Iklan
Sudah sejak awal, filsafat berusaha memahami dunia dengan segala isinya. Salah satu
jalannya adalah dengan membongkar beragam kesalahan berpikir yang bercokol di kepala
manusia. Harapannya, dengan pemahaman yang tepat tentang dunia, kita lalu bisa
menjalani hidup yang bermutu sebagai manusia. Kita tidak lagi tertipu oleh beragam
pengetahuan palsu, maupun terjebak pada kesalahan yang berpikir yang tak perlu terjadi.
Di dalam filsafat Eropa, ada dua aliran besar yang amat berpengaruh. Mereka adalah
filsafat Yunani kuno dan Idealisme Jerman. Walaupun relatif singkat, namun dunia modern
tidak akan terbentuk seperti sekarang ini, tanpa pengaruh dari kedua aliran filsafat
tersebut.
Filsafat Yunani kuno sibuk merumuskan pendekatan untuk mencapai hidup yang baik
(good life). Untuk itu, dua hal kiranya penting, yakni pemahaman teoritik (Theoria) dan
kemampuan menerapkan pemahaman tersebut dalam hidup sehari-hari (Praxis).
Pemahaman teoritik mencakup metafisika, yakni pemahaman tentang prinsip-prinsip
terdalam dari segala yang ada, sekaligus epistemologi, yakni pemahaman tentang unsur-
unsur sekaligus batas-batas pengetahuan manusia. Sementara, filsafat terapan mencakup
etika, yakni diskusi kritis tentang moralitas, atau pemahaman baik dan buruk yang ada di
dalam masyarakat.
Sementara, Idealisme Jerman lebih berfokus pada upaya untuk memahami cara kerja
realitas, sekaligus prinsip-prinsip terdalam dari realitas tersebut. Ia bisa dilihat sebagai
salah satu bagian dari trilogi filsafat Jerman, yakni Idealisme Jerman, Marxisme dan Teori
Kritis Frankfurt. Saya akan menguraikan beberapa pemahaman dasar dari trilogi filsafat
Jerman ini. Saya akan melihat trilogi filsafat Jerman ini dalam kerangka pembongkaran
kesalahan berpikir (demitologisasi), sesuai dengan tujuan filsafat sejak awal.
Idealisme Jerman
Idealisme Jerman dimulai dengan filsafat Immanuel Kant. Ia menyentuh tiga bidang
kehidupan manusia, yakni pengetahuan, moralitas dan estetika atau penyelidikan tentang
keindahan dan pertimbangan. Sumbangan terbesar Kant adalah teorinya tentang dasar
universal bagi moralitas dan estetika. Kant juga menjadi peletak dasar epistemologi
modern tentang batas-batas serta dasar dari pengetahuan manusia. (Die Bedingungen der
Möglichkeit des Wissens)
Filsuf Idealisme Jerman kedua adalah Hegel. Di tangannya, kata idealisme sungguh
mewujud menjadi nyata. Idealisme adalah paham yang berpendapat, bahwa keseluruhan
kenyataan adalah ide semata. Di tangan Hegel, inti dan proses terjadinya kenyataan
dijelaskan dengan menggunakan ide Roh Absolut (absoluter Geist) sebagai titik tolak.
Roh absolut tersebut mengasingkan dirinya ke dalam sejarah, serta membentuk peradaban
manusia dan dunia sebagai keseluruhan. Metode Hegel yang terkenal adalah metode
dialektika, yakni metode untuk menjelaskan perubahan kenyataan dalam pertentangan
terus menerus, guna mencapai tingkat yang lebih tinggi. Hegel menggunakan konsep Roh
Absolut dan metode dialektika untuk menjelaskan segala sesuatu yang ada, mulai dari
seni, agama sampai dengan politik. Di tangan Hegel, Idealisme Jerman mencapai
puncaknya.
Marxisme
Karl Marx adalah murid Hegel. Dapat juga dikatakan, bahwa Marxisme merupakan turunan
langsung dari Idealisme Jerman. Marx mengambil konsep Hegel tentang dialektika dan
keterasingan (Entfremdung) dari Roh Absolut. Ia menggunakannya untuk melakukan
analisis sosial ekonomi pada jamannya. Yang mengalami dialektika dan keterasingan
bukanlah roh absolut, melainkan manusia dan masyarakat.
Awalnya adalah masyarakat feodal, dimana kaum bangsawan berkuasa, dan rakyat biasa
menjadi pekerja maupun budak. Keadaan pun berubah, karena kaum pekerja kini memiliki
sumber daya yang cukup besar. Kaum bangsawan terpuruk, dan digantikan oleh kaum
pemilik modal (kapitalis). Namun, kaum pemilik modal memiliki pekerja dalam jumlah
besar, guna menggerakan bisnisnya.
Keadaan pun berubah, karena kontradiksi di dalam sistem kapitalis menghasilkan banyak
masalah sosial politik. Kaum pekerja melakukan revolusi, dan menciptakan masyarakat
tanpa kelas. Tidak ada kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat ini. Bagi Marx, ini
adalah bentuk masyarakat terbaik.
Masyarakat kapitalis menciptakan keterasingan. Kaum pekerja terasing satu sama lain,
terasing dari karya mereka dan bahkan terasing dari diri mereka sendiri. Ini merupakan
sumber masalah yang nantinya menumbangkan sistem kapitalisme. Dialektika Marx
adalah dialektika mekanis, yakni perubahan sosial yang terjadi, karena masalah di dalam
sistem kapitalisme itu sendiri.
Pandangan ini dikritik oleh Lenin dan Lukacs. Mereka adalah para pemikir Neo-Marxis.
Mereka berpendapat, bahwa revolusi harus didorong oleh kesadaran revolusioner. Lenin
menempuh jalan konflik bersenjata untuk membawa perubahan sosial di Rusia. Lukacs
menegaskan pentingnya peran kaum intelektual di dalam menumbuhkan kesadaran
revolusioner di dalam diri kaum pekerja.
Sekolah Frankfurt
Sekolah Frankfurt dimulai dengan tiga pemikir Jerman, yakni Adorno, Horkheimer dan
Marcuse. Adorno dan Horkheimer menulis sebuah buku dengan judul Dialektik der
Aufklärung. Isinya adalah analisis tentang kegagalan rasionalitas di dalam menciptakan
masyarakat beradab. Sebaliknya, rasionalitas justru dipergunakan untuk menciptakan
totalitarisme kejam yang baru, yakni lahirnya rezim NAZI di Jerman sebelum perang dunia
kedua.
Rasionalitas telah disempitkan menjadi alat untuk kekuasaan dan penindasan. Inilah yang
disebut sebagai instrumentelle Vernunft, atau rasionalitas instrumental. Ia menjadi budak
justru dari kekuatan-kekuatan irasional manusia. Ia kehilangan daya kritisnya, dan justru
menjadi sumber masalah baru di dalam masyarakat modern.
Jika rasionalitas sudah mengalami kebuntuan, lalu apa jalan keluar yang bisa diambil?
Habermas, pemikir Sekolah Frankfurt generasi kedua, melihat sisi lain dari rasionalitas,
yakni rasionalitas komunikatif (kommunikative Vernunft). Dengan ini, Habermas
mengembangkan teori komunikasi untuk analisis sosial sekaligus merumuskan teori
demokrasi. Komunikasi, baginya, merupakan jalan penyatu masyarakat majemuk,
sekaligus pijakan untuk membuat kebijakan yang sah.
Sekolah Frankfut berlanjut di tangan Axel Honneth dengan teori politik pengakuannya.
Baginya, sejarah perjuangan sosial adalah sejarah perjuangan untuk memperoleh
pengakuan (Der Kampf um Anerkennung). Setiap orang dan kelompok berjuang untuk
memperoleh pengakuan akan keberadaannya. Di dalam pengakuan terkandung pula
penghormatan satu sama lain yang akan membawa pada perdamaian.
Trilogi filsafat Jerman, yakni Idealisme Jerman, Marxisme dan Sekolah Frankfurt, tetap
setia dengan tujuan awal filsafat, yakni membongkar kesalahan berpikir. Proses ini bisa
juga disebut sebagai demitologisasi, yakni upaya untuk membongkar mitos-mitos yang
tersebar di kehidupan manusia. Mitos adalah kesesatan berpikir yang menghasilkan
kesalahan perilaku dan kesalahan pembuatan keputusan.
Idealisme Jerman membongkar mitos soal pengetahuan dan moralitas. Pengetahuan tidak
berpijak pada dunia obyektif, melainkan pada unsur-unsur penting yang terletak di dalam
diri manusia. Moralitas tidak lagi berpijak pada iman dan agama, melainkan pada
rasionalitas yang bersifat universal. Hegel, misalnya, juga mengembangkan sebuah sistem
filsafat yang menawarkan cara pandang baru terhadap keseluruhan realitas.
Marx juga melakukan proses demitologisasi besar dalam bidang politik dan ekonomi.
Masyarakat kapitalis justru menciptakan ketidakadilan besar yang akan menghancurkan
masyarakat. Analisis Marx tentang dialektika kelas dan konsep alienasi membongkar krisis
yang tertanam dalam di kapitalisme klasik. Sampai sekarang, analisis Marx masih amat
relevan untuk memahami krisis ekonomi politik global.
Sekolah Frankfurt membongkar kesalahan berpikir soal rasionalitas. Ada unsur lain dari
rasionalitas yang bisa memperbaiki masyarakat, yakni unsur komunikatif. Sekolah
Frankfurt tetap bergerak di ranah normatif untuk menawarkan jalan keluar dari berbagai
krisis yang terjadi, mulai dari teori komunikasi, politik pengakuan dan hak atas justifikasi.
Proses demitologisasi terus berlangsung, guna menunjukkan kesalahan berpikir yang
berkembang di masyarakat, serta mengajukan jalan keluar yang mungkin dilakukan untuk
menciptakan kebaikan bersama.
Iklan
BAGIKAN INI:
Suka
RELATED:
DITERBITKAN OLEH
April 11, 2018 Reza A.A Wattimena filsafat. filsafat Jerman, idealisme Jerman, marx, marxisme,
Sekolah Frankfurt, teori kritis frankfurt
8 tanggapan untuk “Trilogi Filsafat Jerman dan Demitologisasi Kehidupan”
zegavons
April 11, 2018 pukul 10.16
Suka
Suka
Anonim
April 11, 2018 pukul 10.16
Mantap sekali tulisannya mas Reza, yang dibahas kali ini adalah filsafat jerman.Bagaimana
dengan filsafat Buddhisme dari India, filsafat Taoisme dari China, dan filsafat lokal dari
Indonesia? Demitologisasi apa yang tersampaikan melalui ketiga filsafat tersebut? Saya
sendiri sangat tertarik pada Filsafat Tao, semoga mas reza dapat membuat ulasan baru
mengenai taoisme.
Suka
Suka
ithinkiminlovewithyou
April 11, 2018 pukul 10.16
Kadang saya takjub jika membaca pemikiran rasional dari filsafat kontemporer dan kajian-
kajian humaniora. Silakan aja sih siapa saja berhak berpendapat. Namun yang saya heran,
apa ngga ada keinginan untuk mengintip tetangga sebelah. Misalnya temuan-temuan
empirik d bidang biologi dan psikologiner, yg hasil-hasilnya tak terduga. Misalnya bahwa
mitologi justru merupakan bagian tak terpisahkan dari evolusi; atau bahwa kode moral itu
terbentuk bottom-up (entah itu lobster, tikus, simpanse ataupun manusia) dan bukan up-
bottom (oleh suatu kekuasaan yang memaksa). Wajar sih, karena ada sekat-sekat
ideologis yg membuat orang tidak secara mudah berpindah-pindah perspektif.
Suka
ithinkiminlovewithyou
April 11, 2018 pukul 10.16
Maaf typo karena autocorrect, biologi dan psikologi evolusioner, maksud saya.
Suka
Suka
Terima kasih. Saya sendiri banyak belajar politik komparatif, neurosains dan kajian
budaya. Moral memang selalu terbangun dari bawah. Namun, konsep mitos memiliki
banyak arti. Apa arti mitos menurut anda?
Suka
Blog di WordPress.com.