Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KULIAH 3

MATA KULIAH FILSAFAT ILMU DAN METODOLOGI

Disusun Oleh:
Rasvan Windhi
NPM 2006509781

PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL


SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL

UNIVERSITAS INDONESIA

Jakarta, 23 Maret 2021


CRITICAL THEORY (TEORI KRITIS)

A. Epistemologi Teori Kritis


Teori Kritis lahir dan berkembang di Jerman sekitar tahun 1928 dibentuk oleh para filsuf
yang tinggal di Frankfurt School. Tokoh-tokoh seperti Theodor Adorno, Erich Fromm,
Herbert Marcuse, Walter Benjamin, Max Horkheimer dan Jurgen Habermas adalah para
pioner yang mengorbitkan Teori Kritis tersebut. Teori ini diawali dengan lahirnya kesadaran
untuk mempertanyakan kebijakan yang konvensional atau sesuatu yang sudah dianggap
mapan dan berlaku universal dan menjadi suatu keharusan untuk diterima sebagai aturan.
Teori kritis tidak hanya berhenti pada data-data atau fakta-fakta obyektif seperti yang dianut
positivisme, tetapi juga menembus di balik realitas sosial untuk menemukan kondisi-kondisi
yang timpang. Teori kritis berpendapat bahwa pemikiran harus menjawab persoalan-
persoalan baru dan kemungkinan-kemungkinan untuk kebebasan yang muncul dari keadaan
sejarah yang selalu berubah. Teori kritis menjadi ideologi kritik, yaitu suatu refleksi-diri
untuk membebaskan pengetahuan manusia dari dua kutub metafisis atau empiris dan
melahirkan suatu transformasi sosial yang baru.
B. Teori Kritis Habermas
Untuk mengerti pemahaman Habermas mengenai Teori Kritis kita tidak bisa lepas dari
pandangannya tentang ilmu pengetahuan yang dibagi dalam tiga kategori dengan tiga macam
agenda atau kepentingannya masing-masing. Pertama, kelompok ilmu empiris, yakni ilmu
alam yang menggunakan paradigma positivisme, kepentingannya adalah menaklukkan,
menemukan hukum-hukum dan mengontrol alam. Kedua, ilmu-ilmu humaniora, yang
memiliki kepentingan praktis dan saling memahami, seperti ilmu pengetahuan sosial budaya.
Kepentingan ilmu ini bukan untuk mendominasi atau menguasai, juga bukan membebaskan,
tetapi memperluas lingkup pemahaman. Ketiga, ilmu kritis yang dikembangkan melalui
refleksi diri, sehinga melalui refleksi diri, kita dapat memahami kondisi-kondisi yang tidak
adil dan tidak manusiawi dalam kehidupan. Kepentingannya adalah emansipatoris. Dari
pembagian tersebut, dapat dipahami bahwa kritik berarti refleksi-diri. Inilah kemudian yang
mendasari teori kritik Habermas.
Habermas merumuskan teori kritik yang bersifat emansipatoris. Artinya teori tersebut
tidak berdiri pada hanya satu pilar saja namun memiliki fondasi yang memiliki paling tidak
empat karakter: historis, kritis, curiga dan praktis. Sebuah teori dikatakan bersifat historis
karena dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat konkret dalam kurun waktu dan
sejarah. Kemudian teori mesti bersifat kritis artinya bisa mengoreksi bahkan
mempertanyakan teori atas dirinya sendiri. Lalu teori kritis bersifat curiga artinya memiliki
kecurigaan kritis terhadap masyarakat aktual. Sementara karakter praktis menekankan bahwa
teori mesti bermaksud dapat diterapkan secara langsung dalam masyrakat konkrit. Dengan
kata lain, teori kritis Habermas merupakan suatu sintesa dialektis dari analitis empiris dan
hermeneutika historis.
C. Kritik atas Rasionalisasi
Habermas mengkritik rasio untuk menyingkap kepentingan ilmu pengetahuan. Karena
melalui rasio, ilmu pengetahuan menjustifikasi diri bahwa dirinya netral, bebas dari
kepentingan. Rasiolah yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan netral, rasio atau ilmu
pengetahuan ilmiah selalu mengatakan dirinya paling obyektif.
Dalam filsafat Yunani, seorang filsuf membangun teori untuk menjadi tuntunan hidup.
Misalnya socrates, menciptakan teori kebenaran obyektif. Teori ini diciptakan agar menusia
tidak bingung dengan subyektifisme yang selalu digemakan oleh kaum sofis. Sehingga teori
mempunyai peran emansipasi pada tingkat praktis. Tetapi saat ini teori diterbangkan tinggi
untuk meninggalkan praksis, demi menggapai klaim netral. Pandangan – bahwa rasional
adalah ilmiah, teori harus independen, ilmu pengetahuan harus netral – inilah yang dikritik
oleh Habermas. Menurut Habermas, teori harus berpihak pada emansipasi yang bisa
menuntun kehidupan praksis yang nantinya akan menghasilkan transformasi sosial.
Seseorang dapat dikatakan mengalami emansipasi jika dia beralih dari situasi
“ketidaktahuan” menjadi “tahu”.
D. Kritik Ideologi
Menurut Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi
amat sarat dengan kepentingan. Luis Altusser mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan
alat untuk melanggengkan kekuasaan. Oleh sebab itu, Habermas membagi kepentingan
menjadi "Kepentingan Kutub Empiris" dan "Kepentingan Kutub Transendental". Yang
pertama berkaitan dengan kondisi sosio-historis manusia sebagai spesies yang berkehendak.
Sedangkan yang kedua berkaitan dengan pengetahuannya yang bersifat normatif ideal. Kritik
Ideologi bekerja dalam dua tataran ini. Yaitu untuk mencari pertautan keduanya manakala
pemikiran manusia membeku pada salah satu kutub kepentingan tersebut.
Jika ideologi adalah sebuah cara pandang yang menghegemoni dan mengakar pada jiwa
seseorang, maka dengan kritik – refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri,
individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan
ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau
pendewasaan.
E. Masyarakat Komunikatif sebagai Jalan Keluar
Singkat kata, Habermas menawarkan sebuah masyarakat tanpa dominasi, paksaan dan
bebas penguasaan. Dengan apa? Dengan komunikasi. Yaitu "komunikasi bebas penguasaan".
Suatu komunikasi yang tidak terdistorsi secara ideologis. Bagaimana cara mengetahui bahwa
suatu komunikasi bersifat murni dan bebas dari dominasi ideologi? yaitu komunikasi yang
seimbang, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan diri dalam
perbincangan dan mengemukakan persetujuan-persetujuan, penolakan-penolakan,
keterangan-keterangan, penafsiran-penafsiran, tetapi dengan tulus mengungkapkan perasaan-
perasaan dengan sikap-sikap mereka tanpa pembatasan dari suatu kekuasaan. Komunikasi
yang menghasilkan dengan konsensus-konsensus rasional yang dicapai oleh subyek-subyek
yang berkompeten – ijma'. Proses dialog itu ditempatkan dalam rangka proses menjadi
dialog. Sebagai suatu arah umum, dialog itu mengerah pada suatu kebenaran sebagai
konsensus.

REFERENSI
Sinaga, N. (2017, February 2). Teori Kritis Jurgen Habermas. Retrieved from Caritas Christi:
https://nestor7naga.wordpress.com/
Taufiq, M. A. (2011, February 25). Membedah Teori Kritis Habermas. Diambil kembali dari
Kompasiana: https://www.kompasiana.com
Tjahyadi, S. (2003, August). Teori Kritis Jurgen Habermas: Asumsi-Asumsi Dasar Menuju
Metodologi Kritik Sosial. Jilid 34, pp. 180-197.

MANFAAT MODEL BERPIKIR TEORI KRITIS DALAM BIDANG PEKERJAAN


Seperti yang telah dijelaskaan sebelumnya teori kritis memberikan kritik terhadap
ideologi yang merupakan manipulasi yang berbentuk tidak sadar dan amat sarat dengan
kepentingan. Pemikiran ini sangat berguna di dunia kerja saya di Kementerian Keuangan
dalam rangka melepaskan diri dari dogma-dogma lama yang sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan zaman yang serba modern dan serba digital saat ini. Pemikiran-pemikiran dan
ideologi lama yang tidak sesuai dengan yang seharusnya dapat dikritisi dan diperbaiki dengan
model berpikir ini. Contohnya saja, dahulu sebelum era reformasi Kementerian Keuangan,
pada saat posisi pejabat eselon masih didominasi oleh Generasi Tradisionalis dan Baby
Boomers, sangat ditanamkan prinsip bahwa kita harus patuh dan hormat terhadap atasan.
Pemikiran seperti itu telah terpatri di dalam diri setiap pegawai di Kementerian Keuangan.
Hal itu menjadi senjata bagi oknum pejabat zaman dulu untuk bertindak otoriter bak raja
kepada bawahannya. Apapun pendapat dan keinginan para atasan harus dipatuhi, walaupun
belum tentu semuanya benar. Bahkan ada yang memanfaatkan kekuasaannya untuk
melakukan hal-hal yang melanggar integritas, dan bawahan tidak mampu berbuat apa-apa
selain mengikuti perintah atasan tersebut. Karena jika melawan, mendapat ancaman di-
blacklist atau “dibuang” ke daerah terpencil. Seiring berjalannya waktu, dan posisi-posisi
eselon sekarang sudah diambil alih oleh Generasi X dan sebagian kecil Generasi Baby
Boomers, pemimpin-pemimpin sekarang sudah tidak lagi egois dan bersikap otoriter. Para
pejabat sekarang sudah mengerti pentingnya menjadi “pemimpin” bukan menjadi “bos” di
lingkungan kerja. Generasi baru sekarang juga sudah cukup berpikir kritis dan cukup cerdas
untuk memperjuangkan hal yang benar dan melawan ketidakadilan.
Kemudian manfaat lainnya yang didapat dari model berpikir dengan teori kritis yaitu
dalam upaya memperbaiki sistem ke arah yang lebih baik. Seiring perkembangan zaman,
aturan yang telah ditetapkan dulu ada kalanya sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan pada
saat ini. Contohnya dalam pembuatan kontrak kinerja. Ada kolom Dialog Kinerja Individu
(DKI) yang berisi uraian dan rencana-rencana pekerjaan pegawai dalam satu tahun yang
pengisiannya melalui diskusi dengan atasan langsung. Hal ini sejalan dengan teori kritis.
Teori ini memberikan keleluasaan dan komunikasi yang seimbang antara atasan dan
bawahan, setiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk melibatkan diri dalam
perbincangan dan mengemukakan pendapatnya yang mengarah pada suatu kebenaran sebagai
konsensus.
Disamping banyak manfaatnya, model berpikir menggunakan teori kritis ini juga ada
kekurangannya. Pegawai bisa jadi akan menjadi “terlalu berpikir kritis” terhadap atasan dan
organisasi. Hal ini dapat menyebabkan setiap kebijakan/amanat dari pimpinan dan organisasi
selalu mendapat kritik jika menurutnya tidak sesuai dengan pendapatnya. Sikap seperti ini
tentu tidak baik juga bagi organisasi.

Anda mungkin juga menyukai