Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kebudayaan adalah segala hal yang terkait dengan seluruh aspek kehidupan
manusia, yang dihayati dan dimiliki bersama. Di dalam kebudayaan terdapat
kepercayaan, kesenian dan adat istiadat. Kata kebudayaan memiliki kata dasar ‘budaya’
yang berarti pikiran, akal budi, hasil. Menurut ilmu Antropologi yang disampaikan oleh
Koentjaraningrat (1985), kebudayaan adalah seluruh kemampuan manusia yang
didasarkan pada pemikirannya, tercermin pada perilaku dan pada benda-benda hasil karya
mereka, yang diperoleh dengan cara belajar. Dengan demikian kebudayaan merupakan
ciptaan manusia.
Koentjaraningrat (1985:186-188) menjelaskan bahwa kebudayaan memiliki 3
wujud, yaitu :
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai,
norma-norma peraturan dan sebagainya. Lokasinya terdapat dalam kepala
atau dalam alam pikiran warga masyarakat dimana kebudayaan
bersangkutan itu hidup;
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola
dari manusia dalam masyarakat. Wujud kedua ini terdiri dari aktivitas-
aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan
yang lainnya dari waktu ke waktu, selalu menurut pola-pola tertentu yang
berdasarkan adat tata kelakuan;
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Wujud ketiga
ini disebut juga kebudayaan fisik, berupa seluruh hasil fisik dari aktivitas,
perbuatan, dan karya manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling
konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat dan
difoto.
Ketiga wujud kebudayaan di atas tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan
masyarakat. Kebudayaan ideal dan adat istiadat mengarah kepada tindakan dan
karya manusia. Ide-ide, tindakan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda
kebudayaan.

1
B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka masalah yang akan kami angkat
dalam makalah ini yaitu sebagai berikut:
1. Bagaimana kebudayaan real dan kebudayaan ideal?
2. Apa etnosentrisme?
3. Apa xenosentrisme?
4. Bagaimana kebudayaan dan penyesuaian diri manusia?

C. Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah di atas dapat disimpulkan tujuannya yaitu :


1. Mengetahui bagaimana kebudayaan real dan kebudayaan ideal
2. Mengetahui apa etnosentrisme
3. Mengetahui apa xenosentrisme
4. Mengetahui bagaimana kebudayaan dan penyesuaian diri manusia

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kebudayaan Real dan Kebudayaan Ideal


Dalam sebgian besar masyarakat, sekalipun beberapa pola perilaku umumnya
dikutuk, tetapi dipraktekkan juga secara luas. Di beberapa tempat, pola perilaku yang
dibenci ini selama berabad-abad telah hidup berdampingan dengan norma-norma budaya
yang dianggap menentangnya. Sebagai contoh untuk jenis perilaku ini, Malinowski
mencatat tabu incest penduduk kepulauan Trobriand.
‘‘Bila anda ingin menyelidiki persoalan diantara orang-orang Trobriand, anda akan
menemukan bahwa.. penduduk asli merasa ngeri terhadap gagasan melanggar peraturan
eksogami dan mereka yakin bahwa incest antar suku akan diikuti oleh luka, penyakit dan
bahkan kematian… Namun sebagian besar informan tidak sengaja mengakui tetapi juga
sungguh-sungguh menyombongkan diri telah melakukan pelanggaran ini atau perzinahan.
(Broinslaw Malinowski, Crime and Custom in Savage Society, 1926)’’
Sebagaimana halnya dalam semua masyarakat, orang Trobriand memiliki beberapa
cara baku untuk menghindari hukuman. Malinowski mengamati bahwa ilmu sihir untuk
melepas hal-hal akibat-akibat dari incest antar suku adalah barangkali merupakan contoh
paling pasti tentang penghindaran dari adat istiadat.
Kasus ini menggambarkan perbedaan antara kebudayaan real dan kebudayaan
ideal. Kebudayaan ideal mencakup tata kelakukan dan kebiasaan secara formal
disetujui dan diharapkan diikuti oleh banyak orang (norma- norma budaya);
sedangkan kebudayaan real mencakup hal-hal yang betul-betul mereka laksanakan
(norma-norma statistis). Sebagai contoh, Warriner (1958) menemukan di Kansas,
ketika ia sedang mengadakan riset pada masa pelarangan minuman keras sedang
berlangsung, banyak orang minum minuman keras secara sembunyi-sembunyi,
sementara mereka mendukung moralitas resmi itu berfungsi untuk mencegah
pertentangan dalam masyarakat yang dapat mengganggu, tanpa mempengaruhi
kebiasaan mereka dalam minum minuman keras.
Pertentangan antara pola kebudayaan real dan ideal umumnya dielakkan dengan
semacam rasionalisasi yang memungkinkan orang-orang menyamarkan pertentangan
itu sehingga mereka dapat merangkul keduanya. Sebagai contoh, Lowie (1940)
menggambarkan beberapa desa orang-orang Burma yang penduduknya beragama Budha.
Para penganut Budha itu dilarang membunuh mahluk hidup apapun, padahal

3
penghidupan mereka tergantung pada pencarian ikan. Mereka mengelakkan
pertentang ini dengan tidak benar-benar membunuh ikan, tetapi “sekedar
mengeringkannya di pinggir sungai dan kalau ikan itu mati selama proses sedang
berlangsung, itu adalah kesalahan mereka sendiri”. Beberapa elakan dan rasionalisasi
seperti itu adalah bagian dari kebudayaan.
Suatu tindakan keras terhadap batas kecepatan kendaraan di jalan raya
mungkin menimbulkan banyak pertentangan dan permusuhan di antara para pengemudi
yang menjalankan kendaraannya hanya sedikit di atas batas kecepatan dengan tujuan
supaya seluruh sistem tidak dapat berfungsi. Maka secara umum diberikan batas
kecepatan 15 km per jam. Jadi kecepatan 70 km perjam yang tertera (kebudayaan ideal)
dalam kenyataannya menjadi 90 km per jam (kebudayaan real).

B. Etnosentrisme
Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar
budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok
atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan,
dan agama. Perbedaan dan pembagian etnis ini mendefinisikan kekhasan identitas budaya
setiap suku bangsa. Mudahnya, definisi etnosentrisme adalah fanatisme suku bangsa, yaitu
suatu persepsi yang dimiliki oleh setiap individu yang menganggap bahwa kebudayaan yang
mereka miliki lebih baik dari kebudayaan lainnnya, juga menganggap cara hidup bangsanya
merupakan cara hidup yang paling baik. Etnosentrisme bisa saja tampak atau tidak tampak di
tengah tengah masyarakat, dan meski dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan merupakan
kecenderungan alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme memiliki konotasi negatif di
dalam masyarakat.

Meski begitu ada beberapa sisi positif dari perilaku Etnosentrisme, diantaranya adalah
dapat menjaga kestabilan dan keutuhan suatu budaya, dapat mempertinggi semangat
patriotisme dan kesetiaan kepada bangsa, serta dapat memperteguh rasa cinta terhadap
kebudayaan atau bangsanya.

4
Faktor Penyebab Etnosentrisme

1. Budaya Politik

Budaya politik yang ada pada masyarakat cenderung tradisional dan tidak rasional.
Budaya politk semacam ini sangat subjektif dan penuh ikatan emosional dan ikatan
primordial yang cenderung menguasai masyarakat. Masyarakat yang terlibat dalam politik
sering mementingkan kepentingan mereka sendiri mulai dari suku, etnis, agama dan lain
sebagainya.

2. Pluralitas Bangsa Indoensia

Banyaknya suku, agama, ras dan golongan di Indonesia menyebabkan berbagai persoalan
sosialdan konflik bisa muncul dengan mudah. Setiap suku, agama, ras dan golongan berusaha
mendapatkan kekuasaan dan menguasai yang lain.

Dampak Positif Etnosentrisme :

1. Dapat mempertinggi semangat patriotisme


2. Dapat menjaga keutuhan dan stabilitas kebudayaan
3. Dapat memepertinggi rasa cinta terhadap bangsa sendiri

Dampak Negatif Etnosentrisme :

1. Dapat menimbulkan konflik sosial antar suku


2. Terdapat aliran politik
3. Menghambat proses asimilasi dan integrasi
4. Mengurangi keobjektifan ilmu pengetahuaan
5. Menghambat pertukaran budaya

5
Faktor yang Mempengaruhi Etnosentrisme :

1. Prasangka Sosial : Yaitu sikap negatif yang diarahkan kepada seseorang atas dasar
perbandingan dengan kelompok sendiri.
2. Stereotip : Yaitu suatu keyakinan seseorang terhadap orang lain (karena dipengaruhi
oleh pengetahuan dan pengalaman).
3. Jarak Sosial : Yaitu aspek lain dari prasangka sosial yang menunjukkan tingkat
penerimaan seseorang terhadap orang lain dalam hubungan yang terjadi diantara
mereka.

Contoh Etnosentrisme :

Salah satu contoh etnosentrisme di Indonesia adalah perilaku carok dalam masyarakat
Madura. Menurut Latief Wiyata, carok adalah tindakan atau upaya pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang laki-laki apabila harga dirinya merasa terusik. Secara sepintas, konsep
carok dianggap sebagai perilaku yang brutal dan tidak masuk manusiawi. Hal itu terjadi
apabila konsep carok dinilai dengan pandangan kebudayaan kelompok masyarakat lain yang
beranggapan bahwa menyelesaikan masalah dengan menggunakan kekerasan dianggap tidak
masuk akal dan tidak masuk logika.

Contoh selanjutnya bisa dilihat pada suku Papua pedalaman yang mempunyai kebiasaan
menggunakan koteka. Dilihat dari sudut pandang masyarakat non Papua pedalaman,
menggunakan koteka mungkin dianggap sebagai hal yang memalukan. Namun, bagi warga
pedalaman Papua, menggunakan koteka dianggap sebagai sebuah kewajaran dan menjadi
kebanggaan tersendiri.

6
C. Xenosentrisme
Suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah
kebalikan yang tepat dari etnosentrisme. Suatu pendirian bahwa sesuatu yang eksotis
memiliki daya tarik khusus yang tidak dapat dicapai oleh sesuatu yang lazim. Paham ini
didasarkan pada daya tarik yang asing dan yang jauh serta yang dibawa dari pusat
kebudayaan yang jauh, yang dianggap jauh dari batas-batas lingkungan masyarakat yang
kotor. Mereka yang meninggalkan negaranya untuk tinggal diluar negeri bukanlah satu-
satunya yang menolak etnosentrisme. Dalam setiap masyarakat beberapa orang menolak
kelompok mereka atau beberapa bagian kebudayaan.
Xenosentrisme sendiri merupakan kebalikan dari Etnosentrisme dimana paham ini
berpandangan bahwa produk, gaya dan ide dari negara sendiri lebih baik dibandingkan
dengan dari negara luar.

Faktor yang menyebabkan xenosentrisme berkembang :

1. Terjadinya Globalisasi di seluruh dunia.


2. Ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi permasalahan di negara sendiri
membuat pemuda menjadi pesimis akan masa depan negaranya sendiri.
3. Berkembangnya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) di berbagai sektor negara.
4. Ketertinggalan Indonesia dangan negara lain dalam aspek-aspek kenegaraan.

Dampak positif dari xenosentrisme adalah memacu semangat untuk membangun


negara yang lebih baik lagi. Namun, dampak negatif yang diakibatkan oleh xenosentrisme
adalah munculnya krisis identitas yang mengakibatkan kemunduran di berbagai
pembangunan.

Contohnya adalah yang tadi sudah disebutkan di atas. Dampak yang lebih buruk lagi
dari xenosentrisme adalah produk dalam negeri tidak akan mampu bersaing di luar negeri
mengingat produk dalam negeri sendiri tidak didukung di negaranya sendiri. Dalam
perspektif sosial budaya,dampak negatif yang diakibatkan oleh xenosentrisme adalah
terkikisnya budaya-budaya timur akibatnya masuknya paham-paham asing ke Indonesia.
Hal ini dibuktikan dengan masuknya paham individualisme sehingga kita menjadi terlalu
egois yang akhirnya membawa mudharat seperti kecelakaan lalu lintas dan lain-lain.
Grace Susetyo pernah berbicara bahwa ‘‘Ide dan elemen dari budaya luar yang dirasa

7
superior di mata orang lokal.’’ membuat terjadinya krisis identitas di kalangan orang
Indonesia yang dididik ala Barat dan problem ini perlu dicegah. Lebih parahnya
lagi,kalau ancaman xenosentrisme tidak ditanggulangi,maka kemunduran Indonesia
semakin berasa. Oleh sebab itu, ancaman xenosentrisme harus menjadi tanggung jawab
Pemerintah dan Masyarakat. Peran Pemerintah dalam mencegah xenosentrisme adalah
memfasilitasi pengusaha pribumi dalam menghadapi Globalisasi, menggelar acara
kebudayaan lokal se-Indonesia, bersikap tegas dalam menghadapi koruptor dan masih
banyak peran-peran pemerintah dalam menanggulangi xenosentrisme. Peran Masyarakat
dalam mencegah xenosentrisme adalah mencintai produk dalam negeri,ikut serta dalam
kebudayaan lokal dan masih banyak peran masyarakat dalam mencegah berkembangnya
xenosentrisme. Apabila Masyarakat dan Pemerintah mampu mencegah xenosentrisme,
maka harga diri Indonesia akan naik kembali dan negara Indonesia menjadi aman,
makmur dan sentosa.

D. Kebudayaan dan Penyesuaian Diri Manusia


Beberapa norma kultural tampak seperti menghalangi terpenuhnya kebutuhan-
kebutuhan dasar manusia. Norma-norma kebudayaan menanamkan perasaan-perasaan
tertentu, misalnya rasa bersalah, rasa rendah diri, atau hambatan-hambatan seksual
sampai tingkat tertentu dimana setiap psikolog modern akan menilainya sebagai
ketidaksehatan fisik maupun mental. Suatu budaya mungkin mencakup tempat yang
kurang menyenangkan bagi golongan orang-orang tertentu.

1. Kebudayaan dan Penyesuaian Biologis


Kebudayaan mencakup banyak cara untuk membantu orang-orang dalam
usahanya yang tidak henti-hentinya melawan alam. Semenjak manusia menderita
kedinginan dan kepanasan, mereka memakai baju dan membangun rumah-rumah.
Alam menyediakan buah-buahan; manusia menanam dan memeliharanya dan
meningkatkan hasilnya. Tangan manusia merupakan sekop yang kurang kuat,
tetapi buldoser-buldoser memperbaiki permukaan tanah. Manusia tidak dapat
berlari cepat, berenang dengan baik, apalagi terbang, tetapi tidak ada mahluk
lain yang dapat bepergian secepat mereka. Manusia adalah mahluk rapuh dan lemah,
merupakan mangsa empuk kepanasan atau kedinginan, kehausan atau kelaparan.
Dengan adanya kebudayaan mereka dapat melembabkan padang pasir dan

8
mengeringkan daerah berawa, dapat bertahan hidup di daerah yang beku dan
panasnya daerah tropis, malah dapat bertahan dalam perjalanan luar angkasa.
Bila tadi dikatakan kebudayaan membantu manusia menyesuaikan diri pada
lingkungannya, dalam banyak hal kebudayaan juga mengganggu penyesuaian biologis
mereka. Setiap kebudayaan menawarkan banyak contoh pola yang berbahaya bagi
kesejahteraan fisik. Kepercayaan orang Hindu yang melarang membunuh sesuatu
telah menyebabkan India penuh dengan anjing-anjing yang berkeliaran, ternak
yang kurus kering dan segala jenis parasit, jadi membuang-buang bahan
makanan dan penyakit. Dengan kebudayaan kita telah meningkatkan senjata kita
sampai kita dapat menghancurkan seluruh umat manusia. Kita mengikuti metode
pertanian dan penggunaan lahan yang merusak tanah dan membanjiri daratan.
Kita mencemarkan udara, mengotori aliran sungai dan meracuni makanan kita.

2. Kebudayaan dan Penyesuaian Sosial


Beberapa norma kultural tampak seperti menghalangi terpenuhinya
kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Norma-norma kebudayaan menanamkan
perasaan-perasaan tertentu, misalnya rasa bersalah, rasa rendah diri atau
hambatan-hambatan seksual sampai tingkat tertentu. Suatu budaya mungkin
mencakup tempat yang kurang menyenangkan bagi golongan orang-orang
tertentu. Maka di negara bagian India tertentu, janda-janda diharapkan
mengorbankan dirinya dalam tumpukan kayu bakar dalam pembakaran jenazah
suaminya sementara di Amerika sampai saat ini para wanita yang tidak
menikah kurang lebih merupakan anggota yang diterima dengan baik dalam
rumah tangga keluarganya.
Beberapa norma kebudayaan mungkin bertele-tele sifatnya sehingga tidak
praktis. Katanya, Ratu Marie Antoniette tidak bisa meperoleh segelas air dingin;
karena tata cara istana mengharuskan gelas itu berpindah banyak tangan
sehingga air sudah menjadi suam-suam kuku ketika sampai pada ratu.

9
Di kepulauan Torres di Melanesia, Rivers (1922) bercerita tentang
bagaimana pembuatan kanu melibatkan serangkaian upacara magis yang sangat
rumit sehingga hanya sekelompok kecil pembuat kanu turun temurun yang berani
mencoba membuatnya. Orang yang sekalipun terampil bertukang dan ahli
membangun kanu, karena merasa tidak memiliki kekuatan gaib yang bersifat
magis itu, tidak pernah berpikir bagaiaman seharusnya membuat perahu. Oleh
karena itu, ketika keluarga-keluarga pembuat kanu yang turun temurun itu punah,
penduduk kepualuan Torres hidup tanpa kanu padahal mereka sangat
membutuhkannya.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam semua masyarakat, orang Trobriand memiliki beberapa cara baku untuk
menghindari hukuman. Malinowski mengamati bahwa ilmu sihir untuk melepas hal-hal
akibat-akibat dari incest antar suku adalah barangkali merupakan contoh paling pasti tentang
penghindaran dari adat istiadat. Kasus ini menggambarkan perbedaan antara kebudayaan
real dan kebudayaan ideal. Kebudayaan ideal mencakup tata kelakukan dan kebiasaan
secara formal disetujui dan diharapkan diikuti oleh banyak orang (norma- norma
budaya); sedangkan kebudayaan real mencakup hal-hal yang betul-betul mereka
laksanakan (norma-norma statistis).
Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar
budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok
atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan,
dan agama. Suatu pandangan yang lebih menyukai hal-hal yang berbau asing. Ini adalah
kebalikan yang tepat dari etnosentrisme. Suatu pendirian bahwa sesuatu yang eksotis
memiliki daya tarik khusus yang tidak dapat dicapai oleh sesuatu yang lazim.
Kebudayaan dan penyesuaian diri manusia mencakup 2 kebudayaan dan penyesuaian
biologis, dan kebudayaan dan penyesuaian sosial.

B. Saran
Dari beberapa uraian di atas jelas banyak kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja
maupun tidak. Oleh karena itu, kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala
keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.

11
DAFTAR PUSTAKA

Johnson, Allan G. (2000), The Blackwell Dictionary of Sociology: A User's Guide to


Sociological Language (2 ed.), Wiley-Blackwell, p. 351, ISBN 978-0-631-21681-0
 Grace Susetyo. "Perception of Xenocentrism and Cultural Identity in Western-Educated
Indonesian Teenage Music Students"

Hendro Puspito, sosiologi sistematik, Yogyakarta, Kanisius, 1989, hal 376

12

Anda mungkin juga menyukai