Anda di halaman 1dari 16

PAMFLET SUKINAH

Soesilo Toer
Sebagai bentuk dukungan perjuangan
menolak Pabrik Semen
Pengantar

Semua orang yang melek hati nuraninya di dunia


ini paham negara ada karena ada warga. Sebaliknya tak
mungkin ada negara tanpa warga. Sedang warga tanpa
negara bisa hidup. Jadi jelas bahwa negara/pemerintah
bukan kebutuhan yang mutlak diperlukan oleh warga.
Namun kelihatannya dogma/doktrin itu, semakin modern
masyarakat, semakin kabur, bahkan kontradiktif, seolah
negara/pemerintah ada demi warga.
Di luar konteks di atas, harus mutlak dipahami
bahwa petani adalah golongan pencipta nilai tambah di
atas dunia ini. Tanpa mereka dunia ini sudah runtuh
sejak mula. Walau begitu, kemutlakan petani di atas
dunia ini tidak diikuti oleh pengakuan sebagai pahlawan
lingkungan, justru selamanya menjadi korban
keserakahan, kerakusan manusia. Ingat peristiwa Revolusi
Industri I di Inggris. Petani diusir dari lahan mereka dan
hijrah ke kota lain sebagai transmigran. Ada sindiran sinis
efek samping dari revolusi tersebut: Seperti biri-biri yang
memakan manusia.
Di Rusia juga pernah terjadi pemberontakan petani
pada permulaan abad ke-18 yang dipimpin oleh Pugachov.
Cerita tentang pemberontakan petani tersebut ada dalam
novel Putri Kapten karya Aleksander Pushkin.
Pemberontakan petani itu adalah perlawanan terhadap
kekuasaan tsar (kaisar) yang tiran. Di Indonesia, petani
ditindas Orde Baru sebagai BTI (Barisan Tani Indonesia)
yang pro-komunis.
Dewasa ini petani ditindas oleh orde yang berkuasa
dengan proyek-proyek dan mega proyek perusahaan asing
yang jelas mencari untung pabrik semen. Penggalian
minyak, batu bara, penggusuran petani yang tanahnya
diubah menjadi perkebunan kelapa sawit, karet dan
segulang lainnya, termasuk perkembangan perkotaan.
Belakangan ini, ada peristiwa Pegunungan Kendeng akan
dijadikan sebagai basis pembangunan pabrik semen.
Saya sebagai Penasihat Blora Hijau turut
prihatin dan menolak apa pun atau siapa pun yang
berusaha merusak atau mengeksploitasi Pegunungan
Kendeng. Pegunungan Kendeng adalah pelindung
lingkungan alami yang vital. Lembaga Kajian Budaya dan
Lingkungan Pasang Surut sejak lama mendukung
masyarakat Samin di Sukolilo, Pati Selatan, lebih dari
sepuluh tahun, yang menolak pendirian pabrik semen di
sana.
Lembaga Kajian Budaya dan Lingkungan Pasang
Surut dan Pataba Blora juga menolak dibangunnya pabrik
semen di Rembang. Orang-orang yang setuju itu hanya
memikirkan keuntungan sesaat, tidak ingat bahwa nanti
akibat kemudian hari akan menimbulkan bencana dan
petaka yang tak terbayangkan. Ingat kasus Lapindo
Brantas! Seperti apa efek yang ditimbulkan sampai hari
ini. Bencana yang jelas-jelas dibuat oleh manusia, oleh
para pejabat, kemudian diubah menjadi bencan alam
demi untuk menghindar dari tanggung jawab. INI EDAN!
Jangan hendaknya kasus Lapindo Brantas terulang
di Pegunungan Kendeng. HARUS DILAWAN!
Selamat berjuang hai kaum tani Kendeng. Kalian
adalah pejuang sejati seperti kata tokoh nasional Tan
Malaka: tidak ada yang menyuruh, tidak dibayar, tanpa
pamrih. Itu adalah tugas muliamu sebagai manusia dan
juga untuk manusia di atas dunia ini! Seperti kata penyair
Wiji Tukul, hanya lima huruf senjatamu untuk menang:
LAWAN!!!
I
Republik Pantat

Republik Pantat adalah akronim dari PAra tokoh


Negeri yang TAk Toleran/Tanggap situasi. Itu kenyataan
dewasa ini sejak lahirnya Orde Baru yang berlanjut sampai
kini. Soekarno yang memproklamasikan Republik
Indonesia tahun 1945 atas desakan para pemuda,
berkeinginan membangun Indonesia setelah kemenangan
Sekutu melawan kekuasaan fasis JIN (Jerman-Italia-
Nippon) demi kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Ini
utopia, karena Soekarno seperti berjalan dalam gelap
lorong lubang hitam yang lebih hitam dari warna hitam.
Namun ia telah berusaha keras selama 20 tahun dengan
segala risiko dan kelemahan pribadi sebagai manusia.
Lebih lima kali percobaan pembunuhan oleh
kegarangannya dalam langkah dan pidatonya; pada tahun
1952 oleh seorang jenderal; tahun 1953 pada hari besar
Idul Adha di Masjid Istana ketika ia akan ditembak dari
belakang; pada tahun 1954 ketika terjadi Peristiwa Maukar
ketika seorang pilot AURI dengan pesawat Mustang
memberondong istana dengan bren; pada tahun 1954
penggranatan Soekarno yang dikenal dengan Peristiwa
Cikini, di mana beberapa orang ibu (di antaranya ada yang
hamil) tewas dan ratusan murid TK/SD itu tewas dan luka;
yang terakhir misteri drama kudeta merangkak yang
sampai sekarang belum terkuak.
Yang jelas, semua itu bukan tujuan Soekarno
membangun negeri ini. Itu pihak lain (the other) yang
tidak sepaham. Sebagian dari mereka bahkan belum lahir
pada tahun 1945. Namun kemudian merasa menganggap
diri mereka sebagai yang paling berjasa. Memang itu hak
mereka, tapi harus diingat, hidup bermasyarakat harus
juga mengakui hak orang lain. Jangan pongah seperti
Napoleon Bonaparte, yang lahir di Kepulauan Korsika,
ketika menjadi Kaisar Prancis: Letat seis moi. (Negara
itu saya).
Katakan tidak sekasar Napoleon Bonaparte, tapi
dalam tingkah laku dan perbuatan mereka melebihi
Napoleon Bonaparte. Contoh dalam kasus Panama Paper,
ada simpanan tokoh negeri ini di luar negeri (Capital
Flight) berjumlah lebih besar dari seluruh pinjaman RI
dari luar negeri dalam kurun waktu tertentu. Jadi negeri
yang begini makmur, tapi miskin ini, dibuat lebih terpuruk
lagi oleh perbuatan para tokohnya yang notabene adalah
wakil dari rakyat, yang dipercaya untuk meringankan
beban hidup mereka. Para wakil rakyat justru lupa diri dan
memperkaya diri sendiri. Secara teori mereka hidup harus
selaras dengan keadaan masyarakat, atau yang lebih benar,
lebih miskin lagi. Namun ini justru terbalik.
Korupsi dan pemborosan uang negara dilakukan
oleh wakil-wakil yang ditunjuk oleh warga. Sebagai
contoh, untuk pewangi kakus/wc Gedung DPR/MPR saja
biayanya milyaran, padahal di Ibu Kota saja banyak warga
yang tidak mempunyai atau tidak kuat membangun WC
atau kakus.
Yang pasti, antara tugas yang diemban dan
tindakan yang dilakukan para wakil rakyat tidak sesuai. Itu
yang membuat negeri ini adalah bak Republik Pantat, di
mana para pejabatnya tidak taat atau tanggap terhadap
situasi dan kondisi zamannya.
Perilaku buruk para wakil rakyat ini harus
dihentikan. Salah satu caranya adalah dengan mencabut
mandat rakyat yang diberikan kepada mereka, lengserkan
dan kalau perlu habisi saja mereka.

II
Warga & Negara

Ada warga maka ada negara. Itu dogma atau


doktrin. Dan tidak bisa lain. Sebaliknya adalah utopia
tak mungkin. Namun warga bisa hidup tanpa perlu
membuat/membangun negara. Pembangunan negara oleh
warga karena motivasi tertentu. Namun itu tidak mutlak.
Dan, mereka yang menerima mandat itu merasa warga
unggulan dengan segudang status, gelar, dan berbagai
alternatif lain. Yang jelas, mereka tidak mengerti atau
tidak mau mengerti atau masa bodoh dengan tugas yang
dipercayakan kepadanya.
Salah satu bukti nyata, beberapa waktu lalu
masyarakat Indonesia merayakan Proklamasi ke-72 tahun.
Namun mana doktrin negara secara benar menunaikan
tugasnya? Bahkan membangun negara primer saja tak
mampu, apalagi yang namanya membangun negara
sekunder dan lebih-lebih tersier. Barangkali hanya ada
dalam kitab-kitab suci, artinya juga utopia belaka. Cuma
khayalan! Karena para tokoh dalam lingkup
negara/pemerintah mendapat mandat, baik langsung
maupun perwakilan, dari rakyat/warga, maka mereka
harus kembali ke tugas yang diembankan kepadanya. Dan
bukan yang lain. Mereka secara etika dan nyata harus
kembali ke jalan yang benar. Kalau tidak, kembalikan
mandat itu kepada yang memberi sebelum rakyat
kehilangan kesabaran!

III
Kenalilah Dirimu!

Kata-kata mutiara berjumlah 15 huruf dari filsuf


jalanan, Socrates, lebih 24 abad lalu itu abadi
ketenarannya. Ia juga menghasilkan sejuta tafsir
tergantung situasi, kondisi, dan toleransi yang menjadi
cikal-bakal lahirnya istilah filosofi dialektika.
Mengenal diri sendiri adalah persoalan yang paling
mendalam dalam diri seorang pribadi. Yang jelas, dalam
pengalaman hidup lebih 80 tahun di dunia ini, hanya
beberapa gelintir orang yang menjawab benar. Sebagian
besar bahkan tak sampai memikirkan hal tersebut walau
mereka mempunyai sederet gelar perguruan tinggi. Buat
mereka hakikat hidup tidak penting, yang utama bagi
mereka adalah nikmat hidup. Nikmat hidup itu sama bagi
mereka sebagai hakikat hidup. Itu benar karena mereka
pongah terhadap keberhasilan hidup, yang diuber dalam
bentuk materi. Dan itu pun hak mereka. Biasanya mereka
adalah para pejabat wakil dari warga, tapi justru yang
tidak mengerti hakikat hidup. Warga tak lebih dari
sampah. Itulah paradoks kehidupan masyarakat modern.
Pejabat yang ditunjuk oleh rakyat berfungsi sebagai abdi
rakyat, pelayan masyarakat. Kenyataannya kebanyakan
justru mereka minta dilayani, dihormati, bahkan sampai
disembah bak manusia luar biasa. Itu berarti mereka tidak
mengenal dirinya sendiri. Dan, karena tak mengenal diri
sendiri, mereka pasti tak mengerti hakikat dirinya sebagai
manusia. Dan, pejabat atau tokoh penguasa oleh Plautus,
seorang pemain panggung, diistilahkan dengan no homo
bukan atau belum manusia.
Benar ada kata mutiara lain yang bicara tentang
dialektika fanta rei semua mengalir, semua berubah.
Karena waktu berubah, manusia berubah dari generasi ke
generasi, tapi ada yang tetap, tidak berubah, yaitu hakikat
manusia itu sendiri.
Ada pepatah sindiran yang mengatakan, Aku tahu
Anda dari pertanyaan Anda! Bisa juga dari jawaban
Anda, atau yang lain bahkan sampah dapur Anda. Orang
yang bicara seperti ini pasti tahu hakikat dari dirinya
sendiri. Kalau dia tahu hakikat dirinya, dia sudah pasti
manusia seutuhnya. Dari situ kita tahu diri orang lain,
yang juga merupakan hakikat dirinya. Saling tahu menuju
saling mengerti, saling menghargai, dan akhirnya saling
kerja sama. Dan bukan saling membenci dan saling
dengki. Tahu hakikat diri cenderung menuju kepada sikap
bijak menghargai orang lain, seperti menghargai diri
sendiri.
Kalau dilihat dari sikap para pejabat, segera dapat
diambil kesimpulan soal hakikat. Lihat bagaimana mereka
membuat langkah, bicara, membuat kebijakan untuk
diterapkan. Semua tanpa memperhatikan jati diri sendiri.
Yang utama asal bapak senang dan asal diri kita tetap
terpakai dalam kekuasaan, karena mereka tak mengenal
diri sendiri.

IV
Tugas Manusia
adalah Menjadi Manusia

Ini adalah ucapan seorang tokoh yang tahu hakikat


dirinya sebagai manusia. Ia tidak peduli risiko hidupnya
sendiri, bahkan terusir dari tanah air dan disebut sebagai
pengkhianat bangsa sendiri. Yang penting, ia tahu hakikat
dirinya sendiri dan tahu bahwa keadilan adalah salah satu
prinsip hidup manusia sejagat. Orang yang mengatakan ini
adalah Multatuli dari Belanda. Ia kecewa terhadap tanah
airnya di mana penguasanya memeras bangsa lain
bangsa Jawa. Buat Multatuli itu tidak etis, tidak
manusiawi, tidak adil, dan tidak bisa dibiarkan. Harus
dilawan. Dan ia melawan: melawan kekuasaan tanah air
sendiri. Itu orang lain, bangsa lain, ras lain.
Lalu bagaimana kalau keadaan seperti itu
dilakukan oleh pejabat sendiri, bangsa sendiri? Tak boleh
dibiarkan! Harus dilawan! Keadaan sudah tidak bisa
ditunggu, tapi harus dituju dan diburu. Untuk suatu
keadilan orang harus berani. Tanpa keberanian menusia
tak lebih dari ternak, kata Pramoedya Ananta Toer. Dan,
Pramoedya Ananta Toer memang penerus perjuangan
yang telah dirintis oleh Multatuli. Dan, untuk menjadi
manusia tidak mengenal bangsa, tanah air, negara. Lebih-
lebih Cuma jabatan, kedudukan. Semua manusia di dunia
harus mengerti bahwa manusia punya kedudukan sama,
walau ia manusia tunggal dengan bakat dan kecerdasannya
masing-masing. Itu adalah tugas manusia menjadi
manusia. Dan, semua penyimpangan terhadap hakikat
harus dilawan. Kalau diri sendiri tidak melawan, kita
sendiri mengingkari kedudukan sendiri pribadi sebagai
manusia.

V
Kata adalah Senjata

Salah satu cara untuk menjadi manusia sejati


adalah berjuang. Dan, berjuang tidak selalu harus dengan
bedil. Pejuang sejati tak perlu membuat lamaran dengan
daftar riwayat hidup. Semua bisa menjadi pejuang, dan
semua bisa jadi pahlawan. Pahlawan bukan milik
golongan orang tertentu.
Cara yang paling mudah menjadi pejuang adalah
bersenjatakan kata. Sederhana, tapi punya pengaruh
mendalam dan abadi. Kata adalah senjata yang tak ada
duanya. Dan, siapa saja bisa jadi pejuang; petani, buruh,
mahasiswa; semuanya tanpa batas umur, ras,
nasionalisme, dan keyakinan. Pejuang dan pahlawan
bukan monopoli kelas tertentu, bukan lapisan masyarakat
tertentu dan berpredikat tertentu pula. Tidak, pejuang dan
pahlawan milik siapa pun yang berjuang

VI
Saya Berpikir
Maka Saya Ada

Ketidakadilan adalah proses buatan manusia.


Karena hanya buatan manusia, maka ia pun harus dilawan
oleh manusia juga. Dan, ketidakadilan itu dibuat oleh
orang yang berpikir. Dia berpikir maka dia bisa
menciptakan ide ketidakadilan. Namun keadilan itu milik
semua orang, tanpa kecuali. Kalau ada orang yang
berusaha menciptakan lain, itu pasti penyimpangan;
disadari atau tidak, terselubung atau terang-terangan. Dan,
proses seperti itu harus dihindari, dilawan juga oleh orang-
orang yang nyata dan berpikir pula. Seperti kata Descartes,
yang sudah menjadi moto mendunia, tapi salah kaprah.
Ia mengatakan, Saya berpikir maka saya ada.
Menurut saya, Saya ada maka saya berpikir. Namun
biarlah itu menjadi suatu moto yang bernuansa apologetik,
karena pamflet ini bukan untuk memperdebatkan suatu
moto, melainkan untuk mencari solusi demi dunia masa
datang yang penuh dengan ancaman kehancuran yang
dilakukan oleh para penguasa yang rakus dan tak punya
hati nurani. Karena kami lahir dan belum mati, dan bahwa
bencana mengancam, kami berusaha menjadi manusia
manusia yang mencoba menjadi manusia demi manusia
dan bumi manusia masa datang. Itu karena kami berpikir,
dan pikiran itu kita wujudkan dengan kata kata sebagai
senjata dan bukan yang lain!

VII
Kasus Patmi

Ketika saya menjadi pejuang NKRI tahun 1962,


Patmi belum lahir. Pejuang di sini berdasarkan konotasi
Tan Malaka yang berjuang demi Republik Indonesia dan
tewas di tangan-tangan manusia yang belum jadi menusia,
tapi jadi penguasa di kaki Gunung Wilis. Tan Malaka
mengatakan, Pejuang itu tidak ada yang menyuruh, tidak
minta dibayar dan tak ada pamrih apa pun.
Patmi yang lahir pada 30 Agustus 1969 itu adalah
bukan pejuang kelas lokal, kelas nasional, dan regional,
melainkan pejuang kelas dunia. Ia lahir dari keluarga kelas
dunia, tumbuh menjadi pejuang kelas dunia, dan tewas
demi perjuangannya memanusiakan manusia sedunia.
Mengapa? Ya, karena Patmi adalah petani turun-temurun.
Jadi petani adalah pilihan. Dan, petani adalah kelompok
atau lapisan masyarakat yang memberi makan seluruh
dunia. Karena petani adalah pencipta nilai tambah, nilai
lebih. Dan, kesimpulan itu tak terbantahkan oleh dalih
sebagus apa pun. Tak terbantahkan!!!
Patmi sadar diri bahwa ia adalah pejuang
kemanusiaan sejagat. Soal harta ia tak peduli, ia peduli
atas status dirinya. Dan ia tewas, bukan meninggal. Tewas
sebagai pejuang kemanusiaan sejagat. Mereka yang tak
setuju pendapat ini jelas no homo dan tidak punya hati
nurani, tidak mengerti hakikat dirinya. Lebih nyata lagi
ketika para keluarga ikhlas, dan mereka ikhlas
menyerahkan sumber hidupnya sendiri untuk membuat
monumen perjuangan petani seluruh dunia. Keluarga
Patmi butuh keabadian nama, bukan harta! Patmi adalah
akronim dari PATriot buMI!!! Dia tewas demi bumi kita
ini. Bukan khusus Pegunungan Kendeng, melainkan
seluruh gunung di dunia, termasuk yang disebut langit
atap dunia Gunung Himalaya. Jelas ia bukan pejuang
karbitan, turun ke jalan karena ada motif di belakang itu,
ada indikasi tersamar dan terselubung. Ia berjuang karena
harus berjuang dengan cita-cita mulia. Dan ia siap mati
demi bumi beserta isinya.
VIII
Puisi

Patmi

Patmi namamu
PATriot buMI perjuanganmu
Pati tempat lahirmu
Mati bukan masalah bagimu

Matamu bak energi


Mulutmu terkunci
Semua kerja mulia
Menciptakan nilai lebih utama
Petani tanpa tahta dan harta
Cuma kenal diri semata
Patmi Patmiku
Patmi Patmimu
PATriot buMI
Namamu abadi
di Pati dan seluruh negeri
dari kini sampai nanti

Soesilo Toer
Pengelola Perpustakaan Pataba Blora

Anda mungkin juga menyukai