Anda di halaman 1dari 7

Hubungan Antar Etnik

Neo-Marxism: Capitalism, Class, & Culture

Oleh Kelompok 2
Aulia Kusuma Wardhani (0806347843)
Rahardian Wahyu Pradana (0806347832)
Ratu Khabiba (0806347845)
Zuhdi Pambudi (0806347920)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Universitas Indonesia
Depok, 2010
Neo-Marxism: Capitalism, Class, & Culture2

Karl Marx (1818-1883), seorang teoris klasik yang terkenal dengan pemikiran kelas dan
kapitalisme-nya berhasil menyajikan sebuah jawaban mengenai pertanyaan mengenai etnis dan
ras. Apakah hubungan dari etnis dan pemikiran utamanya mengenai kelas? Ternyata disini dapat
terjawab mengapa etnisitas dan kelas menjadi hal atau menjadi sumber modal yang sungguh
berpotensi dalam solidaritas kelompok dalam dunia kontemporer, dibandingkan dengan kelas,
sebagaimana telah diprediksikan oleh Marx sebelumnya dalam teori klasiknya mengenai kelas.
Dari hal ini datang dua bentuk tanggapan yang berasal dari perkembangan Neo-Marxism. Neo-
Marxism muncul sebagai analisa lanjutan dari teori klasik Marx namun dengan berbagai kritik
dan penggabungan. Dua tanggapan mengenai ini saling berbeda metode dan tujuan analisisnya.
Pertama yakni 1) tanggapan yang fokus pada ekonomi politik kesenjangan kelompok etnik,
dimana perspektif politik ekonomi ini menyajikan sebuah penjelasan ilmiah mengenai eksklusi
sosial dan kesenjangan kelompok etnik. Kemudian, tanggapan lain adalah 2) bagaimana
keterkaitan antara ideologi, perbedaan kultural, dan pembagian kelas, dimana perspektif kultural
lebih fokus pada strategi dan taktik kelas dan perjuangan kelas.
Teori Neo-Marxist yang membahas hubungan antara kelompok etnik ini sebagai upaya
untuk mengatasi adanya reduksi kelas dalam teori klasik Marx dan kegagalannya dalam
memprediksi kekuatan dari keterikatan etnik dengan mengatributkan level otonomi tertentu
terhadap budaya secara umum dan hubungan antar etnik pada khususnya. Teori tersebut juga
melihat bagaimana sumber tambahan dari sebuah etnik menjadi ethnic group antagonism dalam
dunia kontemporer. Bagaimanpun, argumen dan analisa Marx sebelumnya sangat menyumbang
banyak pada kedua tradisi yang berbeda dalam teori Neo-Marxist tersebut, dengan studi
kapitalisme-nya dan juga pemikiran mengenai analisa faktor ekonomi dalam struktur sosial dan
tindakan sosial.

Pemikiran Neo-marxian: Ketimpangan ekonomi dan politik


Oliver cox merupakan tokoh pertama yang cukup baik melakukan analisa dan artikulasi
pemikiran marx mengenai etnisitas. Menurutnya eksploitasi tidak hanya berasa dari satu
perbedaan distribusi modal antar kelas namun dapat dihasilkan dari relasi antar ras, konteks yang
terbangun saat itu yaitu kondisi US yang didominasi politik ras. Relasi sifatnya tidak universal,
namun terkait dengan spesifik konteks ruang dan waktu, proses asal mula dan kepentingan untuk
pemenuhan kebutuhan. Dalam konteks ini maka kebutuhan dari kapitalis yaitu tenaga kerja
Neo-Marxism: Capitalism, Class, & Culture3

murah demi kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan , mekanisme ekspansi kapitalis
dilakukan antara lain melalui kolonialism dan pembentukan Negara-negara baru. Perbedaan
secara fisik dan kultur antara pekerja kulit hitam dan putih dipertahankan bagi kepentingan
kapitalis dan bisnis besar yang menjaga kesenjangan antar etnis. Kebencian dan amarah
kelompok etnis yang dieksploitasi disebut dengan racial antagonism yang menjadi bagian dari
pergerakan kelas. Pemikiran Cox sangat mengikuti pemikiran marx dalam menggambarkan
kepentingan kapitalis dalam hal ekonomi yang berlanjut untuk mendapatkan kekuasaan penuh
melalui penguasaan secara politik. Bahwa etnik tertentu (kulit putih) mendapatkan posisi
privileged dalam struktur dan kultur di masyarakat.kritik terhadap Cox yaitu tidak mampu
menjelaskan variasi bentuk relasi etnis. Edna Bonacich melakukan interpretasi Neomarxian
yang berbeda dengan konsep utama Split labour-teori pasar. Menurutnya dalam kelas pekerja
etnis tidak homogen melainkan multietnis yang memiliki interest, kepentingan yang berbeda-
beda antar etnis yang justru mendukung ideology pasar terbuka. Hal ini berkaitan dengan
pembagian kelas yang didasarkan pada kelompok kepentingan yaitu kelompok pengusaha bisnis,
kelas menengah sebagai konsumen utama dan kelas pekerja dengan upah rendah. Kompleksitas
hubungan antara pengusaha dan kelas pekerja tidak dapat dihindarkan karena dengan ipah rendah
akan meningkatkan pengusaha dan membahayakan bagi kelas menengah atau better paid.
Sumber penting terjadinya perbedaan interest kelompok pekerja yaitu harga atau upah tenaga
kerja itu sendiri. Konflik yang terjadi bukan karena dua kelompok yang dominan melainkan
kelompok-kelompok sama namun memiliki interest yang berbeda. Michael Hechter, melihat
kekurangan penjelasan Edna yang tidak melihat pembagian kerja lebih komperensif, tema yang
diangkatnya mengenai solidaritas pekerja merupakan reaksi dari perbedaan secara kultur untuk
melawan eksploitasi kekuasaan ekonomi dan politik. Teori internal kolonialism memiliki
argumentasi perbedaan kultur mengarah pada pentingnya politik ketika terjadi ketidakseragaman
pembangunan ekonomi khususnya proses indutrialisasi di Negara-negara dunia ketiga.
Perbedaan kultur tenaga kerja berkaitan dengan Negara di Negara dunia, karena bagi tipe
industry membuthkan unskilled labour yang mudah diperoleh di Negara-neara yang baru
terbentuk dalam masa berkembang. Ketimpangan menjadi kata kunci dalam menciptakan konflik
etnik, fokusnya tidak hanya atnis dalam satu Negara melainkan antar Negara.
Kritik utama dari teori yang dibangun oleh Hechter yaitu tidak membahas kasus
kelompok etnik yang intens homogen namun justru berada pada kelompok yang diuntungkan
Neo-Marxism: Capitalism, Class, & Culture4

secara ekonomi misalnya kelompok etnis china di Indonesia. Respon Hechter dan Levi (1985)
menyatakan bahwa pembagian kultur terjadi secara segmental dan hirarki dari pekerjaan. Artinya
adanya spealisasi pekerjaan yang beragam selanjutnya akan muncul juga pekerjaan yang
dianggap lebih tinggi, lebih rendah dari pekerjaan lain yang ditentukan oleh jumlah upah yang
diterima pekerja.
Masalah utama dari pemikir Neo Marxian sebelumnya yaitu lemah dalam menjawab
realitas multietnis, sehingga sangat kontekstual untuk berbicara kelas yang dirugikan yaitu kelas
pekerja dimana tenaga kerja yang memiliki etnis tertentu semakin dikuatkan dalam posisi
lemahnya untuk mengalami eksploitasi sebagai manusia. Menurut Miles dengan teori yang
dikenal dengan politik ekonomi migrasi tenaga kerja, berargumentasi etnis minoritas satu sisi
mendapatkan keuntungan bagi kelas kapitalis untuk pemenuhan kebutuhan industry, namun sisi
lain juga dianggap sebagai ancaman dari wilayah territorial kekuasaan dan konstruksi
kewarganegaraan sebagai sebuah kategori legal dalam mobilitasnya di wilayah teritorialnya.
Culture, Class and Hegemony: the Gramscian legacy
Marxian klasik melihat etnisistas sebagai sesuatu yang di konstruksikan dan berupa
gagasan di dalam setiap fase sejarah kehidupan manusia. Di dalam tradisi mereka, modes of
production merupakan hal yang penting dan menjadikannya dasar dari kehidupan manusia. Hal
tersebut terkesan sebagai pendekatan yang determinis ekonomi. Antonio Gramsci, marxsis Italia,
melihat masyarakat kapitalis lebih pada budaya dibandingkan ekonomi. Menurut Gramsci, di
dalam dunia kapitalisme, terdapat hal penting dibandingkan ekonomi, yaitu budaya dan
hegemoni ideologi.
Gramsci menggunakan konsep hegemoni dalam melihat kekuatan ideologi pada
kapitalisme. Gramsci mengartikan hegemoni sebagai kepemimpinan budaya yang dijalankan
oleh kelas yang berkuasa1. Dalam hal ini terdapat kelas pada posisi subordinat yang didominasi
melalui ideologi-ideologi atau dengan pencucian otak, lebih jauh lagi hal ini merupakan asimilasi
kebudayaan sehingga dominasi tersebut akan terbangun terus-menerus. Hegemoni dapat dalam
berbagai bentuk, tidah hanya agama atau filsafat kehidupan, hegemoni juga bisa dalam bentuk
praktek-praktek kehidupan sehari-hari seperti mengenai konsep common sense, ritual harian
dan cerita rakyat.

1
George Ritzer, Teori Sosiologi, hal 300.
Neo-Marxism: Capitalism, Class, & Culture5

Gramsci tidak secara eksplisit membicarakan etnisitas. Namun, dalam tulisannya


mengenai southern questions di Itali menemukan bahwa kesadaran kelas tidak dapat
menghancurkan ideologi kapitalisme seperti yang digambarkan marxian klasik. Di Itali bagian
utara masyarakatnya memiliki solidaritas kesukuan yang sangat kuat. Gramsci membangun
konsep national-populer yang merupakan agen perubahan sosial. Para pekerja dan petani serta
beberapa intelektual organik di Itali bagian utara membentuk sistem aliansi untuk melawan
kapitalisme dan negara borjuis sehingga mereka dapat membuat perubahan sosial. Gramsci
melihat national-populer yang kolektif menembus batas garis etnis dan kelas dalam perubahan
sosial. Etnisitas memiliki kekuatan tesendiri dalah hal ini.
Salah satu pengikut tradisi gramscian, Stuart Hall, melihat bahwa adanya hal yang
berbeda mengenai etnisitas dalam membangun relasi sosial. Etnisitas merupakan hal yang relatif
berdiri sendiri di dalam struktur dan berbeda dengan ekonomi dan politik. Walaupun terdapat
masyarakat yang berbeda kelas, namun mereka tetap dipersatukan dengan status etnisitas
mereka. Dalam hal ini, dapat terjadi suatu kelompok etnis melawan kelompok etnis lainnya yang
menghegemoni mereka dalam dunia kapitalisme.Terdapat tokoh lain yang mengkritisi lebih jauh
mengenai entisitas dalam hal relasi sosial, yaitu John Gabriel dan Gideon Ben-Tovim. Mereka
berpendapat bahwa relasi sosial yang dibangun oleh etnisitas benar-benar terpisah antara
ekonomi dan politik.
Setelah penjelasan mengenai neo-Marxism, masih tersisa pertanyaan-pertanyaan seperti
bagaimana hubungan antara etnisitas dan kelas? Bagaimana kapitalisme mempengaruhi konflik
etnik? Bagaimana para pembuat pengaturan memberikan alasan terhadap hak istimewa ekonomi
dan politik mereka dalam hal etnisitas?
Saat kebanyakan landasan neo-Marxism masih berakar dengan kuat pada warisan
pemikiran klasik dalam menjelaskan hubungan etnik dalam ekonomi dan kelas, pemikiran neo-
Marxism yang berusaha bergeser dari pemikiran klasiknya bisa menjelaskannya. Neo-Marxism
secara tepat menjelaskan mengenai hubungan antara etnisitas dan ketimpangan kelas. Dalam
ekonomi kapitalis modern, sangat mungkin seseorang mengidentifikasi sebuah overlap yang
hebat antara kelas dan kelompok sosial. di Amerika Utara, Australia dan Eropa Barat, kita bisa
dengan mudah melihat hal ini. Division of labour yang didasari etnik banyak terjadi, misalnya,
secara kultural, kelompok imigran menempati proporsi yang besar dalam persentase profesi yang
unskilled maupun lower skilled. Dalam kondisi ini, seorang pengusaha yang memiliki kekuasaan
Neo-Marxism: Capitalism, Class, & Culture6

tinggi bisa memanipulasi perbedaan kultural dengan tujuan untuk membagi, atau
mengeksploitasi pekerja.
Weber dan Rex menjelaskan, etnisitas bisa menjadi overlap dengan status, kasta, maupun
kepemilikan tanah. Afrika Selatan contohnya, masa apartheid dibentuk oleh dominasi kelompok
etnik atas kasta. Dari sini, terlihat bahwa Marx dan Cox mereduksi etnisitas menjadi kelas, disini
terjadi dua kesalahan, yaitu reduksionisme kelas, dan absolutisme kelas. Ketika neo-Marxist
tidak mereduksi etnisitas menjadi kelas, mereka tetap harus memelihara keunggulan kelas dan
produksi relasi dalam penjelasannya mengenai tindakan kelompok etnik.
Marxisme melihat kelompok etnik sebagai sebuah produk buatan yang besar dari
ekonomi kapitalis. Walaupun para pengusaha memiliki kepentingan dalam menggolongkan kelas
pekerja melalui prinsip pemisahan dan pemberian aturan, adalah sebuah argumen struktural
bahwa kapitalisme menentukan ketidakadilan kelompok. Kapitalisme berakar dari proses
produksi, dimana kepentingannya hanyalah akumulasi keuntungan melalui peningkatan nilai-
nilai keuntungan dengan melakukan eksploitasi kelas pekerja dan pertukaran komoditi.
Berdasarkan pemikiran marxist, proses seperti ini menciptakan sebuah kelas yang benar-benar
berlawanan. Ketika kelompok subordinat menjadi tidak peduli dengan posisi mereka yang tidak
menguntungkan dan karena sifat yang eksploitatif dari sistem kapitalis, kelompok yang
subordinat ini menjadi kekurangan kesadaran kelas mereka, karena kondisi hegemoni dari
kapitalis.
Neo-Marxist dikritik atas konseptualisasi mereka terhadap etnisitas sebagai sebuah
ideologi. Ideologi dan hegemoni kultural masih memiliki sedikit kekuasaan atas diri kelompok,
digabungkan dengan sistem ekonomi kapitalis. Dalam hal ini, etnisitas muncul sebagai sesuatu
yang otonomi ataupun semi-otonomi tetapi tidak pernah benar-benar terpisah dari kelas politik
ataupun sistem kapitalis. Dalam tradisi Machiavellian dan Gramscian, menganggap ideologi dan
hegemoni adalah sebuah alat yang strategis untuk mendapatkan support penuh dari kelompok-
kelompok etnik dan ras untuk tetap menetapkan masyarakat proletar.
Kesimpulan
Dari keseluruhan yang telah dibahas dalam tulisan ini, dapat dilihat bahwa Neo-Marxism
ini muncul sebagai upaya untuk mengatasi perangkap pendekatan klasik Marxis mengenai
etnisitas. Bahwa sesungguhnya ada sudut pandang lain yang bisa dilihat selain dari sudut
ekonomi. Sementara Marx sangat menekankan pada ekonomi dalam struktur etnisitas ini,
Neo-Marxism: Capitalism, Class, & Culture7

terdapat konsep konsep dan model baru yang dapat dilihat seperti internal colonialism, split
labour-market, political economy of the migrant labour, atau relative and absolute autonomy of
ethnicity.
Disini, Neo-Marxis melihat realita sosial dalam dunia kontemporer, dimana isu mengenai
etnisitas ini masih banyak yang lebih menonjol dibandingan dengan yang dibayangkan
sebelumnya. Dari penelitian penelitian Neo-Marxis membuka penglihatan kita bahwa pada
kenyataannya ada kesenjangan kelas berdasarkan kelompok etnik, serta keterkaitannya dengan
kebijakan yang dirasa mendiskriminasi di negara kapitalis.
Kemudian, sementara hubungan antar etnik dirasakan sebagai sesuatu yang spesifik, tetap
dianggap membutuhkan penjelasan yang hanya bisa disajikan melalui analisa historis yang fokus
pada kelahiran dan menyebarnya kapitalisme dan kesenjangan.
Meskipun disini ada perbaikan teori dan alat penelitian, Neo-Marxis tetap sangat
berorientasi pada ekonomi dan kelas, sehingga tidak mampu untuk menghasilkan teori dengan
seimbang dan komperhensif mengenai hubungan antar etnik yang sesuai dengan beragamnya
bentuk bentuk etnik

DAFTAR PUSTAKA
Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology Of Ethnicity. SAGE Publications.
Ritzer, George. Teori Sosiologi Klasik & Modern.

Anda mungkin juga menyukai