Anda di halaman 1dari 12

E.

Antara Teori Kritis dan Teori Ilmiah

Teori-teori kritis pada mualnya merujuk pada serangkaian pemikiran mereka yang kemudian
tergabung di dalam sebuah institut penelitian di Universitas Frankfurt, tahun 1920-an, yang
kemudian dikenal sebagai Die Frankfurter Schule atau Frankfurt School. Pemikiran mereka tersebut
banyak terpengaruh dan terinspirasi dari, dan atau didasarkan atas, pemikiran tokoh-tokoh seperti
Georg Hegel, Max Weber, Emmanuel Kant, Sigmund Freud, dan terutama sekali serta tidak bisa
dilepaskan dari konsepsi pemikiran Karl Marx.

Namun mazhab Frankfurt telah berkembang dinamis melalui beberapa generasi pemikir, dan
memproduksi sejumlah varian pemikiran, sehingga secara keseluruhan memperlihatkan bahwa
mazhab ini bukan merupakan suatu kesatuan pemikiran yang monolitik. Hingga kini Frankfurt School
telah mencakup tiga generasi pemikiran. Pertama, yang seringkali disimpulkan dalam label “school of
Western Marxism” dipelopori oleh tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Max Horkheimer, dan
Herbert Marcuse. Tokoh psikoanalis, Erich Fromm dan Sigmund Freud juga dinilai sebagai bagian
dari generasi pertama teori-teori kritis. Kematian Adorno dan Horkheimer dinilai nbanyak kalangan
ilmuan sebagai salah satu faktor yang telah mengakhiri era Frankfurt School, sekaligus merupakan
akhir dari pemikiran teori-teori kritis sebagai suatu bentuk pemikiran Marxisme. Sebab, setelah itu
perkembangan pemikiran tokoh-tokoh mazhab kian menjadi sedemikian “kabur” dan semakin
terpisah dari, gerakan-gerakan politik marxisme.

Generasi kedua, antara lain telah mencuatkan nama-nama seperti Jurgen Habernas. Karya-
karya pemikiran habernas dengan jelas menunjukkan adanya perbedaan epistemologis yang cukup
mendasar dibanding konsepsi yang dimiliki para pendahulunya, meskipun tetap mempertahankan
tradisi serta cirinya sebagai bagian dari teori kritis. Konsepsi Habernas tentang communicative
rationality misalnya, dapat dinilai sebagai perpecahan epistimologi dengan philosophy of
consciousness yang digunakan generasi pertama Frankfurt School, seperti Horkheimer, Adorno, atau
Marcuse.

Sementara itu, generasi ketiga, merujuk pada tokoh-tokoh seperti Axel Honeth. Namun kini
lingkup teori-teori kritis telah makin meluas, mencakup analisis kritis pakar seperti Jacques Lacan
(Psikoanalis), Roland Barthes (semiotik and linguistik), Peter Golding, Janet Wasko, Noam Chomsky,
Douglas Kellner (ekonomi-politik media), hingga berbagai tokoh dalam topik masalah gender,
etnisitas atau ras, postkolonialisme, dan hubungan internasional. Karenanya, kini sering dibedakan
pengertian antara Critical Theories dan critical theories. Yang pertama merujuk pada teori-teori
mereka yang tergabung dalam Fankfurt School, sedangkan yang keuda mewakili pengertian yang
lebih umum, bahkan dijumoai sejumlah kepustakaan yang memasukkan pemikiran-pemikiran tokoh
posmodemis seperti Baudrillard dan Foucault, ke dalam kategori paradigma.

Para tokoh Frankfurt School membedakan teori kritis dengan “teori ilmiah” dalam
mainstream methodology yang positivistik atau tradisional. Perbedaan tersebut, perlu pula dipahami
sebagai kritik teori-teori terhadap positivisme. Perbedaan epstimologis tersebut menciptakan
perbedaan mendasar lainnya antara teori-teori positivistik, yakni perbedaan mengenai tujuan dan
teori itu sendiri. “teori ilmiah”, dalam positivisme atau tradisional science merupakan bagian dari
sistem deduktrif yang antara lain melibatkan suatu proses yang dikenal sebagai hypothetico-
deductive method.

Teori dalam pengertian tradisional bertujuan untuk melakukan eksplanasi tentang suatu
fenomena sosial. Eksplansi dalam teori-teori tradisional hampir secara spesifik mengambil bentuk
sebagai suatu causal explanation dimana sejumlah fenomena saling berhubungan dalam rantai
kausalitas. Berdasarkan definisi itu, suatu teori yang memiliki kemampuan melakukan eksplanasi dan
prediksi terhadap suatu fenomena sosial, dinilai memiliki kegunaan instrumental, antara lain untuk
mengelola atau mengontrol suatu fenomena sosial sebagaimana dikehendaki. KeKuatan atau
kegunaan suatu teori ilmiah dengan demikian ditentukan oleh predictive power dan explanative
power teori tersebut. Di lain pihak, dalam paradigma teori-teori kritis, teori merupakan suatu kritik
untuk mengungkap kondisi yang sebenarnya dibalik suatu “realitas semu” atau “kesadaran palsu”
yang teramati secara empirik.

Dengan kata lain, teori-teori kritis berusaha melakukan eksplanasi dalam pengertian lain,
yakni eksplanasi tentang adanya kondisi-kondisi yang dinilai palsu, semu, atau tidak benar.
Tujuannya tidak lain untuk pencerahan, emansipasi manusia, agar para pelaku sosial menyadari
adanya pemaksaan tersembunyi, atua hegemoni. Lebih dari itu, teori-teori kritis bertujuan
melakukan transformasi, atau perubahan sesuai dengan kepentingan para pelaku sosial yang
menjadi objek teori. Suatu teori kritis ditujukan bagi sekelompok agents, demi penyadaran diri
mereka dalam proses emansipasi dan pencerahan. Seuatu proses emansipasi dan pencerahan
merupakan transisi dari sebuah tahap awal dimana para agents memiliki “lesadaran palsu”,
mengalami dominasi atau hegemoni, dan eksploitasi, menuju suatu tahap akhir yang dikehendaki,
dimana mereka terbebas, serta mengaktualisasikan diri.

Dari segi tujuan, teori-teori kritis sebenarnya juga melakukan eksplanasi, tetapi bukan
dalam pengertian casual explanation, melainkan practical explanation, yakni menjelaskan tindakan
apa yang perlu dilakukan untuk melakukan transformasi dari suatu kondisi awal menuju suatu
kondisi akhir yang dihendaki. Itu sekaligus berarti explanatory power yang dimiliki teori-teori
kritisharus dipahami berbeda dari apa yang dipahami para ilmuan teori-teori tradisional. Dari segi
tujuan teori-teori kritis, maka prediksi bukan pula merupakan tujuan berteori. Dengan kata lain,
predictive power bukan merupakan tolak ukur untuk menilai kekuatan suatu teori kritis. Ini penting
disadari sebab teori-teori kritis seringkali dikritik dinilai telah gagal, akibat tidak mampu membuat
prediksi atau karena situasi yang diramalkan tidak terbukti.

Analisis tersebut jelas berbeda dengan amalisis prediktif. Dimensi tujuan praktis teori-
teori kritis, dengan demikian juga lebih bersifat normatif., yang secara sadar delekatkan
dengan suatu filosofi moral tertentu. Misi normatif tersebut hanya mungkin dipenuhi melalui
suatu interplay antara seperangkat norma-norma filosofi sosial dengan ilmu-ilmu sosial. Oleh
karena itu pula, sebuah teori kritis, dalam penilaian Horkheimer, bisa dianggap mencukupi
(adequate) bila memenuhi 3 kriteria :
explanatory, yaitu harus menjelaskan apa yang salah dengan realitas sosial yang ada.
Pengertian Explanatory, juga berarti adanya unsur muatan Judgments dalam teori antara lain
tentang apa yang salah dan benar, yang seharusnya dan tidak seharusnya, yang wajar dan
tidak wajar.
Practical, antara lain menjelaskan praktek-praktek sosial dan aktor-aktor sosial yang mampu
merubah dan mengoreksi suatu realitas sosial yang ada dan yang dinilai tidak seharusnya
demikian.
Normative: terkait dengan dua dimensi terdahulu, suatu teori kritis jelas harus menyajikan
norma-norma yang jelas, atau moral concerns, baik yang dipergunakan sebagai dasar
melakukan kritik terhadap suatu realitas sosial, maupun mengetengahkan tujuan-tujuan
praktis yang bisa dicapai melalui suatu transformasi sosial.

Kesemua teori tersebut terkait dengan konsepsi para teoritis kritis tentang struktur
kognitif suatu teorikritis, dan juga dengan konsepsi yang mereka miliki mengenai
objektivitas, serta kedudukan pembuktian empirik dalam teor-teori kritis.
F. Norma dan Tradisional Kritik
Dalam kaitan dengan kritik rasionalitas, teori kritis jelas telah mengambil sikap dalam
empat karakter utama, yaitu teori kritik selalu bersifat historis. Perkembangan teori kritis
yang selalu mengacu pada situasi masyarakat yang konkret dan berpijak serta tidak berjarak
dengan realitas, teori kritis disusun dalam keterlibatan aktif dan historis dari para pemikirnya.
Teori kritis tersusun dalam proses kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual yang
bermaksud untuk menelanjangi manipulasi-manipulasi ideologi-ketimpangan dan kontradiksi
dalam masyarakat. Teori kritis, terutama ditujukan untuk menjadi teori yang bertujuan
praktis. Teori kritis mengambil sikap untuk tidak netral.

Teori kritis dalam seluruh konteks transformasi kritik Hegelian dan Marxian dalam
perspektif teori kritis. Keterbatasan dan kelemahan metodologis epistimologis Hegel dan karl
Marx memperlihatkan perlunya penjernihan makna kritik dan norma sosial. Kelemahan
kedua filsuf itu terletak pada ketidakmampuan kedua filsuf tersebut membumikan proses
kritik imanen dan pencerahan yang sebetulnya menjadi cita-cita teori yang mereka buat.
Dengan demikian, perlu ada eksplorasitransfrmasi proyek kritik dengan menggunakan konsep
kritik imanen, kritik defetishsasi dan kritik sebagai diagnosa krisis. Pola dominan yang
dipunyai teori kritis dalam pembahasan ini adalah bahwa kritik Hegelian dan Marxian
ditransformasikan menjadi kritik atas rasio instrumental.
Inti kritik rasio instrumental Horkheimer, menurut Seyla Benhabib, adalah bahwa
telah terjadi penjerumusan akal budi objektif dengan mengemukakan akal budi semata-mata
instrumental. Usaha manusia untuk semakin dikuasai oleh rasionalitas justru membuat
manusia masuk pada kehancuran diri. Untuk itu, manusia mengusahakan akal busi yang
murni subjektif. Akal busi subjektif adalah akal budi yang mengarah pada manfaat. Akal budi
subjektif, selalu mengendalikan dan melanggengkan self-preservation, dimana akal
dimanfaatkan untuk menjadi alat perhitungan kemungkinan-kemungkinan tercapainya tujuan
subjek.
Lawan dari akal budi subjektif (instrumental) adalah akal budi objektif. Seyla
Benhabib melihat bahwa Horkheimer berpendapat bahwa akal budi objektif mempunyai
wewenang terhadap manusia. Rasio objektif tidak netral. Dengan demikian, Horkheimer
menurut Seyla Benhabib mengandaikan otonomi moral dan reflettivitas moralitas yang
tangguh dalam seluruh proses pemilihan tindakan sosial yang ada. Akal budi instrumentalis
pada dasarnya netral, karena rasio instrumental bisa digunakan sebagai tujuan di luiar dirinya
sendiri.
Pada proses selanjutnya, manusia tidak lagi percaya pada konsep nilai dalam rasio
objektif, akal budi diformalitaskan. Formalisasi akal budi memudahkan terjadi
instrumentalisasi akal budi manusia. Hal ini terjadi ketika akal budi manusia dimasukkan
dalam proses kapitalisasi kolektif dalam perspektif ekonomi politikKarl Marx. Pergeseran
demi pergeseran mengubah manusia dalam kungkungan ideologi dimana manusia tidak bisa
lagi kritisdengan keadaan sekitarnya, bahkan terhadap dirinya sendiri. Masalahnya, Seyla
Benhabib mencatat adanya ambivalensi posisi teori kritis dalam kritik rasio instrumentalis. Di
satu pihak, teori kritis memang menangkap maksud pemikiran Weberian dalam proses
rasionalisasi, tapi di lain pihakteori kritis juga menerapkan utopia rasionalisasi
kemasyarakatan dan kebudayaan.
Berkaitan dengan konteksi di atas, Seyla Benhabib melihat bahwa konsep Self-
preservation mengimplikasikan cara berelasi, keperluan dan keinginan disi sebagai sesuatu
yang tidak berubah dan a-historis. Meskipun demikian konsep self-preservation tetap
memperhatikan kondisi sosial, sejarah. Otonomi manusia mengandaikan tindakan reflektif.
Tindakan reflektif ini akan dinilai oleh prinsip etis sosial terkait dengan latar belakang
kolektif yang ada. Menurut Seyla Benhabib, Horkheimer mempertahankan wacana etika
formalisme Kantian. Pada dasarnya, teori kritis mengembangkan etika material atas nilai.
Horkheimer mencoba memperlihatkan dan mengeklorasi seperangkat norma yang seharusnya
memberikan makna kehidupan manusia apa adanya.
Maka dapat dikatakan bahwa dalam seluruh wacana II ini dapat diperlihatkan bahwa
terjadi kompleksitas baru dalam pandangan Horkheimer, Adorno, Marcuse dan lainnya.
Tahap terjadi ketegangan antara filsafat praktis dengan pemikiran yang memperlihatkan
momen emansipasi tidak terbatas lagi dalam aktivitas konkret individu tapi juga dalam
tataran nilai yang mempengaruhi rasio dan sistem nilai orang atau individu.
Dalam Negative Dialectics, Adorno mencoba membuka untuk melihat secara jelas
posisi premis kesejarahan dalam seluruh pengalaman manusia individual. Harus ada posisi
sosial yang memberikan pengaruh pada pemikiran identitas. Kritik flsafat anthropologi teori
kritis tidak bisa dilihat lagi sebagai filsafat kesejarahan. Konsep otonomi tidak bisa dilihat
sebagai kategori aktualisasi diri. Otonomi seharusnya dilihat dalam perspektif anthropologi
filosofis atau filsafat sejarah. Namun yang jelas problem otonomi manusia harus dilihat
dalam tahapan bahwa otonomi melampaui soal preservasi diri.
1. transformasi Kritik dan etika
Dalam pandangan Seyla Benhabib, di sana sini terjadi kebuntuan dalam teori kritis dalam
memahami proses kritik sosial. Perkembangan filsafat sosial sejak zaman Karl Marx sudah
disibukkan dengan usaha mempertautkan teori dan praktis. Persoalannya adalah bagaimana
pengetahuan manusia tentang masyarakat dan sejarah itu bukan hanya sebuah kontemplasi,
melainkan mendorong praksis perubahan sosial. Praksis bukan merupakan tingkah laku buta
atas naluri belaka, melainkan tindakan dasar manusia sebagai makhluk sosial. Jadi praksis
diterangi oleh kesadaran rasional. Habernas sudah meneliti bahwa hegel menjadi pelopor
tradisi ilmu sosial kritis untuk memahami praksis bukan hanya sebagai “kerja” tapi juga
merupakan proses “tindakan komunikatif”. Praksis dilandasi oleh kesadaran rasional, rasio
tidak hanya tampak dalam aktivitas menaklukan alam dengan kerja, melainkan juga dalam
interaksi intersubjektif dengan bahasa sehari-sehari. Jadi seperti halnya kerja, membuat orang
berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi langsung sehingga
baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis, tetapi juga dengan
rasionalitas. Sesungguhnya teori ini ingin membantu manusia untuk semakin otonom dan
dewasa. Otonom kolektif berhubungan dengan pencapaian konsensus bebas dominasi.
Konsensus bisa dicapai dalam masyarakat yang reflektif berhasil melakukan komunikasi
secara memuaskan. Tentu saja paradigma komunikasi meliputi klaim kesahihan yang terdiri
dari klaim kebenaran, klaim ketepatan, klaim otentisitas dan klaim komprehensibilitas.
Habernas memberikan tawaran wacana komunikatif untuk “menambal” kelemahan
teori kritis dalam menghadapi masalah moderenitas. Teori kritis, meski demikian,
memperlihatkan rasio yang dikondisikan secara kontekstual. Teori kritis tetap atas rasio yang
berpusat pada subjek dengan rasio yang dipahami sebagai tindakan komunikatif.
Rasio komunikatif merupakan sikap mengobjektifkan subjek pengetahuan dirinya
sebagai entitas-entitas di dunia luar tidak lagi terprevilegikan. Hubungan ambivalensi dari
subjek kepada dirinya dihancurkan oleh intersubjektivitas yang memungkinkan dirinya. Rasio
tidak mengasimilasikan diri pada kekuasaan, tetapi lebih langsung atau tidak langsung
berasimilasi pada klaim kebenaran, ketepatan normatif, otentisitas dan keselarasan estetik.
Titik tolak Habernas atas rasionalitas selalu menghasilkan tiga segi. Segi pertama adalah
reproduksi kultural yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru yang muncul tetap ada
kelangsungan tradisi dan koherensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsensus.
Segi kedua adalah integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi baru koordinasi
tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antar pribadi yang diatur secara legitimet.
Segi ketiga adalah sosialisasi yang menjamin bahwa dalam situasi baru, perolehan
kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin.
2. Refleksi : Wacana Alternatif
Salah satu maksud praktis dari teori kritis adalah membantu proses refleksi diri
masyarakat atas proses pembentukan diri masyarakat itu. Proses rasionalisasi adalah proses
menuju otonomi dan kedewasaan. Dalam hal ini teori kritis berhutang besar pada “patron
sosiologi” Max Weber tentang proyek rasionalisasi masyarakat. Pada titik yang sama juga,
teori kritis juga mengalami kebuntuan teoritis atas seluruh proses rasionalisasi. Teori kritis
melalui Habernas dan Seyla Benhabib mencoba untuk membuka dimensi rasionalitas dengan
rasio fungsionalis yang tercermin dalam tindak komunikasi. Teori kritis mengkritisi
moderenitas ketika mereka mau mengabsolutkan rasio instrumental dalam bentuk kekuasaan
dan kemakmuran ekonomis.
Dalam tindak komunikatif, ada bentuk rasionalitas lain yang perlu dibangun, yaitu
rasionalitas praktis moral. Tetapi hal itu tidak pernah bisa berkembang, dalam hal ini proyek
emansipatoris mengalami hambatan yang luar biasa pada hal tersebut, dan sejauh mana
rasionalitas praktis-moral mendapat nilai untuk dijadikan konsensus sosial yang terbuka bagi
masyarakat.
Secara jelas menurut Habernas ancaman kritis yang paling mencolok adalah krisis sosio-
kultural, dan krisis legitimasi dimulai dari krisis motivasi. Dalam pengalaman empiris, Seyla
Benhabib mengikuti Habernas dan menunjukan bahwa krisis legitimasi negara telah
menguras energi utopianya untuk membangun masyarakat emansipatoris. Utopia atas kerja
sosial memang telah habis, tetapi apakah utopia sudah lenyap dari sejarah ? kiranya justru
bergeser pada arah komunikasi sosial. Teori kritis mencoba untuk menghitung untuk
memprediksi kritik, tataran norma dan utopia pada masyarakat kapitalisme lanjut.
G. Filsafat Nilai, Etika Dan Idealisme

Dalam menjalin hidupnya, seorang manusia tidak akan terlepas dari keterkaitan hubungan
dengan manusia yang lainnya dalam artian manusia sebagai makhluk sosial. Aktivitas yang dilakukan
manusia dalam interaksi sosial selalu bersinggungan denag nilai-nilai, baik yang tertulis maupun
tidak tertulis. Sehingga secara sadar maupun tidak, manusia menjalani hidupnya dalam segala
aktivitasnya berlandaskan kepada nilai-nilai dalam lingkup dirinya, orang lain dan kepada Tuhan Yang
Maha Esa.

Pembahasan yang berkaitan dengan konsep nilai (value), sebenarnya merupakan kajian yang
sangat serat secara substansial dengan persoalan etika. Oleh karena itu,kajian dalam persoalan nilai
ini biasanya mempertanyakan apakah yang “baik” dan “tidak baik” atau bagaimana “mesti berbuat
baik” serta tujuannya bernilai. Hal ini menyentuh pertanyaan dasar yang menjadi pembenaran suatu
keputusan moral ketika disebut “baik” atau “tidak baik”.

Adapun hubungannya denga filsafat adalah, filsafat ialah seperangkat keyakinan, sikap, cita-cita,
aspirasi-aspirasi, tujuan-tujuan, nilai-nilai, norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis. Menurut
Sidney Hook, filsafat juga mencari pembenaran, suatu persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-
pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubungan-hubungan kemanusiaan secara benar, dan juga
berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang
harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya.

1. Kajian tentang Nilai


Membahas masalah nilai atau teori tentang nilai berarti kita membahas tentang aksiologi,
karena aksiologi berasaldari bahasa Yunani axios (nilai) dan logos (teori) jadi aksiologi adalah teori
tentang nilai. Dalam Encyclopedy of Philosophy menjelaskan bahwa aksiologi (teori tentang nilai)
ada tiga bentuk :
a. Nilai, yang digunakan sebagai kata abstrak. Dalam pengertian yang lebih sempit seperti
baik, menarik, dan bagus. Dan dalam pengertian yang lebih luas mencakupi sebagai
tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran, dan kesucian.
b. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai-
nilai, ia seringkali dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya,
nilai dia, dan sistem nilai dia. Kemudian dipakai untuk apa-apa yang memiliki nilai atau
bernilai sebagaimana berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau
bernilai.
c. Nilai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai, dan dinilai.
Setidaknya ada dua aliras dalam kajian nilai, yaitu:

a. Aliran naturaslisme
Aliran ini menganggap bahwa nilai adalah sejumlah fakta, oleh karena itu setiap
keputusan nilai dapat diuji secara empirik. Maka sifat perilaku seperti jujur, adil, dermawan dan
lainnya atau kebalikannya merupakan indikator seseorang berperilaku baik atau tidak baik. Selain
bentuk pengujian seperti ini, konsekuensi dari setiap perbuatan adalah juga merupakan indikator
seseorang itu baik atau tidak baik. Maka dapat kita lihat bahwa keputusan nilai pada naturalisme
bersifat ungkapan faktual, sehingga dapat diuji secara empirik.
b. Aliran nonnaturalisme

Aliran ini menganggap bahwa nilai tidak sama dengan fakta, artinya fakta terpisah dengan
nilaidan secara absolut (mutlak) tidak terdeteksi satu sama lainya. Berbeda dengan naturalisme,
mengingat bagi nonnaturalistik nilai itu bukan fakta, tetapi bersifat normatif dalam memberitahukan
sesuatu itu baik atau buruk, benar atau salah, maka keputusan nilai pada kelompok ini tidak dapat
diketahui melalui uji empirik, akan tetapi hanya dapat diketahui melalui apa yang disebutnya dengan
intuisi moral yang telah dimiliki manusia, yaitu kesadaran langsung adanya nilai murni seperti benar
dan salah dalm perilaku, objek seseorang.

Untuk lebih dapat memahami kajian tentang nilai ini. kami kutip pandangan Raghib Al-
Ishafani, dia mengakui adanya tiga bentuk kebaikan. Yaitu baik karena zatnya, baik karena yang
lainya, dan baik karena zatnya dan yang lainya. Namun ia kemudian mempertegas bahwa hanya ada
dua bentuk nilai kebaikan. Yaitu kebaikan mutlak (khoir mutlaq) dan kebaikan kondisional (khoir
muqoyyad). Khair mutlaq adalah perbuatan baik yang dipilih karena perbuatan itu sendiri dan setiap
orang yang berakal sangat menginginkanya. Hal itu karena khair mutlaq memiliki sifat manfaat,
indah dan lezat. Dengan konsep seperti ini, ia menyimpulkan bahwa apa saja yang berada pada
posisi manfaat dan pendorong untuk meraih khair ukhrawi dan kebahagiaan hakiki maka itu disebut
sebagai kebaikan dan kebahagiaan. Adapun kebaliknanya adalah sifaf sharr (jelek) yang memiliki
sifat-sifat seperti aniaya, tercela dan merugikan diri. Sifat tersebut disebut sharr atau jelek itu
sendiri. Pada hal ini dapat kita ambil contoh pernikahan anatara dua insan yang berbeda jenis yang
salaing mencintai. Kebahagiaan akan memenuhi jiwa dan raga mereka karena untuk menunaikan
fitrah dari Allah SWT mereka memilih jalan syariat yaitu menikah. .

Sebaliknya khair muqoyyad (kebaikan kondisional) adalah, selain memiliki sifat-sifat khair
mutlak juga terdapat didalamnya sifat-sifat sharr (jelek). Untuk menentukan sesuatu itu “baik”
ditentukan sejauh mana “sifat-sifat baik” yang ada dalm sesuatu itu memeberikan lebih dibanding
“sifat-sifat tidak baik”. Dapat dipahami bahwa dalam khiar ini sesuatu itu memiliki nilai baik bukan
disebabkan perbuatan itu sendiri, atau dipilih bukan karena perbuatan itu sendiri tetapi karena
sesuatu diluar perbuatan itu. Pada hal ini dapt kita ambil contoh pada perperangan dimana
didalamnya terdapat pembunuhn-pembunuhan hal ini jelas dipilih bukan karena perbuatan
pembunuhan itu sendiri namun karena sesuatu diluar itu. Sebagaimana rakyat palestina yang
melakukan berbagai macam cara untuk mempertahankan dan untuk mendapatkan keadilan bagi diri
mereka. Sehingga saat ini kita mengenal ada yang dinamakan bom bunuh diri atau dalam pendapat
lain adalah bom syahid.

2. Kajian Etika

Bertolak pada kajian mengenai etika maka kita pahami dulu arti dari etika itu sendiri. Etika
berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang memiliki pengertian adat istiadat (kebiasaan), perasaan
batin serta kecenderungan batin untuk melakukan sesuatu. Adapun moral (mores) juga berarti adat
atau kebiasaan. Di dalam Kamus Istilah Pendidikan dan Umum dinyatakan bahwa etika adalah bagian
dari filsafat yang mengajarkan tentang keluhuran budi (baik/buruk).

Sebenarnya terdapat kesamaan antara etika dan moral, namun menurut para ahli filsafat
bahwa perbedaan antara etika dan filsafat adalah etika memandang perilaku dan perbuatan
manusia secara umum sedangkan moral melihatnya secara lokal. Namun dalam makalah ini, hanya
fokus dengan kajian masalah etika dikhawatirkan makalah ini akan terlalu panjang dan kompleks
sehingga susah untuk dikaji bersama dalam forum diskusi kelas walaupun disadari kajian tentang
moral sangat erat dan tak terlepas dari kajian nilai dan etika.

Etika pada dasarnya merupakan penerapan dari nilai tentang baik buruk yang berfungsi
sebagai norma atau kaedah tingkah laku dalam hubungannya dengan orang lain, sebagai espektasi
atau apa yang diharapkan oleh masyarakat terhadap seseorang sesuai dengan status dan
peranannya, dan etika dapat berfungsi sebagai penuntun pada setiap orang dalam mengadakan
kontrol sosial.

Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalu dikatakan bahwa objek formal etika
adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat diakatakn pula bahwa etika mempelajari
tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik dalam suatu kondisi yang normatif
(pelibatan norma).

Maka dari pemahaman seperti diatas yaitu etika ketika bersinggungan dengan norma. Maka
munculah pemikiran-pemikiran mengenai etika itu sendiri. Sebagaiman dikatakan oleh Dr. Frans
Magnis Suseno “etika memang tidak dapat menggantikan agama, tetapi dilain pihak etika juga tidak
bertentangan denagn agama”. Hal ini sejalan dengan perkataan-perkataan yang sering kami dengar
dalam ceramah-ceramah yaitu manusia akan menjadi baik sekalipun ia tidak mempunyai tuntunan
sebagaiman Al Quran dengan mengandalkan akal budi dan daya pikirnya untuk memecahkan
masalah atau bisa kita gunakan kata lain yaitu kebijaksanaan.

Teringat perkataan Socrates, ia mengatakan “aku bukanlah tuhan tapi aku senang dengan
kebijaksanaan”. Dari hal ini dapat dianilisis bahwa etika merupakan ilmu kebijaksanaan yang
diberikan Allah SWT kepada manusia, sehingga denganya kita dapat memilih mana yang baik dan
mana yang buruk bagi kita. Namun perlu ditegaskan dalm diri kita bahwa yang maha bijaksana
hanyalah Allah SWT sehingga kebijaksanaan Allah dalam mengatur dan menentukan sesuatu hal
diatas kebijaksanaan kita dalam mengatur dan menentukan sesuatu.

Etika menurut H. Devos merupakan ilmu pengetahuan mengenai kesusilaan, ini berarti
bahwa etika membicarakan kesusilaan secara ilmiah6Dan kesusilaan merupakan keseluruhan aturan,
kaidah atau hukum yang mengambil bentuk perintah dan larangan.

Berikutnya terdapat tanda tanya pada diri kita mengenai etika dan ahlak. Dalam berbagai
bentuk bahasan dan tulisan para pakar, mempersamakan secara etimologi tentang pengertian ahlak
dan etika. Namun didalm buku Pengantar Studi Akhlak yang juga menjadi referensi kami dalam
penulisan makalah ini menegaskan bahwa ahlak berbeda dengan etika ditinjau dari norma yang
mendasarinya. Dan menurut pemahaman kami, ahlak dan etika itu sejalan sebagaimana
disampaikan para pakar. Yang menjadi permasalahan hanya pada penggunaan kata yaitu etika dan
ahlak itu sendiri. Ahlak berasal dari bahasa Arab dan etika dari bahasa Yunani. Padahal sumber etika
yang utama adalah Alquran dan Al- hadist juga sebagaimana dipahami sebagai dasar ahlak.

H. Problem-problem dalam ilmu


Filsafat ilmu sebagai suatu kajian khusus merupakan salah satu cabang dari ruang lingkup
filsafat secara umum . Pada kelanjutannya ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat, tidak terlepas
dari persoalan-persoalan filsafat ilmu . Filsuf terkemuka Clarence irving lewis juga mengemukakan
adanya dua gugus persoalan yakni problem-problem reflektif dalam suatu ilmu khusus yang dapat
dikatakan membentuk filsafat dari ilmu tersebut dan problem-problem mengenai asas permulaan
dan ukuran-ukuran yang berlaku umum bagi semua ilmu maupun aktivitas kehidupan secara umum.

Adapun yang dimaksud masalah dalam bidang filsafat ilmu dan ilmu itu sendiri menurut
definisi A. Cornelius Benjamin adalah sesuatu situasi praktis atau teoritis yang untuk itu tidak ada
jawaban lazim atau otomatis yang memadai dan oleh sebab itu memerlukan proses-proses refleksi .
Banyak sekali pendapat para ahli mengenai kelompok atau perincian problem apa saja yang
diperbincangkan dalam filsafat ilmu.

1. Cornelius Benjamin

Filsuf ini menggolongkan segenap persoalan filsafat ilmu dalam tiga bidang :

a. Bidang pertama meliputi semua persoalan yang bertalian secara langsung atau tidak
langsung dengan suatu pertimbangan mengenai metode ilmu
b. Persoalan-persoalan dalam bidang kedua dalam filsafat ilmu agak kurang terumuskan dari
problem-problem tentang metode. Dalam suatu makna banyak darinya merupakan peroslan
tentang metode ini bertalian dengananalisis terhadap konsep-konsep dasar dan
peranggapan dari ilmu-ilmu
c. Bidang ketiga dari filsafat ilmu terdiri dari aneka ragam persoalan yang tidak mudah
terpengaruh oleh penggolongan sistematis
2. Michael berry

Penulis ini mengemukakan dua problem berikut

a. Bagaimanakah kuantitas dari urmusan dalam teori-teori ilmiah (misalnya suatu ciri dalam
genetika atau momentum dalam mekanika newton ) berkaitan dengan peristiwa dalam
dunia alamiah diluar pikiran manusia
b. Bagaimanakah dapat dikatakan bahwa teori atau dalil ilmiah adalah benar berdasarkan
induksi dari sejumlah persoalan yang terbatas.
3. Victor lenzen

Filsuf ini mengajuan dua problem :

a. Struktur ilmu yaitu metode dan bentuk pengetahuan ilmiah


b. Pentingnya ilmu bagi praktek dan pengetahuan tentang realitas.
4. J.J.C. Smart

J. J. C. Smart (1968: 4-5) mengumpamakan kalau seorang awam bukan filsuf


membuka-buka beberapa nomor dari majalah Amerika serikat berjudul Philosophy of
Science dan majalah Inggris The British Journal of the Philosophy of science, maka akan
dijumpainya dua jenis persoalan: (1) Pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu, misalnya pola-
pola perbincangan ilmiah, langkah-langkah pengujian teori ilmiah, sifat dasar dari dalil dan
teori dan cara-cara merumuskan konsep ilmiah; (2) Perbincangan filsafati yang
mempergunakan ilmu, misalnya bahwa hasil-hasil penyelidikan ilmiah akan menolong
para filsuf menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang manusia dan alam semesta.
5. Joseph Sneed (Butts & Hintikka, eds., 1977: 245)

Joseph Sneed menyatakan bahwa pembedaan dalam jenis problem-problem filsafat


ilmu khusus (misalnya variabel tersembunyi, determinisme dalam mekanika quantum) dan
jenis problem-problem filsafat ilmu seumumnya (misalnya ciri-ciri teori ilmiah) yang telah
umum diterima adalah menyesatkan. Hal itu dinyatakannya demikian, “Saya menyarankan
bahwa dualitas diantara problem-problem filsafat ilmu ini adalah menyesatkan. Saya
berpendapat bahwa problem-problem filasafati tentang sifat dasar ilmu seumumnya tidaklah,
dalam suatu cara yang mendasar, berbeda dengan problem-problem filasafati yang
bertalian semata-mata dengan ilmu-ilmu khusus. Secara khusus tidaklah ada makna khusus
bahwa filsafat ilmu seumumnya merupakan sustu usaha normatif, sedangkan filsafat ilmu-
ilmu khusus tidak.”

6. Frederick Supple (1974: 3)

Menurut Frederick Supple (1974: 3), problem yang paling pokok atau penting dalam
filsafat ilmu adalah sifat dasar atau struktur teori ilmiah. Alasannya ialah kerena teori
merupakan roda dari pengetahuan ilmiah dan terlibat dalam hampir semua segi usaha
ilmiah. Tanpa teori tidak akan ada problem-problem mengenai entitas teoritis, istilah
teoritis, pembuktian kebenaran, dan kepentingan kognisi. Tanpa teori yang perlu diuji atau
diterapkan, rancangan percobaan tidak ada artinya. Oleh karena itu hanyalah agak sedikit
melebih-lebihkan bilamana dinyatakan bahwa filsafat ilmu adalah suatu analisis mengenai
teori dan peranannya dalam usaha ilmiah.

7. D.W. Theobald (1968: 5-6)

D.W. Theobald (1968: 5-6) menyatakan bahwa filsafat ilmu terdapat dua kategori
problem yaitu: (1) Problem-problem Metodologis yang menyangkut struktur pernyataan
ilmiah dan hubungan-hubungan diantara mereka. Misalnya analisis probabilitas, peranan
kesederhanaan dalam ilmu, realitas dari entitas teoritis, dalil ilmiah, sifat dasar penjelasan,
dan hubungan antara penjelasan dan peramalan.

Problem-problem tentang ilmu yang menyelidiki arti dan implikasi dari


konsep-konsep yang dipakai para ilmuwan. Misalnya kausalitas, waktu, ruang, dan alam
semesta.
Pakar filsafat sejarah W. H. Walsh (1960: 9) menyatakan bahwa filsafat ilmu
mencakup problem yang timbul dari metode dan pra-anggapan dari ilmu serta sifat dasar
dan persyaratan dari pengetahuan ilmiah.

Walter Weimer (1979: 2-3) mengemukakan empat problem filsafat ilmu sebagai
berikut:

1) Pencarian terhadap suatu teori penyimpulan rasional (ini berkisar pada penyimpulan
induktif, sifat dasarnya dan pembenarannya).

2) Teori dan ukuran bagi pertumbuhan atau kemajuan ilmiah (Ini berkisar pada
pertumbuhan pengetahuan ilmiah, pencarian dan penjelasannya. Misalnya dalam
menilai bahwa teori Einstein lebih unggul daripada teori sebelumnya, apakah
ukurannya?)

3) Pencarian terhadap suatu teori tindakan Pragmatis (dalam menentukan salah satu teori
di antara teori-teori yang salah, bagaimanakah caranya untuk mengetahui secara pasti
teori yang paling terkecil kesalahannya?)

4) Problem mengenai kejujuran intelektual (Ini menyangkut usaha mencocokkan

perilaku senyatanya, dari para ilmuwan dengan teori yang mereka anut).

Philip Wiener (Bronstein, 1957: 226) menyatakan bahwa para pakar filsafat ilmu
dewasa ini membahas problem-problem yang menyangkut: (1) Struktur logis atau ciri-ciri
metodologis umum dari ilmu-ilmu; (2) Saling hubungan antara ilmu-ilmu; (3) Hubungan
ilmu-ilmu yang sedang tumbuh dengan tahapan-tahapan lainnya dari peradaban, yaitu
kesusilaan, politik, seni dan agama.

Problem-problem filsafat secara umum berkisar pada enam hal pokok, yaitu
pengetahuan, keberadaan, metode, penyimpulan, moralitas, dan keindahan. Berdasarkan
keenam sasaran itu, bidang filsafat dapat secara sistematis dibagi dalam enam cabang
pokok, yaitu epistemologi (teori pengetahuan), metafisika (teori mengenai apa yang ada),
metodologi (studi tentang metode), logika (teori penyimpulan), etika (ajaran moralitas) dan
estetika (teori keindahan).

Oleh karena filsafat ilmu merupakan suatu bagian dari filsafat keseluruhan, maka
problem-problem dalam filsafat ilmu secara sistematis juga dapat digolongkan menjadi
enam kelompok sesuai dengan cabang-cabang pokok filsafat itu. Dengan demikian,
seluruh problem dalam filsafat ilmu dapat ditertibkan menjadi:

1) Problem-problem epistemologis tentang ilmu

2) Problem-problem metafisis tentang ilmu

3) Problem-problem metodologis tentang ilmu

4) Problem-problem logis tentang ilmu

5) Problem-problem etis tentang ilmu

6) Problem-problem estetis tentang ilmu

Menurut R. Harre (Edwards, ed., 1967: 289), problem-problem epitemologis,


metafisis, dan logis yang bertalian dengan ilmu-ilmu mulai memperoleh perhatian

39
para filsuf dan ilmuwan pada awal abad ke-19.

Problem-problem secara metodologis telah secara tegas disebutkan oleh D.


W. Theobald dimuka sebagai salah satu kategori problem dalam filsafat ilmu.
Problem-problem etis yang menyangkut ilmu juga telah disebutkan dimuka oleh
Walter Weimer (menyangkut kejujuran intelektual para ilmuwan dan oleh Philip
Weiner (menyangkut hubungan ilmu dengan kesusilaan sebagai suatu segi
perdaban manusia). Problem-problem estetis yang menyangkut ilmu pada
dasawarsa terakhir ini dimulai menjadi topik perbincangan oleh sebagian filsuf
dan ilmuwan. Dalam tahun 1980 diadakan sebuah konferensi para ahli yang
membahas dimensi estetis dari ilmu.

Berdasarkan pemaparan-pemaparan ahli di atas, maka problem filsafat ilmu


dibicarakan sejajar dengan diskusi yang berkaitan dengan landasan pengembangan
ilmu pengetahuan, yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Secara
ringkas, permasalahan atau problema filsafat ilmu mencakup: Pertama, problem
ontologi ilmu; perkembangan dan kebenaran ilmu sesungguhnya bertumpu pada
landasan ontologis: “apa yang terjadi” untuk mengetahui eksistensi suatu entitas.
Kedua, problem epistemologi; adalah bahasan tentang asal muasal, sifat alami,
batasan (konsep), asumsi, landasan berfikir, validitas, reliabilitas sampai soal
kebenaran (bagaimana ilmu diturunkan = metoda untuk menghasilkan kebenaran).
Ketiga, Problem aksiologi; implikasi etis, aspek estetis, pemaparan serta
penafsiran mengenai peranan (manfaat) ilmu dalam peradaban manusia.
Ketiganya digunakan sebagai landasan penelaahan ilmu.

Anda mungkin juga menyukai