PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA TEORI KRITIS
Teori Kritis merupakan aliran filsafat abad ke-20. Bermula dari sebuah institut
di Jerman, Institut fur Sozialforschung yang didirikan pada tahun 1923 oleh seorang
kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada
akhir hayat mencoba untuk cuci dosa mau melakukan sesuatu untuk mengurangi
penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan
kapitalisme). Institut tersebut merupakan awal mula tokoh-tokoh Teori kritis memulai
pemikiran-pemikirannya. Namun institut tersebut hanya bisa bertahan sampai tahun
1933 di Frankfurt. Hal tersebut dikarenakan kepemimpinan Hitler terhadap partai
Nasionalsosialis sangat bersikap keras dalam mempromosikan antisemitisme dan
secara terang-terangan memusuhi sosialisme dan komunisme, sehingga pemerintah
Jerman dapat diambil alih olehnya. Alasan lainpun karena Institut fur Sozialforschung
cenderung sosialis dan hampir semua tokoh lembaga tersebut adalah keturunan
Yahudi. Di samping itu Hitler menggunakan kekuasaanya untuk melakukan banyak
tindakan-tindakan keras antara lain; menangkap orang-orang komunis dan anggota
Partai Sosial Demokrat dan terjadi tindakan pembunuhan dan kekerasan terhadap
orang-orang Yahudi.
Keadaan tersebut yang akhirnya membuat tokoh-tokoh (Max Horkheimer dan
Theodor Wiesengrund Adorno) Teori Kritis satu demi satu meninggalkan Jerman dan
membuka cabang Institut fur Sozialforschung di New York dengan bernaung pada
Columbia University dan berkembang juga di Los Angeles California. Seiring dengan
perkembangan waktu akhirnya tepat sesudah Perang Dunia II Institut fur
Sozialforschung kembali dibuka di Frankfurt am Main, Jerman dengan Max
Horkheimer sebagai pemimpinnya.
Pada saat itulah Teori Kritis atau mazhab mulai disebarluasakan, namun pada
tahun 1960-an baru terkenal di Jerman. Mazhab tersebut lebih diperbincangkan dan
diskusikan oleh mahasiswa kiri pada tahun 1960-an yang mengkaitkannya dengan
Perselisihan Positivisme dalam Sosiologi Jerman. Makin lama perkembangan
mazhab tersebut makin berkembang, diterusi oleh mereka yang pernah belajar dan
menjadi asisten di Institut fur Sozialforschung (tokoh-tokoh setelah Perang Dunia ke
II, setelah tahun 1960-an). Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial
kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu
secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca
perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan
kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor
kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam
meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai
modern. Generasi ke dua ini bukan berasal dari orang-orang yahudi seperti generasi
pertama. Dan mereka sudah tidak menggunakan istilah mazhab. Istilah Mazhab
Frankfurt hanya untuk generasi pertama. Namun ke dua generasi ini sama-sama
menghasilkan banyak tulisan dan karya-karya yang diakui oleh dunia. Dua generasi
tersebutlah yang merupakan pemikir-pemikir dari Teori Kritis tersebut yang
menciptakan sebuah sejarah mengenai Teori Kritis.
Teori Kritis ini ada untuk melawan teori tradisional yang afirmatif
(memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, dengan menjadi
puas karena realitas itu, jadi realitas tersebut diafirmasi dan dibenarlan), dimana teori
tradisional pada intinya ingin menciptakan sebuah pencerahan dan kebebasan agar
pengetahuan berada sedekat mungkin dengan realitas atau kebenaran. Pemikiran para
tokoh Teori Tradisonal tersebut disanggah oleh para tokoh-tokoh Teori Kritis dimana
menurut mereka teori Tradisonal tidak berhasil dalam tujuannya dalam mencerahkan
serta membebaskan manusia. Teori Tradisonal tersebut hanya bisa mengubah
pengertian kita tentang realitas, tetapi tidak mampu mengubah realitas itu sendiri.
Inilah hal yang akhirnya dikritisi oleh toko-tokoh Teori Kritis. Lebih dalammnya lagi
dijelaskan bahwa teori tradisional dibatasi pada kotemplasi yang artinya hanya
memandang dan tidak bisa menjadi praktis dan dicoba untuk mengubah apa yang
dipandang itu.
Dengan keadaan tersebut dan dilandasi dengan sikap perlawanan terhadap
anggapan para filosof yang berpendapat bahwa tugas mereka adalah memberikan
penjelasan teoritis dan bukan untuk mengubah realitas, Horkheimer dan teman-teman
menunjukkan bahwa setiap teori dengan sendirinya sudah mempunyai segi yang
praktis. Sehingga mereka memiliki hak untuk mengkritisi hal tersebut.
Gagasan pokok dari Teori Kritis yaitu Begitu pula masyarakat perlu
mengingat kembali sejarah dan penindasannya, dengan demikian mengerti bahwa ia
sampai sekarang hidup dalam kesadarn yang palsu (kesadaran yang begitu saja
menerima situasinya sebagai tak berubah); dan dengan demikian ia menjadi bebas
untuk memperjuangkan emansipasinya
Dengan demikian, sebagai program multidisiplin dari filsafat hingga sejarah
dan ilmu sosial pemikiran Teori Kritis mendapat banyak pengaruh dari Immanuel
Kant dan Neo-kantianisme, Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan idealisme Jerman,
Marx Weber serta Sigmund Freud. Hanya saja Teori Kritis lebih dipahami sebagai
pembaruan gagasan Marxisme yang terinspirasi dari tulisan-tulisan Georg Lukcs dan
Karl Korsch. Marxisme yang diperbaharui ini berangkat dari perubahan realitas
sejarah dalam kapitalisme modern dan integrasi wilayah keilmuan yang sudah
sepenuhnya ditinggalkan oleh Marxisme tradisional seperti filsafat dan teori politik,
studi budaya dan psikologi sosial. Menjelang Perang Dunia II berlangsung seraya
dengan kebangkitan Sosialisme Nasional di Jerman, tahun 1933 Institut pindah ke
Jenewa dan kemudian tahun 1934 pindah Amerika Serikat hingga akhirnya kembali
ke Jerman pada tahun 1950.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERKEMBANGAN TEORI KRITIS ABAD MODERN
Gagasan awal Teori Kritis dililhami oleh tulisan Karl Marx yakni Theses on
Feuerbach. Dalam tulisan tersebut Marx menyatakan bahwa para filsuf memberi
banyak interpretasi yang berbeda terhadap dunia, namun yang terpenting adalah
bagaimana mengubah dunia. Dalam hal ini Teori Kritis menolak upaya positivisme
logis untuk menemukan atau menerapkan hukum universal ke dalam ilmu sosial.
Positivisme logis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains modern telah
direduksi secara total menjadi sistem administrasi yang semata-mata bersifat rasional
dan teknologi murni.
Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap
filsafat yang dilahirkan di Frankfurt, yaitu teori kritis yang merupakan program
metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan wawasan
baru. Pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan kehendak, riset
dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praxi. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa teori kritik yang disusun dengan maksud praktis (Budi Hardiman,
Kritik Ideologi...,hlm.59)
Sedangkan kritik dalam arti Hegelian adalah refleksi atau refleksi-diri atas
rintangan, tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari
rasuo dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik berarti refleksi atas proses menjadi sadar
atau negasi dan dialektika, praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh
kedua punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi menganalisa
keadaan masyarakat.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Teori Kritis adalah memahami bahwa
realitas yang diselidiki pada hakikatnya ditentukan oleh penindasan dan penghisapan
dengan Marx, Hegel dan Kant. Oleh karena itu mereka mengadopsi dari
madzhab-madzhab pemikiran lain untuk mengisi apa yang dianggap kurang
dari Marx. Max Weber, Sigmund Freud memberikan pengaruh yang besar
terhadap aliran ini. Penekanan mereka terhadap komponen "Teori Kritis"
banyak meminjam dari upaya mereka untuk mengatasi batas-batas dari
positivisme materialisme yang kasar, dan fenomenologi dengan kembali
kepada filsafat kritis Kant dan penerus-penerusnya dalam idealisme Jerman,
khususnya filsafat Hegel, dengan penekanannya pada negasi dan kontradiksi
sebagai bagian yang inheren dari realitas.
Sebuah pengaruh penting juga datang dari penerbitan Manuskrip
Ekonomi-Filsafat dan Ideologi Jerman karya Marx tahun 1930-an yang
memperlihatkan kesinambungan dengan Hegelianisme yang mendasari
pemikiran-pemikiran Marx: Marcuse adalah salah satu orang yang pertama
mengartikulasikan secara signifikan teoretis dari teks-teks ini.
Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt
dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock
(ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H.Marcuse
(murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl
August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya.
Pada saat itu ,Horkheimer pelan-pelan memasukkan pemikiran psikoanalisa
Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal
ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap
marxis orthodox.
2.2.2 Teori Kritis Habermas
Jurgen Habermas dilahirkan pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf.
Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah
direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen
lalu
dan masa
proyeksi
kini, namun
masyarakat
yang
sekaligus
juga
dicita-citakan.
Pada
menunjukkan
implikasinyadalam tiga
disiplin
ilmu
Dengan
mendefinisikan
kepentingan-
kitawaspada
terhadap
klaim
bahwa
pengetahuan
bahwa
pengetahuan
ilmiahbukanlah
satu-satunya
pada
pembentukan
wilayah-wilayah
objek
ilmu
teorinya
Habermas
mengungkap
interests-
Pesannya
amat
jelas:
Waspadalah
terhadap
Dalam Islam, kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan keesaan-Nya.
(Lihat al-Quran surat al-Anbiya (21) ayat 22). Oleh karena itu, semangat ilmiah
dalam ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran bukanlah sesuatu yang
bertentangan dengan agama karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
semangat tawhid. Dengan semangat ilmiah tersebut, ilmu pengetahuan menjadi salah
satu instrumen yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas
Transenden itu sendiri. Sebaliknya, kesadaran tentang Keesaan Allah (tawhid)
merupakan sumber dari semangat ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan
umat Islam.
Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam Islam
bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan.
Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan
kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan
prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam
pengertiannya yang paling universal. Kecuali itu, ilmu pengetahuan di dalam Islam
juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah
dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya.
Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian
juga sebaliknya, karena ilmu pengetahuan merupakan jalan untuk memahami
kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan semangat gerakan tawhid dan eksplorasi ilmiah pada awal
perkembangannya itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia
yang secara gemilang mampu menjembatani dan menghubungkan wilayah-wilayah
peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan
Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang
merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan
kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan
dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas
dunia pada saat itu yang lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi bidan
bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan perdaban modern Barat. Oleh sebab itu, dapat
dimengerti pernyataan Komaruddin Hidayat, bahwa filsafat Yunani dan kajian
rasional-empiris yang berkembang di Barat tidak lain merupakan kontribusi penting
intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Namun, karena berbagai sebab yang cukup kompleks (yang tidak mungkin
dibahas di sini) peradaban Islam tersebut tidak dapat dipertahankan oleh masyarakat
muslim abad pertengahan.
amat luas dan mendalam terhadap perkembangan pemikiran dan peradaban Barat.
Sebagaimana terjadi di dunia Islam, pemikiran filosofis warisan Yunani itu
telah membantu Barat menemukan makna kebebasan dalam kemanusiaannya.
Dengan kebebasan itu, terutama dalam pemikiran, perlahan Barat yang pada abad ke10 jauh dari peradaban intelektual mulai menapak dan merasakan pentingnya proses
civilization. Hanya, dikarenakan pengalaman traumatik terhadap gereja yang tidak
menyediakan ruang gerak bagi pemikiran di luar Bibel, maka mereka mengarahkan
kebebasan itu ke arah hidup sekuler. Meminjam pengertian Koento, yaitu suatu
kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang semula merupakan koloni dan
sub koloni agama dan gereja.
Dengan arah filsafat yang cenderung pada kehidupan sekuler itu bukan saja
mengakibatkan ditinggalkannya agama, tetapi pada konsekuensi radikalnya, bahkan
sampai meragukan eksistensi Tuhan. Dalam hal ini indikasi yang paling nyata
tercermin dalam pernyataan Friedrich Nietzsche, bahwa setidaknya di dunia Barat
Tuhan telah mati. Tuhan telah mati dalam arti bahwa manusia telah membunuh
potensialitas dirinya sendiri, menjadi membunuh Tuhan, sehingga ia teralienasi dari
Tuhan yang sesungguhnya. Di dunia Barat Tuhan telah mati, pengertian ini
dimaksudkan bahwa agama Kristen telah kehilangan nilai spiritualnya. Fenomena
seperti ini apabila tidak segera disadari maka pada saatnya akan melahirkan dunia
tanpa Tuhan dan tanpa agama. Atau, paling tidak agama hanya ditempatkan sebagai
urusan pribadi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika filsafat dan agama di Barat masingmasing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya
sendiri-sendiri. Proses diferensiasi ini, kemudian, dilanjutkan dengan ditinggalkannya
filsafat oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing
mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri secara intens.
Diawali oleh lepasnya ilmu-ilmu alam atau fisika dan matematika yang
dimotori oleh Copernicus (1473-1543), Versalinus (1514-1564) dan Issac Newton
masyarakat
Barat
berbeda
dari
saat-saat
ditanamkan
dasar-dasar
paradigmatiknya.
Sampai memasuki abad 20, revolusi ilmu pengetahuan di Barat masih terus
berlangsung, berbagai penemuan telah merombak teori-teori yang sudah mapan
sebelumnya, tetapi perkembangan itu belum sampai menggeser paradigma
diferensiasi atau deagamaisasi ilmu pengetahuan yang menjadi ciri era modern
tersebut. Memang, pada satu pihak etos dan cara pandang Barat modern seperti itu
telah menumbuhkan optimisme terhadap ilmu pengetahuan dalam meningkatkan
fasilitas hidup, namun di pihak lain pesimisme terhadap dampak negatif yang
ditimbulkannya juga semakin nyata. Pesimisme itu bukan saja telah menghantui para
konsumennya, tetapi terutama kepada masyarakat Barat sendiri sebagai produsen
utamanya.
Namun pada paroh terakhir aba ke 20, etos keilmuan dengan cara pandang
seperti itu mulai dihadapkan pada kecenderungan baru yang lebih memperhatikan
dunia spiritual. John Naisbitt dan Patricia Aburdence, dalam Megatrend 2000
menyebutnya dengan istilah New Age. Suatu era yang berusaha meyakinkan banyak
orang bahwa cara yang paling tepat dalam memecahkan berbagai persoalan personal
dan sosial--yang telah menjadi bagian dari krisis kebudayaan Barat yang mendorong
kemunculan New Age--hanya akan terselesaikan, apabila ada cukup orang mencapai
apa yang disebut The Higher Consciousness. Dengan demikian, seperti penuturan
Amin Abdullah, modernisme dengan ciri diferensiasinya yang sangat ketat dalam
berbagai bidang kehidupan boleh dibilang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat
zaman.
2.3 Integrasi Agama dan Sains sebagai Suatu Keniscayaan
Pengamatan Naisbitt dan Patricia di atas ada relevansinya dengan pandangan
Capra, bahwa untuk keluar dari belenggu dikotomi dalam kehidupannya, manusia
modern dituntut dapat mengintegrasikan nilai-nilai dan makna-makna yang
dikombinasikan dengan pengetahuan (sains). Untuk keperluan ini, menurut Azizan,
hanya ada satu subyek yang dapat mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai tersebut,
yaitu agama. Hal ini tidak berlebihan, karena agama memang merupakan sumber
makna dan nilai-nilai yang kita pandang penting dan dapat diterjemahkan melalui
pembangunan.
Pandangan integratif seperti ini disebabkan sains modern yang positivistik
cenderung melakukan reduksi terhadap realitas alam, termasuk manusia sebagai
makhluk hidup. Misalnya, ketika berbicara tentang kosmologi, sains senantiasa
melepaskannya dari unsur-unsur spiritualnya seperti Tuhan, malaikat ruh dan
sebagainya. Alam semesta diapahami sebagai yang terjadi dengan sendirinya dan
diatur oleh sebuah hukum alam yang mandiri, tetap dan tidak bisa diubah oleh
kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Begitu juga tentang manusia, yang sering
dipandang agama dan filsafat memiliki dimensi luhur seperti jiwa, hati, ruh dan
sebagainya, dipersepsi sains hanya sebagai makhluk fisik atau bilogis dengan sistem
syaraf yang sangat rumit, tetapi tidak menghasilkan jiwa sebagai substansi
immaterialnya. Di sini, manusia menjadi tidak memiliki keistimewaan, seperti yang
diberikan oleh filsafat, sebagai mikrokosmos; atau oleh agama, sebagai wakil Tuhan
di bumi.(Mulyadi Kartanegara, 2003)
Dalam penilaian Golshani, pengabaian terhadap keterbatasan sains dan
pengingkaran peranan filsafat dan agama dalam sains itu merupakan pemahaman
yang naif. Baginya, sains tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai sepenuhnya, kerja
ilmiah banyak diisi dengan perkiraan filosofis dan religius, dan metafisika
memainkan peranan sangat penting hampir pada semua level aktivitas ilmiah.
Tegasnya, menurut Golshani, terlalu sederhana untuk berfikir bahwa komitmen
filosofis dan ideologis tidak akan pernah masuk ke dalam struktur ilmu pengetahuan.
(Mehdi Golshani, 2003).
Lebih dari itu, lanjut Golshani, pandangan bahwa aktvitas ilmiah adalah bebas
nilai hanyalah mitos belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1) Aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan yang mengarahkan suatu usaha. Ini
berarti bahwa beberapa nilai mengambil peran sebagai pembimbing di
dalamnya. Misalnya, pencarian kebenaran merupakan nilai yang menjadi
prinsip dalam mengarahkan banyak ilmuwan.
2) Semua aktivitas ilmiah melibatkan beberapa pertimbangan nilai (value
judgments):
a)
pada
keindahan
teori
fisikanya.
Pertimbangan-
sains memang sudah saatnya dikoreksi kembali. Sebab, penemuan mutkahir di bidang
fisika kuantum, misalnya, setidaknya telah meruntuhkan asumsi kaum materialis
bahwa dunia ini hanyalah bersifat materi belaka. Padahal, fisika kuantum
membuktikan bahwa unsur fisik yang terdapat dalam sebuah atom sangat tidak
signifikan bila dibanding dengan unsur non-materinya, yang merupakan bagian
paling ekstensif dari atom-atom yang menyusun alam semesta ini (Mulyadhi
Kartanegara, 2002). Ini artinya, anggapan sains bahwa alam dengan segala isinya
bersifat fisik dan hanya dapat dipahami melalui observasi inderawi semata menjadi
tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dengan adanya penemuan-penemuan mutakhir
dalam bidang sains serta perkembangan teori-teori kefilsafatan, agama perlahan-lahan
juga mulai menemukan batu pijakan untuk kebenaran yang diberitakannya.
Oleh karena itu, antara agama dan sains memang sudah semestinya terjalin
hubungan fungsional dan dialektis dalam kerangka yang bisa dipahami oleh akal
rasional manusia. Hal ini dikarenakan antara sains yang berpijak pada observasi
inderawi, dan filsafat yang mengutamakan rasional, agama yang bersandar pada
wahyu memiliki kecenderungan untuk saling melengkapi.
2.4 TELAAH ATAS TEORI KRITIS JERMAN
Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat.
Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan
modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas
telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi
modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin
dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.
Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi
manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia
bisa tidur nyenyak dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah
menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas,
rasio
manusia
modern
justru
sangat
bersifat
instrumental.
Segi
instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang
paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang
berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup
untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks.
Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa
Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas
seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai
Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis
masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah
bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia[vi]. Namun
kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran
langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada sesuatu yang
hilang pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat
sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh
Marcuse sebagai kesadaran palsu.
Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang
memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx.
Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis
yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme
dalam seorang individual dalam tataran mikro dan masyarakat dalam tataran
makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis
terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis Studien ber Autoritt und Famili
(Sindhunata, 1983).
Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka
sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada
seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara
rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibatakibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis
ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman rasio
instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan
konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru
tentang rasionalitas.
Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas
pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang
membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan
pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran
pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan
manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis
melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
Masalahnya
adalah
Aufklarung
yang
sesungguhnya
tidak
berhasil
menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam
Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang
Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh
positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya
sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi
ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973
selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).
Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari
Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca
industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi. Hal ini tampak
dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya.
Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi
sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan
prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif,
mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif
bersifat dialektis dan emansipatorik.
Berbicara tentang Teori Kritis tidak bisa dipisahkan dengan wacana kritik.
Kekuatan Teori Kritis terletak pada kemampuan elaborasi kritik dalam situasi dan
kondisi tertentu. Sudah sejak awal Teori Kritis mengambil sikap kritis terhadap ilmu
pengetahuan dalam hal ini teori tradisional dan masyarakat. Teori Kritis secara
lengkap memberikan pendasaran kritik pada krisis teori tradisional yang melulu
mempertahankan status quo yang ada, teori yang memisahkan teori dan praksis
tidak berkecimpung dalam penerapan praktis sistem teoritis konseptualnya. Oleh
sebab itu, penolakan Teori Kritis terhadap preskriptivisme dan filsafat sosial
tradisional merupakan warisan Hegel.
Kritik imanen menjadi sangat krusial dalam seluruh pembangunan sebuah
teori yang akhirnya memerdekakan manusia. Kritik imanen adalah kritik yang
pertama dan utama atas dogmatisme dan formalisme pengetahuan yang ada. Kritik
imanen yang dikembangkan oleh Teori Kritis adalah kritik dogmatisme positivisme
yang mendasarkan pada pemikiran August Comte dan Francis Bacon, juga kritik atas
formalisme deduktif Aristotelianisme yang kaku. Kritik imanen mau mengatakan
bahwa isi dan bentuk, yang apa adanya dan seharusnya, harus direfleksikan pada
dasar kesadaran yang terikat pada bentuk kehidupan. Kritik Hegelian dan keberatan
atas teori hak kodrati merupakan kesatuan bersama pada tingkatan kehidupan etis.
Menurut Seyla Benhabib, Hegel melihat sejarah sebagai keniscayaan sosial, etika dan
idealisme nilai. Filsafat sebetulnya dipakai untuk mengurangi bifurkasi dalam
kehidupan manusia. Tapi masalah dalam epistemologinya, Hegel tidak memberikan
pandangan yang utuh atas seluruh proses manusia, termasuk di dalamnya cara
pandang, tata nilai, interpretasi dan tindakan sosial.
Kritik anthropologis Marx terhadap Hegel lebih memanusiakan filsafat
sejarah Hegel. Tapi tetap saja, kritik Marx merupakan model normatif atas
emansipasi.
Ketidakakurasian
kategori
Marxian
atas
objektifikasi
untuk
Marcuse.
Sementara itu, generasi ketiga, merujuk pada tokoh-tokoh seperti Axel Honeth
(lihat a.l., Rush, 2000; hal. 1.). Namun kini lingkup teori-teori kritis telah makin
meluas, mencakup ataupun menjadi dasar rujukan analisis kritis dari pakar seperti
Jacques Lacan (psikoanalisis), Roland Barthes (semiotik and linguistik), Peter
Golding, Janet Wasko, Noam Chomsky, Douglas Kellner (ekonomi-politik media),
hingga
berbagai
tokoh
dalam
topik
masalah
gender, etnisitas
dan
ras,
karena situasi yang diramalkan tidak terbukti. Sementara di lain pihak, tidak tepat
bila pemikiran Marcuse, contohnya, dinilai telah membuat semacam prediksi, yang
mengatakan bahwa bourgareeois art akan berakhir. Yang sebenarnya ia lakukan
adalah mengantisipasi berakhirnya bourgeois art tersebut karena hal itu merupakan
suatu demand or requirement of rationality. Artinya, Marcuse sebenarnya
memperlihatkan apa yang harus dipenuhi demi terciptanya suatu kondisi tertentu.
Analisis Marcuse tersebut jelas berbeda dengan analisis prediktif, contohnya
seperti yang dilakukan Benjamin, ketika membuat sebuah deskripsi suatu proses
dimana seni akhirnya akan kehilangan aura-nya (Habermas, sebagaimana dikutip
Geuss, 1981; hal. 57).
Dimensi tujuan praktis teori-teori kritis, dengan demikian juga lebih bersifat
normatif, yang secara sadar dilekatkan dengan suatu filosofi moral tertentu. Misi
normatif tersebut hanya mungkin dipenuhi melalui suatu interplay antara seperangkat
norma-norma filosofi sosial dengan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu pula, sebuah
teori kritis, dalam penilaian Horkheimer (dalam Bohman, 2005; hal. 1), bisa dianggap
mencukupi (adequate) bila memenuhi 3 (tiga) kriteria, yakni teori tersebut harus:
1) Explanatory, yakni harus menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang
ada. Pengertian explanatory, juga berarti adanya unsur muatan judgments dalam
teori, antara lain tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak
seharusnya, yang wajar dan tidak wajar.
2) Practical, antara lain menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial
yang mampu merobah dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang
dinilai tidak seharusnya demikian.
3) Normative; terkait dengan dua dimensi terdahulu, suatu teori kritis jelas harus
menyajikan norma-norma yang jelas, atau moral concerns, baik yang
dipergunakan sebagai dasar melakukan kritik terhadap suatu realitas sosial,
maupun mengetengahkan tujuan-tujuan praktis yang bisa dicapai melalui suatu
transformasi sosial.
Kesemuanya itu terkait dengan konsepsi para teoretisi kritis tentang struktur
kognitif suatu teori kritis, dan juga dengan konsepsi yang mereka miliki mengenai
objektivitas, serta kedudukan pembuktian empirik dalam teori-teori kritis.
2.6 NORMA DAN TRANSFORMASI KRITIK