Anda di halaman 1dari 15

Makalah Jurnalisme Damai

JURNALISME DAMAI
Oleh:
MUHAMMAD AZIZI
1810102010114

Dosen Pengampu :
DR. HAMDANI M. SYAM, MA

JURUSAN ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA, BANDA ACEH
APRIL, 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur kita panjatkan kepada


Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, nikmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan Makalah ini. Shalawat beriring
salam penulis panjatkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, beserta
keluarga, para sahabat dan pengikutnya. Penulis mengharapkan dengan penyusunan
makalah ini dapat menambah wawasan pembaca.
Penyusunan makalah ini merupakan salah satu kewajiban bagi penulis guna
melengkapi tugas-tugas demi kelancaran perkuliahan Jurnalisme Damai. Penulisan
makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dosen
Pengampu Mata Kuliah ini, yakni Bapak Dr. Hamdani M. Syam, MA yang telah
bersedia membimbing penulis dalam menyelesaikan penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak kekurangan
ataupun kekeliruan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan dan kemampuan penulis
dalam menyelesaikan makalah ini. Penulis memohon maaf atas segala kekurangan
dan ketidaksempurnaan dalam penyelesaian makalah ini.

Banda Aceh, 13 April 2020

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Konflik antar suku, agama, ras dan golongan (SARA) merupakan isu hangat
beberapa dekade belakangan ini. Salah satu unsur SARA yang sering memicu dan
menyebabkan konflik adalah agama. Agama yang dipahami oleh para pemeluknya
kerap dianggap sebagai ukuran tertinggi dari sebuah kebenaran. Hal ini kemudian,
dikontraskan dengan melihat agama lain memiliki kekurangan atau tidak ideal.
Standar ganda itu juga digunakan sebagai alasan pembenar untuk segala bentuk
tindak kekerasan bernuansa agama.

Tindak kekerasan terhadap kelompok agama di Indonesia bukan merupakan


hal baru. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) mengumumkan
bahwa jumlah pengaduan dugaan pelanggaran Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (KBB) meningkat, sejak 2014 hingga 2016. Tahun 2014 tercatat 74
pengaduan, kemudian di 2015 meningkat menjadi 89 pengaduan. Bahkan, di enam
bulan pertama 2016 sudah tercatat 34 kasus pelanggaran KKB. Jumlah ini,
kemungkinan akan bertambah mengingat sikap inklusif dari masing-masing
pengikut agama dan sulitnya tercipta pluralitas antar pemeluk agama di Indonesia.

Banyak kelompok agama minoritas yang sering mendapatkan tindakan


diskriminasi ataupun pengusiran terhadap aktivitas ibadahnya seperti salah satunya
kelompok Ahmadiyah. Sejak awal kemunculan Ahmadiyah sebagai salah satu
kelompok dan aliran agama di Indonesia, kelompok ini sudah mengundang pro-
kontra di berbagai kalangan masyarakat. Selain itu, konflik antar agama yang terjadi
di Indonesia beberapa waktu lalu, pembakaran Masjid di Tolikara, pembantaian umat
beragama minoritas seperti di Rohingya, Afrika, Gujarat, dan lainnya. Mulai dari
pergesekan ideologi hingga penistaan simbol-simbol agama yang berujung pada
tindakan kekerasan, menimbulkan kerugian baik jiwa maupun materi. Mencapai
kerukunan umat beragama dengan jalan dialog adalah salah satu upaya untuk
menemukan solusi yang tepat mengatasi konflik antar agama secara adil. Dalam hal
ini, dialog harus dipahami sebagai media untuk berpikir bersama memecahkan
masalah konflik.

Agama di Indonesia memiliki posisi yang terhormat, dan indonesia


menanamkan karakter saling menghormati dalam kehidupannya lewat budaya dan
agamanya. Namun ironisnya, konflik yang mengatasnamakan agama mulai timbul di
Indonesia, dan meningkat tajam dengan semakin berkembangnya gerakan ekstremis
agama di Indonesia. Ketika suatu pemberitaan tidak memberi kebaikan
untuk masyarakat misalnya, karena cara pemberitaannya yang kurang
mempertimbangkan bagaimana menyelesaikan konflik, atau malah cara
pemberitaan itu berpotensi membuat konflik jadi semakin berkepanjangan maka di
situ muncul jurnalisme damai (peace journalism). Yaitu, upaya mengembalikan
jurnalisme ke ruh atau tujuan dasarnya, yaitu kepentingan publik. Perdamaian dan
berakhirnya konflik adalah kepentingan publik.

Jurnalisme damai tidak memihak pada salah satu pihak yang bertikai,
tetapi lebih menyorot aspek-aspek apa yang mendorong bagi penyelesaian
konflik. Dari tujuan tersebut, maka yang diangkat adalah hal-hal yang sifatnya
mendukung ke arah perdamaian. Dalam suatu konflik, selalu ada pihak-pihak
tertentu yang mengharap ke arah damai.

Jake Lynch dan Annabel McGoldrick, menjelaskan bahwa jurnalisme


damai terwujud ketika para redaktur dan reporter menetapkan “pilihan-pilihan
bersifat damai” tentang berita apa yang akan dilaporkan, dan bagaimana cara
melaporkannya. Yang dimaksud dengan “bersifat damai” itu adalah bentuk
pemberitaan, yang menciptakan peluang bagi sebagian besar masyarakat, untuk
mempertimbangkan dan menghargai tanggapan tanpa-kekerasan terhadap konflik
bersangkutan.

Berdasarkan uraian diatas, penulis tertarik menyusun makalah ini untuk


mengkaji lebih dalam mengenai mekanisme pembingkaian berita sehingga
terciptalah jurnalisme yang damai.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari makalah ini adalah :
1. Apa itu Jurnalisme damai ?
2. Bagaimana praktik Jurnalisme Damai pada berita Konflik Poso III antaraumat
Islam dan Kristen di Harian Umum Republika?
3. Apakah tujuan dan bagaimanakah praktik pembingkaian (framing media)
pada berita Konflik Poso III antaraumat Islam dan Kristen di Harian Umum
Republika?
4. Bagaimana karakteristik dan sejarah jurnalisme damai menurut Johan
Galtung?
1.3. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengenal lebih dekat perihal apa itu jurnalisme damai
2. Memahami bagaimana praktik Jurnalisme Damai pada berita Konflik Poso III
antaraumat Islam dan Kristen di Harian Umum Republika

3. Untuk memahami tujuan dan bagaimanakah praktik pembingkaian (framing


media) pada berita Konflik Poso III antaraumat Islam dan Kristen di Harian
Umum Republika
4. Untuk mengetahui karakteristik dan sejarah jurnalisme damai menurut Johan
Galtung
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PENGERTIAN MEDIA JURNALISME DAMAI


Jurnalisme Damai menurut Jake Lynch dan Annabel McGoldrick adalah
“manakala editor dan reporter membuat pilihan akan yang dilaporkan, dan
bagaimana melaporkannya yang membentuk peluang masyarakat luas untuk
mempertimbangkan dan membuat respon konflik tanpa kekerasan. Sedangkan oleh
Samuel Peleg, Jurnalisme Damai diartikan sebagai usaha besar dalam
mendefinisikan ulang dan merekonstruksi ulang tujuan jurnalis dalam peliputan
konflik.
Istilah Jurnalisme Damai mulai dipakai oleh Johan Galtung pada 1970- an.
Jurnalisme Damai kini sudah menyebar luas sebagai reformasi reporter, akademisi,
dan aktivis mulai dari Afrika hingga belahan dunia lain. Sebagai mata kuliah,
Jurnalisme Damai kini sudah diajarkan di Inggris, Australia, Amerika Serikat,
Meksiko, Afrika Selatan, Costa Rica, Norwegia, Swedia, dan banyak negara lain.
Dasar pemikiran Jurnalisme Damai adalah bahwa, jika belakangan ini media
cenderung memainkan peran negatif dalam meningkatkan tegangan antar-aktor
konflik dan antara sisi-sisi konflik, maka mereka juga bisa memainkan peran positif
dengan mempromosikan perdamaian dan rekonsiliasi.
Pandangan tersebut didukung oleh temuan Annabel McGoldrick dan Jake
Lynch, bahwa di negara-negara berbahasa Inggris di Barat, ada kepercayaan yang
telah melekat bahwa jurnalis “hanya menyampaikan fakta”/ permasalahan yang
muncul adalah tak pelak lagi, banyak orang mengetahui bagaimana menulis dan
menyusun fakta untuk para jurnalis dilaporkan 5 (tapi tidak memahami nilai-
nilainya).
Menurut mereka, klaim bahwa jurnalis hanya melaporkan fakta merupakan
perhitungan yang tidak tepat terhadap peran jurnalis. Jurnalisme adalah sebuah
intervensi antara sumber cerita dan audiens, dan jurnalisme membuat pilihan-pilihan
tentang etika masing-masing intervensi. Jurnalisme Damai dibentuk untuk
meminimalisir keretakan antarkelompok dengan tidak mengulang “fakta” atau
meyediakan “panggung konflik”. Oleh karena itu, pertanyaan mendasar para jurnalis
perdamaian adalah “apa yang dapat saya lakukan dengan intervensi saya untuk
memperbesar peluang perdamaian?”
Lynch merumuskan tiga bagian utama yang mencul dalam setiap pembahasan
mengenai diskursus Jurnalisme Damai. Ketiga pembahasan tersebut adalah, pertama,
proporsi konflik, kedua, mengenai segitiga berita, jurnalisme, dan media. Terakhir
yang bersifat praktikal adalah tentang media analisis dan media kritis, yaitu tentang
bagaimana menganalisis dan mengkritisi media yang tidak memiliki peran positif
dalam peliputan konflik.

2.2. SEJARAH JURNALISME DAMAI


Sejarah singkat jurnalisme damai dimulai pada tahun 1997 ketika sosiolog
Norwegia, Johan Galtung, pendiri studi dan riset perdamaian, menyampaikan
serangkaian ceramah tentang “Konflik dan Jurnalisme Damai” pada kuliah musim
panas di Taplow Court (United Kingdom). Para peserta meliputi para jurnalis, pakar
media, dan mahasiswa yang datang dari Eropa, Afrika, Asia, dan Amerika Serikat
yang membagi waktu mereka untuk kuliah, lokakarya dan debat.
Serangkaian konferensi ikut diselenggarakan di Taplow Court (1997-1999),
dan sejak itu jurnalisme damai telah berkembang, teori maupun praktik. Pelatihan-
pelatihan jurnalis telah diselenggarakan di Indonesia, Afrika Selatan, Liberia, Nepal,
Kolombia dan Filipina. TRANCEND, jaringan iternasional para sarjana dan praktisi
perdamaian dan pembangunan, menjalankan kursuskursus melalui situs dan
pelatihan-pelatihan on-line sebagai bagian dari kerja Peace University (lihat
www.trancend.org). Juga institute-institut di jepang dan Hawai menyelenggarakan
kursus-kursus dan silabus-silabus tingkat universitas. Jake Lynch dan Annabel
McGoldrich kemudian menernitkan buku mereka dalam bahasa Inggris berjudul
Peace Journalism.

2.3. CIRI-CIRI ADANYA JURNALISME DAMAI


Adapun ciri-ciri adanya berita jurnalisme, yaitu :
a. Mengeksplorasi terbentuknya konflik. Ada banyak pihak, banyak tujuan,
banyak isu.
b. Orientasi win-win (sama-sama untung) secara umum.
c. Ruang terbuka, waktu terbuka. Penyebab dan jalan keluar bisa dari mana
saja, juga dalam sejarah/budaya.
d. Membuat konflik itu transparan.
e. Memberi suara pada semua pihak. Empati, pengertian.
f. Melihat konflik/perang sebagai problem. Fokus pada kreativitas
menyelesaikan konflik.
g. Humanisasi terhadap semua pihak.
h. Pro-aktif, pencegahan sebelum terjadinya kekerasan/perang.
i. Fokus pada dampak-dampak kekerasan yang tidak terlihat (trauma dan
kejayaan, kerusakan pada struktur/budaya).
j. Orientasi Kebenaran: Mengekspos ketidakbenaran di semua pihak/
mengungkap semua upaya menutupi kesalahan (cover up)
k. Orientasi Pada Rakyat: Fokus pada penderitaan keseluruhan; pada kaum
perempuan, orang tua, anak-anak; menyalurkan suara mereka yang tak
mampu bersuara. Mengecam pelaku kejahatan di semua pihak. Fokus pada
rakyat pencipta perdamaian
l. Orientasi Pada Solusi:
Perdamaian = tanpakekerasan + kreativitas. Mengangkat inisiatif-inisiatif
perdamaian, juga untuk mencegah lebih banyak perang. Fokus pada struktur,
budaya, dan masyarakat yang damai. Kesudahan: resolusi, rekonstruksi,
rekonsiliasi.
2.4. KARAKTERISTIK JURNALISME DAMAI
 Gaya peliputan jurnalisme damai
Untuk menghindari konflik dalam suatu berita, maka jurnalis mulai
menggunakan kosakata seperti : adil, seimbang, jujur. Seorang jurnalis harus
mengenali bahwa berita adalah bagian dari sebuah proses dan bukan serangkaian
kejadian yang tidak berkaitan.
 Gaya penulisan jurnalisme damai
Bahasa bukan sekedar alat komunikasi untuk menyampaikan suatu informasi,
namun juga menentukan citra yang akan ditanamkan kepada publik atau pembaca.
Penggunaan bahasa yang mengandung kekerasan akan memprovokasi pembaca.
Oleh karena itu, jurnalisme damai muncul dengan gaya penulisan yang sebisa
mungkin menghindari kata-kata yang mengandung makna provokasi. Jurnalisme
damai lebih mengedepankan empati kepada korban, sehingga topik-topik yang
dipilih sebagai bahan berita tidak hanya memaparkan suatu masalah, akan tetapi juga
menawarkan sebuah solusi. Pada satu sisi pers berpotensi mempertajam. Namun
pada jurnalisme perdamaian, media berpotensi untuk menjadi peredam konflik, salah
satunya dengan cara membangun opini menyejukkan. Wartawan bertindak
memetakan masalah, menganalisa konflik dan mengungkapkan akar persoalan.
Wartawan tidak memvonis siapa yang kalah dan menang. Namun, menyelesaikan
konflik secara damai, dengan menempatkan kepentingan masyarakat luas, di atas
kepentingan kelompok tertentu.
2.5. BERITA
Secara etimologis dalam bahasa inggris, berita (news) berasal dari kata new
(baru). Jadi berita adalah peristiwa-peristiwa atau hal yang baru. Prof. Michael V.
Charnley dalam bukunya “Reporting” mendefinisikan berita sebagai “... News is the
timely reports of facts or opinion of either interest or importance, or both, to a
considerable number of people “ (Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau
opini yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya,
bagi sejumlah besar penduduk...”.
Paul de Messenener dalam buku here’s the news. Unesco Associate
menyatakann, news atau berita adalah sebuah informasi penting dan menarik
khalayak serta minat pendengar. Charley dan James M. Neal menuturkan, berita
adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi,
interpretasi, yang penting menarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan
kepada khlayak.C Berdasarkan definisi berita menurut para ahli, maka disini peneliti
mernagkum bahwa berita adalah peristiwa yang memiliki nilai, menarik, memiliki
dampak, serta informasi penting.
Berita terdiri dari beberapa jenis yakni :
1. Straight news report Report
Straight news report Report adalah laporan langsung mengenai suatu peristiwa.
Laporan kejadian-kejadian yang menarik dan penting, tanpa mengandung pendapat-
pendapat penulis berita. Straight news harus singkat, ringkas, dalam pelaporannya,
namun tetap tidak mengabaikan kelengkapan data dan objectivitas.
2. Dept news report

Yaitu laporan yang sedikit berbeda dengan staright news report. Wartawan
menghimpun informasi mngenai peristiwa itu sendiri sebagai informasi tambahan
untuk peristiwa tersebut.
3. Comperehansive News
Merupakan laporan yang berisi fakta secara menyeluruh ditinjau dari berbagai
aspek. Berita menyeluruh sebenarnya adalah jawaban terhadap kritik sekaligus
kelemahan yang terdapat dalam berita langsung (Straight News).

4. Interpretative Report,

Biasanya memfokuskan sebuah isu, masalah, atau peritiwa kontroversial.

5. Feature story,

Jenis berita ini penulis mencari fakta untuk menarik para pembacanya. Penulis
menyajikan suatu pengalaman pembaca yang bergantung pada pengalaman gaya
menulis dan humor daripada pentingnya informasi yang disajikan.

6. Depth Reporting

Pelaporan jurnalistik yang bersifat mendalam, tajam, lengkap, dan utuh


tentang suatu peristiwa fenomenal atau aktual.

7. Investigative Reporting

Berisikan hal-hal yang tidak jauh berbeda dengan laporan interpretative.

8. Editorial Writing

Adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang pendapat umum.

2.6. FRAMING

Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan secara sederhana sebagai


analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor, kelompok, atau apa
saja) dibingkai oleh media. Pembingkaian tersebut melalui proses konstruksi. Disini
realitas sosial dimaknai dan dikontruksi dengan makna tertentu. Peristiwa dimaknai
dengan bentukan tertentu. Hasilnya, pemberitaan media pada sisi tertentu atau
wawancara dengan orang-orang tertentu. Semua elemen tersebut tidak hanya elemen
dari teknik Jurnalistik, tetapi menandai bagaimana peristiwa dimaknai dan
ditampilkan. Praktisnya, ia digunakan untuk melihat aspek tertentu ditonjolkan atau
ditekankan oleh media.

Penonjolan atau penekanan dari aspek dan realitas tersebut haruslah dicermati
lebih jauh. Karena penekanan atau penonjolan aspek tertentu dari realitas tersebut
akan membuat (hanya) begian tertentu saja yang lebih bermakna, lebih mudah
diingat, dan lebih mengena dalam pikiran khalayak. Dalam analisis framing, yang
kita lakukan pertama kali adalah, melihat bagaimana media mengkontrusi realitas.
Peristiwa dipahami bukan sesuatu yang taken for granted. Sebaliknya, wartawan dan
medialah yang secara aktif memebentuk realitas. Berbagai hal yang terjadi, fakta,
orang, diabstraksikan menjadi peristiwa yang kemudian hadir dihadapan khalayak.
Jadi, dalam penelitian framing, yang menjadi titik persoalan adalah bagaimana
realitas peristiwa dikontruksi oleh media.

Framing terutama melihat pesan/ peristiwa dikonstruksi oleh media. Bagaimana


wartawan mengkontruksi peristiwa dan menyajikannya kepada khalayak pembawa.
Analisis framing adalah salah satu metode analisis teks yang berada dalam kategori
penelitian konstruksionis.

2.7. TUJUAN FRAMING


Berita merupakan salah satu media informasi yang dicari masyarakat. Berita
dapat dijumpai pada berbagai media, misalnya media cetak. Dalam penyampaian
sebuah berita surat kabar menggunakan teknik pembingkaian berita. Hal ini
dilakukan untuk menarik minat khalayak untuk membaca berita yang disampaikan.
Dalam penyampaian sebuah berita surat kabar menggunakan teknik
pembingkaian berita. Hal ini dilakukan untuk menarik minat khalayak untuk
membaca berita yang disampaikan. sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi lebih
besar daripada isu yang lainnya. Proses penyeleksian dan penonjolan isu tersebut
bisa dilakukan dengan menempatkan sebuah berita dibagian depan ataupun bagian
belakang media tersebut, hal tersebut dilakukan untuk memiliki kesan berita menjadi
bermakna dan berkesan bagi khalayak.
2.8. ANALISIS FRAMING KONSEP ROBERT N. ENTMAN

Sementara itu, Entman menggambarkan proses seleksi isu dan penonjolan aspek
dari realitas dengan beberapa aspek, yaitu: define problems atau pendefinisan
masalah, diagnose causes atau memperkirakan sumber masalah, make moral
judgement atau membuat keputusan moral, dan yang terakhir treatment
recommendation atau menekankan penyelesaian. Analisis framing secara sederhana
dapat digambarkan sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai
oleh media. Realitas dimaknai melalui proses konstruksi. Seperti halnya pemberitaan
mengenai kekerasan terhadap aktivis LSM dan wartawan di Bangkalan Madura pada
Majalah Mata Madura edisi 7 tanggal 3-16 Oktober 2016.

Proses seleksi isu dan penonjolan aspek-aspek dari realitas yang dilakukan
oleh media dapat dilihat dengan cara:

1) Define problems atau pendefinisian masalah, merupakan elemen utama dalam


proses pembingkaian yang dilakukan oleh media, yaitu Mata Madura. Dalam
pendefinisian masalah bagaimana suatu peristiwa atau isu dipahami.
2) Diagnose causes atau memperkirakan penyebab masalah, elemen ini
merupakan elemen yang menganggap siapa yang menjadi aktor dari suatu
peristiwa, penyebabnya bisa apa (what) atau siapa (who) untuk memahami
suatu peristiwa.
3) Make moral judgement atau membuat pilihan moral, merupakan elemen
untuk membenarkan atau memberi argumentasi terhadap suatu peristiwa yang
telah didefinisikan
4) Treatment judgment atau menekankan penyelesaian, merupakan elemen yang
dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan, dan jalan apa
yang digunakan untuk menyelesaikan masalah. Menyelesaikan masalah
tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dianggap
sebagai penyebab masalah.
Berdasarkan konsep dari Robert N. Entman peristiwa atau realitas diseleksi
oleh media dan juga menonjolkan aspek-aspek tertentu untuk dapat dimaknai dan
dimengerti oleh khalayak. Pada penelitian ini peneliti mencoba menyajikan
bagaimana cara media cetak atau surat kabar membingkai sebuah berita. Dalam hal
ini peneliti mencoba meneliti isi berita dari Majalah Mata Madura dengan
menggunakan analisis framing dengan pendekatan dari Robert N. Entman.
BAB IV
KESIMPULAN

Adapun kesimpulannya adalah :


1. membentuk peluang masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan membuat
respon konflik tanpa kekerasan.
2. Karakteristik adanya jurnalisme damai, dapat dilihat dari gaya peliputan, dan
gaya penulisan berita.
3. Berita adalah sebuah informasi penting dan menarik khalayak serta minat
pendengar.
4. Analisis framing secara sederhana dapat digambarkan secara sederhana
sebagai analisis untuk mengetahui bagaimana realitas (peristiwa, aktor,
kelompok, atau apa saja) dibingkai oleh media.
5. Framing bertujuan untuk menarik minat khalayak untuk membaca berita yang
disampaikan.
6. Berita terdiri dari beberapa jenis yaitu Straight News, Hard News, Soft News,
Interpretative News, Depth News, Investigation News, dan Opinion News
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala Erdinaya. (2005). Komunikasi Massa Suatu


Pengantar. Jakarta: Simbiosa Rekatama Media.
Bungin, Burhan. (2006). Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus
Teknologi Kominikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana.
Effendi, Onong Uchjana. (2004). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Halim, A. A. (2019). ANALISIS FRAMING DAN PRAKTIK JURNALISME DAMAI
DALAM PEMBERITAAN AKTIVIS PALESTINA AHED TAMIMI DI
REPUBLIKA. CO. ID (Periode 5 januari 2018–13 Mei 2019) (Doctoral
dissertation, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta).
Hutagalung, I. (2013). Dinamika sistem pers di Indonesia. Interaksi: Jurnal Ilmu
Komunikasi, 2(2), 156-163.
Kusumaningrat, Hikmat, Purnama Kususmaningrat. (2006). Jurnalistik Teori dan
Praktik.Bandung: Remaja Rosdakarya.
Masduki. (2003). Kebebasan Pers dan Kode Etik Jurnalistik. Yogyakarta: UII Pers.
Nurudin. (2007). Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nusyur, R. (2017). Jurnalisme Damai dalam Pemberitaan Pembakaran Gereja di
Aceh Singkil pada Harian Waspada. Jurnal Komunikasi Global, 6(1), 26-38.
Rakhmawati, F. Y. (2015). JURNALISME ADVOKATIF; SOLUSI
PEMBERITAAN ANAK KORBAN KEKERASAN SEKSUAL. An-Nida:
Jurnal Komunikasi Islam, 7(1).
Ritzer, George.(2004). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda.  Jakarta:
Raja Grafindo Persada
Saragih, M. Y. (2018). Jurnalisme: Harapan dan Tantangan di Era Revolusi Industri
4.0 dalam Mendidik Masyarakat. Attaqwa: Jurnal Ilmu Pendidikan
Islam, 14(1), 25-38.
Severin, Werner J., James W. Tankard, Jr. (2005). Teori Komunikasi: Sejarah,
Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Kencana.

Anda mungkin juga menyukai