C. Rasio Komunikatif
Habermas berpendapat bahwa kritik hanya akan maju dengan landasan rasio
komunmikatif yang dimengerti sebagai praksis komunikasi atau tindakan
komunikatif. Ditegaskan olehnya, bahwa masyarakat pada hakekatnya
komunikatif dan yang menentukan perubahan sosial bukanlah semata-mata
perkembangan kekuatan-kekuatan produksi atau teknologi, melainkan proses
belajar dalam dimensi praktis-etis..
Dalam rasio komunikatif, sikap mengobjektifkan yang membuat subjek
pengetahuan memandang dirinya sebagai entitas-entitas di dunia luar tidak lagi
istimewa. Hubungan ambivalaen subjek kepada dirinya (memandang diri sebagai
subjektivitas yang bebas sekaligus objektifikasi diri yang memperbudak)
dihancurkan oleh intersubjektivitas. Rasio tersebut tidak berasimilasi dengan
kekuasaan. Singkatnya , rasio yang berpusat pada subyek, termasuk
pencampuradukan (amalgama) pengetahuan dan kekuasaan, dapat dihancurkan
dengan intersubjektivitas rasio komunikatif.
Atas dasar paradigma baru itu, Habermas ingin mempertahankan isi normatif
yang terdapat dalam modernitas dan pencerahan kultural. Isi normatif modernitas
adalah apa yang disebutnya rasionalisasi dunia-kehidupan dengan dasar rasio
komunikatif. Dunia kehidupan terdiri dari kebudayaan, masyarakat dan
kepribadian. Rasionalisasi dunia-kehidupan ini dimungkinkan lewat tindakan
komunikatif.
Rasionalisasi akan menghasilkan tiga segi. Peertama, reproduksi kultural yang
menjamin bahwa dalam situasi-situasi baru yang muncul, tetap ada kelangsungan
tradisi dan kohenrensi pengetahuan yang memadai untuk kebutuhan konsensus
dalam praktek sehari-hari. Kedua, integrasi sosial yang menjamin bahwa dalam
situasi-situasi yang baru, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana
hubungan antarpribadi yang diatur secara legitim dan kekonstanan identitasidentitas kelompok tetap ada. Ketiga, sosialisasi yang menjamin bahwa dalam
siatuasi-situasi baru, perolehan kemampuan umum untuk bertindak bagi generasi
mendatang tetap terjamin dan penyelarasan sejarah hidup individu dan bentuk
kehidupan kolektif tetap terpelihara15. Ketiga segi ini memastikan bahwa situasisituasi baru dapat dihubungkan dengan apa yang ada di dunia ini melalui tindakan
komunikatif.
Di dalam komuniksi itu, para partisan melakukan komunikasi yang
memuaskan. Para partisan ingin membuat lawan bicaranya memahami
makksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya kalim-klaim
kesahihan (validity of clims). Klaim-klaim inilah yang dipandang rasional dan
akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.
individu dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan keluarga, yang dihadapkan dengan
tuntutan-tuntutan dan keprihatinan dari kehidupan sosial dan publik.
Ini mencakup fungsi menengahi kontradiksi antara kaum borjuis dan citoyen
(kalau boleh menggunakan istilah yang dikembangkan oleh Hegel dan Marx
awal), mengatasi kepentingan-kepentingan dan opini privat, guna menemukan
kepentingan-kepentingan bersama, dan untuk mencapai konsensus yang bersifat
sosial.
Ranah publik di sini terdiri dari organ-organ informasi dan perdebatan politik,
seperti suratkabar dan jurnal. Serta institusi diskusi politik, seperti parlemen, klub
politik, salonsalon sastra, majelis publik, tempat minum dan kedai kopi, balai
pertemuan, dan ruang-ruang publik lain, di mana diskusi sosio-politik
berlangsung. Konsep ranah publik yang diangkat Habermas ini adalah ruang bagi
diskusi kritis, terbuka bagi semua orang. Pada ranah publik ini, warga privat
(private people) berkumpul untuk membentuk sebuah publik, di mana nalar
publik tersebut akan bekerja sebagai pengawas terhadap kekuasaan negara. Untuk
pertama kalinya dalam sejarah, individu dan kelompok dapat membentuk opini
publik, memberikan ekspresi langsung terhadap kebutuhan dan kepentingan
mereka, seraya mempengaruhi praktik politik. Ranah publik borjuis
memungkinkan terbentuknya area aktivitas opini publik, yang menentang
kekuasaan negara yang opresif, serta kepentingan-kepentingan kuat yang
membentuk masyarakat borjuis.
Prinsip-prinsip ranah publik melibatkan suatu diskusi terbuka tentang semua
isu yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi diskursif
(bersifat informal, dan tidak ketat diarahkan ke topik tertentu) digunakan untuk
menentukan kepentingan umum bersama. Ranah publik dengan demikian
mengandaikan adanya kebebasan berbicara dan berkumpul, pers bebas, dan hak
untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan
keputusan.
Sesudah terjadinya revolusi-revolusi demokratis, Habermas menyarankan,
agar ranah publik borjuis ini dilembagakan dalam aturan konstitusional, yang
menjamin hak-hak politik secara meluas. Serta, mendirikan sistem yudisial untuk
menengahi klaim-klaim antara berbagai individu atau berbagai kelompok, atau
antara individu dan kelompok dan negara. Dalam konsep Habermas, media dan
ranah publik berfungsi di luar sistem politis-kelembagaan yang aktual. Fungsi
media dan ranah publik ini sebagai tempat diskusi, dan bukan sebagai lokasi bagi
organisasi, perjuangan, dan transformasi politik.
Dalam bukunya itu, Habermas juga mengkontraskan berbagai bentuk ranah
publik borjuis. Mulai dari ranah publik yang bersifat partisipatoris dan aktif di era
heroik demokrasi liberal, sampai dengan bentuk-bentuk ranah publik yang lebih
kapitalisme kontemporer, opini publik dibentuk oleh kalangan elite yang dominan,
dan dengan demikian sebagian besar mewakili kepentingan privat partikular
mereka. Tidak ada lagi konsensus rasional di antara para individu dan kelompok,
demi kepentingan artikulasi kebaikan bersama, yang dijadikan sebagai norma.
Sebaliknya, yang terjadi adalah pertarungan di antara berbagai kelompok untuk
memajukan kepentingan privat mereka sendiri, dan inilah yang menjadi ciri
panggung politik kontemporer.
Karena itu, Habermas menjabarkan transisi dari ranah publik liberal, yang
berasal dari Pencerahan (Enlightenment) serta revolusi Amerika dan Perancis, ke
ranah publik yang didominasi media di era masa sekarang, yang disebutnya
kapitalisme negara kesejahteraan dan demokrasi massa.
Transformasi historis ini, sebagaimana bisa kira catat, didasarkan pada analisis
Horkheimer dan Adorno tentang industri budaya. Yakni, kondisi di mana
perusahaan-perusahaan raksasa mengambil alih ranah publik, dan mengubah
ranah publik itu dari ranah perdebatan rasional menjadi ranah konsumsi yang
manipulatif dan pasifitas.
Dalam transformasi ini, opini publik bergeser dari konsensus rasional yang
muncul dari debat, diskusi, dan refleksi, menjadi opini yang direkayasa lewat
jajak pendapat atau pakar media. Jadi, perdebatan rasional dan konsensus telah
digantikan oleh diskusi yang diatur dan manipulasi lewat mekanisme periklanan
dan badan-badan konsultasi politik.
Bagi Habermas, fungsi media dengan demikian telah diubah dari
memfasilitasi wacana dan perdebatan rasional dalam ranah publik, menjadi
membentuk, mengkonstruksi, dan membatasi wacana publik ke tema-tema yang
disahkan dan disetujui oleh perusahaan-perusahaan media. Maka, salinghubungan antara ranah debat publik dan partisipasi individu sudah patah, dan
berubah bentuk ke dalam lingkungan aktivitas informasi politik atau pertunjukan
publik. Dalam lingkungan semacam itu, warga-konsumen menyerap dan
mencernakan hiburan dan informasi secara pasif. Warga negar, dengan demikian
sekadar menjadi penonton pertunjukan dan wacana media, yang membentuk opini
publik, dan menurunkan derajat konsumen/warganegara itu menjadi sekadar
obyek bagi berita, informasi, dan urusan-urusan publik.
Dalam magnum opusnya, The Theory of Communicative Action (1981),
Habermas mengeritik proses modernisasi sepihak, yang dipimpin oleh kekuatankekuatan rasionalisasi ekonomi dan administratif. Habermas memandang,
intervensi yang semakin meningkat dari sistem formal terhadap kehidupan kita
sehari-hari, itu sejalan dengan pertumbuhan negara kesejahteraan, kapitalisme
korporat, dan budaya konsumsi massa.