Buku
Disusun Oleh:
NIM: 02011281419238
Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya
BAB I
PENDAHULUAN
Penulisan chapter report ini merupakan pemaparan mengenai hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional , yang sumber penulisannya merupakan karangan dari
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes yang berjudul Pengantar Hukum Internasional.
Dewasa ini masih banyak masyarakat yang bertanya apakah ada hubungan antara
hukum internasional dan hukum nasional dan apakah keduanya saling terkait atau tidak
terkait sama sekali, mengetahui tempat hukum internasional dalam tata hukum secara
keseluruhan, serta untuk mengetahui hubungan antara berbagai hukum nasional dengan
hukum internasional, serta apa yang menjadi persoalan hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional. Harapannya, penulisan chapter report yang saya tulis dapat mengulas
bahasan kali ini dengan jelas dan tepat tanpa mengurangi esensi dari tulisan sumber yang
digunakan, serta dapat memberikan informasi dan manfaat bagi pembaca.
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penulisan chapter report ini adalah:
Adapun manfaat dalam penulisan makalah ini secara khusus tentu saja akan menambah
ilmu dan wawasan penulis berkenaan dengan pengembangan kurikulum secara menyeluruh.
Di lain pihak, mudah-mudahan makalah ini juga memberikan manfaat kepada siapa saja yang
membaca makalah ini dan makalah ini juga dapat menjadi salah satu referensi bagi pendidik
sebelum melaksanakan proses pembelajaran.
BAB II
ISI
Primat hukum internasional memberikan kesimpulan bahwa pada masa dan tingkat
perkembangan masyarakat internasional cukup memiliki wibawa terhadap hukum nasional
bahwa umumnya hukum internasional itu ditaati dan hukum nasional itu pada hakikiatnya
tunduk pada hukum internasional.
Negara-negara menaati hukum internasional mengatasi batas wilayah negara sebagai
suatu hukum lain, khususnya dengan negara tetangganya. Pada masa lampau sering terjadi
perang dengan maksud menundukan negara lain atau merebut wilayahnya, akan tetapi dari
beberapa ketentuan hukum perang, kita ketahui pula bahwa hukum perang menghormati
batas wilayah negara dalam arti bahwa pendudukan militer saja belum dengan sendirinya
mengakibatkan perubahan batas wilayah.
Kenyataan yang digambarkan tersebut bahwa pada umumnya negara negara di duniani saling
menghormati garis batas yang memisahkan wilayanya dari wilayah lain tidak berarti bahwa
sekali sekali tidak bisa terjadi sengketa perbatasan.
Kaidah hukum internasional yang umumnya ditaati ialah hukum yang mengatur
perjanjian internasional antarnegara. Pada umumnya negaranegara menaati perjanjian
internasional dengan negara lain, tetapi tidak menuup kemungkinan sekali-kali terjadi
penyimpanga dari keadaan umum ini dan seperti juga dalam hal hukum internasional
mengenai perbatasan wilayah.
Pelanggaran terhadap perjanjian hukum internasional seperti tersebut apabila diselidiki
sebabnya seringkali memiliki latar belakang yang cukup kuatsehingga pelanggaran yang
dilakukan tidak lagi dengan begitu saja dapat dikualifikasikan sebagai pelanggaran hukum
internasional. Sering apa yang tampak sebagai pelanggaran perjanjian tertentu, yang
demikian merupakan suatu pelanggaran hukum internasional in concerto merupakan reaksi
reaksi terhadap satu keadaan yang ditinggalkan oleh hubungan hukum.
Pada umumnya ketentuan mengenai hukum kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan
ketentuan hukum tentang hak istimewa diplomatik dan kekebalan konsuler ditaati oleh
negara-negara. Ada kalanya kekebalan diplomatik dan konsuler yang dijaminoleh ketentuan
hukum internasional ini terpaksa dilanggar oleh negara tuan rumah seperti misalnya misalnya
dalam usaha menangkap pemberontak yang berlindung dalam gedung atau halaman gedung
kedutaan asing. Bagaimanapun juga secara umum dapat dikatakan bahwa negara tuan rumah
tidak akan melanggar hak kekebalan dan hak istimewa diplomatik dan konsuler kecuali ada
alasan kuat untuk ini dan setela tidak ada jalan lain untuk mengatasinya.
Juga mengenai perlakuan terhadap orang asing dan hak milik orang asing dapat
dikatakan bahwa pada umumnya perlindungan terhadap orang asing dan hak milik asing yang
diberikan oleh hukum internasional ditaati oleh semua negara. Kenyataan bahwa ada kalnya
negara tuan rumah mengambil tindakan terhadap orang asing atau hak milik orang asing tidak
berarti hukum internasional mengenai bidan hukum ini tida berlaku, yang benar ialah bahwa
dalam keadaan tertentu, ketentuan hukm internasional mengenai perlakuan terhadap orang
asing dan milik asing tidak bisa dipertahankan karena ada kepentingan lain yang lebih
mendesak dan lebih tinggi.
Dalam kasus mengenai perlindungan milik asing yakni pada waktu pemerintah Republik
Indonesia mengadak tindakan ambil-alih perusahaan milik Belanda yang kemudian disusul
dengan tindakan kriminalisasi . Berdasarkan keputusan bremen ditarik kesimpulan bahwa
dalil yang lama bahwa suatu nasionalisasi tidak sah kecuali apabila gantirugi yang diberikan
itu prompt, effective dan adequate tidak berlaku lagi dan bahwa telah berlaku dalil baru yaitu
yang mengatakan bahwa ganti rugi diserahkan kepada negara yang melakukan nasionalisasi.
Walaupun dengan keputusan pengadilan bremen tidak dapat dikatakan bahwa kaidah hukum
internasional tentang nasional milik asing telah berubah, keputusan ini yang ternyata
kemudian menarik perhatian dunia besar peranannya dalam proses perubahan kaidah hukum
internasional. Dalil yang sekarang umum dianut oleh negara-negara merdeka yang sedang
berkembang walaupun monolak kaidah bahwa prompt, effective dan adequate dan menolak
pula bahwa keabsahan tindakan nasionalisasi ini ditentukan oleh cukup tidaknya ganti
kerugian, sesungguhnya tidak menolak keharusan pemberian ganti rugi sebagai prinsip. Akan
tetapi, pembayaran ganti kerugian itu dipisahkan dari persoalan sah atau tidaknya tindakan
nasionalisasi yang dilakukan oleh negara.
Dengan perkataan lain, lepas dari persoalan besar kecilnya ganti kerugian, suatu tindakan
nasionalisasi milik warga negara asing yang dilakukan demi kepentingan umum sebagai
tindakan suatu negara berdaulat adalah sah. Akan tetapi, pada saat yang sama menimbulkan
kewajiban membayar ganti kerugian sebagai suatu kewajiban negara menurut hukum
internasional.
Bidang lain dalam praktik hukum internasional yang menggambarkan hubungan antara
hukum internasional dan hukum nasional ialah hukum laut (publik).
Mengenai bahasan batas lebar laut teritorial ini tidak ada konvensi internasional yang
mengaturnya. Persoalan batas lebar laut teritorial itu sepenuhnya diatur oleh hukum nasional
negara masing-masing yang pada hakikatnya berarti penyangkalan terhadap adanya hukum
internasional yang mengatur persoalan ini.
Dalam perkara sengketa perikanan Inggris-Norwegia (Anglo-Norwegian Fisheries Case)
yang diputuskan pada tahun 1951 telah dinyatak oleh Mahkamah Internasional bahwa
penetapan batas laut teritorial sebagai suatu tndakan sepihak sepenuhnya menjadi wewenang
suatu negara. Namun, deni keabsahan penetapan tersebut menurut hukum internasional perlu
diperhatiakan beberapa hal. Tiga pertimbangan pokok yang harus diperhatikan antara lain
ialah bahwa:
1. eratnya hubungan laut teritorial dengan wilayah darat
2. Bagian-bagian laut yang terletak pada sisi dalam garis pangkal cukup erat hubungannya
dengan daratan untuk dpat tunduk pada ketentuan mengenai perairan pedalaman
3. kepentingan ekonomi setempat yang khas yang didasarkan atas adanya kebiasaan yang
cukup lama
Pendapat mahkamah internasional di atas menunjukan bahwa betapapun lemahnya ketentuan
hukum internasional tentang penetapan lebar laut teritorial, kesimpulan pokok yang dapat kita
tarik darinya bahwa penetapan batas lebar laut teritorialbukanlah semata-mata merupakan
tindakan sepihak suatu negara.
Kegagalan konfrensi hukum laut Jenewa tahun 1958 dan 1960 untuk mencapai persetujuan
mengenai batas lebar laut teritorial yang berlaku umum di seluruh dunia disebabkan oleh
kegagalan konfrensi.
Dengan lain petaan konfrensi hukum laut pada tahu 1958 dan 1960 di Jenewa telah gagal
mengubah pola kebiasaan internasional menjadi suatu kaidah hukum internasional melalui
suatu konvensi atau perjanjian internasional. Pada waktu konfrensi hukum laut III di Caracas,
Venezuela (1974) dimulai persoalan batas lebar laut teritorial sudah tidak menjadi masalah
lagi karena lebar 12 mil sebagai batas berlaku umum. Dalam hal ini persetujuan peserta
konfrensi atas batas lebar 12 mil, apabila diberikan kelak, hanya akan merupakan konfirmasi
belaka dari suatu kaidah hukum tentang batas lebar laut teritorial yang telah diterima melalui
proses hukum kebiasaan.
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa kesimpulan, salah satu diantaranya ialah bahwa kita
perlu ada pertentangan hakiki atau fundamental antara tindakan sepihak suatu negara dengan
hukum internasional. Yang penting ialah bukan terjadinya tindakan sepihak oleh negara itu
yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah hukum internasional yang berlaku, tetapi ada
tidaknya kesediaan menyesuaikan diri dengan apa yang menurut pendapat masyarakat hukum
internasional merupakan kaidah hukum internasional.
3. Hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional menurut hukum positif
beberapa negara
Inggris menganut ajaran (doktrin) bahwa hukum internasional adalah hukum negara.
Ajaran ini lazim dikenal dengan nama doktrin inkorporasi (incorporation doctrine).
Akan tetapi, kemudian terjadi beberapa perubahan dalam arti bahwa doktrin itu tidak lagi
diterima secara mutlak. Dalam menilai daya laku doktrin dalam hukum positif yang berlaku
di inggris harus pula dibedakan antara:
1. hukum kebiasaan internasional
2. hukum internasionalyang tertulis (traktat, konvensi atau perjanjian)
Sepanjang mengenai hukum kebiasaan internasional dapat dikatakan bahwa doktrin
inkorporasi ini berlaku dengan dua pengecualian yaitu:
1. Bahwa ketentuan hukum kebiasaan internasional itu tidak bertentangan dengan suatu
undang-undang, baik yang lebih tua atau yang diundangkan kemudian
2. Sekali ruang lingkup suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional ditetapkan oleh
keputusan mahkamah yang tertinggi, maka semua pengadilan terikat oleh keputusan itu
sekalipun kemudian terjadi perkembangan suatu ketentuan hukum kebiasaan internasional
yang bertentangan. Selain itu, ketentuan hukum kebiasaan internasional yang bersangkutan
harus merupakan ketentuan yang umum diterima masyarakat internasional
Di samping beberapa pengecualian yang telah diuraikan, pengadilan di inggris dalam
persoalan yang menyangkut hukum internasional terikat oleh tindakan atau sikap pemerintah
dalam hal-hal berikut:
1. Tindakan pemerintah (eksekutif) seperti pernyataan erang, perebutan eilayah atau tindakan
nasionalisasi tidak boleh diragukan keabsahannya oleh pengadilan
2. Pengadilan terikat untuk mengakui pernyataan pemerintah mengenai hal yang termasuj
wewenang prerogatifnya seperti misalnya tentang hal pengakuan suatu pemerintahan atau
negara, kedaulatan suatu pemerintah atau wakil-wakilnya.
Doktrin inkorporasi di Inggris ada pembatasan dan pengecualiannya, baik dalam ruang
lingkup maupun penerapannya baik dalam ruang lingkup maupun penerapannya.
Berikut ini merupakan dua dalil yang dipegang teguh oleh pengadilan di Inggris, yakni:
(a) Dalil konstruksi hukum (rule of construction) menurut dalil ini undang-undang yang
dibuat oleh parlemen bertentangan dengan hukum internasional.
(b) Dalil tentang pembuktian suatu ketentuan hukum internasional (rule of evidence).
Berlainan dengan hukum asing, hukum internasional tidak memerlukan kesaksian para ahlidi
pengadilan Inggris untuk membuktikannya.
Mengenai hukum internasional bersumberkan perjanjian internasional dapat dikatakan
bahwa pada umumnya perjanjian yang memerlukan persetujuan parlemen memerlukan
persetujuan parlemen memerlukan pula pengundangan nasional sedangkan yang tidak
memerlukan persetujuan badan ini dapat mengikat dan berlaku secara langsung setelah
penandatanganan dilakukan.
Negara lain yang menganut doktrin inkorporasi yaitu menganggap hukum internasional
sebagai dari hukum nasional adalah Amerika Serikat.
Sepanjang mengenai hukum kebiasaan internasional, praktik di amerika serikat hampir
serupa dengan praktik di inggris. Undang-undang yang dibuat dengan persetujuan kongres
dianggap tidak bertentanga dengan hukum internasional. Akan tetapi, jika suatu undang-
undang terang-terangan bertentangan dengan suatu ketentuan umum kebiasaan hukum
internasional (yang lama), undang-undanglah yang harus dimenangkan.
Apabila mengenai hubungan antara hukum kebiasaan internasional dengan hukum
nasional, praktik di amerika serikat dan inggris banyak persamaannya, tidak demikian halnya
dengan soal hubungan hukum perjanjian nasional dan perjanjian nasional.
Dalam praktik di Amerika Serikat mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum
perjanjian internasional yang menentukan adalah ketentuan (tertulis) konstitusi Amerika
Seikat mengenai hal ini dan bukan pertimbangan atau akomodasi antara hak dan wewenang
eksekutif dan parlemen seperti di Inggris yang berdasarkan praktik dan kebiasaan. Di
samping itu, yang menentukan ialah pembedaan yang dibuat berdasarkan keputusan
pengaddilan di Amerika Serikat antara self exeuting dan non self executing treaties.
Dalam mengkaji praktik di Amerika Serikat perlu pula diperhatikan pembedaan antara
treaties dan executive
Apabila dibandingkan praktik di Inggris di Inggris dan di Amerika Serikat, dapat
dikatakan bahwa praktik di Inggris menunjukan suatu cara untuk memecahkan persoalan
hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dengan cara yang luwes dan
pragmatis, walaupun keduanya sama-sama menganut ajaran atas doktrin inkorporasi.
Dalam sistem Perancis, seperti juga dalam Republik Federasi Jerman tidak dipersoalkan
soal resepsi atau transformasi perjanjian internasional itu ke dalam hukum nasional terlebih
dahulu melalui perundang-undangan nasional seperti halnya dengan Inggris dan Amerika
Serikat. Juga tidak ada perbedaan dalam kedua sistem hukum kontinental ini antara hukum
internasional yang bersumberkan kebiasaan atau perjanjian internasional dalam
menentukankedudukan hukum internasional terhadap hukum nasional.
Tekanan yang diberikan kepada perjanjian internasional dalam hubungan ini dan kurangnya
penunjukan pada keputusan pengadilan antara lain mungkn karena dalam kedua sistem
kontinental ini keputusan pengadilan demikian kurang penting sebagai sumber hukum.
Sikap kita terhadap hukum internasional yang ditentukan oleh kesadaran mengenai
kedudukan kita dalam masyarakat internasional yang sedang berkembang , menurut penulis
hal tersebut adalah wajar, artinya apabila dalam kita bersikap hendak mengadakan perubahan
ini, sikap demikian selalu dibarengi dengan kewajaran dan kepekaan terhadap hak dan
kepentingan pihak lain dan masyarakat internasional sebagai keseluruhan.
Hukum internasional baru akan bersifat betul betul universal dan ditaati oleh semua
bangsa dan negara betapapun kecilnya mendapat kesempatan untuk menyatakan
kehendaknya sehingga memberikan sumbangannya terhadap pertumbuhan dan
perkembangan hukum internasional.
Bagaimana persoalan hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional
menurut hukum positif Indonesia?
Penulis berpendapat bahwa Indonesia menganut teori transformasi apalagi sistem Amerika
Serikat. Kita lebih condong pada sistem negara-negara kontinental Eropa, yakni langsung
menganggap diri kita terikat dalam kewajiban melaksanakan dan menaati semua ketentuan
perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lagi undang-undang
pelaksanaan (implementing legislation).
Dalam beberapa hal tertentu terutama falam keadaan kita turut serta dalam suatu konvensi
yang mengandung berbagai perubahan dan pembaharuan kelalaian demikian memang bisa
menimbulkan keadaan yang kurang diinginkan.
Sebaliknya, dapat dikemukakan bahwa dalam beberapa hal pengundangan demikian tidak
perlu karena masalahnya tidak menyangkut orang atau persoalannya sangat teknis dan ruang
lingkupnya sangat terbatas.
Namun, dalam beberapa hal menurut pendapat penulis pengundangan dalam undang-undang
nasional adalah mutlak diperlukan yakni antara lain apabila diperlukan perubahan dalam
undang-undang nasional yang langsung menyangkut hak warga negara sebagai perorangan.
Misalnya, apabila turut sertanya Indonesia pada suatu konvensi mengakibatkan bahwa suatu
perbuatan atau tindakan terjadikan suatu kejahatan yang dapat dipidana yang sebelumnya
tidak dikualifikasikan demikian tau apabila ada perubahan dalam ancaman hukuman,, seperti
misalnya dalam hal kejahatan penerbangan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan