Asumsi dasar yang melandasi Teori Konflik Sosial (Klein dan White 1996)
adalah: (1) Manusia tidak mau tunduk pada konsensus, (2) Manusia adalah
individu otonom yang mempunyai kemauan sendiri tanpa harus tunduk
kepada norma dan nilai; Manusia secara garis besar dimotivasi oleh
keinginannya sendiri. (3) Konflik adalah endemik dalam grup sosial, (4)
Tingkatan masyarakat yang normal lebih cenderung mempunyai konflik
daripada harmoni, (5) Konflik merupakan suatu proses konfrontasi antara
individu, grup atas sumberdaya yang langka, konfrontasi suatu pegangan
hidup yang sangat berarti. Oleh karena itu konsensus dan negosiasi adalah
tehnik yang masih ampuh untuk digunakan sebagai alat mengelola konflik.
Paradigma sosial konflik yang dikembangkan oleh Karl Marx didasarkan
pada dua asumsi, yaitu: (1) Kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama
semua kegiatan masyarakat, dan (2) Melihat masyarakat manusia dari sudut
konflik di sepanjang sejarahnya. Marx, dalam Materialisme Historis-nya
memasukkan determinisme ekonomi sebagai basis struktur yang dalam
proses relasi sosial dalam tubuh masyarakat akan menimbulkan konflik
antara kelas atas dan kelas bawah. Ringkasnya, ada sedikitnya empat hal
yang penting dalam memahami teori konflik sosial, antara lain: 1. Kompetisi
(atas kelangkaan sumberdaya seperti makanan, kesenangan, partner seksual,
dan sebagainya. Dasar interaksi manusia bukanlah konsensus seperti yang
ditawarkan fungsionalisme, namun lebih kepada kompetisi. 2.Terdapat
ketidaksamaan struktural dalam hal kekuasaan. 3. Individu dan kelompok
yang ingin mendapatkan keuntungan maksimal. 4. Perubahan sosial terjadi
sebagai hasil dari konflik antara keinginan (interest) yang saling
berkompetisi dan bukan sekadar adaptasi. Perubahan sosial sering terjadi
secara cepat dan revolusioner daripada evolusioner.
Dalam keluarga teori konflik social lebih dijadikan pengangan bagi keluarga
kotemporer. Menurut perspektif Teori konflik sosial, hubungan yang penuh
konflik terjadi juga dalam keluarga. Peran yang dilembagakan oleh institusi
keluarga, menurut persepsi konflik sosial telah menciptakan pola relasi yang
opresif. Menurut teori ini, situasi konflik dalam kehidupan sosial tidak
dianggap sebagai sesuatu yang abnormal atau disfungsional, tetapi bahkan
dianggap sesuatu yang alami dalam setiap proses sosial.
Adanya konflik bersumber dari struktur dan fungsi keluarga itu sendiri.
Seorang suami dengan kedudukannya sebagai kepala keluarga akan
menimbulkan konflik terbuka dengan istrinya yang mempunyai kedudukan
ibu rumahtangga. Teori sosial konflik menawarkan keluarga sebagai wahana
alternatif efektif untuk pengembangan sumberdaya manusia tanpa resiko
penolakan dan tantangan. Pendukung teori dan ideologi konflik justru
menganggap keluarga sebagai sumber malapetaka, kesengsaraan dan
ketidakadilan, terutama bagi perempuan.Berikut merupakan contoh konflik
yang terjadi dalam keluarga :
Daftar pustaka