Anda di halaman 1dari 17

PRESPEKTIF KONFLIK DARI

KARL MARX DAN MAX WEBER

Oleh :

1. Rara Wa Ode (C1B121147)


2. Trinity Anggel L (C1B121169)
3. Nur Asisah (C1B121085)
4. Lela Sustafia (C1B121133)
5. Selfia Minarta (C1B121097)
6. Irna (C1B121071)
7. Aisa (C1B121099)
8. Safina (C1B121093)
9. Rahmad Andia (C1B121089)
10. Fitri (C1B121011)
11. Oktavian (C1B121027)

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Saat ini konflik atau pertentang semakin banyak terjadi. Berbagai unsur elemen masyarakat
termasuk unsur penguasa menjadi biang kerok timbulnya konflik. Secara sosiologis,
konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih dimana salah satu
fihak menyingkirkan fihak lain dengan menghancurkannya atau membuat tidak berdaya
dan lemahnya seseorang atau sekelompok orang. Setiap elemen baik dari masyarakat
maupun pihak-pihak pembuat kebijakan yang menyumbang terjadinya konflik di
masyarakat mungkin tidak menyadari bahaya yang mengancam disintegrasi sosial ini akan
berdampak pada keutuhan negara. C. Wright Mills, pencetus teori konflik modern
menyatakan bahwa konflik dalam masyarakat terjadi karena adanya perbedaan kepentingan
dan sumber daya. Dalam pandangan Mills, struktur sosial diciptakan melalui konflik antara
masyarakat yang berbeda kepentingan dan sumber daya.

Yang mengherankan, posisi pemerintah saat ini yang tidak ajeg kerap menjadi pemicu
utama timbulnya konflik di masyarakat. Perbedaan kepentingan antara masyarakat dan
pemerintah dalam pembangunan negeri ini kerap menimbulkan pertentangan yang bersifat
terbuka.

Dari sisi masyarakat, konflik terjadi kebanyakan akibat dari persaingan dalam pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan pokok yang semakin sulit dijangkau. Pertarungan mencari
penghidupan yang lebih baik dan pemenuhan hajat hidup menyulut timbulya konflik antara
masyarakat yang termarjinalkan dengan masyarakat yang memiliki tingkat kenyamanan
yang baik, baik itu diperoleh karena hasil usahanya maupun karena adanya perlindungan
pemerintah terhadap kelangsungan usaha dan kesejahteraannya. Kecemburuan sosial antara
si miskin dan si kaya serta kehadiran penguasa yang dianggap berat sebelah menimbulkan
konflik yang lebih luas. Sumbangan pemerintah dalam menciptakan konflik, dapat berawal
dari kebijakan dan tindak tanduk pemerintah yang alih-alih pro rakyat dan berkeadilan,
malah disinyalir menguntungkan segelintir manusia yang belum tentu juga bagian dari
warga negara Indonesia yang baik. Pelanggar aturan mendapat perlindungan yang jelas,
sementara warga negaranya yang taat aturan malah terombang-ambing dalam ketidak
pastian jaminan hukum. Termasuk issue minoritas dan mayoritas yang tidak dapat
ditengahi oleh pemerintah dengan baik, serta pemerataan kesempatan kerja dan
penghidupan yang layak masyarakat yang belum mendapatkan porsi sesuai keharusannya.
Salah satunya yakni adanya konflik antara pedagang sebagai rakyat kecil versus pemerintah
selaku penguasa dan pembuat kebijakan.
Konflik sosial biasanya terjadi karena adanya satu pihak atau kelompok yang merasa
kepentingan atau haknya dirampas dan diambil oleh pihak atau kelompok lain dengan cara-
cara yang tidak adil. Yang oleh Karl Marx di kenal dengan surplus value.Dan konflik ini
dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Konflik horizontal terjadi antara
kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat, yang dibedakan oleh agama, suku,
bangsa dan lain-lain. Sedangkan konflik vertikal biasanya terjadi antara suatu kelompok
tertentu dalam masyarakat atau lapisan bawah dengan lapisan atas atau penguasa. Masalah
Pedagang pasar selama ini tidak kunjung selesai di setiap daerah di Indonesia.
Permasalahan ini muncul setiap tahun dan terus saja berlangsung tanpa ada solusi yang
tepat dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu pedagang pasar seringkali menjadi target
utama kebijakan-kebijakan pemerintah kota, seperti penggusuran dan relokasi.

Hal ini merupakan masalah yang sangat kompleks karena akan menghadapi dua sisi
dilematis. Pertentangan antara kepentingan hidup dan kepentingan pemerintahan akan
berbenturan kuat dan menimbulkan friksi diantara keduanya. Para Pedagang pasar yang
umumnya tidak memiliki keahlian khusus mengharuskan mereka bertahan dalam suatu
kondisi yang memprihatinkan, dengan begitu banyak kendala yang harus di hadapi
diantaranya kurangnya modal, tempat berjualan yang tidak menentu, kemudian ditambah
dengan berbagai aturan seperti adanya Perda yang mengharuskan mereka siap di relokasi.
Melihat kondisi seperti ini, maka seharusnya semua tindakan pemerintah didasarkan atas
kepentingan masyarakat atau ditujukan untuk kesejahtraan rakyat atau dalam hal ini harus
di dasarkan pada asas opurtunitas.

B. RUMUSAN MASALAH
a. Bagaimana Prespektif Konflik Dari Karl Marx ?
b. Prespektif Konflik Dari Max Weber ?

C. TUJUAN
a. Mengetahui Prespektif Konflik Dari Karl Marx
b. Mengetahui Prespektif Konflik Dari Max Weber

.
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Prespektif Konflik Dari Karl Marx


a. Pengantar Memahami Pemikiran Karl Max
Sejarah akan berbeda sekarang ini tanpa Karl Marx. Demikian salah satu kesimpulan Franz
Magnis Suseno mengenai pemikiran Karl Marx Lahirnya revolusi industri sangat
mempengaruhi system kehidupan pada saat itu. Dan pada saat itu pula, lahirlah seorang
filsuf yaitu Karl Marx yang melihat pola kehidupan di jaman modern ini tidak begitu adil.
Marx melihat para pemilik modal begitu dominan serta berkuasa dalam system
perekonomian. Mau tidak mau, kaum proletar dikuasai oleh kaum kapitalis (pemilik
modal). Dari sini Marx menemukan istilah kapitalisme. Kapitalisme didefinisikan sebagi
suatu system ekonomi di mana para pemilik modal menguasai sendi- sendi perekonomian.
Dengan pola kehidupan seperti itu, Marx memandang, negara tidak lagi dipahami sebagai
aktor utama dalam system internasional melainkan kelas- kelas social dalam masyarakat
suatu negara itu yang paling berpengaruh.

Marx beranggapan bahwa masing-masing individu akan berjuang untuk mendapatkan


materi sebanyak-banyaknya, memahami dan menjinakkan kekuatan alam demi
mendapatkan kekusaan atas system sosial yang eksploitatif, serta untuk mengatasi
keterasingan dari anggota masyarakat lainnya. Hal ini menyebabkan manusia terbagi dalam
kelas yang berbeda, yaitu kelas borjuis dan proletar. Borjuis adalah kelas bagi para pemilik
modal sedangkan proletar adalah kelas bagi para pekerja yang tidak memiliki modal. Kaum
proletar bekerja dan bergantung pada kaum borjuis. Keadaan ini lah yang kemudian
diterjemahkan oleh Marx akan menimbulkan sebuah eksploitasi yang dilakukan oleh kaum
borjuis sebagai pemilik modal terhadap kaum proletar. Marx meyakini suatu kesimpulan
bahwa revolusi politik akan menggulingkan tatanan kapitalis dan menciptakan sebuah
masyarakat sosialis di mana prinsip kesetaraan akan terwujud demi meningkatkan derajat
kehidupan manusia di seluruh dunia. Marxisme beranggapan bahwa pembagian manusia ke
dalam negara-bangsa yang bersaing akan digantikan oleh masyarakat politik baru yang
akan membawa semua manusia ke dalam wadah sosialisme global.

b. Pemikiran-Pemikiran Karl Max


1) Materialisme Historis

Materialisme Historis merupakan istilah yang sangat berguna untuk memberi nama pada
asumsi-asumsi dasar mengenai teorinya. Dari The Communist Manifesto dan Das Kapital,
di mana penekanan Marx adalah pada kebutuhan materil dan perjuangan kelas sebagai
akibat dari usaha- usaha memenuhi kebutuhan-kebutuhan. Menurut pandangan ini, ide-ide
dan kesadaran manusia tidak lain daripada refleksi yang salah tentang kondisi-kondisi
materil. Perhatian ini dipusatkan Marx sebagai uasaha Marx untuk meningkatkan revolusi
sosialis sehingga kaum proletariat dapat menikmati sebagian besar kelimpahan materil
yang dihasilkan oleh industrialisme.

Menurut Marx, suatu pemahaman ilmiah yang dapat diterima tentang gejala sosial
menuntut si ilmuwan untuk mengambil sikap yang benar terhadap hakikat permasalahan
itu. hal ini mencakupi pengakuan bahwa manusia tidak hanya sekedar organisme materil,
sebaliknya manusia memiliki kesadaran diri. Di mana, mereka memiliki suatu kesadaran
subyektif tentang dirinya sendiri dan situasi- situasi materialnya.

Penjelasan Marx pada Materialistis tentang perubahan sejarah, diterapkan pada pola-pola
perubahan sejarah yang luas, penekanan materialistis ini berpusat pada perubahan-
perubahan cara atau teknik-teknik produksi materil sebagai sumber utama perubahan sosial
budaya.

Dalam The German Ideology 1845-1846.12 Marx menunjukkan bahwa manusia


menciptakan sejarahnya sendiri selama mereka berjuang menghadapi lingkungan
materilnya dan terlibat dalam hubungan-hubungan sosial yang terbatas dalam proses-proses
ini. Tetapi kemampuan manusia untuk membuat sejarahnya sendiri, dibatasi oleh keadaan
lingkungan materil dan sosial yang sudah ada. Ketegangan-ketegangan yang khas dan
kontradiksi- kontradiksi yang menonjol akan berbeda-beda menurut tahap sejarahnya serta
perkembangan materil sosialnya. Tetapi dalam semua tahap, perjuangan individu dalam
kelas-kelas yang berbeda untuk menghadapi lingkungan materil dan sosialnya yang khusus
agar bisa tetap hidup dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya, merupakan sumber utama
perubahan untuk tahap berikutnya Marx mengandaikan bahwa pemilikan daya-daya
produksi masyarakat secara komunal dan suatu distribusi yang lebih merata yang
didasarkan pada kebutuhan manusia, bukan kerakusan borjuis.

2) Infrastruktur Ekonomi Dan Superstruktur Sosiobudaya

Marx berulang-ulang menekankan ketergantungan politik pada struktur ekonomi, tipe


analisa yang sama berlaku untuk pendidikan agama, keluarga, dan semua institusi sosial
lainnya. Sama halnya dengan kebudayaan suatu masyarakat, termasuk standar-standar
moralitasnya, kepercayaan-kepercayaan agama, sistem-sistem filsafat, ideologi politik, dan
pola-pola seni serta kreativitas sastra juga mencerminkan pengalaman hidup yang riil dari
orang- orang dalam hubungan-hubungan ekonomi mereka. hubungan antara infrastruktur
ekonomi dan superstruktur budaya dan struktur sosial yang dibangun atas dasar itu
merupakan akibat langsung yang wajar dari kedudukan materialisme historis. Adaptasi
manusia terhadap lingkungan materilnya selalu melalui hubungan-hubungan ekonomi
tertentu, dan hubungan-hubungan ini sedemikian meresapnya hingga semua hubungan-
hubungan sosial lainnya dan juga bentuk-bentuk kesadaran, dibentuk oleh hubungan
ekonomi itu.
Mengenai determinisme ekonomi Marx tidak menjelaskan secara konsisten, sekalipun
ekonomi merupakan dasar seluruh sistem sosio budaya, institusi- institusi lain dapat
memperoleh otonomi dalam batas tertentu, dan malah memperlihatkan pengaruh tertentu
pada struktur ekonomi. Pada akhirnya struktur ekonomi itu tergantung terhadapnya.

3) Kegiatan Dan Alienasi

Inti seluruh teori Marx adalah proposisi bahwa kelangsungan hidup manusia serta
pemenuhan kebutuhannya tergantung pada kegiatan produktif di mana secara aktif orang
terlibat dalam mengubah lingkungan alamnya. Namun, kegiatan produktif itu mempunyai
akibat yang paradoks dan ironis, karena begitu individu mencurahkan tenaga kreatifnya itu
dalam kegiatan produktif, maka produk-produk kegiatan ini memiliki sifat sebagai benda
obyektif yang terlepas dari manusia yang membuatnya.

Tentang alienasi menurut Marx merupakan akibat dari hilangnya kontrol individu atas
kegiatan kreatifnya sendiri dan produksi yang dihasilkannya. Pekerjaan dialami sebagai
suatu keharusan untuk sekedar bertahan hidup dan tidak sebagai alat bagi manusia untuk
mengembangkan kemampuan kreatifnya. Alienasi melekat dalam setiap sistem pembagian
kerja dan pemilikan pribadi, tetapi bentuknya yang paling ekstrem ada di dalam
kapitalisme, di mana mekanisme pasar yang impersonal itu, menurunkan kodrat manusia
menjadi komoditi, dilihat sebagai satu pernyataan hukum alam dan kebebasan manusia.
bentuk ekstrem alienasi itu merupakan akibt dari perampasan produk buruh oleh majikan
kapitalisnya.

Marx menekankan bahwa alienasi kelihatannya benar- benar tidak dapat dielakkan dalam
pandangan mengenai kodrat manusia yang paradoks. Di satu pihak manusia menuangkan
potensi manusiawinya yang kreatif dalam kegiatannya, dilain pihak produk-produk
kegiatan kreatifnya itu menjadi benda yang berada di luar kontrol manusia yang
menciptakannya yang menghambat kreativitas mereka selanjutnya. Bagi Marx alienasi
akan berakhir, bila manusia mampu untuk mengungkapkan secara utuh dalam kegiatannya
untuk mereka sendiri, sehingga ekspolitasi dan penindasan tidak menjangkiti manusia lagi.

4) Kelas Sosial, Kesadaran Kelas, dan Perubahan sosial

Salah satu kontradiksi yang paling mendalam dan luas yang melekat dalam setiap
masyarakat di mana ada pembagian kerja dan pemilikan pribadi adalah pertentangan antara
kepentingan-kepentingan materil dalam kelas-kelas sosial yang berbeda. Marx memang
bukan orang pertama yang menemukan konsep kelas, tapi menurut Marx pembagian kelas
dalam masyarakat adalah pembagian antara kelas-kelas yang berbeda, faktor yang paling
penting mempengaruhi gaya hidup dan kesadaran individu adalah posisi kelas. Ketegangan
konflik yang paling besar dalam masyarakat, tersembunyi atau terbuka adalah yang terjadi
antar kelas yang berbeda, dan salah satu sumber perubahan sosial yang paling ampuh
adalah muncul dari kemenangan satu kelas lawan kelas lainnya.
Marx beranggapan bahwa pemilikan atau kontrol atas alat produksi merupakan dasar utama
bagi kelas-kelas sosial dalam semua tipe masyarakat, dari masyarakat yang primitif sampai
pada kapitalisme modern.

Mengenai konsep kelas Marx, mengidentifikasikan tiga kelas utama dalam masyarakat
kapitalis, yaitu buruh upahan, kapitalis, dan pemilik tanah. Kelas tersebut dibedakan
berdasarkan pendapatan pokok yakni upah, keuntungan. sewa tanah untuk masing-
masinnya. Selanjutnya Marx juga melakukan pembedaan antara dimensi obyektif dan
subyektif antara kepentingan kelas. Kesadaran kelas merupakan satu kesadaran subyektif
akan kepentingan kelas obyektif yang mereka miliki bersama orang-orang lain dalam posisi
yang serupa dalam sistem produksi. Konsep "kepentingan" mengacu pada sumber- sumber
materil yang aktual yang diperlukan kelas untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan
individu. Kurangnya kesadaran penuh akan kepentingan kelas sangat berhubungan dengan
penerimaan yang berkembang untuk mendukung kelas dominan dan struktur sosial yang
ada. Pengaruh ideologi inilah yang memunculkan "kesadaran palsu". Bila nanti terjadi
krisis ekonomi dalam sistem kapitalis, menurut Marx akan menjelaskan bahwa kontradiksi-
kontradiksi internal dalam kapitalisme akan mencapai puncak gawatnya dan sudah tiba
waktunya bagi kaum proletar untuk melancarkan suatu revolusi yang berhasil.

5) Kritik Terhadap Masyarakat Kapitalis

Menurut Marx dalam Das kapital, ia menekankan bahwa untuk mengungkapkan dinamika-
dinamika yang mendasar dalam sistem kapitalis sebagai sistem yang bekerja secara aktual,
yang berlawanan dengan versi yang diberikan oleh para ahli ekonomi politik sangat bersifat
naif.

Marx menerima teori nilai tenaga kerja dari nilai pasar suatu komoditi ditentukan oleh
jumlah tenaga kerja yang menghasilkan produksi itu. nilai merupakan faktor utama
menetukan harga komoditi. Gagasan Marx dalam hal ini selanjutnya dikenal dengan istilah
"surplus Value" atau teori nilai lebih yaitu pertukaran yang tidak proporsional antara nilai
pakai dan nilai tukar. Dalam hal ini keuntungan yanng lebih besar dimiliki oleh para
kapitalis, dan buruh tidak berkuasa atas nilai lebih yng telah dihasilkannya sebagai tenaga
kerja.

Ketika Marx hidup waktu Di Eropa sedang terjadi revolusi industri, lalu dalam hal ini Marx
melakukan kritik atas ekspansi kapitaslis dan korelasinya dengan krisis ekonomi. Menurut
marx penggunaan mesin baru yang hemat buruh merusakkan keseimbangan antara
kemampuan produktif dan permintaan, dan karena itu mempercepat krisis ekonomi. Selain
itu juga menurut marx eskpansi Kapitalis akan membuat individu-individu semakin
teralienasi. Dan paradoks atas kapitalisme akan muncul.
6) Pemikiran Ekonomi Marx

Materialisme Marx dan penekanannya pada sektor ekonomi menyebabkan pemikirannya


sejalan dengan pemikiran ekonomi lainnya seperti Adam Smith, dan David Ricardo, di
mana ia memuji premis dasar mereka yang menyatakan bahwa tenaga kerja merupakan
sumber seluruh kekayaan, dan atas dasar inilah ia merumuskan teori nilai tenaga kerja, di
mana ia mengatakan "bahwa Keuntungan kapitalis menjadi basis eksploitasi tenaga kerja.

Kapitalis melakukan muslihat sederhana dengan membayar upah tanaga kerja kurang dari
selayaknya yang merekaterima, karena mereka menerima upah kurang dari nilai barang
yang sebenarnya mereka hasilkan dalam suatu periode bekerja, dan nilai surplus ini,
disimpan dan diinvestasikan kembali oleh kapitalis, yang merupakan basis dari seluruh
system kapitalis. Marx juga juga melukiskan eksploitasi kapitalis terhadap kaum buruh,
dania melihat bahwa ini adalah sebagai unsur kejahatan kapitalisme, maka ia bertekaduntuk
mengadakan perubahan yang radikal, yaitu perubahan dari kapitalis kepada sosialis.

Inti seluruh teori Marx adalah proposisi bahwa kelangsungan hidup manusia serta
pemenuhan kebutuhannya bergantung pada kegiatan produktif di mana secara aktif orang
terlibat dalam mengubah ingkungan alamnya. Namun kegiatan produktif itu mempunyai
akibat yang paradoks dan ironis, karena begitu individu mencurahkantenaga kreatifnya itu
dalam kegiatan produktif, maka produk dari kegiatan ini memiliki sifat sebagai benda
obyektif yang terlepas dari manusia yang membuatnya. Dalam berbagai tulisannya ia
mengemukakan bahwa struktur ekonomi masyarakat (yaitu, alat-alat produksi dan
hubungan-hubungan sosial dalam produksi) merupakan dasar yang sebenarnya. Semua
institusi sosial lainnya didirikan atas dasar ini dan menyesuaikan diri kurang lebih dengan
tuntutan-tuntutan dan persyaratan- persyaratan yang terdapat dalam struktur ekonomi, dia
juga berulang-ulangmenekankan ketergantungan politik pada struktur ekonomi ini, dan
juga berlaku padakeluarga, pendidikan, agama, dan institusi sosial lainnya. Sama halnya
dengan kebudayaan masyarakat, termasuk standar-standar moralitasnya, kepercayaan-
kepercayaan agama sistem-sistem filsafat, ideologi politik, dan pola seni serta kretivitas
sastra, juga mencerminkan pengalaman hidup yang riil dari orang- orang dalam hubungan-
hubungan ekonomi mereka.

Selain menegasakan bahwa ekonomi merupakan dasar masyarakat, tidak hendak


mengatakan bahwa hanya ekonomi saja yang secara deterministik mempengaruhi segi- segi
lain kehidupan masyarakat, juga semua proses sosial dalaminstitusi-institusi lainnya atau
semua aspek kebudayaan tidak hanya dapat dijelaskan sebagai akibat keniscayaan
ekonomi.

7) Kerangka Analisa Dan Kaitannya Kesejahteraan Sosial Kemasyarakatan

Diskursus tentang kesejahteraan sudah cukup lama, bahkan pada jaman Yunani dan
Romawi kuno pun diskursus seperti ini sudah banyak dilakukan oleh para filosof saat itu.
Perdebatan tersebut berawal dari keyakinan para cerdik pandai tentang perubahan sosial
yang tak pernah berhenti dalam kehidupan manusia. Perdebatan keyakinan tentang
perubahan sosial tidak dapat dipisahkan dari pencapaian tujuan hidup yang dianggapnya
lebih baik, tentangnya pada umumnya dengan kesejahteraan.

Kesejahteraan merupakan suatu uji keberadaban (civility).15 Tata kehidupan dan sejarah
merupakan uji keberlangsungan hidup manusia agar mencapai kesejahteraan. Begitu pula
dengan pandangan Marx tentang kesejahteraan memiliki karkteristik yang berbeda
dikarenakan kondisi sosial historis yang berbeda dalam memandang masyarakat. Misalkan
dalam pandangan Marx bahwa kesejahteraan itu dimiliki oleh kelas borjuis di mana
memiliki modal produksi yang menggerakan sistem ekonomi. Sedangkan untuk kaum
ploletar mereka kurang sejahtera dikarenakan adanya eksploitasi kaum buruh dengan
alasan efiensi dan menambah modal investasi. Kesejateraan dapat dilakukan oleh kaum
ploletar dengan mengadakan revolusi terhadap kaum pemodal atau merebut aset-aset
produksi ekonomi agar bermanfaat bagi buruh.

Karl Marx mengkritik sistem ekonomi politik perkembangan kapitalisme liberal di mana
basis pertarungan kepentingan materil ini menghasilkan proses dehumanisasi. Dia hadir
justru sebagai bentuk perlawanan dari para pemikir liberalis tentang perubahan sosial. Para
pemikir penganut perubahan secara interventif ini secara tidak langsung merupakan sebuah
antitesis terhadap pemikiran liberal. Intervensi pemerintah untuk mendorong
perkembangan perekonomian sangat diperlukan. Kerjasama antara para aristokrat dan para
borjuasi di Inggris pada awal revolusi industri justru memberikan bantuan kepada para
merkantilis untuk mendorong perkembangan ekonomi.

Negara Kesejahteraan (welfare state) merupakan perwujudan para pemikir intervensionis di


mana intervensi negara terhadap masyarakat akan membantu perkembangan ekonomi dan
kesejahteraan mereka, meskipun ini mendapat kritik dari para neoliberal.16. Pikiran mereka
tidak menghapus negara kesejahteraan, akan tetapi para pemikir ini menyetujui intervensi
negara kepada masyarakat hanya untuk mereka yang paling miskin.17 Meskipun demikian
halnya, kemunculan welfare state berbeda-beda di setiap Negara.18 Perkembangan negara
maju berlangsung dengan perdebatan tersendiri tentang kemajuan ekonomi politik dari dua
pemikiran di atas. Bagaimana pun hasil perdebatan ini membuahkan hasil perbaikan
kesejahteraan masyarakatnya hingga sekarang ini.

Marx dalam menjelaskan asal-usul dan fungsi kesejahteraan sosial Menggunakan banyak
ide yang telah dikemukakan. Misalnya, penedekatan menekankan pentingnya kelompok-
kelompok kepentingan yang mendasari kesejahteraan Negara. Teori-teori Marx juga
mencerminkan pengaruh fungsionalisme. Menerut Marx,

program-program social pemerintah mempunyai fungsi yang berbeda dalam masyarakat.


Fungsi ini termasuk mempertahankan dan melestarikan system kapitalis dan dan kebutuhan
untuk melakukan control social dan politik untuk mencegah revolusi. Analisis Marx juga
menekankan peranan Negara dalam timbulnya kesejahteraan social, dengan mengatakan
bahwa Negara bertindak atas nama kepentingan kapitalis-kapitalis, dan memberikan
program- program social untuk meningkatkan kepentingan- kepentingan ini. Marx dan
golongan sepakat bahwa Negara kesejahteraan tidak bersifat sosialis.

1.1 Prespektif Konflik Dari Max Weber


a. Pemikiran Weber tentang Kelas, Status dan Kekuasaan.
Dimulai dengan kelas, kelas dalam pandangan Weber merupakan sekelompok orang yang
menempati kedudukan yang sama dalam proses produksi, distribusi maupun perdagangan.
Pandangan Weber melengkapi pandangan Marx yang menyatakan kelas hanya didasarkan
pada penguasaan modal, namun juga meliputi kesempatan dalam meraih keuntungan dalam
pasar komoditas dan tenaga kerja. Keduanya menyatakan kelas sebagai kedudukan
seseorang dalam hierarkhi ekonomi.Weber berpegang pada konsep orientasi tindakannya
dengan menyatakan bahwa kelas bukanlah komunitas, kelas adalah sekelompok orang yang
situasi bersama mereka dapat menjadi, dan kadang-kadang sering kali, basis tindakan
kelompok. Weber menyatakan bahwa “situasi kelas” hadir ketika telah terpenuhinya syarat-
syarat tertentu.

Berlawanan dengan kelas, biasanya status merujuk pada komunitas. “situasi status”
didefinisikan Weber sebagai “setiap komponen tipikal kehidupan manusia yang ditentukan
oleh estimasi sosial tentang derajat martabat tertentu, positif atau negatif”
(1921/1968:932). Status oleh Weber lebih ditekankan pada gaya hidup atau pola konsumsi.
Namun demikian status juga dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti ras, usia dan agama.
Sudah jadi semacam patokan umum kalo suatu status dikaitkan dengan gaya hidup. Status
terkait dengan konsumsi barang yang dihasilkan, sementara itu kelas terkait dengan
produksi ekonomi. Mereka yang menempati kelas atas mempunyai gaya hidup berbeda
dengan yang ada di bawah. Dalam hal ini, gaya hidup, atau status, terkait dengan situasi
kelas. Namun, kelas dan status tidak selalu terkait satu sama lain.
Kekuasaan menurut Weber adalah kemampuan untuk memaksakan kehendak meskipun
sebenarnya mendapat tentangan atau tantangan dari orang lain. Max Weber mengemukakan
beberapa bentuk wewenang   dalam hubungan manusia yang juga menyangkut hubungan
dengan kekuasaan. Menurut Weber, wewenang adalah kemampuan untuk mencapai
tujuan–tujuan tertentu yang diterima secara formal oleh anggota–anggota masyarakat. 
Sedangkan kekuasaan dikonsepsikan sebagai suatu kemampuan yang dimiliki seseorang
untuk mempengaruhi orang lain tanpa menghubungkannya dengan  penerimaan sosialnya
yang formal. Dengan kata lain, kekuasaan dalam pengertian yang luas adalah kemampuan
untuk mempengaruhi atau menentukan sikap orang lain sesuai dengan keinginan si pemilik
kekuasaan.
Weber membagi wewenang ke dalam tiga tipe berikut.
1. Ratonal-legal authority, yakni bentuk wewenang yang berkembang dalam
kehidupan masyarakat modern. Wewenang ini dibangun atas legitimasi (keabsahan) yang
menurut pihak yang berkuasa merupakan haknya. Wewenang ini dimiliki oleh organisasi –
organisasi, terutama yang bersifat politis.
2. Traditional authority, yakni jenis wewenang yang berkembang dalam kehidupan
tradisional. Wewenang ini diambil keabsahannya berdasar atas tradisi yang dianggap suci.
Jenis wewenang ini dapat dibagi dalam dua tipe, yakni  patriarkhalisme dan
patrimonialisme. Patriarkhalisme adalah suatu jenis wewenang di mana kekuasaan
didasarkan atas senioritas. Mereka yang lebih tua atau senior dianggap secara tradisional
memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Berbeda dengan patriarkhalisme, patrimonialisme
adalah jenis wewenang yang mengharuskan seorang pemimpin bekerjasama dengan
kerabat – kerabatnya atau dengan orang – orang terdekat yang mempunyai loyalitas pribadi
terhadapnya. Dalam patriarkhalisme dan patrimonialisme ini, ikatan – ikatan tradisional
memegang peranan utama. Pemegang kekuasaan adalah mereka yang dianggap mengetahui
tradisi yang disucikan. Penunjukkan wewenang lebih didasarkan pada hubungan –
hubungan yang bersifat personal/pribadi serta pada kesetiaan pribadi seseorang kepada
sang pemimpin yang terdahulu. Ciri khas dari kedua jenis wewenang ini adalah adanya
sistem norma yang diangap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran
terhadapnya akan menyebabkan bencana baik yang bersifat gaib maupun religious. Contoh
patriarkhalisme misalnya wewenang ayah, suami anggota tertua dalam rumah tangga, anak
tertua terhadap anggota yang lebih muda, kekuasaan pangeran atas pegawai rumah atau
istananya, kekuasaan bangsawan atas orang yang ditaklukannya.
Ciri khas dari wewenang baik patriarkhalisme maupun patrimonialisme adalah adanya
system norma yang dianggap keramat yang tidak dapat diganggu gugat. Pelanggaran
atasnya akan menyebabkan adanya bencana baik yang bersifat gaib maupun yang bersifat
religious. Si pemegang kekuasaan dari wewenang sedemikian ini dalam merumuskan
keputusan-keputusannya adalah atas dasar pertimbangan pribadinya dan bukan atas dasar
pertimbangan fungsinya. Dalam pengertian ini wewenang tradisional sedemikian ini lebih
bersifat irrasional.
3. Charismatic authority, yakni wewenang yang dimiliki seseorang karena kualitas
yang luar biasa yang dimilikinya. Dalam hal ini, kharismatik harus dipahami sebagai
kualitas yang luar biasa, tanpa memperhitungkan apakah kualitas itu sungguh – sungguh
ataukah hanya berdasarkan dugaan orang belaka. Dengan demikian, wewenang kharismatik
adalah penguasaan atas diri orang – orang, baik secara predominan eksternal maupun
secara predominan internal, di mana pihak yang ditaklukkan menjadi tunduk dan patuh
karena kepercayaan pada kualitas luar biasa yang dimiliki orang tersebut. Wewenang
kharismatik dapat dimiliki oleh para dukun, para rasul, pemimpin suku, pemimpin partai,
dan sebagainya.

b. Pemikiran Weber tentang Rasionalitas dan Tindakan Sosial.


Weber mendefinisikan rasionalitas, ia membedakan dua jenis rasionalitas-rasionalitas
sarana-tujuan dan rasionalitas nilai. Namun, konsep-konsep tersebut merejuk pada tipe
tindakan. Itu semua adalah dasar, namun tidak sama dengan pemahaman tentang
rasionalisasi skala-luas yang dikemukakan Weber. Weber tidak terlalu tertarik pada
orientasi tindakan yang terfragmentasi: perhatian pokoknya adalah keteraturan dan pola-
pola tindakan dalam peradaban, instistusi, organisasai, strata, kelas dan kelompok.

Tipe-tipe rasionalitas:
1. Tipe rasionalitas praktis, yang didefinisikan oleh Karl Berg sebagai “setiap jalan
hidup yang memandang dan menilai aktivitas-aktivitas duniawi dalam kaitannya dengan
kepentingan indidvidu yang murni, fragmatis dan egoistis” (1980: 1151). Tipe rasionalitas
ini muncul seiring dengan longgarnya ikatan magi primitif, dan dian terdapat dalam setiap
peradaban dan melintasi sejarah: jadi, dia tidak terbatas pada barat (oksiden) modern.
2. Rasionalitas teoritis melibatkan upaya kognitif untuk menguasai realitas melalui
konsep-konsep yang makin abstrak dan bukannya melalui tindakan. Rasionalitas ini
melibatkan proses kognitif abstrak.
3. Rasionalitas substantif (seperti rasionalitas praktis, namun tidak seperti
rasionalitas teoritis) secara langsung menyusun tindakan-tindakan ke dalam sejumlah pola
melalui kluster-kluster nilai. Rasionalitas substantif melibatkan sarana untuk mencapai
tujuan dalam konteks sistem nilai. Suatu sitem nilai (secara sunstantif) tidak lebih rasional
daripada sistem nilai lainnya. Jadi, tipe rasioanalitas ini juga bersifat lintas peradaban dan
lintas sejarah, selam ada postulat nilai yang konsisten.
4. Rasionalitas formal, yang melibatkan kalkulasi sarana-tujuan. Meskipun seluruh
tipe rasionalitas lain juga bersifat lintas peradaban dan melampaui sejarah, rasionalitas
formal hanya muncul di Barat seiring dengan lahirnya industrialisasi. Rasionalitas formal
dan substantif. Rasionalitas formal dapat didefinisikan berdasarkan enam ciri utama.
Pertama, struktur dan institusi rasional formal menekankan kalkulabilitas. Kedua, fokus
pada efisiensi, pencarian cara terbaik untuk mencapai tujuan tertentu. Ketiga, perhatian
besar pada terjaminnya prediktibilitas. Keempat, sistem rasional formal secara progresif
mengurangi teknologi manusia dan pada akhirnya menggantikan teknologi manusia dengan
teknologi nonmanusia. Kelima, sistem rasional formal berusaha melakukan kontrol atas
ketidakpastian. Akhirnya, sistem rasional cenderung mengandung serangkaian konsekuensi
irasional bagi orang yang terlibat didalamnya dan bagi sistem itu sendiri, maupun bagi
masyarakat yang lebih luas. Rasionalitas formal beelawanan dengan semua tipe rasionalitas
lain, terutama bertentangan dengan rasionalitas substantif. Weber percaya bahwa konflik
antara kedua jenis rasionalitas tersebut memainkan peran penting dalam pemahaman
terhadap proses rasionalisasi di Barat.
Rasionalisasi dalam berbagai setting sosial. Ketika kita bergerak dari suatu setting ke
setting lainnya, seperti Weber, kadang-kadang kita memusatkan perhatian pada
rasionalisasi secara umum dan pada kesempatan lain memusatkan perhatian pada tipe
rasionalisasi yang khusus.

Beberapa masalah akan kita hadapi dalam menganalisa tindakan sosial menurut titik
pandangan ini. Para ahli filsafat sosial, pujangga, dan pengamat sosial lainnya berbeda
secara mendalam dalam memberikan prioritas pada pikiran, intelek, dan logika (kegiatan
otak) atau pada hati (seperti perasaan, sentimen, emosi) kalau menjelaskan perilaku
manusia. Sejauh mana perilaku manusia itu bersifat rasional? Tak seorangpun berbuat
sesuatu tanpa pikiran, tetapi pikiran mungkin hanya sekedar keinginan untuk menyatakan
suatu perasaan, dan bukan suatu perhitungan yang sadar atau logis. Kebanyakan kita heran
mengapa kadang-kadang pikiran kita tidak mampu membangkitkan motivasi atau
mendorong kita untuk bertindak. Kadang-kadang mungkin juga kita berpikir bahwa
tindakan orang lain itu sama sekali tidak masuk akal, hanya menjadi berarti apabila orang
itu menjelaskan alasan bagi tindakan itu—mesipun kriteria yang kita gunakan untuk
penilaian seperti itu mungkin agak longgar. Misalnya, mungkin kelihatannya masuk akal
bahwa seseorang membayar dengan sangat mahal sebuah mobil besar yang kurang cepat
apabila kita mengetahui bahwa ada temannya yang mati ketika mengendarai mobil kecil
yang kurang bertenaga. Tetapi apabila orang-orang lalu memberikan pembenaran-
pembenaran seperti itu, kita sepertinya heran kalau pembenaran seperti itu sebenarnya
merupakan rasionalisasi yang bersifat ex post facto tentang tindakan, yang diberikan
dengan alasan-alasan yag sangat berbeda. Pareto, misalnya, melihat kebanyakan tindakan
itu bersifat nonlogis (muncul dari perasaan), dan yang lalu dirasionalisasikan menurut
motif-motif yang dapat diterima secara sosial.

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Weber tentang tindakan sosial. Menurut


Kamanto Sunarto yang dikutip dalam buku pengantar sosiologi,  tindakan sosial menurut
Max Weber, “Tindakan sosial adalah tindakan manusia yang dapat mempengaruhi
individu-individu lainnya dalam masyarakat serta mempunyai maksud tertentu, suatu
tindakan sosial adalah tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang
lain dan berorientasi pada perilaku orang lain”.
Max Weber membedakan tindakan sosial kedalam 4 kategori :
1. Zweek Rational
Yaitu tindakan yang dilaksanakan setelah melalui tindakan matang mengenai tujuan dan
cara yang akan ditempuh untuk meraih tujuan itu. Jadi, Rasionalitas instrumental adalah
tindakan yang diarahkan secara rational untuk mencapai suatu tujuan tertentu dan
diterapkan dalam suatu situasi dengan suatu pluralitas cara-cara dan tujuan-tujuan dimana
sipelaku bebas memilih cara-caranya secara murni untuk keperluan efisiensi.
2.      Wert Rational
Tindakan sosial jenis ini hampir serupa dengan kategori atau jenis tindakan sosial rasional
instrumental, hanya saja dalam werk rational tindakan-tindakan sosial ditentukan oleh
pertimbangan atas dasar keyakinan individu pada nilai-nilai estetis, etis dan keagamaan,
manakala cara-cara yang dipilih untuk keperluan efisiensi mereka karena tujuannya pasti
yaitu keunggulan.
3.      Affectual Rational
Tindakan ini dilakukan seseorang berdasarkan perasaan yang dimilikinya, biasanya timbul
secara spontan karena mengalami suatu kejadian yang sebagian besar dikuasai oleh
perasaan atau emosi  tanpa perhitungan dan pertimbangan yang matang.
4.      Tradisional Rational
Tindakan sosial semacam ini bersifat rasional, namun sipelaku tidak lagi memperhitungkan
proses dan tujuannya terlebih dahulu, yang dijadikan pertimbangan adalah kondisi atau
tradisi yang sudah baku dan manakala baik itu cara-caranya dan tujuan-tujuannya adalah
sekedar kebiasaan.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai