Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG LAHIRNYA TEORI KRITIS
Teori Kritis merupakan aliran filsafat abad ke-20. Bermula dari sebuah institut
di Jerman, Institut fur Sozialforschung yang didirikan pada tahun 1923 oleh seorang
kapitalis yang bernama Herman Weil, seorang pedagang grosir gandum, yang pada
akhir hayat mencoba untuk cuci dosa mau melakukan sesuatu untuk mengurangi
penderitaan di dunia (termasuk dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan
kapitalisme). Institut tersebut merupakan awal mula tokoh-tokoh Teori kritis memulai
pemikiran-pemikirannya. Namun institut tersebut hanya bisa bertahan sampai tahun
1933 di Frankfurt. Hal tersebut dikarenakan kepemimpinan Hitler terhadap partai
Nasionalsosialis sangat bersikap keras dalam mempromosikan antisemitisme dan
secara terang-terangan memusuhi sosialisme dan komunisme, sehingga pemerintah
Jerman dapat diambil alih olehnya. Alasan lainpun karena Institut fur Sozialforschung
cenderung sosialis dan hampir semua tokoh lembaga tersebut adalah keturunan
Yahudi. Di samping itu Hitler menggunakan kekuasaanya untuk melakukan banyak
tindakan-tindakan keras antara lain; menangkap orang-orang komunis dan anggota
Partai Sosial Demokrat dan terjadi tindakan pembunuhan dan kekerasan terhadap
orang-orang Yahudi.
Keadaan tersebut yang akhirnya membuat tokoh-tokoh (Max Horkheimer dan
Theodor Wiesengrund Adorno) Teori Kritis satu demi satu meninggalkan Jerman dan
membuka cabang Institut fur Sozialforschung di New York dengan bernaung pada
Columbia University dan berkembang juga di Los Angeles California. Seiring dengan
perkembangan waktu akhirnya tepat sesudah Perang Dunia II Institut fur
Sozialforschung kembali dibuka di Frankfurt am Main, Jerman dengan Max
Horkheimer sebagai pemimpinnya.

Pada saat itulah Teori Kritis atau mazhab mulai disebarluasakan, namun pada
tahun 1960-an baru terkenal di Jerman. Mazhab tersebut lebih diperbincangkan dan
diskusikan oleh mahasiswa kiri pada tahun 1960-an yang mengkaitkannya dengan
Perselisihan Positivisme dalam Sosiologi Jerman. Makin lama perkembangan
mazhab tersebut makin berkembang, diterusi oleh mereka yang pernah belajar dan
menjadi asisten di Institut fur Sozialforschung (tokoh-tokoh setelah Perang Dunia ke
II, setelah tahun 1960-an). Teori Kritis menjadi inspirasi dari gerakan sosial
kemasyarakatan. Gerakan sosial ini dipelopori oleh kaum muda yang pada waktu itu
secara historis telah tidak ingat lagi dengan masa kelaparan dan kedinginan pasca
perang dunia II. Generasi muda tahun 1960-an telah merasa muak dengan
kebudayaan yang menekankan pembangunan fisik dan menekankan faktor
kesejahteraan ala kapitalisme. Generasi ini adalah generasi yang secara mendalam
meragukan atau menyangsikan kekenyangan kapitalisme dan disorientasi nilai
modern. Generasi ke dua ini bukan berasal dari orang-orang yahudi seperti generasi
pertama. Dan mereka sudah tidak menggunakan istilah mazhab. Istilah Mazhab
Frankfurt hanya untuk generasi pertama. Namun ke dua generasi ini sama-sama
menghasilkan banyak tulisan dan karya-karya yang diakui oleh dunia. Dua generasi
tersebutlah yang merupakan pemikir-pemikir dari Teori Kritis tersebut yang
menciptakan sebuah sejarah mengenai Teori Kritis.
Teori Kritis ini ada untuk melawan teori tradisional yang afirmatif
(memberikan pengertian yang lebih memuaskan tentang realitas, dengan menjadi
puas karena realitas itu, jadi realitas tersebut diafirmasi dan dibenarlan), dimana teori
tradisional pada intinya ingin menciptakan sebuah pencerahan dan kebebasan agar
pengetahuan berada sedekat mungkin dengan realitas atau kebenaran. Pemikiran para
tokoh Teori Tradisonal tersebut disanggah oleh para tokoh-tokoh Teori Kritis dimana
menurut mereka teori Tradisonal tidak berhasil dalam tujuannya dalam mencerahkan
serta membebaskan manusia. Teori Tradisonal tersebut hanya bisa mengubah
pengertian kita tentang realitas, tetapi tidak mampu mengubah realitas itu sendiri.

Inilah hal yang akhirnya dikritisi oleh toko-tokoh Teori Kritis. Lebih dalammnya lagi
dijelaskan bahwa teori tradisional dibatasi pada kotemplasi yang artinya hanya
memandang dan tidak bisa menjadi praktis dan dicoba untuk mengubah apa yang
dipandang itu.
Dengan keadaan tersebut dan dilandasi dengan sikap perlawanan terhadap
anggapan para filosof yang berpendapat bahwa tugas mereka adalah memberikan
penjelasan teoritis dan bukan untuk mengubah realitas, Horkheimer dan teman-teman
menunjukkan bahwa setiap teori dengan sendirinya sudah mempunyai segi yang
praktis. Sehingga mereka memiliki hak untuk mengkritisi hal tersebut.
Gagasan pokok dari Teori Kritis yaitu Begitu pula masyarakat perlu
mengingat kembali sejarah dan penindasannya, dengan demikian mengerti bahwa ia
sampai sekarang hidup dalam kesadarn yang palsu (kesadaran yang begitu saja
menerima situasinya sebagai tak berubah); dan dengan demikian ia menjadi bebas
untuk memperjuangkan emansipasinya
Dengan demikian, sebagai program multidisiplin dari filsafat hingga sejarah
dan ilmu sosial pemikiran Teori Kritis mendapat banyak pengaruh dari Immanuel
Kant dan Neo-kantianisme, Georg Wilhelm Friedrich Hegel dan idealisme Jerman,
Marx Weber serta Sigmund Freud. Hanya saja Teori Kritis lebih dipahami sebagai
pembaruan gagasan Marxisme yang terinspirasi dari tulisan-tulisan Georg Lukcs dan
Karl Korsch. Marxisme yang diperbaharui ini berangkat dari perubahan realitas
sejarah dalam kapitalisme modern dan integrasi wilayah keilmuan yang sudah
sepenuhnya ditinggalkan oleh Marxisme tradisional seperti filsafat dan teori politik,
studi budaya dan psikologi sosial. Menjelang Perang Dunia II berlangsung seraya
dengan kebangkitan Sosialisme Nasional di Jerman, tahun 1933 Institut pindah ke
Jenewa dan kemudian tahun 1934 pindah Amerika Serikat hingga akhirnya kembali
ke Jerman pada tahun 1950.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PERKEMBANGAN TEORI KRITIS ABAD MODERN
Gagasan awal Teori Kritis dililhami oleh tulisan Karl Marx yakni Theses on
Feuerbach. Dalam tulisan tersebut Marx menyatakan bahwa para filsuf memberi
banyak interpretasi yang berbeda terhadap dunia, namun yang terpenting adalah
bagaimana mengubah dunia. Dalam hal ini Teori Kritis menolak upaya positivisme
logis untuk menemukan atau menerapkan hukum universal ke dalam ilmu sosial.
Positivisme logis menyatakan bahwa ilmu pengetahuan atau sains modern telah
direduksi secara total menjadi sistem administrasi yang semata-mata bersifat rasional
dan teknologi murni.
Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap
filsafat yang dilahirkan di Frankfurt, yaitu teori kritis yang merupakan program
metodologis jangka panjang yang selalu diperbaiki dan dilengkapi dengan wawasan
baru. Pengembangan teori ini bertujuan untuk mengaitkan rasio dan kehendak, riset
dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praxi. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa teori kritik yang disusun dengan maksud praktis (Budi Hardiman,
Kritik Ideologi...,hlm.59)
Sedangkan kritik dalam arti Hegelian adalah refleksi atau refleksi-diri atas
rintangan, tekanan dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan diri dari
rasuo dalam sejarah. Dengan kata lain, kritik berarti refleksi atas proses menjadi sadar
atau negasi dan dialektika, praksis. Habermas melihat apa yang disampaikan oleh
kedua punggawa mazhab Teori Kritis awal itu tidaklah mencukupi menganalisa
keadaan masyarakat.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa Teori Kritis adalah memahami bahwa
realitas yang diselidiki pada hakikatnya ditentukan oleh penindasan dan penghisapan

(Marx: Masyarakat adalah masyarakat yang tergelongkan dalam kelas-kelas, yang


terdiri dari kelas-kelas atas dan kelas-kelas bawah), jadi merupakan realitas buruk,
sekaligus palsu karena menutup-nutupi hal itu (secara ideologis).
Teori Kritis dengan demikian membuka kesadaran bahwa keadaan buruk dan
palsu itu dapat diubah; dengan demikian hubungan-hubungan penindasan itu
kehilangan kuasa mutlak mereka atas manusia. Hubungan-hubungan itu hanya
mempertahankan diri selama tidak disadari atau diterima sebagai sesuatu yang tak
bisa diubah. Begitu kita mengerti bahwa kita sendirilah yang menciptakannya,
dorongan kita yang paling mendalam, dorongan untuk mengusahakan emansipasi
(pembebasan) dan dapat menyatakan diri.
Teori Kritis Berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional.
Pendekatan Teori Kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Teori Kritis
pada titik tertentu memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai
teori yang menjadi emansipatoris
Teori Kritis tidak hanya mau menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan
dan menata realitas sosial tapi juga bahwa teori tersebut mau mengubah. Pada
dasarnya, Teori Kritis mau menjadi praktis.
2.2.1 Teori Kritis Mazhab Frankfurt
Mazhab Frankfurt merupakan kumpulan beberapa pemikir Jerman
yang mengangap bahwa pemikiran Marx telah didistorsi oleh Engels an para
pemikir Lenin-Marxis yang diakibatkan oleh kegagalan revolusi kaum pekerja
di Eropa Barat setelah Perang Dunia I dan oleh bangkitnya Nazisme di negara
yang secara ekonomi, teknologi, dan budaya maju yaitu Jerman. Oleh Karena
itu, mereka merasa harus memilih bagian mana dari pemikiran-pemikiran
Marx yang dapat menolong untuk memperjelas kondisi-kondisi yang Marx
sendiri tidak pernah lihat. Pada awalnya pemikiran Marx dijadikan tolak ukur
pemikiran sosial aliran tersebut. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa

aliran Frankfurt merupakan perwujudan usaha untuk kembali mengkaji


pemikiran pemikiran Hegelian Kiri (Hegelian Leftism), yaitu pemikiran hegel
sekitar tahun 1840-an. Sama halnya dengan generasi awal pencetus teori
kritis, seperti Hegel dan Immanuel Kant, tokoh-tokoh Frankfurt tertarik degan
kajian mengenai kajian filsafat dan ilmu-ilmu non alamiah seperti sociologi ,
ekonomi, musikologi, psikologi, Ilmu politik dan lain-lain.
Cara berpikir aliran Frankfurt dapat dikatakan sebagai teori kritik
masyarakat. Maksud teori ini adalah membebaskan manusia dari manipulasi
teknokrasi modern. Khas pula apabila teori ini berinspirasi pada pemikiran
dasar Karl Marx, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa inspirasi Teori
Kritis banyak didialogkan dengan aliran-aliran besar filsafat.
Aliran Frankfurt atau dikenal dengan Madzhab Frankfurt merupakan
sekelompok pemikir sosial yang muncul dari lingkungan Institute Of Sosial
Reserch Universitas Frankfurt, yang dipelopori oleh Felix Weil pada tahun
1923. Latar belakang didirikannya lembaga pendidikan itu adalah karena
terjadinya kemenangan Revolusi Bolhesvick, kegagalan-kegagalan Revolusi
di Eropa Tengah khususnya di Jerman. Peristiwa itu membangkitkan semangat
Intelektual Kiri Jerman untuk melakukan kajian kembali secara serius teoriteori marxis khususnya yang berkaitan dengan akal budi dan praktik dalam
kondisi-kondisi sosial yang baru. Misalnya, melakukan kajian mengenai cara
bagaimana agar teori marxis dapat terus relevan dan cocok untuk setiap
perkembangan sosial.
Walaupun pada awalnya menjadikan pemikiran Marx sebagai titik
tolak pemikiran sosialnya. Akan tetapi, seperti yang penulis tulis diatas bahwa
madzhab Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur pemikiran filosofis
idealisme Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel
Kant sampai pada puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Hegel.
Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir madzhab Frankfurt berdialog

dengan Marx, Hegel dan Kant. Oleh karena itu mereka mengadopsi dari
madzhab-madzhab pemikiran lain untuk mengisi apa yang dianggap kurang
dari Marx. Max Weber, Sigmund Freud memberikan pengaruh yang besar
terhadap aliran ini. Penekanan mereka terhadap komponen "Teori Kritis"
banyak meminjam dari upaya mereka untuk mengatasi batas-batas dari
positivisme materialisme yang kasar, dan fenomenologi dengan kembali
kepada filsafat kritis Kant dan penerus-penerusnya dalam idealisme Jerman,
khususnya filsafat Hegel, dengan penekanannya pada negasi dan kontradiksi
sebagai bagian yang inheren dari realitas.
Sebuah pengaruh penting juga datang dari penerbitan Manuskrip
Ekonomi-Filsafat dan Ideologi Jerman karya Marx tahun 1930-an yang
memperlihatkan kesinambungan dengan Hegelianisme yang mendasari
pemikiran-pemikiran Marx: Marcuse adalah salah satu orang yang pertama
mengartikulasikan secara signifikan teoretis dari teks-teks ini.
Perkembangan Teori Kritis semakin nyata, ketika aliran Frankfurt
dipimpin oleh Max Horkheimer dan mempunyai anggota Friederick Pollock
(ahli Ekonomi), Adorno (musikus, sastrawan dan psikolog), H.Marcuse
(murid Heidegger yang fenomenolog), Erich Fromm (psikoanalis), Karl
August Wittfogel (sinolog), Walter Benjamin (kritikus sastra) dan lainnya.
Pada saat itu ,Horkheimer pelan-pelan memasukkan pemikiran psikoanalisa
Sigmund Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal
ini, pemikiran kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap
marxis orthodox.
2.2.2 Teori Kritis Habermas
Jurgen Habermas dilahirkan pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf.
Dia dibesarkan di lingkungan Protestan dimana kakeknya adalah
direktur seminari di Gummersbach. Belajar di universitas Gottingen

dan Zurich, Habermas meraih gelar doktor di bidang filsafat dari


universitas Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das
Absolute und die Geschichte Von der Zwiespltigkeit in Schellings
Denken (Yang absolut dan sejarah: tentang kontradiksi dalam
pemikiran Schelling). Pada tahun 1956, Habermas belajar filsafat dan
sosiologi dibawah bimbingan teoritisi kritis Max Horkheimer dan
Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial Frankfurt.
Dalam Dialectic of Enlightenment yang diterbitkan pada tahun
1947, Adorno dan Horkheimer menyatakan bahwa usaha untuk
mencapai nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada
munculnya bentuk baru irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia,
Adorno mengembangkan cara berpikir yang disebut dialektika negatif
yang menolak segala bentuk pemikiran afirmatif tentang etika dan
politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada teologi. Di titik
inilah Habermas, yang bergabung dengan Institut Penelitian Sosial
Frankfurt pasca perang dunia, memulai pemikirannya.
Pemikiran Habermas berbicara tentang pengembangan konsep
nalar yang lebih komprehensif, yakni nalar yang tidak tereduksi pada
instrumen teknis dari subjek individu, dalam pengertian monad, yang
kemudian memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan
rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara
pengetahuan dan kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas
mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar.
Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan
emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga
kepentingan ini adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan
dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan
dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi. Barat

modern menyaksikan bahwa keinginan menguasai alam berubah


menjadi hasrat mendominasi manusia lain. Untuk memperbaiki
penyimpangan ini, Habermas menekankan rasionalitas yang inheren
dalam kepentingan praktis dan emansipatoris. Dia menegaskan bahwa
dasar rasional untuk kehidupan bersama hanya dapat diraih ketika
hubungan sosial diatur menurut prinsip bahwa validitas konsekuensi
politis tergantung pada kesepakatan yang dicapai dalam komunikasi
yang bebas dari dominasi.
Konsepsi Habermas tentang teori kritis mengalami kristalisasi
pada tahun 60-an dalam karyanya tentang filsafat ilmu sosial, On the
Logic of the Social Sciences and Knowledge and Human Interests.
Habermas mengkritik positivisme dalam ilmu-ilmu sosial, dengan
mengatakan bahwa paradigma positivistik sesuai untuk ilmu-ilmu
alam yang tujuan akhirnya adalah mengontrol alam. Ilmu budaya
(cultural sciences), seperti sejarah dan antropologi, lebih sesuai
didekati secara interpretatif. Tapi ketika berbicara tentang ilmu-ilmu
sosial, Habermas meyakini bahwa kepentingan teknisseperti dalam
ilmu alamdan praktisseperti dalam ilmu budayaseharusnya
berada dibawah kepentingan emansipatoris. Dengan demikian, yang
harus dilakukan ilmuwan sosial adalah, pertama, memahami situasi
subjektif yang terdistorsi secara ideologis dari individu atau kelompok;
kedua, memahami kekuatan-kekuatan yang menyebabkan situasi
tersebut; dan ketiga, menunjukkan bahwa kekuatan-kekuatan ini bisa
diatasi melalui kesadaran individu atau kelompok yang teropresi
tentang kekuatan-kekuatan itu.
Habermas adalah seorang pembela proyek modernitas yang
tidak terlepas dari zaman Pencerahan. Pembelaan ini didasarkan atas
dasar-dasar yang universal. Pencerahan, bagi Habermas, adalah

penanda kesadaran bahwa kemampuan berkomunikasi rasional


membedakan manusia dari selainnya. Habermas berpandangan bahwa
dunia dewasa ini terdiri dari ragam ideal-ideal kehidupan dan
orientasi-orientasi nilai yang saling bersaing, yang, karena pengaruh
batas-batas bahasa dan institusi, hanya beberapa diantaranya yang
mencapai wilayah publik luas. Untuk itu, bagi Habermas, dibutuhkan
teori moral normatif. Kondisi modernitas, dimana ideal-ideal individu
begitu beragam sehingga etika tidak lagi bisa memaksakan suatu nilai
tertentu, membutuhkan prosedur tertentu untuk menyelesaikan konflik.
Agar supaya bisa memenuhi tuntutan moral, prosedur dimaksud harus
didasarkan pada prinsip bahwa semua manusia harus saling
menghormati sebagai pribadi yang merdeka dan setara.
Teori kebenaran Habermas bersifat realis, yang berarti bahwa
dunia objektif, alih-alih kesepakatan ideal, adalah penentu kebenaran.
Jika sebuah pernyataan, yang kita anggap benar, ternyata benar, hal itu
karena pernyataan itu dengan tepat merujuk pada objek yang ada atau
dengan tepat mewakili kondisi sebenarnya. Habermas menghindari
perbincangan tentang metafisika dan lebih memilih berbicara tentang
hal-hal yang praktis dan implikasinya untuk diskursus dan tindakan
keseharian.
2.2.3 Asumsi-asumsi Dasar Ontologi Sosial
Teori Kritis berpijak pada suatu pandangan umum tentang
hakikat realitassosial, baik dalam dimensi faktual maupun dimensi
normatif. Belajar danmengamati realitas-realitas sosial masa lalu dan
realitas sosial masa kiniperupakan pijakan penting dalam membangun
proyeksi masyarakat yangdiharapkan. Suatu ontologi social selalu
berdimensi historis faktual dan sekaligusproyektif. Suatu pandangan

umum tentang hakikat masyarakat akan membentuk cara pandang


terhadap masa
mengarahpada

lalu

dan masa

proyeksi

kini, namun

masyarakat

yang

sekaligus

juga

dicita-citakan.

Pada

pendekatan seperti inilahdiusahakan untuk diungkap perspektif


ontologi sosial Habermas tentangmasyarakat modern dan masyarakat
kapitalisme lanjut.
Terdapat konsep-konsep dasar dan asumsi-asumsi dasar yang
menjadi landasan ontis pembacaan Habermas atas realitas sosial.
Konsep-konsep tersebut adalah tentang kepentingan, dunia-hidup,
sistem, argumentasi, rasionalitas, dankolonisasi dunia-hidup.
Adapun asumsi-asumsi dasar yang pokok adalahhubungan
antara kepentingan dan pengetahuan; komunikasi dan bentuk-bentuk
interaksi sosial; dan syarat-syarat ontis adanya konsensus rasional.
Dengan tegas Habermas menolak sikap yang dikatakan sebagai bebas
nilai dalam bentuk ilmupengetahuan. Menurutnya, semua ilmu
pengetahuan dan pembentukan teori selalu dibarengi oleh interestkognitif atau

kepentingan konstitutif-pengetahuantertentu yaitu

suatu orientasi dasar yang mempengaruhi jenis pengetahuan danobjek


pengetahuan tertentu. Habermas memahami kepentingan manusiawi
sebagai sesuatu yang ada dalam ketegangan antara aspek empiris
dantranscendental. Kepentingan ini mengarahkan pengetahuan kita,
maka disebutnyainterest-kognitif atau kepentingan konstitutifpengetahuan. Karenakepentingan ini konstitutif bagi pengetahuan,
dan bersifat empiris dantranscendental, tidak terpisah dari konteks
objektif proses kehidupan biasa tetapisekaligus melampainya.
Kepentingan teknis ini merupakan orientasi dasariah ilmu-ilmu
alam.Karena itu, ilmu-ilmu alam sebenarnya berakar pada konteks
kehidupan objektif manusia sebagai spesies yang melangsungkan

hidupnya melalui tindakaninstrumental. Atas dasar interests tersebut,


Habermas

menunjukkan

implikasinyadalam tiga

disiplin

ilmu

pengetahuan. Interests yang berkaitan dengan kebutuhanreproduksi


dan kelestarian diri, lahirlah ilmu pengetahuan yang bersifat empirisanalitis (analitis-empiris). Interests yang kedua berhubungan dengan
kebutuhanmanusia untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya di
dalam praktek socialyang menimbulkan suatu ilmu pengetahuan yang
bersifat histories-hermeneutis(hermeneutis-historis). Dan interests
yang ketiga berhubungan dengankepentingan yang mendorong diri
untuk mengembangkan otonomi dan tanggung jawab sebagai manusia,
dan tercermin dalam ilmu pengetahuan yang bersifat social-kritis
(emansipatoris-kritis).

Dengan

mendefinisikan

kepentingan-

kepentingan yang membentuk pengetahuan ini, Habermas ingin


mengajak

kitawaspada

terhadap

klaim

bahwa

pengetahuan

diidentifikasikan melalui kepentingan yang tunggal, Habermas


menekankan

bahwa

pengetahuan

ilmiahbukanlah

satu-satunya

pengetahuan yang harus diperhitungkan di dunia.


Habermas melihat adanya masalah apriori yang ada pada
pengorganisasian pengalaman manusia yang ada pada semua ilmu, dan
jugaterjadi

pada

pembentukan

wilayah-wilayah

objek

ilmu

sebagaimana disajikan olehkerangka transendental. Di dalam ruang


fungsional tindakan instrumental subjek menghadapi objek yang
dinamis. Di sini sesuatu, peristiwa, dan kondisi secaraprinsip dapat
dimanipulasi.
Dalil bahwa setiap struktur logis ilmu berkaitan erat dengan
fungsi pragmatis dari pengetahuan ilmiah merupakan pijakan penting
dalam bangunan teori kritis Habermas. Dalil tersebut juga membantu
untuk memahami wilayahdan bentuk komunikasi intersubjektif yang

berbeda, yakni dunia-hidup.


Dunia-hidup (lifeworld) adalah sebuah konsep yang semula
digunakan oleh AlfredSchutz untuk merujuk dunia kehidupan seharihari. Bagi Habermas terdapat tiga dimensi dunia-hidup, yakni : dunia
objektif

yang merepresentasikan fakta-fakta yang independen dari

pemikiran manusia dan berfungsi sebagai titik referensiumum untuk


menentukan kebenaran; dunia social yang terdiri dari hubunganhubungan intersubjektif; dan dunia subjektif dari pengalaman pribadi.
Bagi Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek dari
pengalaman dan perspektif yang melibatkan mereka, mencapai suatu
pemahaman tak terpusat (decentered)dari dunia hidup.
2.2.4 Kritik Ideologi
Sebagai kerangka dalam membangun keilmuan emansipatif,
yang menyuarakan kesadaran (refleksi diri), sasaran Teori Kritis
adalah kritik terhadap segala bentuk statisme, baik yang digerakkan
oleh rasionalitas individu maupun ideologi masyarakat. Dalam
persoalan ideologi, Teori Kritis memiliki tigapandangan. Pertama,
kritik secara radikal terhadap masyarakat dan ideologidominan. Kedua
, kritik ideologi tidak dilakukan untuk memberikan semacam
justifikasi dalam bentuk kritik moral. Dan yang ketiga, Kritik
sebagai jiwa dariilmu pengetahuan social kritis. Dengan ketiga
pandangan ini, Habermas mengungkap ide yang secara terselubung
dipakai untuk menjelaskan danmembenarkan tindakan sebagai
pengganti motif yang sebenarnya dari tindakanitu. Dan selanjutnya
dengan

teorinya

Habermas

mengungkap

interests-

interestsmanipulative dan menindas yang bersembunyi dibalik realita.


Analisisi-analisis epistemologis Habermas merupakan kritik

yang tajam terhadap scientism dan positivisme yang memberhalakan


sains dan teknologi modern sebagai kebenaran universal yang bebas
kepentingan. Analisis-analisis Habermas masih tetap relevan untuk
masyarakat Indonesia yang masih terusmencari orientasi bagi strategi
modernitasnya.

Pesannya

amat

jelas:

Waspadalah

terhadap

positivisme dan ilmu-ilmu sosial dan berbagai bentuk social


engineering yang tidak melibatkan public dalam mengambil keputusan
yang menyangkut kehidupan bersama, karena sains dan teknologi
tidak netral dari kepentingan-kepentingan. Tujuan yang mau dicapai
oleh Habermas adalah merumuskan syarat-syarat nyata untuk
mewujudkan masyarakat yang bebas dari penindasan.Karena itu,
Habermas mencoba mengembangkan teori kritis masyarakat.
2.2 DIALEKTIKA ANTARA AGAMA DAN SAINS
Pengaruh perkembangan Ilmu pengetahuan (sains) di akhir abad ke-16 telah
menciptakan persepsi masyarakat Barat berbeda dari pada saat-saat ditanamkan
dasar-dasar paradigmatiknya. Jika filsafat dapat dipahami sebagai manifestasi
kegiatan intelektual, maka tradisi ilmiah dalam kehidupan masyarakat Barat modern
tidak lain merupakan kelanjutan dari perjalanan panjang kehidupan orang-orang
Yunani Kuno.
Dengan demikian, seperti dikemukakan oleh Koento Wibisono[Koento
Wibisono Siswomihardjo, pada awal kelahirannya ilmu pengetahuan yang
sesungguhnya identik dengan filsafat itu mempunyai corak mitologik. Pada
perkembangan berikutnya, melalui para filsuf pra-Socrates filsafat mengalami
demitologisasi dan pada puncaknya berkembang menjadi ilmu pengetahuan.
Sampai di sini hingga pasca Arsitoteles, meskipun filsafat berkembang menjadi ajaran
praktis, namun pada masa Agustinus dan Thomas Aquinas filsafat berjalan seiring
dengan agama.

Pertemuan antara filsafat dengan agama tersebut menemukan batu pijakannya,


sehingga mendorong lahirnya berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti astronomi,
kedokteran, psikologi, biologi, aljabar, geometri, arsitektur dan sebagainya, pada saat
berada dalam perawatan para fiolosof muslim di abad 9 13 M. Perkembangan pesat
ini bukan semata-mata dikarenakan potensi dinamis yang terkandung dalam tradisi
intelektual Helenisme tersebut, tetapi lebih disebabkan keadaan umat Islam pada saat
itu telah memiliki sikap dan semangat berpikir ilmiah yang diwarisi dari ajaran
agama. Misalnya, semangat menghormati penalaran, mencari kebenaran dan
objektivitas serta penghormatan terhadap bukti-bukti empiris seperti diwarisi dari
tradisi Nabi Ibrahim dan Muhammad Saw. Dalam berbagai ayat al-Quran dan Hadits
banyak dijumpai perintah agar umat Islam selalu berfikir kritis dan apresiatif terhadap
ilmu, dari manapun datangnya. Diantaranya riwayat yang menganjurkan umat Islam
untuk mencari ilmu sekalipun ke negeri Cina. Sikap inklusif inilah yang mendorong
tumbuhnya intelektuaslisme Islam yang sangat subur di abad tengah, tepatnya ketika
bertemu dengan rasionalitas Yunani. Filsafat Yunani di sini hanya berperan
mengembangkan isi dan membangun kerangka metodologi ke dalam semangat
berfikir intelektual muslim pada saat itu.
Semangat ilmiah para ilmuwan muslim itu, menurut penuturan Osman Bakar,
sesungguhnya mengalir dari kesadaran mereka akan tawhid. Bagi umat Islam,
kesadaran akan Keesaan Tuhan merupakan kesadaran beragama yang paling
fundamental. Sehingga, aktivitas apapun (keagamaan maupun kebudayaan) dalam
kehidupan mereka senantiasa dinafasi oleh prinsip dan semangat monotheisme
tersebut.
Atas dasar semangat tawhid itu, maka di dalam Islam berlaku pandangan
bahwa realitas objektif alam semesta ini merupakan satu kesatuan. Kosmos yang
terdiri dari bukan saja berbagai realitas fisik tetapi juga non fisik dipahami saling
berkaitan dan membentuk jaringan kesatuan melalui hukum-hukum kosmos sebagai
manifestasi dari ketunggalan sumber dan asal- usul metafisiknya, yakni Allah Swt.

Dalam Islam, kesatuan kosmos ini merupakan bukti yang jelas akan keesaan-Nya.
(Lihat al-Quran surat al-Anbiya (21) ayat 22). Oleh karena itu, semangat ilmiah
dalam ilmu pengetahuan untuk mencari kebenaran bukanlah sesuatu yang
bertentangan dengan agama karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
semangat tawhid. Dengan semangat ilmiah tersebut, ilmu pengetahuan menjadi salah
satu instrumen yang dapat mengantarkan seseorang sampai pada Keesaan Realitas
Transenden itu sendiri. Sebaliknya, kesadaran tentang Keesaan Allah (tawhid)
merupakan sumber dari semangat ilmiah dalam seluruh wilayah ilmu pengetahuan
umat Islam.
Dengan demikian, relasi agama dan ilmu pengetahuan (sains) di dalam Islam
bisa diibaratkan dua sisi mata uang yang berbeda tetapi tidak dapat saling dipisahkan.
Penggunaan rasio atau ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari keimanan
kepada Allah Yang Transenden, dari ajaran-ajaran, aturan-aturan, nilai-nilai dan
prinsip-prinsip umum yang diberitakan kepada manusia melalui wahyu Ilahi dalam
pengertiannya yang paling universal. Kecuali itu, ilmu pengetahuan di dalam Islam
juga dikembangkan dengan mewarisi keseluruhan budaya kemanusiaan setelah
dipisahkan benar dari salahnya, baik dari buruknya, atau yang haq dari bathil-nya.
Dengan lain ungkapan, sains di dalam Islam sangat memperhatikan agama demikian
juga sebaliknya, karena ilmu pengetahuan merupakan jalan untuk memahami
kesatuan realitas kosmos yang telah diberitakan agama.
Dengan semangat gerakan tawhid dan eksplorasi ilmiah pada awal
perkembangannya itu menjadikan Islam tumbuh sebagai kekuatan peradaban dunia
yang secara gemilang mampu menjembatani dan menghubungkan wilayah-wilayah
peradaban lokal menjadi peradaban mondial. Hal ini sebagaimana dinyatakan
Nurcholish Madjid, bahwa masyarakat Islam adalah kelompok manusia pertama yang
merubah ilmu pengetahuan dari sebelumnya bersifat parokialistik, bercirikan
kenasionalan dan terbatas hanya pada daerah atau bangsa tertentu menjadi pandangan
dunia yang kosmopolit dan universal. Ini terbukti betapa banyak para ilmuwan kelas

dunia pada saat itu yang lahir dari dunia Islam yang karya-karyanya menjadi bidan
bagi kelahiran ilmu pengetahuan dan perdaban modern Barat. Oleh sebab itu, dapat
dimengerti pernyataan Komaruddin Hidayat, bahwa filsafat Yunani dan kajian
rasional-empiris yang berkembang di Barat tidak lain merupakan kontribusi penting
intelektual muslim yang diakui dalam dunia kesarjanaan.
Namun, karena berbagai sebab yang cukup kompleks (yang tidak mungkin
dibahas di sini) peradaban Islam tersebut tidak dapat dipertahankan oleh masyarakat
muslim abad pertengahan.

Semangat dan etos ilmiah umat Islam generasi ini

perlahan-lahan mulai mengalami pergeseran paradigma. Bahkan, pada saat yang


bersamaan pergeseran itu semakin menggejala lalu berubah menjadi perpindahan
tradisi ilmiah dari Timur ke Barat.
Filsafat sebagai kegiatan yang bisa dipertanggungjawabkan secara akliah,
yang oleh Aristoteles dibagi menjadi ilmu pengetahuan poietis (terapan), ilmu
pengetahuan praktis (dalam arti normatif seperti etika dan politik) serta ilmu
pengetahuan teoritik, mulai tereduksi dan dikaji bagian yang tersebut belakangan.
Memang, ilmu pengetahuan teoritik dipandang sebagai paling signifikan, yang
oleh founding father faham empirisme itu dibagi menjadi ilmu alam, ilmu pasti dan
filsafat pertama yang kemudian dikenal sebagai metafisika. Namun, para intelektual
muslim kala itu tidak lagi memperhatikan yang lainnya kecuali bagian metafisikanya
saja. Bahkan pada bagian yang terakhir ini pun hampir-hampir umat Islam
dihadapkan pada polemik berkepanjangan yang akhirnya merasa jenuh lalu
menjauhinya sama sekali.
Sebaliknya di Barat, dipelopori oleh gerakan Renaissance pada abad ke 15
kemudian disempurnakan oleh gerakan Aufklarung pada abad ke 18, filsafat Yunani
yang dipelajari para sarjana Barat melalui karya-karya para filosof muslim memasuki
tahap yang baru dan lebih maju atau modern. Dalam sentuhan tangan dingin anakanak Renaissance dan Aufklarung seperti Copernicus, Galilei Galileo, Kepler,
Descartes, Immanuel Kant dan lain-lain filsafat telah memberikan pengaruh yang

amat luas dan mendalam terhadap perkembangan pemikiran dan peradaban Barat.
Sebagaimana terjadi di dunia Islam, pemikiran filosofis warisan Yunani itu
telah membantu Barat menemukan makna kebebasan dalam kemanusiaannya.
Dengan kebebasan itu, terutama dalam pemikiran, perlahan Barat yang pada abad ke10 jauh dari peradaban intelektual mulai menapak dan merasakan pentingnya proses
civilization. Hanya, dikarenakan pengalaman traumatik terhadap gereja yang tidak
menyediakan ruang gerak bagi pemikiran di luar Bibel, maka mereka mengarahkan
kebebasan itu ke arah hidup sekuler. Meminjam pengertian Koento, yaitu suatu
kehidupan pembebasan dari kedudukan manusia yang semula merupakan koloni dan
sub koloni agama dan gereja.
Dengan arah filsafat yang cenderung pada kehidupan sekuler itu bukan saja
mengakibatkan ditinggalkannya agama, tetapi pada konsekuensi radikalnya, bahkan
sampai meragukan eksistensi Tuhan. Dalam hal ini indikasi yang paling nyata
tercermin dalam pernyataan Friedrich Nietzsche, bahwa setidaknya di dunia Barat
Tuhan telah mati. Tuhan telah mati dalam arti bahwa manusia telah membunuh
potensialitas dirinya sendiri, menjadi membunuh Tuhan, sehingga ia teralienasi dari
Tuhan yang sesungguhnya. Di dunia Barat Tuhan telah mati, pengertian ini
dimaksudkan bahwa agama Kristen telah kehilangan nilai spiritualnya. Fenomena
seperti ini apabila tidak segera disadari maka pada saatnya akan melahirkan dunia
tanpa Tuhan dan tanpa agama. Atau, paling tidak agama hanya ditempatkan sebagai
urusan pribadi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika filsafat dan agama di Barat masingmasing berdiri mandiri dan berkembang menurut dasar dan arah pemikirannya
sendiri-sendiri. Proses diferensiasi ini, kemudian, dilanjutkan dengan ditinggalkannya
filsafat oleh ilmu-ilmu cabang yang dengan metodologinya masing-masing
mengembangkan spesialisasinya sendiri-sendiri secara intens.
Diawali oleh lepasnya ilmu-ilmu alam atau fisika dan matematika yang
dimotori oleh Copernicus (1473-1543), Versalinus (1514-1564) dan Issac Newton

(1642-1727) ilmu pengetahuan mulai tercerabut dari akar filosofisnya. Khususnya


perkembangan ini semakin mencapai bentuknya secara definitif saat Auguste Comte
(1798-1857) dengan grand theory-nya menetapkan bahwa perkembangan berfikir
manusia dan masyarakat akan mencapai puncaknya pada tahap positif, setelah
melampaui tahap teologik dan metafisik. Istilah positif di sini mengandung arti bahwa
yang benar dan nyata haruslah konkrit, eksak, akurat dan memberi manfaat.
Dengan perkembangan seperti itu, maka ilmu pengetahuan di Barat cenderung
menjauh dari berbagai pengetahuan yang menurut dunianya dianggap tidak konkret,
tidak terukur dan spekulatif. Atas dasar itu, bukan saja filsafat lantas menjadi tidak
menarik di mata ilmu pengetahuan karena wataknya yang spekulatif, tetapi juga
pengetahuan agama yang dipandang out of date bahkan ahistoris cenderung
diabaikan. Di sinilah perkembangan ilmu pengetahuan itu kemudian menciptakan
persepsi

masyarakat

Barat

berbeda

dari

saat-saat

ditanamkan

dasar-dasar

paradigmatiknya.
Sampai memasuki abad 20, revolusi ilmu pengetahuan di Barat masih terus
berlangsung, berbagai penemuan telah merombak teori-teori yang sudah mapan
sebelumnya, tetapi perkembangan itu belum sampai menggeser paradigma
diferensiasi atau deagamaisasi ilmu pengetahuan yang menjadi ciri era modern
tersebut. Memang, pada satu pihak etos dan cara pandang Barat modern seperti itu
telah menumbuhkan optimisme terhadap ilmu pengetahuan dalam meningkatkan
fasilitas hidup, namun di pihak lain pesimisme terhadap dampak negatif yang
ditimbulkannya juga semakin nyata. Pesimisme itu bukan saja telah menghantui para
konsumennya, tetapi terutama kepada masyarakat Barat sendiri sebagai produsen
utamanya.
Namun pada paroh terakhir aba ke 20, etos keilmuan dengan cara pandang
seperti itu mulai dihadapkan pada kecenderungan baru yang lebih memperhatikan
dunia spiritual. John Naisbitt dan Patricia Aburdence, dalam Megatrend 2000
menyebutnya dengan istilah New Age. Suatu era yang berusaha meyakinkan banyak

orang bahwa cara yang paling tepat dalam memecahkan berbagai persoalan personal
dan sosial--yang telah menjadi bagian dari krisis kebudayaan Barat yang mendorong
kemunculan New Age--hanya akan terselesaikan, apabila ada cukup orang mencapai
apa yang disebut The Higher Consciousness. Dengan demikian, seperti penuturan
Amin Abdullah, modernisme dengan ciri diferensiasinya yang sangat ketat dalam
berbagai bidang kehidupan boleh dibilang sudah tidak lagi sesuai dengan semangat
zaman.
2.3 Integrasi Agama dan Sains sebagai Suatu Keniscayaan
Pengamatan Naisbitt dan Patricia di atas ada relevansinya dengan pandangan
Capra, bahwa untuk keluar dari belenggu dikotomi dalam kehidupannya, manusia
modern dituntut dapat mengintegrasikan nilai-nilai dan makna-makna yang
dikombinasikan dengan pengetahuan (sains). Untuk keperluan ini, menurut Azizan,
hanya ada satu subyek yang dapat mengajarkan dan menawarkan nilai-nilai tersebut,
yaitu agama. Hal ini tidak berlebihan, karena agama memang merupakan sumber
makna dan nilai-nilai yang kita pandang penting dan dapat diterjemahkan melalui
pembangunan.
Pandangan integratif seperti ini disebabkan sains modern yang positivistik
cenderung melakukan reduksi terhadap realitas alam, termasuk manusia sebagai
makhluk hidup. Misalnya, ketika berbicara tentang kosmologi, sains senantiasa
melepaskannya dari unsur-unsur spiritualnya seperti Tuhan, malaikat ruh dan
sebagainya. Alam semesta diapahami sebagai yang terjadi dengan sendirinya dan
diatur oleh sebuah hukum alam yang mandiri, tetap dan tidak bisa diubah oleh
kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Begitu juga tentang manusia, yang sering
dipandang agama dan filsafat memiliki dimensi luhur seperti jiwa, hati, ruh dan
sebagainya, dipersepsi sains hanya sebagai makhluk fisik atau bilogis dengan sistem
syaraf yang sangat rumit, tetapi tidak menghasilkan jiwa sebagai substansi
immaterialnya. Di sini, manusia menjadi tidak memiliki keistimewaan, seperti yang

diberikan oleh filsafat, sebagai mikrokosmos; atau oleh agama, sebagai wakil Tuhan
di bumi.(Mulyadi Kartanegara, 2003)
Dalam penilaian Golshani, pengabaian terhadap keterbatasan sains dan
pengingkaran peranan filsafat dan agama dalam sains itu merupakan pemahaman
yang naif. Baginya, sains tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai sepenuhnya, kerja
ilmiah banyak diisi dengan perkiraan filosofis dan religius, dan metafisika
memainkan peranan sangat penting hampir pada semua level aktivitas ilmiah.
Tegasnya, menurut Golshani, terlalu sederhana untuk berfikir bahwa komitmen
filosofis dan ideologis tidak akan pernah masuk ke dalam struktur ilmu pengetahuan.
(Mehdi Golshani, 2003).
Lebih dari itu, lanjut Golshani, pandangan bahwa aktvitas ilmiah adalah bebas
nilai hanyalah mitos belaka. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan sebagai berikut:
1) Aktivitas ilmiah adalah sebuah tujuan yang mengarahkan suatu usaha. Ini
berarti bahwa beberapa nilai mengambil peran sebagai pembimbing di
dalamnya. Misalnya, pencarian kebenaran merupakan nilai yang menjadi
prinsip dalam mengarahkan banyak ilmuwan.
2) Semua aktivitas ilmiah melibatkan beberapa pertimbangan nilai (value
judgments):
a)

Beberapa kode etik seperti kejujuran, keadilan dan fungsi integritas


sebagai mekanisme pengawasan kualitas dalam usaha ilmiah.

b) Pertimbangan nilai dapat membentuk garis penelitian seorang ilmuwan


atau pilihan teori-teorinya. Misalnya, Einstein dan Heisenberg memiliki
tekanan khsusu pada kesederhanaan teori fisikanya. Sedangkan Dirac
menekankan

pada

keindahan

teori

fisikanya.

Pertimbangan-

pertimbangan pragmatisnya adalah beberapa kriteria orang lain untuk


pilihan teori-teori.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa melalui argumen-argumen
filosofis dan penemuan mutakhir tentang sains, berfikir dikotomis tentang agama dan

sains memang sudah saatnya dikoreksi kembali. Sebab, penemuan mutkahir di bidang
fisika kuantum, misalnya, setidaknya telah meruntuhkan asumsi kaum materialis
bahwa dunia ini hanyalah bersifat materi belaka. Padahal, fisika kuantum
membuktikan bahwa unsur fisik yang terdapat dalam sebuah atom sangat tidak
signifikan bila dibanding dengan unsur non-materinya, yang merupakan bagian
paling ekstensif dari atom-atom yang menyusun alam semesta ini (Mulyadhi
Kartanegara, 2002). Ini artinya, anggapan sains bahwa alam dengan segala isinya
bersifat fisik dan hanya dapat dipahami melalui observasi inderawi semata menjadi
tidak sepenuhnya benar. Sebaliknya, dengan adanya penemuan-penemuan mutakhir
dalam bidang sains serta perkembangan teori-teori kefilsafatan, agama perlahan-lahan
juga mulai menemukan batu pijakan untuk kebenaran yang diberitakannya.
Oleh karena itu, antara agama dan sains memang sudah semestinya terjalin
hubungan fungsional dan dialektis dalam kerangka yang bisa dipahami oleh akal
rasional manusia. Hal ini dikarenakan antara sains yang berpijak pada observasi
inderawi, dan filsafat yang mengutamakan rasional, agama yang bersandar pada
wahyu memiliki kecenderungan untuk saling melengkapi.
2.4 TELAAH ATAS TEORI KRITIS JERMAN
Sekarang, manusia telah mengalami kemajuan yang sedemikian pesat.
Modernitas manusia sudah tidak terelakkan lagi. Manusia dalam titik kemajuan
modernitas, telah dihantar pada sebuah situasi yang sedemikian krusial. Modernitas
telah membawa manusia pada kemajuan teknologi yang sedemikian pesat. Teknologi
modern sudah menjadi alat perpanjangan tangan manusia. Manusia semakin
dipermudah oleh sarana-sarana teknologi yang ada.
Bahkan, teknologi telah merasuki simpul-simpul kesenangan dan simbolisasi
manusia. Kehidupan manusia bisa sedemikian nyaman dan aman sehingga manusia
bisa tidur nyenyak dalam keterbatasannya sebagai manusia. Giddens pernah
menyatakan situasi semacam ini sebagai ontological security. Modernitas,

komunikasi dan teknologi modern telah melahirkan kisah kebebasan beragama,


kemajuan transpotasi, perkembangan teknologi informasi, keterjaminan pangan,
penerangan listrik, komunitas melting pot, dan masih banyak lagi. Teknologi,
komunikasi dan modernitas telah mencanangkan janji dan ideologi kehidupan
manusia yang lebih baik, membuat manusia semakin pintar, lebih bahagia dan
sebagainya.
Tapi di lain pihak, modernitas, komunikasi dan teknologi tidak bisa
dipisahkan dengan aspek-aspek negatif yang dihasilkannya. Modernitas yang
menjanjikan kebahagiaan juga tetap meninggalkan jejak pengasingan manusia[ii].
Dalam akumulasi kemajuan teknologi yang ada, tetap dilihat sebuah proses di mana
manusia dibuat mabuk kepayang oleh modernitas, komunikasi dan teknologi modern.
Segala teknologi, industri komunikasi dan gaya hidup modern bisa mengucilkan,
memencilkan, mengaburkan dan menghancurkan martabat manusia. Industri dan
modernitas bisa membawa pada keterasingan manusia.
Maka diperlukan sebuah sarana untuk menjadi pisau analisa untuk bisa
mengkritisi dan melihat secara arif kemajuan demi kemajuan yang telah manusia
peroleh. Manusia boleh memanfaatkan kemajuan kehidupan modern, tapi manusia
tetap menjadi subjek dalam setiap proses kemajuan yang ada.
Sejarah ilmu pengetahuan pada umumnya, dan filsafat pada khususnya
mencatat bahwa Teori Kritis yang berbasis para intelektual Sekolah Frankfurt Jerman
telah memberikan kontribusi yang cukup memadai dalam melihat dan memahami
modernitas manusia.
Kehadiran Max Horkheimer, Theodor. W. Adorno, Herbert Marcuse, Jurgen
Habermas dan kawan-kawan telah memberikan angin segar penuh dengan kebijakan
yang kritis atas seluruh fenomena modernitas yang menjanjikan tapi juga kalau tidak
hati-hati menjerumuskan. Meski sumbangan Teori Kritis begitu menyolok bagi
orang modern, tetap saja tidak bisa dipungkiri bahwa Teori Kritis tetap memuat
keterbatasan-keterbatasan epistemologis dan metodologis.

Sejak semula, Sekolah Frankfurt menjadikan pemikiran Marx sebagai titik


tolak pemikiran sosialnya. Tapi yang perlu harus diingat adalah bahwa Sekolah
Frankfurt tetap mengambil semangat dan alur dasar pemikiran filosofis idealisme
Jerman, yang dimulai dari pemikiran kritisisme ideal Immanuel Kant sampai pada
puncak pemikiran kritisisme historis dialektisnya Georg William Friederich Hegel.
Dengan sangat cerdas, sebagian besar pemikir dalam sekolah Franfurt berdialog
dengan Karl Marx, Hegel dan I. Kant.
Jadi dapat dikatakan bahwa pemikiran dialektis materialis ekonomi Karl
Marx, pemikiran ideal rasional historis Hegel dan perspektif normatif subjek otonom
Immanuel Kant bukan merupakan barang-barang yang asing dalam pemikiran Teori
Kritis. Dalam perkembangan selanjutnya, ketika Max Horkheimer menjabat direktur
Sekolah Frankfurt, pelan-pelan ia memasukkan pemikiran psikoanalisa Sigmund
Freud ke dalam pemikiran sosial Teori Kritis (meskipun dengan hal ini, pemikiran
kritis menuai kritik tajam sebagai pengkhianatan terhadap orthodoxi marxisme).
Lalu, bagaimana empat inspirasi intelektualisme memberikan pendasaran
asumtif di atas dengan pemikiran Teori Kritis ? Dapat dikatakan bahwa Teori Kritis
mendasarkan inspirasi refleksi sosial kritisnya pada subjektivisme kritis Kant,
dialektika Hegel, refleksi ekonomi politik Karl Marx dan kritik ideologi psikoanalisa
Freud.
Pertama, Sekolah Frankfurt menghargai Immanuel Kant, karena Kant telah
memberikan prioritas otonomi subjek dalam membentuk pengetahuannya. Dengan
demikian, pengertian kritis dapat dikatakan sebagai pengembalian peran subjek dalam
menentukan pengetahuan. Pengetahuan tidak ditentukan oleh objek tapi subjek yang
menghasilkan pengetahuan tersebut. Manusia tidak perlu lagi memahami alam
sebagai semata-mata alamiah, tapi alam dilihat sebagai kebudayaan, yaitu alam yang
sudah dirasionalisasikan manusia.
Tapi masalahnya, Teori Kritis melihat bahwa Kant melupakan pengetahuan
manusia yang bersifat historis. Pengetahuan harus terikat pada ruang dan waktu

tertentu. Jika pengetahuan bebas dari seluruh kontekstualitas kesejarahannya maka


pengetahuan akan bersifat abstrak dan kosong. Faktor ekstra rasio manusia tidak
diperhitungkan oleh Kant, karena ketika faktor itu diperhatikan pada saat itu pula
filsafat Kant menjadi inkonsisten. Rasionalitas Kant sangat bersifat formal.
Formalitas pengetahuan Kant hanya sekedar menyentuh pada soal syarat kebenaran
tapi meleset jauh dari soal isi kebenaran objektif. Hal inilah yang menyebabkan
bahwa filsafat Kant tidak lagi mencukupi pemikiran teori kritis yang mau lebih
mengeksplorasi aktivitas pengetahuan subjektif manusiawi. Itulah sebabnya juga,
Teori Kritis mulai menengok pada pemikiran Idealisme Hegel sebagai suplemen
teoritis yang dipakai sebagai cara menutupi kelemahan epistemologi kritisisme Kant.
Kedua, Kelemahan Kant yang dilihat oleh Teori Kritis adalah realisasi
otonomi rasio manusia. Teori otonomi rasio manusia mengalami kemandegan.
Konsistensi epistemologi Kant justru menempatkan rasio tetap subjektif tapi tidak
serta merta objektif. Seharusnya, rasio harus semakin meneguhkan atau
mengafirmasikan diri dalam bentuk Roh yang Sempurna. Teori Kritis lebih melihat
dialektika Hegel sebagai usaha dimensi rasionalitas manusia yang menyejarah.
Setidaknya ada empat unsur pemikiran dialektika yang diambil oleh Teori Kritis
sebagai dasar pemikirannya. Keempat unsur itu adalah proses dialektika sebagai
sebuah totalitas, realitas dilihat sebagai prinsip working reality, pikiran dialektis
sebagai pikiran yang berperspektif empiris-historis, dan pikiran dialektis dalam
kerangka berpikir praksis dan teoritis. Ada sebagian pemikir kiri melihat bahwa
Sekolah Frankfurt adalah simbol kebangkitan kaum Hegelian Kiri abad XX (Martin
Jay, pp. 42).
Masalahnya, pemikiran kesadaran Roh Absolut dan prinsip berpikir dialektis
juga tetap tidak begitu adekuat untuk mendukung rancang bangun pemikiran Teori
Kritis. Hegel memang bisa merealisasikan pemikiran subjektif apriori Kant dan
mendamaikan realitas kesadaran, tapi asumsi Hegel mengenai kesadaran Roh
Absolut justru membawa pemikiran rekonsiliatif Hegel ini hanya berlaku dalam

pemahaman saja. Kompleksitas kesadaran dan realitas yang dirangkum dalam


kesadaran Roh, tidak serta merta mengakibatkan realitas konkret Roh itu sendiri.
Teori Kritis justru melihat bahwa filsafat Hegel bersifat transfiguratif belaka. Dalam
filsafat Hegel, penderitaan-penindasan-dominasi telah diabstraksikan pada tingkat
yang lebih tinggi. Abstraksi ini membuat problematika manusia hanya dipahami atau
dilampaui (aufheben). Padahal, problematika manusia justru tetap tinggal menjadi
kenyataan dan tetap ada. Hal ini yang tidak bisa dijelaskan secara memadai oleh
Hegel. Oleh sebab itu, Teori Kritis mencoba mengeksplorasi pemikiran Karl Marx
dalam usaha menjelaskan dan merefleksikan kenyataan sosial dan sejarah manusia.
Ketiga, kemacetan pemikiran Hegel atas kesadaran teoritis dengan praksis
sosial menjadi sebab utama Teori Kritis mulai meninjau pemikiran filsafat sosial Karl
Marx. Teori Kritis berinspirasi pada kekuatan materialisme dialektis ekonomi politik
Karl Marx yang mencoba untuk membangun sikap kritis bahwa kesadaran harus
bersifat mengubah realitas sosial. Dari inspirasi kritik kapitalisme Marx dalam
bukunya yang berjudul Das Kapital, Teori Kritis menurunkan makna kritik dalam
pengertian emansipatorik. Pada dasarnya, proyek emansipasi sosial Marx lebih ingin
menyatakan bahwa filsafat tidak hanya merefleksikan kerangka determinisme
ekonomi tapi juga membuka kerangka kekuatan untuk melakukan pembebasan
manusia dan penindasan dengan memanfaatkan determinisme ekonomis.
Teori Kritis mengambil pengertian emansipatoris sebagai proyek utama
seluruh teori dari Sekolah Frankfurt. Tentu saja pengertian kritik dalam perspektif
Marx adalah pengertian kritik yang selalu mengarah pada tindakan praksis. Maka
pembebasan yang diproyekkan oleh Teori Kritis lebih merupakan pendasaran
pembebasan dan pemerdekaan dalam seluruh bidang kehidupan manusia atas praksis
kapitalistis.
Persoalan menjadi muncul ketika hukum baja prediksi Karl Marx justru
meleset dalam situasi kapitalisme modern. Konteks sejarah pendirian Teori Kritis
memperlihatkan bahwa era kapitalisme monopolis telah menggusur dengan sukses

kapitalisme liberal. Prediksi Marx yang menyatakan bahwa kapitalisme mengalami


kebangkrutan tidak terbukti. Kapitalisme justru dengan sukses mengalami
rekonfigurasi sehingga kapitalisme bisa beradaptasi dengan situasi modern.
Hal tersebut menjadikan Teori Kritis menyatakan bahwa ternyata faktor utama
perubahan sosial tidak terletak pada faktor ekonomi saja, tetapi ada faktor-faktor lain,
seperti politik sosiologi dan kebudayaan yang turut juga mempengaruhi dinamika
sosial masyarakat dan individu. Adagium ini semakin diperkuat dengan realitas sosial
modern yang sangat bersifat teknologistik. Dengan demikian, kembali lagi
permasalahannya terletak pada konsep rasio manusia. Teori Kritis melihat bahwa
konsep

rasio

manusia

modern

justru

sangat

bersifat

instrumental.

Segi

instrumentalisasi rasio manusia dilihat sampai pada pengaruh atas isi individu yang
paling dalam, yaitu kesadaran psikis manusia. Fenomena psikologi manusia yang
berkaitan dengan dinamika kemasyarakatan menjadikan pemikiran Marx tidak cukup
untuk menjelaskan fenomena kapitalisme modern yang semakin kompleks.
Keempat, Teori kritis mencoba untuk melihat pemikiran psikoanalisa
Sigmund Freud untuk memberikan kontribusi pemikiran tentang energi psikologi atas
seluruh proses sosial manusia. Pemikiran Freud semakin signifikan untuk dipakai
Teori Kritis ketika refleksi Marx juga menyangkut soal ideologi. Dalam praksis
masyarakat modern, makna ideologi sebagai beragam. Tapi yang menjadi jelas adalah
bahwa ideologi menyangkut dan mempengaruhi cara berpikir manusia[vi]. Namun
kritik ideologi Marx kurang memberikan alasan secara persis mengapa kesadaran
langsung ditentukan oleh kenyataan (Fromm, 1974). Ini berarti ada sesuatu yang
hilang pada ruang bangunan atas yang sarat ideologi dengan basis yang bersifat
sosio-ekonomis dalam pengertian Karl Marx. Ada persoalan yang nantinya oleh
Marcuse sebagai kesadaran palsu.
Teori Kritis melihat bahwa psikoanalisa cukup memberikan penjelasan yang
memadai dalam melihat missing link antara bangunan atas dan basis-nya Karl Marx.
Sekolah Frankfurt melihat integrasi antara Freud dan Marx tentang naluri psikologis

yang terangkum dalam usaha rasionalisasi sosial bisa menjelaskan proses ideologisme
dalam seorang individual dalam tataran mikro dan masyarakat dalam tataran
makro sosial kolektif. Latar pengaruh pemikiran Freud dalam karya Teori Kritis
terlihat dalam penyelidikan empirik Teori Kritis Studien ber Autoritt und Famili
(Sindhunata, 1983).
Setelah mengetahui beberapa asumsi dasar dalam Teori Kritis, maka
sebetulnya ada beberapa sasaran yang menjadi proyek utama Teori Kritis pada
seluruh bangunan teori dan filsafatnya. Aliran Frankfurt ingin memperjelas secara
rasional struktur yang dimiliki oleh masyarakat pasca industri dan melihat akibatakibat struktur tersebut dalam kehidupan manusia dan dalam kebudayaan. Teori Kritis
ingin menjelaskan hubungan manusia dengan bertola dari pemahaman rasio
instrumental. Teori Kritis ingin membangun teori yang mengkritik struktur dan
konfigurasi masyarakat aktual sebagai akibat dari suatu pemahaman yang keliru
tentang rasionalitas.
Sasaran atau objek kritik rasionalitas ini melandaskan pemikiran rasionalitas
pada masa pencerahan. Rasionalitas pada masa pencerahan adalah rasionalitas yang
membebaskan manusia dari keterbatasan manusia atas cengkeraman alam dan
pengembangan tatanan sosial yang melaksanakan kebebasan dan keadilan. Sasaran
pencerahan rasionalitas adalah pembebasan manusia atas perbudakan alam dan
manusia dikembalikan sebagai tuan atas alam serta dirinya sendiri. Teori Kritis
melihat pencerahan sebagai proses dialektika.
Masalahnya

adalah

Aufklarung

yang

sesungguhnya

tidak

berhasil

menghilangkan mitos. Pada titik tertentu, Aufklarung malah menjadi mitos. Dalam
Era Pencerahan, mitos menjadi rasional. Mitos mengandung representasi dari yang
Illahi. Aufklarung mewarisi pendapat Francis Bacon tentang ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan harus bersifat operasional. Sikap tersebut akhirnya diteruskan oleh
positivisme dan pragmatisme yang tidak percaya akan kebenaran dalam dirinya
sendiri. Kebenaran disebut kebenaran apabila terjadi eksperimentasi. Operasionalisasi

ilmu pengetahuan justru menjadi tujuan pada dirinya sendiri (Horkheimer, 1973
selanjutnya buku Dialectics of Enlightment (selanjutnya akan disebut DoE).
Selain bahwa pencerahan mengalami kegagalan maka kritik yang lain dari
Teori Kritis adalah kritik terhadap masyarakat. Kritik masyarakat modern pasca
industri adalah kritik bahwa masyarakat mengalami satu dimensi. Hal ini tampak
dalam aspek sehari-hari, ilmu pengetahuan, seni, filsafat, sistem politik dan lainya.
Dalam masyarakat modern, baik manusia maupun realitas, direduksi menjadi
sesuatu yang sangat fungsional, terlepas dari otonomi. Manusia modern kehilangan
prinsip kritis. Konsep kritis dan kebenaran harus dikembalikan pada tataran normatif,
mengatasi taraf empirisme dan formalitas logika Aristotelian. Kebenaran normatif
bersifat dialektis dan emansipatorik.
Berbicara tentang Teori Kritis tidak bisa dipisahkan dengan wacana kritik.
Kekuatan Teori Kritis terletak pada kemampuan elaborasi kritik dalam situasi dan
kondisi tertentu. Sudah sejak awal Teori Kritis mengambil sikap kritis terhadap ilmu
pengetahuan dalam hal ini teori tradisional dan masyarakat. Teori Kritis secara
lengkap memberikan pendasaran kritik pada krisis teori tradisional yang melulu
mempertahankan status quo yang ada, teori yang memisahkan teori dan praksis
tidak berkecimpung dalam penerapan praktis sistem teoritis konseptualnya. Oleh
sebab itu, penolakan Teori Kritis terhadap preskriptivisme dan filsafat sosial
tradisional merupakan warisan Hegel.
Kritik imanen menjadi sangat krusial dalam seluruh pembangunan sebuah
teori yang akhirnya memerdekakan manusia. Kritik imanen adalah kritik yang
pertama dan utama atas dogmatisme dan formalisme pengetahuan yang ada. Kritik
imanen yang dikembangkan oleh Teori Kritis adalah kritik dogmatisme positivisme
yang mendasarkan pada pemikiran August Comte dan Francis Bacon, juga kritik atas
formalisme deduktif Aristotelianisme yang kaku. Kritik imanen mau mengatakan
bahwa isi dan bentuk, yang apa adanya dan seharusnya, harus direfleksikan pada
dasar kesadaran yang terikat pada bentuk kehidupan. Kritik Hegelian dan keberatan

atas teori hak kodrati merupakan kesatuan bersama pada tingkatan kehidupan etis.
Menurut Seyla Benhabib, Hegel melihat sejarah sebagai keniscayaan sosial, etika dan
idealisme nilai. Filsafat sebetulnya dipakai untuk mengurangi bifurkasi dalam
kehidupan manusia. Tapi masalah dalam epistemologinya, Hegel tidak memberikan
pandangan yang utuh atas seluruh proses manusia, termasuk di dalamnya cara
pandang, tata nilai, interpretasi dan tindakan sosial.
Kritik anthropologis Marx terhadap Hegel lebih memanusiakan filsafat
sejarah Hegel. Tapi tetap saja, kritik Marx merupakan model normatif atas
emansipasi.

Ketidakakurasian

kategori

Marxian

atas

objektifikasi

untuk

mengkarakterisasikan aktivitas komunikatif dan kegagalan paradigma Hegel atas nilai


eksternalisasi membawa pengaruh yang tidak sedikit dalam pemahaman Teori Kritis.
Objektifikasi dan eksternalisasi didasarkan pada model teleologis intensional
tindakan manusia.
Inti kritik rasio instrumental Horkheimer, menurut Seyla Benhabib, adalah
bahwa telah terjadi penjerumusan akal budi objektif dengan mengemukakan akal budi
yang semata-mata instrumental. Usaha manusia untuk semakin dikuasai oleh
rasionalitas justru membuat manusia masuk pada kehancuran diri (self-destruction).
Untuk itu, manusia mengusahakan akal budi yang murni subjektif. Akal budi
subjektif adalah akal budi yang mengarah pada manfaat. Pada proses selanjutnya,
manusia tidak lagi percaya pada konsep nilai dalam rasio objektif. Akal budi
diformalitaskan. Formalisasi akal budi memudahkan terjadi instrumentalisasi akal
budi manusia. Hal ini terjadi ketika akal budi manusia dimasukkan dalam proses
kapitalisasi kolektif dalam perspektif ekonomi politik Karl Marx. Pergeseran demi
pergeseran mengubah manusia dalam kungkungan ideologi di mana manusia tidak
bisa lagi kritis dengan keadaan sekitarnya bahkan terhadap dirinya sendiri.
2.5 ANTARA TEORI KRITIS DAN TEORI ILMIAH
Teori-teori Kritis pada awalnya merujuk pada serangkaian pemikiran mereka

yang tergabung dalam sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun


1920an, yang kemudian dikenal sebagai Die Frankfurter Schule atau Frankfurt
School. Pemikiran mereka banyak memperoleh inspirasi dari, atau didasarkan atas,
pemikiran tokoh-tokoh seperti Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund
Freud, dan terutama sekali serta tidak bisa dilepaskan dari konsepsi pemikirab
Karl Marx (lihat a.l., Alvesson dan Skolberg, 2000).
Namun mazhab Frankfurt telah berkembang dinamis melalui beberapa
generasi pemikiran, dan memproduksi sejumlah varian pemikiran, sehingga secara
keseluruhan memperlihatkan bahwa mazhab ini bukan merupakan suatu kesatuan
pemikiran yang monolitik. Hingga kini sekurangnya, Frankfurt School telah
mencakup 3 (tiga) generasi pemikiran. Yang pertama, yang seringkali disimpulkan
dalam label school of Western Marxism (Held, 1980; hal. 13) dipelopori oleh
tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan Herbert Marcuse. Tokoh
psikoanalis, Erich Fromm dan Sigmund Freud juga dinilai sebagai bagian dari
generasi pertama Teori-teori Kritis (lihat Dant, 2003; Held, 1980). Kematian Adorno
dan Horkheimer dinilai banyak kalangan ilmuwan sebagai salah satu faktor yang
telah mengakhiri era Frankfurt School, sekaligus merupakan akhir dari pemikiran
teori-teori kritis sebagai suatu bentuk pemikiran Marxisme. Sebab, sdetelah itu
perkembangan pemikiran tokoh-tokoh mazhab kian menjadi sedemikian kabur
dan semakin terpisah dari, atau tidak terkait dengan, gerakan-gerakan politik Marxist
(lihat a.l., Bottomore, 2002; hal.54 55).
Generasi kedua, antara lain telah mencuatkan nama-nama seperti Jurgen
Habermas. Karya-karya pemikiran Habermas dengan jelas menunjukkan adanya
perbedaan epistemologis yang cukup mendasar dibanding konsepsi yang dimiliki para
pendahulunya, meskipun tetap mempertahankan tradisi serta cirinya sebagai bagian
dari teori kritis. Konsepsi Habermas tentang communicative rationality contohnya,
dapat dinilai sebagai perpecahan epistemologi dengan philosophy of consciousness
yang digunakan generasi pertama Frankfurt School, seperti Horkheimer, Adorno, atau

Marcuse.
Sementara itu, generasi ketiga, merujuk pada tokoh-tokoh seperti Axel Honeth
(lihat a.l., Rush, 2000; hal. 1.). Namun kini lingkup teori-teori kritis telah makin
meluas, mencakup ataupun menjadi dasar rujukan analisis kritis dari pakar seperti
Jacques Lacan (psikoanalisis), Roland Barthes (semiotik and linguistik), Peter
Golding, Janet Wasko, Noam Chomsky, Douglas Kellner (ekonomi-politik media),
hingga

berbagai

tokoh

dalam

topik

masalah

gender, etnisitas

dan

ras,

postkolonialisme, dan hubungan internasional. Karenanya, kini sering dibedakan


pengertian antara Critical Theories dan critical theories. Yang pertama merujuk pada
teori-teori mereka yang tergabung dalam Frankfurt School, sedangkan yang kedua
mewakili pengertian yang lebih umum Bahkan dijumpai sejumlah kepustakaan yang
memasukkan pemikiran-pemikiran tokoh posmodernis, seperti Baudrillard dan
Foucault, ke dalam kategori paradigma Teori-teori Kritis.
Teori dalam pengertian tradisional bertujuan untuk melakukan eksplanasi
tentang, dan prediksi terhadap, suatu fenomena sosial. Dalam pengertian tersebut
teori bisa didefinisikan seperti yang dikemukakan Kerlinger (1985; hal. 9): Di lain
pihak, dalam paradigma teori-teori kritis, teori merupakan suatu kritik untuk
mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu realitas semu atau kesadaran
palsu yang teramati secara empirik. Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha
melakukan eksplanasi, namun eksplanasi dalam pengertian lain, yakni ekplanasi
tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar (seperti
false class consciousness). Tujuannya tak lain untuk pencerahan, emansipasi
manusia, agar para pelaku sosial menyadari adanya pemaksaan tersembunyi, atau
hegemoni (lihat a.l., Horkheimer, dalam Bohman, 2005;1).
Dari segi tujuan teori-teori kritis, maka prediksi bukan pula merupakan tujuan
dari berteori. Dengan kata lain, predictive power bukan merupakan tolok ukur untuk
menilai kekuatan suatu teori kritis. Hal ini penting disadari. Sebab, teori-teori kritis
seringkali dikritik dan dinilai telah gagal, akibat tidak mampu membuat prediksi, atau

karena situasi yang diramalkan tidak terbukti. Sementara di lain pihak, tidak tepat
bila pemikiran Marcuse, contohnya, dinilai telah membuat semacam prediksi, yang
mengatakan bahwa bourgareeois art akan berakhir. Yang sebenarnya ia lakukan
adalah mengantisipasi berakhirnya bourgeois art tersebut karena hal itu merupakan
suatu demand or requirement of rationality. Artinya, Marcuse sebenarnya
memperlihatkan apa yang harus dipenuhi demi terciptanya suatu kondisi tertentu.
Analisis Marcuse tersebut jelas berbeda dengan analisis prediktif, contohnya
seperti yang dilakukan Benjamin, ketika membuat sebuah deskripsi suatu proses
dimana seni akhirnya akan kehilangan aura-nya (Habermas, sebagaimana dikutip
Geuss, 1981; hal. 57).
Dimensi tujuan praktis teori-teori kritis, dengan demikian juga lebih bersifat
normatif, yang secara sadar dilekatkan dengan suatu filosofi moral tertentu. Misi
normatif tersebut hanya mungkin dipenuhi melalui suatu interplay antara seperangkat
norma-norma filosofi sosial dengan ilmu-ilmu sosial. Oleh karena itu pula, sebuah
teori kritis, dalam penilaian Horkheimer (dalam Bohman, 2005; hal. 1), bisa dianggap
mencukupi (adequate) bila memenuhi 3 (tiga) kriteria, yakni teori tersebut harus:
1) Explanatory, yakni harus menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang
ada. Pengertian explanatory, juga berarti adanya unsur muatan judgments dalam
teori, antara lain tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak
seharusnya, yang wajar dan tidak wajar.
2) Practical, antara lain menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial
yang mampu merobah dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang
dinilai tidak seharusnya demikian.
3) Normative; terkait dengan dua dimensi terdahulu, suatu teori kritis jelas harus
menyajikan norma-norma yang jelas, atau moral concerns, baik yang
dipergunakan sebagai dasar melakukan kritik terhadap suatu realitas sosial,
maupun mengetengahkan tujuan-tujuan praktis yang bisa dicapai melalui suatu
transformasi sosial.

Kesemuanya itu terkait dengan konsepsi para teoretisi kritis tentang struktur
kognitif suatu teori kritis, dan juga dengan konsepsi yang mereka miliki mengenai
objektivitas, serta kedudukan pembuktian empirik dalam teori-teori kritis.
2.6 NORMA DAN TRANSFORMASI KRITIK

Anda mungkin juga menyukai