Anda di halaman 1dari 6

MEMAHAMI TEORI KRITIS

oleh:

Maisya Khoirullia Afni (06010322010)

Resyafa Zahro Bintang Kharisma (06010322017)

A. Pengertian Teori Kritis

Filsafat yang dipraktikkan dan dikembangkan para pemikir mazhab Frankfurt dikenal
sebagai “teori kritis”.1 Mungkin yang paling umum dikenal adalah pemikiran filsafat Karl Marx
dalam membentuk teori kritis di Mahzab Frankfurt. Kedudukan teori kritis dalam kerangka sejarah
filsafat, sangat dipengaruhi oleh tiga pemikiran besar sekaligus, yakni Hegel1, Marx, dan Freud
(psikoanalisis).

Teori Kritis merupakan teori yang memahami keberadaan struktur-struktur sosial dan
politik yang ada sebagai proses dari intrasubjektifitas dan ilmu secara alamiah terkait watak politis
dengan kehidupan sosial dan politik. Teori kritis adalah sebuah gerakan pemikiran baru, untuk
menentang determinisme, pada pemikiran-pemikiran baru untuk memahami realitas sosial
kotemporer (masa kini). Teori Kritis berkaitan dengan cara-cara kondisi manusia mengalami
kendala dan berusaha menciptakan berbagai metode untuk memperbaiki kehidupannya.

Sejarah dan kemunculan teori kritis tak lepas dari dua aspek penting yang saling terkait.
Pertama terkait dengan kondisi lingkungan masyarakat atau negara di Eropa yang sedang
mengalami industrialisasi yang begitu masif dan kemajuan pesat sejak awal abad ke-19.2 Teori ini
lahir dari ketidakberesan dalam suatu sistem, atau disebut sebagai struktural inquality di dalam
suatu masyarakat, khususnya masyarakat Barat di bawah sistem kapitalisme. Teori kritis
mengkritik status quo dan berbagai bentuk penindasan yang ada dalam masyarakat. Kedua
pengaruh idialisme filsafat jerman, dimana Idialisme filsafat Jerman yang sangat dipengaruhi oleh
filsafat Immanuael Kant (1724-1804) yang terkenal dengan filsafat kritisisme.

1
Umar Sholahudin, “MEMBEDAH TEORI KRITIS MAZHAB FRANKFURT : SEJARAH, ASUMSI, DAN KONTRIBUSINYA
TERHADAP PERKEMBANGAN TEORI ILMU SOSIAL,” Journal of Urban Sociology 3, no. 2 (October 31, 2020): 71,
https://doi.org/10.30742/jus.v3i2.1246.
2
Penulis Buku, H Rochajat Harun, and Elvinaro Ardianto Cetakan, “KOMUNIKASI PEMBANGUNAN & PERUBAHAN
SOSIAL,” n.d., 5.
B. Sejarah Teori Kritis

Sejarah teori kritis tidak bisa dipisahkan dari sekelompok neo-Marxis Jerman yang tidak
puas dengan kondisi teori Marxian, khususnya kecenderungan ke arah determinisme ekonomi. Ia
merupakan sebuah aliran filsafat yang berkembang di Institut Fứr Sozialforschung (Lembaga
Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main, Jerman. Lembaga penelitian ini seringkali disebut sebagai
Mazhab Frankfurt (Die Frankfurt Schule), atau Teori Kritik Masyarakat.

Tokoh-tokoh mazhab Frankfurt di antaranya adalah Max Horkheimer (1895-1973), Pada


tahun 1930 ia menjadi direktur Institute Fứr Sozialforschung tersebut. Tokoh yang kedua adalah
Theodor Wiesengrund Adorno (1903-1969). Tokoh ketiga, Herbert Marcuse (1898-1979), adalah
figur yang paling terkenal terutama karena ide-idenya memberikan inspirasi dan arah kepada
gerakan “kiri baru” pada tahun 1960-an.

Tokoh-tokoh yang ada dalam Frankfurt School melancarkan kritik dan penentangan
terhadap kebijakan politik nasional-sosialisme. Apalagi kebanyakan anggotanya adalah keturunan
Yahudi. Karena itu, setelah sempat ditutup atas perintah pemerintah nasionalis-sosialis ketika
Hitler berkuasa pada tahun 1933, institut ini pindah ke New York, yang kemudian kembali lagi ke
Frankfurt pada tahun 1949.

Teori ini kemudian dikembangkan oleh generasi penerus seperti Oscar Negt, Klaus Offe,
Albrecht Wellmer, Alfred Schmitt, termasuk juga yang paling dikenal, Jurgen Habermas yang
mulai dikenal sejak tahun 1960-an sebagai filsuf Jerman yang paling terkemuka dengan
kecenderungan istilah tindakan rasional-bertujuan (kerja) dan tindakan komunikatif (interaksi).

C. Tujuan Dibentuknya Teori Kritis

Tujuan Teori Kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong
kebebasan, keadilan, persamaan. Teori kritis muncul disebabkan munculnya dominasi ilmu
pengetahuan, manusia, serta budaya yang diakibatkan oleh berkembangnya positivisme,
libraliseme, dan kapitalisme. Pemikiran teori sosial kritis Mazhab Frankfurt yang dipelopori oleh
Horkheimer, bagaimanapun, telah memberikan perspektif teoritis yang relatif baru (meskipun
tidak terlalu baru) dalam melihat, memahami dan menganalisis realitas sosial.
Perspektif teori sosial kritis ini telah memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
perkembangan teori sosial. Salah satunya adalah teori kritis telah berkontribusi pada
pengembangan kesadaran kritis dan emansipatoris praktik manusia dalam melihat realitas sosial
yang penuh dengan ketimpangan dan ketidakadilan.

D. Pemikiran Karl Marx dalam Teori Kritis

Teori Kritis mengadakan analisa baru terhadap masyarakat yang dipahami sebagai
“masyarakat kapitalis lanjut”.Yang direkonseptualisasi dalam pemikiran Teori Kritis adalah
maksud dasar teori Karl Marx, yaitu pembebasan manusia dari segala belenggu penghisapan dan
penindasan.b

Teori kritis memiliki 4 asumsi dasar, yakni:

1. teori kritis mengkritisi masalah kaum positivisme

2. teori kritis mengkritisi kaum empiris

3. menolak adanya kelas sosial

4. mengkritisi pengaturan sosial dengan melakukan dialog terbuka dalam bentuk-bentuk

komunitas politik.

E. Teori Kritis Postmodern

teori kritis modernis fokus sendiri dengan "bentuk otoritas dan ketidakadilan yang
menyertai evolusi kapitalisme industri dan korporasi sebagai sistem politik-ekonomi," teori kritis
postmodern berpolitik pada masalah sosial "dengan menempatkan mereka dalam konteks sejarah
dan budaya, untuk melibatkan diri dalam proses pengumpulan dan analisis data, dan menisbikan
temuan mereka."Artinya, itu dipandang sebagai kestabilan karena transformasi yang cepat dalam
struktur sosial. Akibatnya, fokus penelitian berpusat pada manifestasi lokal, bukan generalisasi
luas.

Penelitian kritis postmodern juga ditandai oleh krisis representasi, yang menolak gagasan
bahwa pekerjaan seorang peneliti adalah sebuah "gambaran obyektif yang stabil atau lainnya."
Sebaliknya, banyak sarjana postmodern telah mengadopsi "alternatif yang mendorong refleksi
tentang 'politik dan puisi' dari pekerjaan mereka. Dalam akun ini, diwujudkan, kolaboratif,
dialogis, dan aspek yang menjelaskan improvisasi penelitian kualitatif."

Istilah "teori kritis" sering disesuaikan ketika seorang penulis (mungkin terutama
oleh Michel Foucault) bekerja dalam istilah sosiologis, sampai menyerang ilmu-ilmu sosial atau
humaniora (sehingga mencoba untuk tetap "di luar" dari kerangka penyelidikan).

Jean Baudrillard juga telah digambarkan sebagai tokoh teori kritis sejauh ini karena ia
adalah seorang sosiolog konvensional dan kritis; apropriasi ini hanya kebetulan sama, memiliki
hubungan yang sedikit atau tidak ada sama sekali dengan Frankfurt School.

F. Teori Kritis dalam Pendidikan Islam

Berbagai macam tawaran yang diajukan teori kritis sebenarnya juga merupakan tawaran
yang dapat diaplikasikan dalam pendidikan Islam. Sebab, kondisi pendidikan Islam sampai saat
ini terasa sangat elitis dan jauh dari praxis emansipatoris. Beberapa fakta berikut dapat menjadi
identifikasi masalah.

Pertama, pendidikan Islam tampak sangat kapitalistik. Sebagai contoh, beberapa lembaga
pendidikan dengan embel-embel “Islam Terpadu” akan lebih mahal harga pendidikannya
dibanding sekolah negeri konvensional.

Dalam kondisi seperti ini, pendidikan Islam menjadi sangat kapitalistik bersifat elitis dan
eksklusif. Pendidikan hanya dapat diakses oleh orang-orang dengan kemampuan ekonomi yang
mapan dan memutuskan harapan dan kesempatan belajar bagi mereka yang berada tingkat
ekonomi rendah (miskin).

Padahal menurut Lebowitz, pengetahuan merupakan pengetahuan yang bersifat langsung


tanpa mediasi uang. Pengetahuan merupakan milik publik. Pengetahuan harus dibagi-bagikan
tanpa ada pembatasan. Usaha menjadikan pengetahuan sebagai hak milik pribadi dan sumber
keuntungan pribadi bertentangan dengan konsep dan etos pengetahuan.

Pendidikan sebagai usaha produktif mewujudkan kesetaraan dan keadilan seharusnya


menjadi konsen dan dasar pendidikan Islam. Sebab, dalam doktrin agama pun demikian. Seseorang
yang berkesempatan memperoleh ilmu tidak didasarkan atas kelas ekonomi, tetapi lebih pada
usaha mengenali dan menemukan pelajaran.
Pada tingkat lanjut, pendidikan Islam seharusnya mempresentasikan ciri manusia khalifah
Allah yang kreatif, etis, dan kritis. Tidak hanya secara normatif-teologis, tetapi juga pada tahap
empiris. Dalam bahasa teori kritis Habermas, kepentingan adalah kondisi berada di antara kutub
empiris dan transendental. Kepentingan manusia yang diapit oleh norma-norma etis.

Untuk mencapai predikat khalifah Allah tersebut, seorang muslim yang berpengetahuan
minimal melakukan empat hal. Pertama, terjun di tengah-tengah alam dan masyarakat sehingga
dapat memahami Allah, manusia dan alam sekitar. Kedua, ia berkewajiban membentuk lingkungan
bukan sebaliknya. Ketiga, mempunyai watak dan nilai mulia sebagai komponen fundamental dari
eksistensinya. Keempat, mempunyai kesadaran dan sifat kreatif untuk menjadikan bumi sebagai
surga kedua.

Ciri-ciri tersebut dalam Al-Quran digambarkan dalam Q.S. Al-Hujurat 49: 6. “Wahai
orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa berita, maka periksalah
dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Pendidikan Islam dalam teori kritik tidak bertugas sebagai doktrin semata, tetapi lebih pada
kesadaran fungsi khalifah yang emansipatoris. Kepentingan dogma agama, tidak menjadi
komoditas ulama untuk mendominasi kelompok lain, atau untuk melanggengkan pemikiran dan
ideologi tertentu.

Jika cita-cita kritis ini tidak benar-benar dipikirkan, maka akibatnya apa yang disebut
Marcuse sebagai “masyarakat satu dimensi” akan lahir, dan rasionalitas-irasionalitas menjadi
sesuatu yang lumrah, manusia hanya berpikir bahwa suatu doktrin benar walaupun sebenarnya
tidak rasional dalam tahap praxisnya. Dogma agama Islam sama sekali tidak menganjurkan
keadaan yang demikian.

Hal lain yang bisa dilihat dengan kacamata teori kritis dalam memandang pendidikan
Islam, adalah formalisasi persaingan untuk mendominasi. Peserta didik dalam pendidikan Islam
dituntut untuk mengungguli peserta didik yang lain dengan prestasi-prestasi akademik semata,
tanpa mempertimbangkan spirit untuk berprestasi bersama yang saat ini dikenal dengan
pendidikan kooperatif (cooperative learning).

Keadaan seperti ini terus menjadi-jadi, sehingga orang-orang menjadikan kondisi


unggulnya untuk menindas orang-orang yang tidak unggul. Pada puncaknya, mereka yang
memiliki kompetensi tertentu dan spesialis pada bidang tertentu, diglorifikasi dengan bayaran yang
jauh lebih mahal, walaupun tidak banyak memberikan kontribusi. Praktik semacam ini menjadi
suatu kepalsuan yang formal dan menjadi rasional dalam irasionalitas.

Anda mungkin juga menyukai