Anda di halaman 1dari 7

JURGEN HABERMAS:

TEORI KRITIS DENGAN PARADIGMA KOMUNIKASI


Oleh: Ajat Sudrajat
Prodi Ilmu Sejarah FISE UNY

A. Pendahuluan
Jurgen Habermas adalah salah seorang tokoh dari Filsafat Kritis. Ciri khas dari
filsafat kritisnya adalah, bahwa ia selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-
hubungan sosial yang nyata. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya
sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Filsafat ini
tidak mengisolasikan diri dalam menara gading teori murni. Pemikiran kritis merasa diri
bertanggung jawab terhadap keadaan sosial yang nyata1.
Aliran pemikiran kritis ini mulai berkembang sekitar tahun dua puluhan. Tokoh-
tokohnya antara lain Georg Lukacs, Karl Korsch, Ernst Bloch, Antonio Gramsci dan
seterusnya. Salah satu aliran dalam pemikiran kritis adalah Teori Kritis Masyarakat. Teori
Kritis ini dikembangkan sejak tahun 30-an oleh tokoh-tokoh yang semula bekerja di
Institut fur Sozialforschung pada Universitas Frankfurt. Mereka itu adalah Marx
Horkheimer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse serta anggota-anggota lainnya.
Kelompok ini kemudian dikenal dengan sebutan “Mazhab Frankfurt”2.
Jugern Habermas adalah pewaris dan pembaharu Teori Kritis. Meskipun ia sendiri
tidak lagi dapat dikatakan termasuk Mazhab Frankfurt, arah penelitian Habermas justru
membuat subur gaya pemikiran “Frankfurt” itu bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial pada
umumnya. Uraian singkat ini akan mencoba menelusuri perkembangan pemikirannya.

B. Perkembangan Pemikiran J. Habermas


Titik tolak pemikiran J. Habermas adalah pada faham Horkheimer dan Adrono di
atas. Dalam pemikiran Habermas, Teori Kritiss dirumuskan sebagai sebuah “filsafat
empiris sejarah dengan maksud praktis”. Empiris dan ilmiah, tetapi tidak dikembalikan
kepada ilmu-ilmu empiris-analitis; filsafat di sini berarti refleksi kritis bukan dalam arti

1
Franz Magnis-Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius, 1992, hal. 176.
2
Ibid., hal. 177.

1
menetapkan prinsip-prinsip dasar; historis tanpa jatuh ke dalam historisistik; kemudian
praktis, dalam arti terarah pada tindakan politis emansipatoris”3.
1. Ilmu dan Kebebasan Nilai
Masalah pokok yang menjadi persoalan adalah apakah ilmu-ilmu pengetahuan,
terutama ilmu-ilmu sosial, harus bekerja dengan bebas nilai. Para pendukung kebebasan
nilai memberi jawaban afirmatif, bahkan mereka menambahkan bahwa metode yang
dipakai dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak berbeda. Artinya kalau ilmu-
ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan harus menghasilkan hukum-hukum
umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu alam. Dan penjelasan ilmiah
tidak memihak dan tidak memberi penilaian apapun. Atas dasar pendapat ini, para
pendukung kebebasan nilai dimasukkan dalam kubu positivisme.
Menurut Habermas setiap penelitian ilmiah diarahkan oleh kapentingan-
kepentingan vital umat manusia (baik dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial). Oleh
karena itu postulat tentang kebebasan nilai merupakan „ilusi‟ tidak hanya bagi ilmu-ilmu
sosial, melainkan juga bagi ilmu-ilmu alam. Melepaskan nilai-nilai dari fakta-fakta sama
artinya dengan mempertentangan Sein (Ada) yang murni dengan Sollen (seharusnya)
yang abstrak4.
Di dalam pengertian mengenai kepentingan dan mengarahkan pengetahuan
tercakup dua momen: pengetahuan dan kepentingan. Dari pengalaman sehari-hari
diketahui, bahwa ide-ide seringkali berfungsi memberikan arah kepada tindakan-
tindakan. Atau ide-ide merupakan motif pembenaran atas tindakan. Apa yang pada
tingkat tertentu disebut rasionalisasi, pada tingkat kolektif dinamakan ideologi5.
Di dalam bagian akhir esainya tentang Dogmatism, Reason and Decision,
Habermas mengemukakan bahwa „hanya rasio yang sepenuhnya sadar akan kepentingan
dalam kemajuan refleksi ke arah otonomi dan tanggungjawab, yang tak henti-hentinya
berpikir dalam setiap diskusi rasional, akan mampu meraih kekuatan transenden dari
kesadaran akan keterlibatan-keterlibatan matrialistisnya sendiri. Yang dimaksud di sini

3
Thomas McCarthy, Communication and The Evolution of Society, London: Heinemann, 1979.
Lihat juga FX. Mudji Sutrisno dan F. Budi Hardiman (ed.), Para Filsuf Penentu Gerak Zaman,
Yogyakarta: Kanisius,1992, hal. 147.
4
Jurgen Habermas, Ilmu Dan Teknologi Sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hal. 158.
5
Ibid., hal 171.

2
adalah rasio yang melakukan refleksi-diri (kritis) dengan didorong oleh kepentinga untuk
membebaskan diri dari kendala-kendala dari luar maupun dari dalam subjek pengetahuan,
yaitu kepentingan emansipatoris6.
Habermas lebih lanjut membedakan empat taraf rasionalisasi. Pertama, rasionali-
sasi membuka kemungkinan aplikasi metodologi ilmu-ilmu empiris dalam tingkah laku
rasional untuk mewujudkan sasaran-sasaran. Kedua, rasionalisasi mencakup pilihan
pilihan atas teknik-teknik untuk penerapan. Pertimbangan-pertimbangan teknis
diterjemahkan ke dalam praksis, yaitu teknologi dan industri sistem sosial. Dalam kedua
taraf ini, nilai-nilai normatif disingkirkan sebagai irrasional, tetapi untuk mengadakan
pilihan teknik yang sesuai dengan rasionalitas teknologis, duperlukan teori keputusan dan
di sini ada nilai implisit, yaitu: „ekonomis‟ dan „efisiensi‟. Ketiga, rasionalisasi sebagai
usaha-usaha untuk memenangkan kontrol atas proses-proses tertentu dengan prediksi
ilmiah. Pada taraf ketiga ini, menurut Habermas, nilai-nilai bukannya disingkirkan,
melainkan justru ditetapkan. Keempat, rasionalisasi mencakup penerjemahan
pengambilan keputusan ke dalam mesin. Mesin akan melakukan rutinisasi keputusan atas
dasar nilai-nilai seperti: efiseiensi, efektivitas, produktivitas dan seterusnya7.
2. Masyarakat, Sejarah dan Paradigma Komunikasi
Perkembangan filsafat sosial sejak Marx sudah disibukkan dengan usaha
mempertautkan teori dan praksis. Masalahnya adalah bagaimana pengetahuan tentang
masyarakat dan sejarah bukan hanya sebuah kontemplasi, melainkan mendorong „praksis
perubahan sosial‟. Praksis ini bukanlah tingkah laku buta atas naluri belaka, melainkan
tindakan dasar manusia sebagai mahluk sosial. Dengan demikian praksis diterangi oleh
„kesadaran rasional‟, karenanya bersifat emansipatoris.
Habermas dalam eseinya, Labor and Interaction: Remarks on Hegel’s Jena
‘Philosophy of Mind‟, mengatakan bahwa Hegel memahami praksis bukan hanya sebagai
„kerja‟, melainkan juga „komunikasi”. Karena praksis dilandasi kesadaran rasional, rasio
tidak hanya tampak dalam kegiatan menaklukan alam dengan kerja, melainkan juga
dalam „interaksi intersubjektif’ dengan bahasa sehari-hari. Jadi seperti halnya kerja
membuat orang berdistansi dari alamnya, bahasa memungkinkan distansi dari persepsi

6
F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius, 1993, hal. 34.
7
Ibid., hal. 32.

3
langsung, sehingga baik kerja maupun bahasa berhubungan tidak hanya dengan praksis,
tetapi juga dengan rasionalitas8.
Habermas memperlihatkan kelemahan para pendahulunya, karena tidak hanya
mengandaikan praksis sebagai kerja, yang disebutnya „tindakan rasional bertujuan’,
melainkan juga rasionalisi sebagai „penaklukan, kekuasaan, atau apa yang disebutnya
„rasio yang berpusat pada subjek’. Modenisasi kapitalis berjalan timpang karena
mengutamakan rasionalisasi dalam bidang subsistem-subsistem tindakan rasional-
bertujuan, dan mengesampingkan rasionalisasi di bidang kerangka-kerja institusional atau
komunikasi. Rasionalisasi praksis komunikasi ini adalah dasar khas teori sosial
Habermas9.
Habermas menerima asumsi Marx bahwa sejarah berjalan menurut logika
perkembangan tertentu, hanya ia tidak setuju bahwa teknologi dan ekonomi menjadi
motor perkembangan sejarah. Apa yang oleh Marx disebut cara produksi masyarakat,
menurutnya justru dimungkinkan oleh proses belajar dimensi praktis-moral masyarakat
itu, yakni prinsip-prinsip organisasinya. Jadi, kapitalisme adalah sebuah kasus dalam
evolusi sosial; dan dalam kasus itu, prinsip organisasi kapitalis memungkinkan ekonomi
dan teknologi mengatur interaksi sosial. Karena kapitalisme hanyalah sebuah kasus,
peranan teknologi dan ekonomi tidak bisa diuniversalkan untuk segala zaman dan segala
bentuk formasi sosial.
Dengan asumsi bahwa masyarakat pada hakekatnya bersifat komunikatif,
Habermas kemudian mengganti paradigma produksi dari materialisme sejarah itu dengan
paradigma komunikasi. Jadi sebagai ganti peranan cara-cara produksi, ia mengutamakan
peranan struktur-struktur komunikasi sosial dalam perubahan masyarakat10. Struktur-
struktur komunikasi ini, menurut Habermas lebih hakiki untuk masyarakat daripada cara-
cara produksi, sebab cara-cara produksi yang juga melibatkan proses belajar berdimensi
teknis itu diatur oleh struktur-struktur komunikasi.
Rasionalisasi kekuasaan pada gilirannya mengangkat isu demokrasi dalam arti
bentuk-bentuk komunikasi umum dan publik yang bebas dan terjamin secara

8
Ibid., hal., xx.
9
Ibid., hal. 97.
10
Ibid., hal., 116.

4
institusional. Dalam pandangan Habermas, hanya kekuasaan yang ditentukan oleh diskusi
publik yang kritis merupakan kekuasaan yang dirasionalisasikan. Dalam politik modern
hanya model „pragmatis‟lah yang berkaitan dengan demokrasi. Dalam model pragmatis
ini, pemisahan ketat fungsi tenaga ahli dan politikus diganti dengan „interaksi kritis‟.
Model ini memungkinkan adanya komunikasi timbal balik di antara para ahli dan para
politikus, yang pada gilirannya memungkinkan para ahli itu memberikan nasihat ilmiah
untuk para pengambil keputusan, dan para politikus berbincang dengan para ilmuwan
menurut kebutuhan-kebutuhan praktis. Komunikasi macam ini dilukiskan sebagai
komunikasi yang tidak didasari atas legitimasi kekuasaan ideologis, melainkan sebuah
diskusi informatif ilmiah. Unsur interaksi kritis dalam politik inilah yang dilihat
Habermas sebagai kemungkinan nyata bagi rasionalisasi kekuasaan dalam masyarakat
dewasa ini11. Rasionalisasi yang demikian disebutnya dengan rasionalisasi praktis-etis,
yang dalam pengertian klasiknya --dalam pikiran Aristoteles-- politik berhubungan
dengan etika: ajaran tentang hidup yang baik dan adil dalam „polis‟ atau masyarakat12.
3. Alternatif Habermas: Rasio Komunikatif dan Pencerahan.
Habermas berpendapat bahwa kritik hanya akan maju dengan landasan „rasio
komunmikatif‟ yang dimengerti sebagai „praksis komunikasi atau tindakan komunikatif’.
Ditegaskan olehnya, bahwa masyarakat pada hakekatnya komunikatif dan yang
menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata perkembangan kekuatan-kekuatan
produksi atau teknologi, melainkan „proses belajar‟ dalam dimensi praktis-etis‟..
Dalam rasio komunikatif, „sikap mengobjektifkan yang membuat subjek
pengetahuan memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunia luar tidak lagi
istimewa‟. Hubungan ambivalaen subjek kepada dirinya (memandang diri sebagai
subjektivitas yang bebas sekaligus objektifikasi diri yang memperbudak) dihancurkan
oleh intersubjektivitas. Rasio tersebut tidak berasimilasi dengan kekuasaan. Singkatnya ,
rasio yang berpusat pada subyek, termasuk pencampuradukan (amalgama) pengetahuan
dan kekuasaan, dapat dihancurkan dengan intersubjektivitas rasio komunikatif13.

11
Ibid., hal. 128.
12
Ibid., hal., 134.
13
Ibid., hal. 229.

5
Atas dasar paradigma baru itu, Habermas ingin mempertahankan isi normatif
yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Isi normatif modernitas adalah
apa yang disebutnya rasionalisasi dunia-kehidupan dengan dasar rasio komunikatif.
Dunia kehidupan terdiri dari kebudayaan, masyarakat dan kepribadian. Rasionalisasi
dunia-kehidupan ini dimungkinkan lewat tindakan komunikatif14.
Rasionalisasi akan menghasilkan tiga segi. Peertama, reproduksi kultural yang
menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru yang muncul, tetap ada kelangsungan tradisi
dan kohenrensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsensus dalam praktek
sehari-hari. Kedua, integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam situasi-situasi yang baru,
koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana hubungan antarpribadi yang diatur
secara legitim dan kekonstanan identitas-identitas kelompok tetap ada. Ketiga, sosialisasi
yang menjamin bahwa dalam siatuasi-situasi baru, perolehan kemampuan umum untuk
bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin dan penyelarasan sejarah hidup
individu dan bentuk kehidupan kolektif tetap terpelihara15. Ketiga segi ini memastikan
bahwa situasi-situasi baru dapat dihubungkan dengan apa yang ada di dunia ini melalui
tindakan komunikatif.
Di dalam komuniksi itu, para partisan melakukan komunikasi yang memuaskan.
Para partisan ingin membuat lawan bicaranya memahami makksudnya dengan berusaha
mencapai apa yang disebutnya „kalim-klaim kesahihan‟ (validity of clims). Klaim-klaim
inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai „hasil
konsensus‟.
Dalam bukunya The Theory of Communicative Action, Habermas menyebut
empat macam klaim. Kalau ada kesepakatan tentang dunia alamiah dan objektif, berarti
mencapai „klaim kebenaran‟ (truth). Kalau ada kesepakatan tentang pelaksanaan norma-
norma dalam dunia sosial, berarti mencapai „klaim ketepatan‟ (rightness). Kalau ada
kesepakatan tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang, berarti
mencapai „klaim autentisitas atau kejujuran‟ (sincerety). Akhirnya, kalau mencapai
kesepakatan atas klaim-klaim di atas secara keseluruhan, berarti mencapai „klaim

14
Gerben Heitink, Practical Theology: History, Theory,Action Domains, Michigan, William B.
Eerdmans Publishing Company, , hal. 136-137.
15
F. Budi Hardiman., Menuju …hal. 230.

6
komprehensibilitas‟ (comprehensibility). Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai
klaim keempat ini, dan mereka yang mampu melakukannya disebut memiliki „kompe-
tensi komunikatif‟16.
Masyarakat komunikatif bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat
revolusi dengan kekerasan, akan tetapi dengan memberikan argumentasi. Habermas lalu
membedakan dua macam argumentasi: perbincangan atau diskursus (discourse) dan
kritik. Dilakukan perbincangan jika mengandaikan kemungkinan untuk mencapai
konsensus. Meskipun dimaksudkan untuk konsensus, komunikasi juga bisa terganggu,
sehingga tak perlu mengandaikan konsesnsus. Dalam hal ini Habermas mengedepankan
kritik. Bentuk kritik itu dibaginya menjadi dua: kritik estetis dan kritik terapeutis. Kritik
estetis, kalau yang dipersoalkan adalah norma-norma sosial yang dianggap objektif.
Kalau diskursus praktis mengandaikan objektivitas norma-norma, kritik dalam arti ini
adalah mempersoalkan kesesuaiannya dengan penghayatan dunia batiniah. Sedang kritik
terapeutis adalah kalau itu dimaksudkan untuk menyingkapkan penipuan-diri masing-
masing pihak yang berkomunikasi17.
C. Penutup
Dari urian singkat di atas, nyatalah bahwa paradigma komunikasi menempati
pusat pemikiran Habermas dalam usahanya melakukan perubahan sosial. Dalam
bahasanya Kant, komunikasi merupakan imperatif kategoris yang meminggirkan
sentralitas subyek. Karena paradigma komunikasi dengan sendirinya berarti
mengedepankan adanya hubungan intersubjektif.

16
Ibid., hal., xxii. Lihat Juga Gerben Heitink, Practical…, hal. 135.
17
Ibid.

Anda mungkin juga menyukai