaskan
masyarakat secara keseluruhan, seperti teori Marx tentang kelas, dan teori Durkheim tentang
pembagian kerja.

Salah satu sumbangan terbesar Weber bagi sosiologi adalah konsep tidakan sosial. Jika
Durkheim menganggap tindakan sosial didorong oleh fakta sosial dan Marx menganggap
tindakan sosial sebagai manifestasi dari kelas sosial, maka lain halnya dengan Weber. Bagi
Weber, setiap tindakan individu yang ditujukan kepada individu, atau kelompok lain
memiliki makna yang sifatnya subjektif. Sosiologi, menurut Weber, adalah studi tentang
tindakan sosial, atau dengan kata lain, studi tentang makna dibalik tindakan individu dalam
konteks sosial[9].

Pemikiran Durkheim, Marx, dan Weber merepresentasikan tiga cara berbeda dalam melihat
masyarakat. Durkheim melihat masyarakat sebagai kesatuan yang harmonis, sedangkan Marx
memandang masyarakat sebagai arena konflik antar kelas. Weber, di sisi lain, fokus terhadap
makna tindakan sosial antar individu. Pemikiran ketiga tokoh inilah yang kemudian dijadikan
basis tiga pendekatan utama sosiologi. Pemikiran Durkheim melahirkan pendekatan
struktural fungsionalisme, pemikiran Marx melahirkan pendekatan kritis, dan pemikiran
Weber melahirkan pendekatan interaksionisme simbolik.

Sepeninggal Comte, Durkheim, Marx, dan Weber, sosiologi terus berkembang dan
melahirkan pemikir-pemikir baru. Layaknya masyarakat yang selalu berubah seiring
perkembangan zaman, sosiologi juga turut berubah dan mengambil bentuk yang berbeda
tergantung konteks sosial masyarakat yang dikaji. Sosiologi lahir sebagai respon dari
perubahan sosial, dan akan terus hidup selama fokus kajiannya, masyarakat, masih ada di
muka bumi.

Catatan kaki
[1] George Ritzer, The Wiley-Blackwell Companion to Sociology, (Oxford: Wiley-
Blackwell, 2003), hlm. 14.
[2] Auguste Comte, Cours Philosophie Positive, (Paris: Anthropos, 1969), hlm. 88.
[3] George Ritzer, Op.cit., hlm. 15.
[4] Auguste Comte, Op.cit., hlm. 656.
[5] Emile Durkheim, The Rules of Sociological Method, (London: Macmillan, 1982), hlm.
29–163.
[6] George Ritzer, Op.cit., hlm. 200.
[7] David Walker, Marx, Methodology and Science, (Hampshire: Ashgate, 2011), hlm. 39.
[8] George Ritzer, Op.cit., hlm. 109–113.
[9] Ibid., hlm. 142.
Bagaimana sejarah perkembangan sosiologi dimasa lalu?
Filsuf besar era Yunani Kuno, Plato dan Arostoteles telah menulis buku tentang bagaimana
mendesain masyarakat yang adil dan bahagia. Ilmuwan dari Timur Ibnu Khaldun menulis
tentang integrasi sosial (Asabiyah) dan peradaban manusia pada abad 14, sebelum Eropa
memasuki era Renaisans. Pada periode awal era Pencerahan di Eropa Barat, Thomas Hobbes,
John Locke, dan Jean Jacques Rouseau telah menulis tentang bagaimana mengorganisir
masyarakat agar hidup harmonis dalam satu sistem pemerintahan melalui istilah yang dikenal
dengan ’kontrak sosial’. Dengan demikian, jika sosiologi dipahami sebagai studi tentang
masyarakat, maka sosiologi sudah ada sejak zaman Yunani Kuno. Artinya, ’sosiologi’ sudah
ada sebelum istilah sosiologi ada.

Baca juga: Pengertian Sosiologi

Sejarah perkembangan sosiologi abad 19


Sejarah perkembangan sosiologi yang sering diajarkan adalah sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan modern yang saintifik atau ilmiah. Istilah ilmiah sendiri baru muncul pada abad
pencerahan di perancis. Pencerahan memiliki konotasi rasional dan empiris. Ilmu
pengetahuan bersifat rasional ketika berasal dari pikiran manusia, bukan metafisik dan
teologis. Ilmu pengetahuan bersifat empiris ketika bisa dicercap oleh indra untuk diuji
kebenarannya. Maka sosiologi sebagai ilmu pengetahuan ilmiah adalah sosiologi yang
rasional dan empiris.

Sebagai ilmu pengetahuan sosial yang rasional dan empiris, sosiologi berusia relatif lebih
muda ketibang ilmu sosial lainnya. Auguste Comte, tokoh intelektual Perancis dalam
bukunya ”Course de philosophie positive” (1838) mencetuskan istilah sosiologi yang saat itu
memiliki konotasi fisika sosial. Hukum tiga tahap yang dielaborasikan Comte menegaskan
bahwa sosiologi atau fisika sosial adalah ilmu yang berada pada tahap positif. Positif artinya
rasional, empiris, dan bisa diteliti dengan hukum-hukum ilmiah seperti pada ilmu alam.
Berada di tahap positif artinya meninggalkan unsur teologis dan metafisis. Dengan demikiran
sejarah perkembangan sosiologi modern pada awal mula ditemukannya adalah ilmu
pengetahuan yang positif. Metodologinya mengikuti hukum-hukum dalam ilmu alam oleh
karena itu dinamakan fisika sosial.

Pada tahun 1876, intelektual Inggris Herbert Spencer menulis buku pertama yang
menggunakan istilah ’sosiologi’ di judulnya ”Principle of Sociology”. Spencer adalah orang
yang percaya pada teori evolusi Darwin. Ia menerapkan hukum evolusi biologi pada
sosiologi. Spencer mengenalkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas
beberapa tahun kemudian. Pada tahun 1883, intelektual Amerika Lester F. Ward menulis
buku berjudul ”Dynamic Sociology”. Buku tersebut dianggap sebagai buku pertama tentang
desain tindakan sosial yang harus dilakukan masyarakat untuk menuju kemajuan. Berikutnya,
pada 1895, Email Durkheim menerangkan secara detail metodologi ilmiah sosiologi dalam
bukunya ”The Rules of Sociological Mehod”.

Sosiologi berkembang pesat di Eropa Barat pada abad 19. Perkembangan tersebut banyak
dipengaruhi oleh Revolusi Politik dan Revolusi Industri yang mengubah tatanan kehidupan
sosial secara dramatis. Minat kaum intelektual untuk mengetahui perubahan sosial
masyarakat saat itu menjadi poin penting dalam sejarah perkembangan sosiologi. Salah satu
tokoh berpengaruh dalam sosiologi adalah intelektual Inggris Karl Marx. Marx tidak pernah
mengklaim dirinya secara spesifik sebagai sosiolog. Ia studi dampak politik ekonomi dari
perubahan sosial di Eropa. Teorinya tentang perjuangan kelas memengaruhi perkembangan
teori sosiologi bahkan sampai hari ini. Teori-teori Marx melahirkan aliran Marxisme dalam
sosiologi. Perubahan sosial, dengan demikian menjadi faktor utama kelahiran sosiologi
sebagai ilmu pengetahuan modern.

Sejarah perkembangan sosiologi abad 20


Memasuki abad 20, terjadi ’migrasi tradisi ilmiah’ sosiologi dari Eropa Barat ke Amerika
Serikat. Sosiologi pada abad 20 berkembang pesat di Amerika Serikat. Perlu diperhatikan
pula konteks Amerika Serikat pada abad awal 20. Saat itu, industrialisasi dan urbanisasi
terjadi secara besar-besaran di perkotaan di Amerika Serikat. Akibat dari industrialisasi ini
adalah perubahan sosial dengan ekskalasi yang besar. Masyarakat desa dan kota terlihat
mencolok perbedaannya. Kondisi demikian memantik kaum intelektual Amerika untuk
mengkaji gejala-gejala sosial yang timbul akibat perubahan sosial. Sosiologi menjadi salah
satu studi ilmu sosial yang paling diminati.

Sejarah perkembangan sosiologi di Amerika Serikat pada periode sebelum Perang Dunia
pertama sampai dengan kisaran 1930an didominasi oleh aliran Chicago School dengan tokoh
utamanya Albion W. Small, yang sekaligus menjadi inisiator jurnal sosiologi paling prestisius
di dunia sampai saat ini, American Journal of Sociology. Pada fase berikutnya,
perkembangan Chicago School melahirkan tokoh besar Pitrim Sorokin yang banyak
berkontribusi memperluas aspek metodologi sosiologi. Sejumlah ahli sosiologi pasca Ward
muncul di Amerika Serikat, antara lain: W. I. Thomas, Robert E. Park, Charles Horton
Cooley, George Herbert Mead, Jane Addams, Charlotte Perkins Gilman, Anna Julia Cooper,
Marianne Webber, Beatrice Potter Webb, dan W. E. B. du Bois.
Baca juga Tokoh Sosiologi Modern: Daftar Lengkap

Perlu ditegaskan pula di sini, migrasi tradisi ilmiah sosiologi ke Amerika Serikat tidak lantas
membuat sejarah perkembangan sosiologi di Eropa Barat berhenti. Intelektual Jerman Max
Weber mengkritik metode ilmiah sosiologi yang muncul pada abad 19. Weber berpendapat,
metode ilmu alam tidak relevan diterapkan pada ilmu sosial. Ilmu sosial menjadikan manusia
sebagai subjeknya, sehingga terkandung unsur subjektivitas dalam ilmu sosial. Hal ini
berbeda dengan ilmu alam yang mengedepankan unsur objektivitas. Weber mengusulkan,
alih-alih menjadikan masyarakat sebagai objek penelitian, sosiologi seharusnya meneliti
tindakan-tindakan sosial yang bersifat subjektif.

Secara kontras, unsur objektivitas sosiologi justru berkembang di Amerika Serikat melalui
karya tokoh besar Talcott Parsons. Pada 1937 Parsons menerbitkan buku ”The Structure of
Social Action” yang secara signifikan berpengaruh pada perkembangan teori sosiologi.
Parsons banyak dipengaruhi oleh Dukheim dan Weber, tanpa menaruh perhatian sama sekali
pada Marx. Interpretasinya terhadap masyarakat Amerika Serikat mempengaruhi
perkembangan teori sosiologi Amerika beberapa tahun kemudian. Implikasinya, teori
Marxisme terkekslusi dari legitimasi ilmiah sosiologi Amerika. Parsons banyak
mengelaborasikan teori fungsionalisme struktural dalam menganalisis sistem sosial. Sosiologi
yang berkembang di Amerika pada periode Parsonian adalah sosiologi makro.

Perdebatan antara objektivitas-subjektivitas, agensi-struktur, dan mikro-makro dalam


sosiologi berlangsung sejak abad 20 sampai hari ini. Sejumlah aliran pemikiran ekstrem yang
condong pada subjektivitas mengkritik keras sosiologi pada awal berdirinya. Sosiologi
positivistik yang dicetus oleh Comte belakangan mulai ditinggalkan. Salah satu aliran
pemikiran paling keras yang mengkritik sosiologi Comte adalah The Frankfurt School, yang
terdiri dari intelektual kritis dari Jerman. The Frankfurt School menapaki periode
popularitasnya pada pertengahan abad 20. Kritik paling pedas yang dilontarkan adalah
sosiologi positivistik tidak berkontribusi apa-apa pada sejarah manusia karena mengabaikan
aspek transformatif dan emansipatoris yang seharusnya menjadi agenda sosiologi. Ilmu sosial
tidak bisa netral, melainkan harus berpihak cita-cita transformasi sosial.

Sejarah perkembangan sosiologi era kontemporer


Menjelang abad 21, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan modern mendapat serangan bertubi-
tubi dari aliran-aliran sosiologi yang menyandang label post-, seperti postmodernisme,
poststrukturalisme, postpositivisme, postkolonialisme, dan lain sebagainya. Memasuki abad
21, sejarah perkembangan sosiologi menuju variasi aliran pemikiran dan disiplin yang
semakin banyak. George Ritzer telah memformulasikan sebelumnya sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan yang berparadigma multiple. Artinya, cara pandang sosiologi tidak tunggal
sehingga sosiologi secara historis adalah ilmu pengetahuan yang luas cakupannya. Abad
millenium menandai sosiologi sebagai ilmu yang sangat cair dan luas. Objek kajian tidak
sebatas pada perubahan struktur sosial dalam konteks industrialisasi, urbanisasi, perdesaan
dan perkotaan, melainkan juga sampai pada aspek dinamika masyarakat yang sifatnya
kekinian. Seperti misalnya, sosiologi pada masyarakat informasi. Sosiologi abad 21 adalah
sosiologi kontemporer.
Indikasi semakin meluasnya ruang lingkup sosiologi bisa dilihat dari berkembang biaknya
subdisiplin yang menjadi cabang sosiologi. Beberapa diantaranya yang bisa disebutkan
adalah Sosiologi Digital, Sosiologi Turisme, Sosiologi Pemuda, Sosiologi Kesehatan,
Sosiologi Olah Raga, Sosiologi Sastra, Sosiologi Hukum, Sosiologi Ekonomi, Sosiologi
Gender, dan Sosiologi kontemporer lainnya. Kecenderungan lain yang bisa diidentifikasi
adalah semakin menjauhnya sosiologi dari tradisi positivisme. Sejarah perkembangan
sosiologi di era kontemporer cenderung menolak relevansi hukum-hukum alam pada ilmu
sosial. Saat ini, fakultas-fakultas ilmu sosial di seluruh dunia mulai mengajarkan sosiologi
terlepas dari bapak pendirinya. Tak heran, tokoh-tokoh seperti Michel Foucault, Pierre
Bourdieu dan Slavoj Zizek lebih diminati ketimbang Auguste Comte dan Emile Durkheim
yang memang makin usang.

Latar Belakang Munculnya Sosiologi

Istilah Sosiologi pertama kali dikenalkan oleh Auguste Comte (tetapi dalam catatan Sejarah,
Emile Durkheim lah yang melanjutkan ‘istilah’ tersebut dan menerapkannya menjadi sebuah
disiplin ilmu). Sosiologi berasal dari gabungan 2 kata dalam bahasa Latin yaitu Socius yang
artinya teman dan Logos yang artinya ilmu. Secara keseluruhan, Sosiologi berarti ilmu yang
mempelajari masyarakat.

Masyarakat sendiri adalah kelompok atau gabungan dari individu yang saling berhubungan,
berbudaya, dan memiliki kepentingan yang relatif sama. Sosiologi bertujuan untuk
mempelajari masyarakat dengan meneliti/mengamati dan menarik kesimpulan dari perilaku
masyarakat, khususnya perilaku atau pattern sosial manusia.

Sosiologi tergolong ilmu yang fleksibel. Hal ini bisa dilihat dari sifatnya yang tersusun dari
penelitian-penelitian ilmiah yang bersifat kaku namun bisa dikritik oleh publik karena
sosiologi adalah ilmu yang berisi tentang pengetahuan kemasyarakatan, oleh karena itu selalu
dinamis dan dapat diubah-ubah sesuai dan seiring dengan perkembangan yang terjadi di
dalam objek penelitiannya (masyarakat).

Sosiologi sendiri muncul akibat tekanan/ancaman yang dirasakan oleh masyarakat terhadap
hal-hal dan nilai-nilai yang selama ini sudah dianggap benar dan nyaman dalam tatanan
kehidupan mereka, khususnya dalam bidang sosial. Renungan sosiologis dimulai ketika
masyarakat mulai mengalami goncangan/krisis terhadap nilai-nilai dan prinsip hidup yang
mereka pegang, atau “threats to the taken-for-granted world”, – Berger dan Berger.

Menurut Max Weber, sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tindakan sosial. Namun,
hal ini tidak berarti semua tindakan yang dilakukan manusia tergolong tindakan sosial.
Tindakan sosial adalah sebuah tindakan yang dilakukan atas dasar perilaku orang lain dan
berorientasi pada perilaku orang lain. Dengan kata lain, tindakan sosial adalah tindakan yang
diambil menyangkut DAN mengarah pada orang lain.
Hasil definisi Max Weber itu digabungkan dengan berbagai macam definisi mengenai
Sosiologi dari ahli-ahli yang lain seperti Auguste Comte (Bapak Sosiologi), Emile Durkheim,
Karl Marx, Hegel, Simmel, Kant, Talcott Parsons dan lain-lain menjadi ilmu Sosiologi seperti
yang kita kenal selama ini.

Ruang Lingkup Sosiologi

Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan

Sosiologi awalnya merupakan bagian dari Filsafat (induk ilmu pengetahuan; Mother of
Scientarium). Filsafat sendiri merupakan ilmu yang mencakup berbagai macam ilmu
pengetahuan tentang masyarakat, sains, geografi dan lain-lain, namun seiring berkembangnya
zaman, ilmu-ilmu tersebut mulai memisahkan diri dan berkembang secara independen.
Sosiologi baru muncul pada abad ke-19 sebagai ilmu yang mempelajari masyarakat,
berdampingan dengan ilmu Psikologi yang mempelajari perilaku dan sifat-sifat manusia.

Sosiologi sebagai Ilmu Sosial

Sosiologi digolongkan sebagai ilmu sosial karena Sosiologi menggunakan masyarakat


sebagai obyek pembelajarannya. Lebih jelasnya, ilmu Sosiologi membahas tentang
masyarakat dari berbagai sisi dan sudut pandang yang beragam serta hubungan dan interaksi
antar individu dalam masyarakat tersebut.

Sosiologi dapat juga dikatakan sebagai:

1.suku-suku atau rumpun-rumpun sosial

2.ilmu yang mengkaji ‘kekuasaan’ secara lebih khusus dan mendalam

3.ilmu sosial yang lain

4.ilmu yang mengkaji tentang masyarakat.

Sosiologi dapat digolongkan sebagai ilmu pengetahuan karena telah memenuhi unsur-unsur
atau syarat-syarat ilmu yaitu:

1.Bersifat empiris; bisa di nalar, tidak tentatif.

2.Bersifat teoritis; menyusun kesimpulan dari pengamatan terlebih dahulu. Kesimpulan


tersusun dari kerangka-kerangka pikiran yang logis sehingga menjadi sebuah teori.

3.Bersifat kumulatif; dapat diperluas, diperbaiki, dan diperhalus.

4.Bersifat non-etis; tidak menghakimi tapi memperjelas fakta.

Kegunaan Ilmu Sosiologi bagi jurusan Hubungan Internasional

Hubungan Internasional adalah ilmu yang menggabungkan ilmu politik, antropologi, dan
berbagai macam ilmu sosial lainnya dalam satu wadah ilmu. Hal ini sangat penting karena
mahasiswa dan alumni jurusan Hubungan Internasionalakan terlibat dalam masyarakat secara
langsung setelah lulus nanti; terutama masyarakat kelas atas dan orang-orang yang
berpengaruh dalam dunia diplomasi.

Untuk itu diperlukan keahlian khusus untuk memahami masyarakat secara general,
mengamati tingkah laku masyarakat dan menarik kesimpulan serta melakukan analisis cara-
cara terbaik untuk mendekati suatu golongan masyarakat, tidak hanya masyarakat kalangan
atas namun juga masyarakat kalangan bawah. Seorang lulusan Hubungan Internasional
haruslah bisa melakukan pendekatan pada dua kelompok masyarakat agar visi dan misinya
sebagai seseorang yang dapat menjembatani komunikasi antar negara dapat tercapai.

Kegunaan ilmu Sosiologi bagi jurusan Hubungan Internasional terbagi 3:

1.Kegunaan bagi masyarakat di negara sendiri

Untuk dapat menjembatani hubungan negara sendiri dengan negara lain, langkah
pertama yang harus diambil adalah memahami perilaku masyarakat negara sendiri.
Hal ini penting karena dengan memahami perilaku masyarakat negara sendiri, seorang
alumni Hubungan Internasional akan mampu menganalisis situasi dan kondisi serta
mungkin SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, Threats) dari negara sendiri
untuk kemudian diolah lagi menjadi sesuatu yang bisa menjadi solusi atas hubungan
negaranya sendiri dengan negara lain.
Pertumbuhan sosial yang meningkat tajam juga menjadi salah satu alasan bagi para
mahasiswa dan alumni Hubungan Internasional untuk mempelajari Sosiologi, karena
dengan Sosiologi dapat dilakukan metode-metode pendekatan untuk meneliti
masyarakat yang kerap bertumbuh.

2.Kegunaan bagi masyarakat di negara lain

Insights atau pengetahuan yang dipunyai seorang sarjana atau alumnus Hubungan
Internasional akan sangat berperan dalam membangun komunikasi antara negaranya sendiri
dengan negara lain, karena dengan begitu masyarakat di negara lain – khususnya masyarakat
yang berhubungan secara diplomatis – akan mempunyai gambaran atas karakterisitik negara
tersebut. Dari insights atau hasil analisis sosiologis seorang mahasiswa atau alumnus
Hubungan Internasional juga dapat dibentuk opini publik negara lain terhadap negara sendiri.
Baik atau buruknya opini publik tersebut tergantung pada keahlian seorang mahasiswa atau
alumnus Hubungan Internasional dalam memberikan pengarahan tentang citra masyarakat
negaranya sendiri kepada negara lain. Jika mereka berhasil menyampaikan keadaan
masyarakat di negara mereka sendiri dengan baik, tentu kesan yang didapat akan baik juga.
Semakin baik kesan yang dibuat oleh si mahasiswa atau alumnus Hubungan Internasional
tersebut kepada masyarakat negara lain, semakin baik pula kesan yang akan ditangkap oleh
masyarakat negara lain tersebut.

3.Kegunaan bagi diri sendiri

Poin ini adalah poin terakhir sekaligus poin yang paling penting. Kegunaan belajar Sosiologi
terhadap seorang individu adalah kemampuan orang tersebut dalam menilai seseorang dan
menemukan cara yang tepat untuk berkomunikasi dengan orang lain akan terasah dengan
baik dan tentu saja skill semacam ini sangat berguna, baik untuk keperluan pribadi maupun
keperluan dalam melakukan pekerjaan.
Poin dari pentingnya belajar Sosiologi dalam jurusan Hubungan Internasional adalah karena
Sosiologi membantu kita memahami masyarakat secara bertahap serta mengasah kemampuan
analisis kita. Dalam Sosiologi, terkadang dibutuhkan quick analysis terhadap suatu perilaku
masyarakat dan hal itu menuntut solusi yang cepat pula, jadi otak kita terlatih untuk
melakukan quick analysis terhadap masyarakat – yang tentu saja akan mempercepat dan
menambah efisiensi terhadap pekerjaan atau riset yang sedang kita kerjakan.

2 faktor atau 2 peristiwa sejarah utama yang melatarbelakangi kemunculan sosiologi sebagai
ilmu pengerahuan adalah Revolusi Industri & Abad Pencerahan.
- Revolusi industri itu sendiri dimulai sekitar 700 tahun yang lalu, dan berlanjut sampai hari
ini. Dapat diartikan bahwa revolusi industri adalah kunci untuk memahami cara kita hidup
saat ini.
Contohnya: Penemuan Mesin Uap oleh James Wat

Auguste Comte, merupakan orang yang pertama kali mencetuskan Ilmu Sosiologi. Sering disebut
dengan "Bapak Sosiologi Dunia". Auguste comte mengemukakan konsep dasar pemikiran 3 tahap,
yaitu:
- Tahap Teokratis/Teologis: Dalam tahap ini masyarakat percaya akan kekuatan supernatural, dan
agama diatas segala-galanya.
- Tahap Metafisik: Pada tahap ini manusia mengalami pergeseran cara berpikir. Pada tahap ini,
muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan yakni alam. Segala kejadian di
muka bumi adalah hukum alam yang tidak dapat diubah.
- Tahap Positif: Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara
ilmiah berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris (pengamatan yg
telah dilakukan)

ada dua peristiwa sejarah utama yang memicu lahirnya sosiologi

1, revolusi industri,dan
2, pencerahan

*Revolusi industri mengacu pada perubahan manufaktur,pertanian,transportasi dan


pertambangan, yang mengubah hampir setiap aspek masyarakat pada 1300 tahun yang lalu.

*Pencerahan ialah Revolusi intelektual dan gerakan sosial yang berlangsung selama 100
tahun lebih yang terjadi di Eropa dan Amerika Serikat antara 1680 dan 1789

Sosiologi yang lahir pada tahun 1842 ditandai tatkala Auguste Comte menerbitkan bukunya
yang berjudul Positive-Philosophy. Banyak pemikiran dan teori Comte yang sangat tersohor
pada saat itu hingga sekarang. Menurut Comte, sosiologi harus dibentuk berdasarkan
pengamatan atau observasi terhadap masyarakat bukan hanya sekadar spekulasi-spekulasi
perihal masyarakat. Pemikiran yang paling termasyhur diantara pemikiran-pemikiran Pria yang
dilahirkan 215 tahun lalu ini adalah

pemikirannya tentang tiga tahap perkembangan intelektual. Yaitu, pertama tahap teologis atau
fiktif, kedua tahap metafisik yang merupakan perkembangan dari tahap pertama, dan ketiga
adalah tahap positif yang merupakan tahap terakhir dari perkembanagan manusia.

Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social
Dynamic. Social statics dimaksudkannya sebagai suatu study tentang hukum– hukum aksi dan
reaksi antara bagian– bagian dari suatu sistem sosial. Social statics merupakan bagian yang
paling elementer dari ilmu sosiologi, tetapi dia bukanlah bagian yang paling penting dari study
mengenai sosiologi, karena pada dasarnya social statics merupakan hasil dari suatu
pertumbuhan.

Bagian yang paling penting dari sosiologi menurut Auguste Comte adalah apa yang disebutnya
dengan social dynamic, yang didefinisikannya sebagai teori tentang perkembangan dan
kemajuan masyarakat. Karena social dynamic merupakan study tentang sejarah yang akan
menghilangkan filsafat yang spekulatif tentang sejarah itu sendiri.

Pembagian sosiologi kedalam dua bagian ini bukan berarti akan memisahkannya satu sama
lain. Bila social statics merupakan suatu study tentang masyarakat yang saling berhubungan
dan akan menghasilkan pendekatan yang paling elementer terhadap sosiologi, tetapi study
tentang hubungan– hubungan sosial yang terjadi antara bagian – bagian itu tidak akan pernah
dapat dipelajari tanpa memahaminya sebagai hasil dari suatu perkembangan. oleh karena itu,
Comte berpendapat bahwa tidaklah akan dapat diperoleh, suatu pemahaman yang layak dari
suatu masalah sosial tanpa mengguanakan pendekatan social dynamic atau pendekatan historis.

Bapak Sosiologi, anggapannya sosiologi terdiri dari dua bagian pokok, yaitu social statistics
dan social dynamics yaitu :

Teori-teori yang Dikemukakan Auguste Comte

Auguste Comte membagi sosiologi menjadi dua bagian yaitu Social Statics dan Social
Dynamic.

1. Social Dynamic

Social dynamic adalah teori tentang perkembangan dan kemajuan masyarakat, karena social
dinamic merupakan study tentang sejarah yang akan menghilangkan filsafat yang spekulatif
tentang sejarah itu sendiri.

1. The law of three stages (hukum tiga tahap)

Comte berpendapat bahwa di dalam masyarakat terjadi perkembangan yang terus-menerus,


namun perkembangan umum dari masyarakat tidak terus-menerus berjalan lurus. Ada banyak
hal yang mengganggu perkambangan suatu masyarakat seperti faktor ras, iklim, dan tindakan
politik. Comte berpendapat jawaban tentang perkembangan sosial harus dicari dari
karakteristik yang membedakan manusia dan binatang yaitu perkembangan inteligensinya.
Comte mengajukan tentang tiga tingkatan inteligensi manusia, yakni teori evolusi atau yang
biasa disebut hukum tiga tahap yaitu:

1) Tahap teologis

Dimulai sebelum tahun 1300 dan menjadi ciri dunia. Tahap ini meyakini bahwa segala sesuatu
yang terjadi di dunia ini dikendalikan oleh kekuatan supranatural yang dimiliki oleh para dewa,
roh atau tuhan. Pemikiran ini menjadi dasar yang mutlak untuk menjelaskan segala fenomena
yang terjadi di sekitar manusia, sehingga terkesan irasional. Dalam tahap teologis ini terdapat
tiga kepercayaan yang dianut masyarakat. Yang pertama fetisysme (semuanya) dan dinamisme
yang menganggap alam semesta ini mempunyai jiwa. Kemudian animisme yang mempercayai
dunia sebagai kediaman roh-roh atau bangsa halus. Yang kedua politeisme (memilih), sedikit
lebih maju dari pada kepercayaan sebelumnya. Politeisme mengelompokkan semua dan
kejadian alam berdasarkan kesamaan-kesamaan diantara mereka. Sehingga politeisme
menyederhanakan alam semesta yang beranekaragam. Contoh dari politeisme, dulu disetiap
sawah di desa berbeda mempunyai dewa yang berbeda. Politeisme menganggap setiap sawah
dimanapun tempatnya mempunyai dewa yang sama, orang jawa mengatakan dewa padi yaitu
yaitu dewi sri. Yang terakhir, monoteisme yaitu kepercayaan yang menganggap hanya ada satu
Tuhan. Dalam tahap teologis kami dapat mencontohkannya sebagai berikut bergemuruhnya
Guntur disebabkan raksasa yang sedang berperang.

2) Tahap metafisik

Tahap ini terjadi antara tahun 1300 sampai 1800. Pada tahap ini manusia mengalami pergeseran
cara berpikir. Pada tahap ini, muncul konsep-konsep abstrak atau kekuatan abstrak selain tuhan
yakni alam. Segala kejadian di muka bumi adalah hukum alam yang tidak dapat diubah.
Contoh, pejabat negara adalah orang yang berpendidikan dan telah mengenal ilmu pengetahuan
namun ia masih saja bergantung dan mempercayai kekuatan dukun.

3) Tahap positivisme

Pada tahap ini semua gejala alam atau fenomena yang terjadi dapat dijelaskan secara ilmiah
berdasarkan peninjauan, pengujian dan dapat dibuktikan secara empiris. Tahap ini menjadikan
ilmu pengetahuan berkembang dan segala sesuatu menjadi lebih rasional, sehingga tercipta
dunia yang lebih baik karena orang cenderung berhenti melakukan pencarian sebab mutlak
(Tuhan atau alam) dan lebih berkonsentrasi pada penelitian terhadap dunia sosial dan fisik
dalam upayanya menemukan hukum yang mengaturnya. Contoh, tanaman padi subur bukan
karena akibat kehendak dewi Sri melainkan akibat dari perawatan dan pemupukan yang baik.

1. The law of the hierarchie of the sciencies (hierarki dari ilmu pengetahuan)

Di dalam menyusun susunan ilmu pengetahuan, Comte menyadarkan diri kepada tingkat
perkembangan pemikiran manusia dengan segala tingkah laku yang terdapat didalamnya.
Sehingga sering kali terjadi didalam pemikiran manusia, kita menemukan suatu tingkat
pemikiran yang bersifat scientific. Sekaligus pemikiran yang bersifat theologies didalam
melihat gejala-gejala atau kenyataan-kenyataan.

1. The Law of the correlation of practical activities


Comte yakin bahwa ada hubungan yang bersifat natural antara cara berfikir yang teologis
dengan militerisme. Cara berfikir teologis mendorong timbulnya usaha-usaha untuk menjawab
semua persoalan melalui kekuatan (force). Karena itu, kekuasaan dan kemenangan selalu
menjadi tujuan daripada masyarakat primitif dalam hubungan satu sama lain. Pada tahap yang
bersifat metafisis, prinsip-prinsip hukum (khususnya hukum alam) menjadi dasar daripada
organisasi kemasyarakatan dan hubungan antara manusia. Tahap metafisis yang bersifat
legalistic demikian ini merupakan tahap transisi menuju ke tahap yang bersifat positif.

1. The Law of the correlation of the feelings

Comte menganggap bahwa masyarakat hanya dapat dipersatukan oleh feelings. Demikianlah,
bahwa sejarah telah memperlihatkan adanya korelasi antara perkembangan pemikiran manusia
dengan perkembangan dari sentimen sosial. Di dalam tahap yang teologis, sentimen sosial dan
rasa simpati hanya terbatas dalam masyarakat lokal. Tetapi dalam abad pertengahan, sosial
sentimen berkembang semakin meluas seiring dengan perkembangan agama Kristen. Abad
pertengahan adalah abad yang oleh Comte dianggap sebagai abad dalam tahap metafisis. Tetapi
dalam tahap yang positif/ scientific, social simpati berkembang menjadi semakin universal.
Comte yakin bahwa sikap positif dan scientific pikiraan manusia akan mampu
memperkembangkan semangat alturistis (rasa mengahargai orang yang lebih tinggi) dan
menguniversilkan perasaan sosial (social simpati).

2. Social static

Dengan social statics dimaksudkan Comte sebagai teori tentang dasar masyarakat. Comte
membagi sosiologi kedalam dua bagian yang memiliki kedudukan yang tidak sama. Sekalipun
social statics adalah bagian yang lebih elememter didalam sosiologi tetapi kedudukannya tidak
begitu penting dibandingkan dengan social dynamics. Fungsi dari sosial statics adalah untuk
mencari hukum – hukum tentang aksi dan reaksi dari pada berbagai bagian didalam suatu
sistem sosial. Sedangkan dalam sosial statics mencari hukum – hukum tentang gejala – gejala
sosial yang bersamaan waktu terjadinya. Didalam sosial statics, terdapat 4 doktrin yaitu doktrin
tentang individu, keluarga, masyarakat dan negara.

Teori Herbert Spencer

Teori Evolusi adalah kemungkinan untuk mengidentifikasi dua perspektif evolusioner utama
dalam karya Spencer. Pertama, teorinya terutama berkaitan dengan peningkatan ukuran
masyarakat. Masyarakat tumbuh melalui perkembangan individu dan penyatuan kelompok-
kelompok. Peningkatan ukuran masyarakat menyebabkan struktur makin luas dan makin
terdiferensiasi serta meninngkatan diferensiasi fungsi yang dilakukannya. Disamping
pertumbuhan ukurannya, masyarakat berubah melalui penggabungan, yakni makin lama makin
menyatukan kelompok-kelompok yang berdampingan. Dengan demikian Spencer berbicara
tentang gerak evolusioner dari masyarakat yang sederhana ke penggabungan dua kali lipat dan
penggabungan tiga kali lipat.

Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:

1. a) Tahap penggandaan atau pertambahan

Baik tiap-tiap mahluk individual maupun tiap-tiap orde social dalam keseluruhannya selalu
bertumbuh dan bertambah
1. b) Tahap kompleksifikasi

Salah satu akibat proses pertambahan adalah makin rumitnya struktur organisme yang
bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.

1. c) Tahap Pembagian atau Diferensiasi

Evolusi masyarakat juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-
beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan social (Stratifikasi). Masyarakat menjadi
terbagi kedalam kelas-kelas social.

1. d) Tahap pengintegrasian

Dengan mengingat bahwa proses diferensiasi mengakibatkan bahaya perpecahan, maka


kecenderungan negative ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan.
Pengintegrasian ini juga merupakan tahap dalam proses evolusi, yang bersifat alami dan
spontan-otomatis. Manusia sendiri tidak perlu mengambil inisiatif atau berbuat sesuatu untuk
mencapai integrasi ini. Sebaiknya ia tinggal pasif saja, supaya hukum evolusi dengan
sendirinya menghasilkan keadaan kerjasama yang seimbang itu. Proses pengintegrasian
masyarakat berlangsung seperti halnya dengan proses pengintegrasian antara anggota-anggota
badan fisik Indonesia.

Ciri Persamaan antara teori Auguste Comte dengan teori Herbert Spencer

Spenser sering sekali disamakan dengan Comte dalam hal pengaruh mereka terhadap
perkembangan teori sosiologi (J. Turner, 2001a), namun ada sejumlah perbedaan penting
antara keduanya. Sebagai contoh, tidak terlalu mudah mengategorikan Spencer sebagai seorang
konservatif. Sebaliknya, pada tahun-tahun awal, Spencer lebih tepat bila dipandang sebagai
seorang penganut politik liberal, dan ia mempertahankan unsur liberalisme ini sepanjang
hayatnya. Namun, juga benar bahwa Spencer tumbuh semakin konservatif sepanjang hidupnya
dan bahwa pengaruh dasarnya, sebagaimana Comte adalah konservatif. Spencer lebih tepat
dipandang beraliran politik liberal dan ia tetap memelihara unsur-unsur liberalisme disepanjang
hidup. Kekhasan Spencer sebagai seorang Darwinis Sosial, ia menganut pandangan evolusi
yang berkeyakinan bahwa kehidupan masyarakat tumbuh secara progresif menuju keadaan
yang makin baik dan karena itulah kehidupan masyarakat harus dibiarkan berkembang sendiri,
lepas dari campur tangan yang hanya akan memperburuk keadaan. Spencer menerima
pandangan bahwa institusi sosial , sebagaimana tumbuh-tumbuhan dan binatang, maupun
beradaptasi secara progresif dan positif terhadap lingkungan sosialnya. Spencer juga menerima
pandangan darwinian bahwa proses seleksi alamiah, “survival of the fittes” juga terjadi dalam
kehidupan sosial.

tokoh yang satu ini mamang hampir saja membingungkan kita, antara mana teori Herbert
Spencer dan mana teori Auguste comte karena keduanya memiliki kesamaan yang sulit
dibedakan. salah satu pandangannya adalah mengenai hubungan negara dengan persoalan
individual, menurutbya negara tidak perlu ikut campur dalam persoalan individu kecuali dalam
fungsi fasip untuk melindungi rakyatnya. Bahkan ia tidak tertarik terhadap bentuk reformasi
sosial, ia menginginkan kehidupan sosial berkembang bebas dari kontrol eksternal.

Spencer pantas dibilang sebagai “Darwinis Sosial” mengaju pada pandangan-pandangannya


teori evolusinya. Ia mempercayai akan kehidupan maasyarakat yang akan tumbuh progresif
menuju keadaan yang lebih baik, untuk itu masyarakat harus dibiarkan bekembang sendiri.
masyarakat harus dilepas dari campur tangan eksternal yang diyakini justru memperburuk
keadaan.

spencer menyetujui akan adanya evolusi darwin dalam konteks sosial, yaitu apabila dibiarkan
dengan sendirinya teori itu akan berlaku dimana individu yang layak bertahan hidup akan
berkembang, sedangkan individu yang yang tidak layak maka ia akan tersingkir.

letak perbedaan Spencer dengan Comte adalah, spencer memusatkan perhatiannya pada
individu, sedangkan Comte pada unit yang lebih luas, misalnya keluarga. namun dibalik itu
lebih banyak kesamaan diantara keduanya, keduanya memiliki orientasi dan interprestasi
yaang sama berkomitmen dalam sosiologi. disamping keduanya sama-sama memandang
masyarakat sebagai sebuah organisme. teori keduanya terinspirasi ilmu biologi mengenai
sistem organisme yang saling berhubungan.

berbedaan keduanya nampak jelas saat Spencer menolak gagasan comte tentang tiga tingkatan
cara berfikir menurut Comte karena comte dinilainya menjelaskan evolusi dalam dunia gagasan
bukan dari kehidupan nyata.

Faktor yang melatar belakangi munculnya sosiologi :


* perubahan masyarakat di Eropa barat akibat adanya revolusi industri.
* Revolusi Perancis yang membawa kemajuan bagi anggota masyarakat.

Dengan munculnya revolusi industri pola - pola pikir yang tradisional mulai ditinggalkan dan
muncullah teknologi yang baru yang mempermudah sekaligus meningkatkan produktivitas
masyarakat dan meingkatkan taraf hidup nya.
Dengan berakhirnya revolusi Perancis semua ornag berharap bahwa kesamaan , persamaan dan
kebebasan yang menjadi semboyan benar - benar terwujud.

Anda mungkin juga menyukai