Anda di halaman 1dari 9

Pembukaan

Teori konflik memiliki asumsi dasar bahwa perbedaan kepentingan antar kelas sosial menciptakan relasi
sosial yang bersifat konfliktual. Akar dari terciptanya konflik dalam masyarakat adalah ketidakmerataan
distribusi kekuasaan dan kekayaan yang menciptakan kesenjangan kelas sosial. Kekuasaan meliputi
akses terhadap sumber daya. Level kekuasaan individu atau kelompok berbeda-beda. Perbedaan inilah
yang disebut kesenjangan. Semakin besar kesenjangan, semakin besar potensi timbulnya konflik sosial.
Kesenjangan tidak hanya ditentukan oleh perbedaan kelas, namun bisa juga ras, gender, kultur, selera,
agama, dan lainnya.

A.Sejarah awal dan perkembangan teori konflik

Teori konflik digagas oleh Karl Marx dalam studinya mengenai konflik kelas antara borjuis dan proletar.
Borjuis sebagai kelompok pemilik faktor produksi memiliki kontrol atas sumber daya. Proletar adalah
kelompok kelas pekerja yang tidak memiliki kontrol atas sumber daya. Pembedaan kelas sosial menjadi
dua kelompok ekstrim ini muncul dalam konteks industrialisasi di Eropa Barat. Karl Marx membuat teori
yang menggambarkan eksistensi kelompok minoritas namun memiliki kekuasaan atas sumber daya dan
kelompok mayoritas yang tertindas karena tak memiliki kuasa atas sumber daya. Masing-masing kelas
memiliki kepentingan yang saling bertentangan. Kaum borjuis ingin mempertahankan kekuasaannya dan
mengakumulasi kekayaannya, sedangkan kaum proletar ingin kekuasaan dan kekayaan didistribusikan
secara merata.

Tatanan sosial yang berbentuk kesenjangan ini secara ideologis dipertahankan oleh kaum borjuis melalui
penciptaan kesepakatan atau konsesus. Konsesus yang dimaksud berupa nilai-nilai, harapan dan kondisi
yang ditentukan oleh kaum borjuis. Sebagai contoh, seorang pekerja harus bekerja keras dan loyal pada
bosnya agar bisa sukses. Loyalitas dan kerja keras merupakan nilai yang disepakati atau konsesus.
Produksi kesepakatan semacam itu terjadi pada level ’supratruktur’ atau pada tataran ideologis,
menurut Karl Marx. Marx berpikir bahwa kondisi sosial ekonomi yang tercipta atas dasar konsesus
tersebut merugikan bagi kelas proletar. Akibatnya, akan muncul kesadaran kelas dikalangan kaum
proletar bahwa mereka terekspliotasi. Kekayaan justru disedot oleh kuasa kaum borjuis yang kapitalistik.
Kesadaran kelas ini akan memicu terjadinya revolusi.

Basis teori konflik yang dicetus Marx mengalami evolusi seiring perkembangan zaman. Beberapa
intelektual melihat teori konflik Karl Marx tidak hanya dapat beroperasi pada strukur ekonomi semata
namun juga kultural. Antonio Gramsci melihat terjadinya hegemoni kultural yang dilakukan oleh
minoritas berkuasa. Intelektual dari The Frankfurt School seperti Max Horkheimer dan Theodor Adorno
melihat bagaimana budaya massa berkontibusi pada terciptanya dan bertahannya hegemoni kultural.
Budaya massa, menurutnya, diproduksi oleh kaum kapitalis untuk meredam kesadaran kelas mayoritas
sehingga tidak terjadi perlawanan. Melalui kultur, masyarakat didesain menjadi masyarakat konsumsi
yang secara ekonomis menguntungkan kaum kapitalis.

Teori konflik banyak menginspirasi munculnya gerakan sosial akar rumput yang melakukan perlawanan
di berbagai aspek, salah satunya adalah feminisme. Gerakan feminisme terispirasi oleh teori konflik
untuk melihat bahwa relasi gender dan seksual sebenarnya merupakan relasi eksploitatif. Kemunculan
awal feminisme, misalnya, melihat laki-laki sebagai kelas dominan yang mengekspoitasi perempuan
melalui kekuatan ideologis dan nilai-nilai bahwa domestik adalah wilayah perempuan dan publik adalah
wilayah laki-laki. Feminisme awal menganggap domestifikasi sebagai kekangan atas kebebasan yang
menjadi hak setiap individu. Selain feminisme, gerakan lain yang terinsirasi dari teori konflik diantaranya
teori postkolonialisme, teori sistem dunia, teori poststrukturalisme, dan lain sebagainya.

B.Teori konflik menurut para ahli

1. Teori perpektif Karl max

Menurut Karl Marx Teori konflik adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang memandang
masyarakat sebagai satu sistem sosial yang terdiri dari bagian-bagian dan komponen-komponen yang
mempunyai kepantingan yang berbeda-beda dimana komponen yang satu berusaha untuk menaklukan
komponen yang lain guna memenuhi kepentingannya masing-masing. Terdapat tiga andaian penting
mengenai teori konflik yaitu konsep dialektik, determinisme dan aktivisme sosial. Konsep dialektik
bermaksud evolusi bukan merupakan proses utama kepada perubahan sosial tetapi sebab utama yang
menghasilkan perubahan sosial ialah konflik. Determinisme ekonomi pula bermaksud asas kepada
perubahan sosial adalah ditentukan oleh persaingan-persaingan ekonomi. Manakala aktivisme sosial
bermaksud tugas utama analisisi sosial adalah kritikan.

A. Asumsi-Asumsi Dasar

Marx melihat konflik social terjadi di antara kelompok atau kelas dari pada di antara individu. Hakikat
konflik antar kelas tergantung pada sumber pendapat mereka. Kepentingan ekonomi mereka
bertentangan karena kaum proletariat memperoleh upah dari kaum kapitalis hidup dari keuntungan ,
dan bukan Karena yang pertama melarat yang terakhir kaya raya.

Marx menegaskan, fungsi Negara tidak lebih dari penjagaan kepentingan-kepentingan kelas ekonomis
yang berkuasa dengan jala kekerasan. Pemerintah adalah sebuah manifestasi dan pertahanan dari
kekuasaan ekonomi. Moralitas dan agama sebuah masyarakat adalah sarana bagi kelas yang berkuasa
untuk mempertahankan kedudukannya dengan mempunyai ideologinya sendiri yang di terima sebagai
kepentingan semua kelas, sebuah fenomena yang dilukiskan marx sebagai “kesadaran palsu” karena
semua kelas secara keliru yakin akan objektivitas dan universal peraturan-peraturan dan cita-cita yang
sebenarnya hanyalah ungkapan kepentingan-kepentingan kelas. Marx melihat masyarakat berproses
dari primitive ke masyarakat perbudakan, feodalisme, dan akhirnya komonisme.

Asumsi yang mendasari teori Marx antara lain:

1) Manusia tidak memiliki kodrat yang persis dan tetap.

2) Tindakan, sikap, dan kepercayaan individu tergantung pada hubungan sosialnya dan hubungan
sosialnya tergantung pada situasi kelasnya dan struktur ekonimis masyarakatnya.

3) Manusia tidak mempunyai kodrat, lepas dari apa yang diberikan oleh posisi sosialnya.

4) Marx menyamakan basis sebab akibat dari masyarakat dengan kekeuatan produksi, yaitu
dengan apa yang di hasilkan dan bagaimana sesuatu dihasilkan. Kekuatan produksi (bahan mentah, hasil
akhir, dan seluruh metode kerja yang dipakai dalam proses produksi, termasuk alat-alat dan keahlian
mereka yang berkerja).

5) Marx membedakan jenis masyarakat atas dasar cara-cara produksi masyarakat dari primitif,
perbudakan, feodalisme, kapitalis, dan komunisme.

Fenomena social yang mendasari teori ini antara lain:

1) Negara telibat dalam konflik melalui paksaan dalam bidang hukum untuk memelihara social
(integrasi).

2) Kesenjangan social sumber utama konflik.

3) Alienasi terjadi Karena keterasingan dari sarana dasar produksi, sarana subsistem, dan
pekerjaan.

4) Kelas adalah motor dari segala perubahan dan kemajuan.

5) Sejarah kehidupan manusia tidak lebih dari pertentangan antar kelas atau golongan.

Marx berpendapat, konflik pada dasarnya muncul dalam upanya memperoleh akses terhadap kekuatan
produksi, apabila ada control dari masyarakat konflik akan bisa dihapus. Artinya bila kapitalisme di
gantikan dengan sosialisme, kelas-kelas akan terhapus dan pertentangan kelas akan berhenti.

Strategi konflik Marxian dengan strategi evolusioner Talcott Parsons ada afinitas (kesamaan), Karena
konflik dan pertentangan merupakan unsur penting yang sangat menentukan dalam kehidupan social
manusia, dan berbagai gejala ini sangat berkaitan dengan proses perubahan evolusioner. Konflik dan
pertentangan merupakan sebab akibat dari evolusi social. Antara strategi konflik dan evolusioner tidak
identik, namun keduanya saling berkaitan pada banyak hal. Kedua pendekatan ini lebih banyak
mempunyai kecocokan satu dengan yang lainnya ketimbang kontradiksi.

Stategi konflik Marxian memandang masyarakat sebagai arena individu dan kelompok bertarung untuk
memenuhi kebutuhan dan keiginannya. Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan
subordinasi, kelompok yang dominan memanfaatkan kekuasaan mereka untuk menentukan struktur
masyarakat sehingga menguntungkan kelompok mereka sendiri. Pendekatan konflik Marxian dan
Weberian banyak dianut oleh sosiologi modern, tetapi bukan berarti pendekatan ini memdapat
dukungan universal. Namun , diakui gagasan konflik Marx dan Weber banyak kegunaannya.

Marx berpendapat, bahwa bentuk-bentuk konflik terstruktur antara berbagai individu dan kelompok
muncul terutama melalui terbentuknya hubungan-hubungan pribadi dalam produksi sampai pada titik
tertentu dalam evolusi kehidupan sosial manusia.hubungan pribadi dalam produksi mulai menggantikan
pemilihan komunal atas kekuatan produksi. Dengan demikian, masyarakat terpecah menjadi kelompok-
kelompok yang memiliki dan mereka yang tidak memiliki kekuatan produksi dapat menyubordinasikan
kelas sosial yang lain dan memaksa kelompok tersebut untuk bekerja memenuhi kepentingan mereka
sendiri. Dapat dipastikan hubungan yang terjadi adalah eksploitasi ekonomi. Secara alamiah yang
tereksploitasi akan marah dan memberontak untuk menghapuskan hak-hak istimewa mereka.untuk
mengantisipasi kondisi ini, kelas dominan akan membentuk aparat politik yang kuat, nrgara yang
mampu menekan pemberontakan dengan kekuatan. Akibatnya timbulah konflik Marx menyebut dengan
konflik “pertentangan kelas”.

Marx menjelaskan dalam tulisannya tentang kapitalisme, pemilikan dan kontrol atas sarana-sarana
produksi yang berada di tangan para individu yang sama. Kaum Industrialis atau borjuis adalah pemilik
dan pengelola system kapitalis, sedangkan para pekerja atau proletar bekerja demi kelangsunga hidup
mereka. Akibatnya, timbulah konflik kelas, yaitu konflik antara kelas borjuis dengan kelas proletar.

B. Faktor-Faktor Penyebab Konflik

Menurut Karl Marx hakekat kenyataan sosial adalah konflik dan kenyataan sosial itu sendiri bisa
ditemukan dimana-mana. Konflik merupakan suatu tingkah laku yang dibedakan dengan emosi-emosi
tertentu yang sering dihubungkan dengannya, seperti kebencian dan permusuhan. Konflik juga dapat
terjadi di lingkungan kecil seperti individu ataupun lingkungan luas seperti masyarakat. Pada taraf
individu konflik timbul lebih kepada pertentangan, ketidakpastian atau emosi dan dorongan yang
antagonistik di dalam dirinya. sedangkan pada tarap masyarakat konflik bersumber pada perbedaan
antara nilai-nilai dan norma-norma kelompok satu dengan yang lainnya. Bagi Marx konflik sosial adalah
pertentangan antara segmen-segmen masyarakat untuk memperebutkan aset-aset yang bernilai.
Biasanya konflik terjadi karena perebutan sumber daya, baik sumber daya politik, sosial, ekonimi, atau
simbolik. Dengan demikian Karl Marx membagi kelas masyarakat menjadi tiga, diantaranya:

1) Kelas elit (Bourjois)


2) Kelas menengah

3) Kelas bawah (proletar)

Kelas bourjois biasanya ditempati oleh elit-elit bisnis dan politik yang selalu berpikir untuk
mempertahankan kekuasaannya. Sedangkan kelas menengah biasanya ditempati oleh kaum-kaum
propesional yang dikenal dengan julukan anti konflik. Sedangkan kelas proletar itu sendiri biasanya
ditempati oleh para buruh, kariawan, dan petani yang mana mereka selalu berpikir untuk bersaing
lawan yang di sampingnya dan mengalahkan orang-orang yang ada di atasnya. Sebagai contoh misalnya,
masyarakat modern berpikir bahwa orang-orang yang tinggal di wilayah-wilayah kumuh disebabkan oleh
ketidakmampuan mereka untuk membeli atau menyewa rumah yang lebih layak. Menurut mereka itu
semua salah mereka sendiri. Orang lain tidak mungkin membangun rumah untuk orang-orang seperti
itu, kecuali hal tersebut akan mendatangkan keuntungan untuk mereka. Demikian pula orang-orang
yang tidak mempunyai pekerjaan di anggap mereka tidak mempunyai keahlian sehingga ia tidak dapat
dipekerjakan, itu salah mereka sendiri. Namun menurut Marx, pola pikir seperti itu sangat dipengaruhi
oleh paham kapitalisme. Padahal menurutnya kebenaran atas argumen tersebut bisa dipertanyakan.
Kehidupan kumuh atau tidak mempunyai pekerjaaan bukan semata-mata disebabkan oleh kesalahan
mereka sendiri melaikan karena sistem ekonimi yang menguntungkan para meilik modal atau kaum
bourjois. Marx menyebut konsep atau pemikiran ini sebagai kesadaran palsu. Kesadaran palsu ini
seolah-olah membenarkan anggapan bahwa problem-problem sosial disebabkan oleh kesalahan
individual bukan karena sistem ekonomi yang lebih mencari keuntungan untuk para memilik modal.
Pada kenyataannya kebanyakan masyarakat hidup dalam kesadaran palsu ini. Oleh karena itu mereka
tidak bisa keluar dari problem-problem sosial yang mereka alami.

C. Cara Mengatasi

Menurut Marx satu-satunya cara yang ditempuh untuk mengatasi hal tersebut atau membuat
masyarakat keluar dari sistem kapitalis yang tidak adil adalah dengan melakukan revolusi. Namun
revolusi bisa terjadi jika dua hal. Yaitu pertama, kaum proletar harus menyadari dirinya adalah orang
yang tertindas. Karena kesadaran menjadi sangat penting untuk menciptakan perubahan. Kedua adalah
mereka harus mengelompokkan diri dalam satu wadah yaitu sebuah organisasi buruh. Secara individual,
buruh sulit memperjuangkan perbaikan nasibnya. Tetapi melalui organisasi mereka bisa
memperjuangkan tuntutannya. Marx menyadari bahwa betapa sulitnya memperoleh tingkat kesadaran
yang diinginkannya.

2 . Teori perspektif Max Webber

Teori konflik menurut Karl Marx terjadi karena adanya pemisahan kelas di dalam masyarakat, kelas
sosial tersebut antara kaum borjuis dan kaum proletar, di mana kaum borjuis yang mempunyai modal
atas kepemilikkan sarana-sarana produksi sehingga dapat menimbulkan pemisahan kelas dalam
masyarakat. Karl Marx menunjukkan bahwa dalam masyarakat pada abad ke-19 di Eropa terdiri dari
kelas pemilik modal (kaum borjuis) dan kelas pekerja miskin (kaum proletar). Kedua kelas tersebut
tentunya berada dalam struktur sosial hierarki yang jelas sekali perbedaannya. Dengan jahatnya kaum
borjuis kepada kaum proletar maka kaum borjuis memanfaatkan tenaga dari kaum proletar. Kaum
borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi, keadaan seperti ini akan
terus berjalan selama beriringnya waktu, karena kaum proletar yang pasrah, menerima keadaan yang
sudah ada, kaum proletar menganggap bahwa dirinya itu sudah takdirnya menjadi buruh atau kaum
pekerja. Dari ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong terbentuknya
gerakan sosial besar yang disebut revolusi, hal ini bisa terjadi karena adanya kesadaran dari kaum
proletar yang dieksploitasi kepada kaum borjuis, dari kesadaran tersebut menjadikan persaingan yang
merebutkan kekuasaan, sehingga lahir tatanan kelas masyarakat pemenang yang kemudian mampu
membentuk tatanan ekonomi dan peradaban yang maju dalam masyarakat.

3. Teori perspektif Durverger

Duverger adalah ilmuan yang bisa dikatakan cukup berani dalam mengemukakan argument ekstremnya.
Salah satu yang kontroversi adalah pendapat dia bahwa studi sosiologi politik pada dasarnya adalah
sama dengan studi ilmu politik. Mengapa demikian? Saya akan mencoba membahas sekaligus sedikit
memberikan counter pada argument tersebut.

Dalam kehidupan intelektual di eropa, khususnya di Prancis, studi sosiologi politik telah dianggap sama
saja dengan studi ilmu politik dan tidak lebih luas dari itu. Sebagaimana yang tetera dalam karyanya
yang berjudul Socioloqie Politique, dalam bab pendahuluan dijelaskan bahwa sosiologi politik dan ilmu
politik adalah sinonim dan sudah mendapat pengakuan di Perancis sebagai cabang dari sosiologi.
Pendapat Duverger tersebut bukan tanpa alasan, menurutya, kunci dari pandangannya itu terletak pada
konsepnya tentang politik. bagi Duverger, politik adalah masalah kekuasaan. Menurut dia, kekuasaan
adalah seluruh jaringan hubungan yang telah mempunyai model atau pola yang mengandung sifat
otoritas. Kekuasaan menurut Duverger erat kaitannya dengan hubungan. Kekuasaan dalam arti
hubungan mengandung otoritas mempengaruhi kehidupan politik baik dalam bentuk negara ataupun
komunitas.

Menurut Duverger ada dua pengaruh yang di timbulkan dari kekuasaan. Pertama bilamana orang
melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan. Kekuasaan dijadikan objek dalam merebut
dan mempertahankan. Disamping itu ada pula yang menentang dan ingin merebut kekuasaan untuk
tujuan yang sama. Dalam hal ini kekuasaan adalah biang konflik. Kedua bilamana orang menganggap
politik sebagai upaya untuk menegakan keadilan danketertiban.dalam hal ini politik sebagai pelindung
kepentingan dan kesejahteraan umum. Melalui paradigma ini kekuasaan memainkan peranan integratif
dan meindungi kepentingnan bersama.
Kedua dimensi tersebut selalu muncul dalam kehidupan politik, memang seperti itu lah tergambarkan
dalam suasana kontraditif dan ambivalen. Dalam bukunya Duverger mengumpamakan kedua dimensi
tersebut sebagai Dewa Janus yang bermuka dua. Dewa Janus adalah dewa di zaman Romawi kuno yang
mempunyai muka yang menghadap kearah yan berlawanan, sebagaimana dalam suasana kontradktif
dan ambivalen. Jadi politik yang seperti itu lahyang dipahami oleh Duverger. Tidak lain dan tidak bukan
adalah kekuasaan. Jadi menurutnya ilmu politik adalah ilmu kekuasaan. Selain itu menurutnya
pendekatan sosiologi dipandang sebagai sesuatu yg rill dalam ilmu sosial. Jadi Duverger mengklaim
bahwa llmu kekuasaan yang dilihat dari sudut pandang sosiologis sebagai sosiologi politik dan itu sama
saja dengan studi ilmu politik, tidak kurang dan tidak lebih.

Orang boleh setuju dan boleh tidak tentang pandangan tersebut, namun pandangan Duverger tersebut
telah membuat kalangan akademisi yang menggeluti ilmu poltik menentang keras. Karena pandangan
Duverger tersebut telah dianggap mempersempit ruang kajian ilmu politik yang seharusnya sebagai
disiplin ilmu yang tersendiri. Saya pun termasuk orang yang menolak pandangan Duverger tersebut.
Klaim yang dilakukan Duverger tentang kekuasaan jelas tidak memiliki landasan yang dapat menguatkan
argumennya tersebut.

Ilmu politik bukan hanya mengkaji tentang kekuasaan yang sebagaimana Duverger maksudkan. Dewa
Janus yang di kumandangkan Duverger sebagai manifestasi dari kekuasaan jelas tidak memberikan
arahan yan kuat. Selain dua dimensi yang dijelaskan oleh Duverger tersebut, kekuasaan erat kaitannya
juga dengan sosial contract. Kontrak sosial yang telah dirumuskan oleh beberapa diantaranya Hobbes,
Rousseau, Locke telah mewarnai unsur baru tentang kekuasaan. Meskipun kontrak sosial dari
pandangan tokoh tersebut memiliki point yang berbeda-beda. Kontrak sosial juga dibutuhkan dalam
menjalin hubungan antara penguasa dan rakyat. Karena negara yang di sokong oleh kemauan bersama
akan membebaskan manusia dari ikatan keinginan, nafsu, dan naluri yang mengecamnya. Dua dimensi
kekuasaan dalam pandangan Duverger telah mengabaikan hal ini, jadi menurutnya kekuasaan hanya
menyangkut hal baik dan buruk, dan tidak memperhatikan sosial contract didalamnya.

Kontrak sosial juga dapat mempengaruhi kekuasaan itu sendiri. Sehingga penguasa tidak bisa sewenang-
wenang menindas rakyat sebagaimana dimensi pertama dalam pandangan Duverger tentang kekuasaan
tersebut. dan dengan adanya kontrak sosial hubungan masyarakat dengan penguasa telah memberikan
keseimbangan dan kesepakatan, jadi dengan adanya kontrak sosial, dua dimensi kekuasaan dalam
pandangan Duverger tersebut mengalami pengaburan.
Selain itu, politik yang dipandang Duverger sebagai ilmu kekuasaan juga tidak memiliki argument yang
kuat. Karena kalau politik hanya dipandang sebagai ilmu kekuasaan tentu ini akan mengabaikan ilmu-
ilmu lainnya yang berkaitan. Contohnya adalah politik yang juga menyangkut masalah ekonomi.
Bagaimana kekuatan ekonomi juga mempengaruhi kekuatan politik, apalagi bila menyangkut kekuatan
politik internasional yang mengkaji pola hubungan antar negara.

Pandangan Duverger yang menyamakan Sosiologi Politik dengan Ilmu Politik jelas tidak bisa diterima
karena akan mempersempit kajian ilmu politik yang memiliki cakupan luas. Ilmu politik sebagai disiplin
tersendiri juga bisa dipandang melalui sisi ekonomi, psikologi, antopologi serta sosiologi sekalipun.
Kalaupun politik yang dipandang dari aspek masyarakat bisa saja dipandang sebagai kesatuan sosiologi
politik, karena mengkolaborasikan tentang bagaimana strategi mencapai kekuasaan yang dikorelasikan
dengan pola perilaku masyarakat. Jadi pandangan Duverger yang menyamakan ilmu politik dengan
sosiologi politik jelas tidak memiliki landasan kuat.

Meskipun begitu, karya Duverger, Sociologie Politique telah memberikan kontribusi khazanah keilmuan
yang baik dalam menjelaskan kolerasi antara kekuasaan dengan pola perilaku di masyarakat. Termasuk
didalamnya membicarakan struktur politik, faktor yang menyebabkan antagonisme politik dan yang
terakhir adalah Duverger mampu menjelaskan bagaimana mengubah suasana antagonisme politk
menuju suasana yang terintegrasi didalam masyarakat.

B.Kesimpulan

Teori konflik adalah yang lebih bersifat kompleks dan muncul sebagai kritikan atas teori fungsionalisme
structural yang terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda
dengan kondisi semula. Pendekatan konflik masa kini melihat perilaku kriminal sebagai suatu refleksi
dari kekuasaan yang memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kejahatan/ penyimpangan.

Teori-teori konflik kontemporer sering kali juga menganggap kejahatan sebagai suatu tindak rasional.
Kejahatan yang terorganisir adalah suatu cara rasional untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan ilegal
dalam masyarakat kapitalis. Teori-teori konflik menganggap kejahatan sebagai suatu ciri yang tidak
dapat diubah dari masyarakat kapitalis.

Pendekatan konflik masa kini melihat perilaku kriminal sebagai suatu refleksi dari kekuasaan yang
memiliki perbedaan dalam mendefinisikan kejahatan/ penyimpangan. Ada sebagian pemikir konflik
kontemporer yang mendefinisikan kriminalitas sebagai suatu fungsi dari posisi kelas sosial. Karena
kelompok elit dan kelompok yang tidak memiliki kekuasaan memiliki kepentingan yang berbeda, apapun
keuntungan dari kelompok elit akan bekerja melawan kepentingan kelompok yang tidak memiliki
kekuasaan.
C.saran

Sebaiknya dalam kehidupan bermasyarakat harus memiliki sikap toleransi atau sikap saling menghargai,
apalagi di masa kini atau masa modern seperti ini banyak konflik yang terjadi di masyarakat baik itu
terpengaruh dari kelompok internal atau eksternal.

Anda mungkin juga menyukai