Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT ETIKA

(ETIKA ZAMAN KONTEMPORER)

DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KULIAH FILSAFAT ETIKA

Dosen Pengampu : Rochimah imawati M. Psi.

Disusun oleh : Muhammad farid (11170331000062)

: Adiyoga Ilman Huda (11170331000002)

: Dwi Ranto Nasution (11170331000068)

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pemikiran Habermas

Teori Kritis Jürgen Habermas (1929) termasuk salah satu pemikir yang paling terkemuka
dan berpengaruh pada abad ke-20 hingga 21 ini. Ia berasal dari tradisi filsafat kritis (Teori Kritis
Mazhab Frankfurt) yang berada pada jalur pemikiran, yang dirintis sejak Karl Marx (1818-
1883): menjadikan filsafat sebagai sebuah teori dengan maksud praktis, yakni sebagai sarana
emansipasi manusia dari struktur realitas yang eksploitatif.

Teori kritis pertama-tama dimaksudkan oleh pendirinya, Max Horkheimer (1895-1973)


sebagai kritik atas ‘teori tradisional’ yang hanya mau menggambarkan realitas secara objektif
seperti ditunjukkan oleh ilmu-ilmu alam-positif. Dalam ilmu positif, ilmuwan seakan-akan
berada di luar realitas sehingga mampu melukiskan realitas secara akurat-objektif. Namun,
dibalik klaim-klaim objektif itu, Horkheimer menunjukkan bahwa teori tradisional, justru karena
hanya sibuk dengan realitas ‘objektif’, sementara ilmuwannya sendiri tidak menyadari
kepentingannya dalam realitas itu, malah melestarikan struktur-struktur realitas yang
memperbudak. Mengapa? Karena realitas dan pengamatnya bukanlah sesuatu yang netral,
melainkan hasil dari sejarah penindasan kelas atas terhadap kelas bawah. Teori tradisional
dengan demikian bersifat ideologis karena melestarikan status quo.

Dengan demikian, teori kritis tidak sekedar mau menganalisis masyarakat karena dengan
itu akan jatuh kembali menjadi teori tradisional. Teori kritis, justru karena kesadaran kritisnya,
mau menjadi katalisator bagi praxis emansipasi masyarakat dari sistem kapitalistik yang
manipulatif, seperti halnya kesadaran kelas mau menumbuhkan semangat revolusi proletar.
Namun, teori kritis sekali lagi tidak berpretensi menjadi ajaran revolusi karena revolusi justru
akan menjadi status quobaru yang semakin menindas seperti ditunjukkan oleh Robespierre dan
gerombolannya pada era Revolusi Perancis. Menurut Horkheimer, teori kritis lebih cocok
dipahami lewat model psikoanalisa Sigmund Freud (1856-1939), yang menyatakan bahwa
ingatan sang pasien akan sumber-sumber represi terpendam di alam bawah sadarnya akan
melepaskan dirinya dari daya cengkeram dan manipulatif represi itu. Kesadaran sebagai korban
penghisapan pada gilirannya akan mengemansipasi manusia dari situasi itu.

Namun, upaya teori kritis generasi pertama ini pada akhirnya menemui jalan buntu di tengah
sistem kapitalisme modern yang dengan ‘lentur’ berhasil ‘menjinakkan’ potensi emansipatif
kaum buruh. Buruh modern bukannya makin tertindas, malah makin sejahtera dan makin
terintegrasikan dalam sebuah capitalistic welfare system. Tidak lagi ada konflik kapitalis-proletar
yang tajam seperti di jaman Marx. Meskipun demikian, sistem kapitalistik tetaplah manipulatif
karena menyembunyikan kepentingan untuk menghisap. Sebagai contoh, kritik-kritik semacam
counter culture pun tak luput dari eksploitasi kapitalis, dengan cara dijadikan komoditas industri
seperti berita, hiburan, musik, fashion dan sebagainya. Celana jeans butut dan robek yang
tadinya menjadi simbol perlawanan anti kemapanan justru dijadikan komoditas busana.
Akhirnya, dalam sistem yang semakin total dan imun kritik itu, aktivitas produksi bukan lagi
dilakukan demi kebutuhan, melainkan kebutuhan itu sendiri diciptakan demi memasarkan hasil
produksi. Pencerahan dan rasionalitas yang awalnya bertujuan untuk mengemansipasi manusia
dari ketidakmandirian cara pikirnya (baca: The Dark Age), malah mengantarnya pada sistem
ekonomi pasar yang manipulatif dan irasional secara total tanpa ada jalan keluar. Yang tersisa
hanyalah para filsuf kritis sebagai wali terakhir rasionalitas, yang berefleksi secara soliter dalam
suasana pesimisme budaya total. Herbert Marcuse (1898-1979), salah satu punggawa teori kritis
bersama Horkheimer, dalam bukunya One Dimensional Man yang menjadi best seller di
Amerika Serikat era protes ‘60an, menyatakan bahwa satu-satunya yang mungkin untuk
dilakukan orang hanyalah resignasi total: the great refusal. Teori kritis telah macet total.

B. Moralitas berbasis diskursus komunikatif

Membicarkan pemikiran abad pasca modern tidak lengkap rasanya jika tidak
menyinggung salah satu tokoh besar kontemporer dari jerman, jurgen hebermas. Pemikirannya di
anggap orisinis dan merupakan kritik terhadap gejala modernitas, kritik tajam yang di lontarkan
kepada pemikiran modern mendudukannya pada jajaran tokoh penting dalam paradigm kritis,
pemikiran hebermas termasuk luas dan meliputi berbagai macam aspek ilmu sosial,agama,
politik, budaya , hukum hingga ekonomi. Namun salah satu bagian dari rumusan pemikiran
hebermas yang paling penting bagi bangunan etika kontemporer adalah pandangannya tentang
diskursus wacana yang komunikatif,

kenyataan menunjukkan bahwa masyarakat merupakan suatu realitas yang plural.


Pluralitas menjadi corak utama struktur masyarakat sekarang ini. Hal ini yang menjadi tuntutan
umum sekarang ini menciptakan tatanan dan kondisi sosial masyarakat yang demokratis, yang
berangkat dari pluralitas masyarakat tersebut salah sau yang paling di butuhkan bagi cita cita
hubungan sosial masyarakat yang demokratis itu adalah mencari legitimasi etis atau justifikasi
normative bagi suatu kondisi yang di cita citakan bersam tersebut. Maka dalam perspektif
hebermasin, mewujudkan cita-cita etis bersama itu tidak mungkin dicapai dengan etika sosial
yang di bangun atas prinsip monolitik, monologis, totaliter, dominative dan tertutup. Sebaliknya,
nalar public harus dibangun atas dasar epistemology dan etika yang inklusif, dialogis,
deliberative, konikatif, bebas, terbuka dan rasional.

Moralitas yang sudah di bangun pada abad modern sdikit banyak di pengaruhi oleh
pemahaman kantianistik yang mengunggulkan otonomi individu dan kebenaran suara hati
nurani. Etika yang dibangun berbasis suara hati nurani itu dianggap cenderung individulistik,
soliter dan subjektif, sehingga untuk di jadikan sandaran relasi sosial dan etika public, ia harus di
pertimbangkan kembali, pertimbangan moralitas public harus mengutamakan consensus bersama
(intersubjektif) melalui proses-proses dialog yang rasional, agar supaya setiap kepentingan dapat
terakomodir dengan baik dan bebas dari unsure-unsur dominative, memungkinkan terciptanya
kebaikan bersama ( bonum commue ). Ruang public harus direkontruksi agar terbangun relasi
sosial yang berdasarkan pemahaman bersama yang rasional. Susana demokratis yang di bangun
semacam ini diistilahkan sebagai demokrasi yang deliberative.

Etika yang mestinya di bangun adalah etika diskursus. Menurut Alexander seran, etika
diskurusus yang di kembangkan hebermas dimaksudkn oleh hebermas untuk empat arti: pertama,
etika diskursus merupakan sebuah teori tentang moralitas. Kedua, etika diskursus merupakan
prosedur rasional bagaiamana moralitas dapat diuniversalisasikan. Ketiga, etika diskursus
merupaka sebuah rekontruksi yang mengantisipasi perkembangan etika dalam budaya
masyarakat pascatradisional dan pascaindustrial.

Etika diskursus merupakan alternative baru terhadap kondisi mutakhir dari masyarakat
global, yang sudah beralih dari masyarakat tradisional kepada masyarakat plural. Kecenderungan
post-tardisonalime itu di tunjukan dengan: penolokan terhadap cara pandang yang mololitik atau
tunggal terhadap setiap nilai, norma dan aturan yang diwariskan: kecenderungan pemahaman
tentang kebenran moral yang komunitarianistik, artinya aturan-aturan normative tidak dapat di
pisahkan dari komunitas dimana atauran itu diberlakukan, dan tidak serta merta menerima begitu
saja setiap dogma-dogma dan narsi narasi besar tentang kebenaran: kecenderungan untuk meraih
hal hal yang substantive daripada hal hal yang formalistik. Dengan demikian, etika diskurusu
menuntut agar setiap tradisi dan kebenaran tidak mengklaim dirinya sebagai kebenaran mandiri
dan universal sebelum didudukan, di uji dan di komnikasikan secara diskursif sehingga
mendapat legitimasinya secara etis dan intersubjektif.

C. Jürgen Habermas dan Etika Diskursus

Habermas tidak merumuskan suatu etika normatif apapun, dalam arti mematok norma-
norma tentang tindakan apa saja yang baik. Etika diskursus lebih mengacu pada etika prosedural,
yakni prinsip penguniversalisasian norma-norma moral seperti pada Kant. Namun sejalan dengan
konsep rasio komunikatifnya, pendekatan monologis Kant yang mencari tahu tentang tindakan
yang baik lewat refleksi individual, diganti oleh Habermas dengan pendekatan dialogis-
intersubjektif. Karena keabsahan suatu norma moral tak dapat ditentukan lewat refleksi
individual orang per orang melainkan lebih etis dan rasional jika dilakukan bersama lewat suatu
diskursus. Habermas lalu merumuskan kriteria kesepakatan diskursus itu menggantikan imperatif
kategoris Kant yang berciri subjektivistik. Kriteria itu dirumuskan ke dalam dua buah prinsip
sebagaimana dinyatakan dalam Magnis-Suseno (2000: 226). Pertama adalah Prinsip Etika
Diskursus “D” yang maksudnya lebih kurang: untuk memastikan keberlakuan suatu norma
moral, hanya ada satu cara yang masuk akal yakni diskursus yang bebas dari paksaan. Kedua,
Prinsip Penguniversalisasian “U” yang isinya lebih kurang: suatu norma adalah absah hanya jika
semua peserta diskursus menyatakan bersedia menerima tanpa paksaan, segala akibat positif
maupun negatif yang sudah diperkirakan apabila norma itu berlaku umum.
Dari sini lalu muncul pertanyaan: bagaimana kedua prinsip U dan D itu sendiri bisa
menjadi absah? Atas dasar apa? Maka Habermas melanjutkan dengan memberi pendasaran
rasional bagi etika diskursus. Kedua prinsip etika diskursus dibuktikan keabsahannya oleh
Habermas lewat sebuah argumen pragmatis-transendental: bahwa orang tidak mungkin bisa
menyangkal keberlakuan prinsip D tanpa menerima prinsip itu terlebih dulu. Justru
penyangkalan orang malah menunjukkan penerimaannya pada prinsip D yang bermaksud
menjamin setiap partisipan untuk berbicara dalam diskusi tanpa paksaan. Maka orang yang mau
menyangkal prinsip ini tidak bisa tidak akan jatuh ke dalam kontradiksi performatif
(penyangkalan seseorang atas etika diskursus karena dilakukannya dalam bentuk ‘diskusi’,
otomatis menunjukkan penerimaan si penyangkal atas prinsip diskursus itu sendiri).

Satu lagi pertanyaan penting yang mesti dijawab Habermas yakni bukankah etika
diskursus hanya mungkin bagi masyarakat yang sudah modern? Atau dengan kata lain, sejauh
manakah relevansi etika diskursus di hadapan kenyataan pluralnya kebudayaan dunia? Karena
dalam budaya-budaya pra-modern, norma moral tidak ditentukan lewat diskursus melainkan
diturunkan dari adat atau religi. Habermas sekali lagi menekankan bahwa etika diskursus
tidaklah memproduksi norma-norma moral melainkan hanya menyediakan sebuah prosedur
untuk memastikan keberlakuan suatu norma. Ketika ada suatu krisis atau konflik dalam
masyarakat budaya apapun mengenai keberlakuan norma moral tertentu, itulah saatnya etika
diskursus bekerja. Karena seperti diklaim Habermas, diskursuslah satu-satunya cara yang paling
etis dan rasional untuk memecahkan masalah konflik mengenai norma moral dalam masyarakat
yang plural.

Lebih jauh lagi, etika diskursus memungkinkan suatu diskusi mengenai masalah keadilan
melampauai segala bentuk dogmatisme tentang apa itu yang adil. Etika diskursus lebih bisa
menjamin pengambilan keputusan yang fair tentang apa yang dapat kita terima sebagai adil.
Satu-satunya tantangan yang tersisa adalah etika diskursus menuntut suatu tahap moralitas
masyarakat yang tinggi, yakni yang disebut pra-konvensional dalam pengertian psikologi moral
Lawrence Kohlberg. Moralitas pra-konvensional mengandaikan masing-masing individu dalam
masyarakat sudah mencapai taraf kemandirian rasional untuk memecahkan masalah moral.
Sebuah tantangan bagi masyarakat pasca-kolonial seperti Indonesia yang sistem pendidikan dan
budayanya belum sepenuhnya pro nalar. Karena nalar yang berani dan mampu berpikir mandiri
seperti dalam semboyan Kant, jelas butuh pendidikan tertentu yang mengembangkan
kemandirian berpikir, bukannya yang sekedar mengkondisikan orang secara behavioristik dan
instrumental, ataupun sekedar mendoktrinkan norma-norma moral.
D. Etika Islam kontemporer: kontekstualisme etika hukum

agama tidak dimpungkiri menjadi sumber nilai yang sangat penting bagi etika. Justru
pesan-pesan etis dan moral utama banyak kita jumpai dalam tradisi agama-agama seperti
kesalehan, kesucian, kesederhanaan, kerendahan hati persaudaraan dan lain-lain. Agama sering
kali dikatakan sebagai daya kekuatan moral (moral force) bagi pembangunan akhlak dan karakter
manusia. Tanpa peran agama entah apa jadinya kebudayaan manusia di dunia. Pada tataran
keilmuan, etika keagamaan juga menjadi salah satu bagian penting dari penyangga wacana etika
yang berbeda dengan etika filosofis yang berbasis pada filsafat dan rasio lebih banyak mengacu
kepada pertimbangan-pertimbangan nilai dan moral yang berasal dari kitab suci. Kita akan
mengmbil salah satu bagian penting dari tubuh etika keagamaan yakni tradisi etika kontemporer.

Intelektul muslim saat ini semkain menyadari bahwa tantangan bagi agama pada abad
sekarang ini adalah perjumpaan dengan modernitas, yang identik dengan tuntutan arus zaman,
tantangan modernitas mencangkup berbagai aspek, termasuk politik, ekonomi, sosial, budaya,
maupun ilmu pengetahuan. Masalah seperti tatanan demokrasi, hak asasi manusia, hubungan
mayoritas minoritas dalam suatu Negara, perkara kepemimpinan etnistas,gender, dan lain-lain.
Kini harus menjadi prihatin bukan saja ilmuwan, tetapi juga agamawan, banya problem-problem
yang tak terbayangkan sebelumnya kini menunggu pern agama untuk menyelesaikannya,
sehingga agama dapat membuktikan relevansinya bagi setiap tempat dan masa. Maka yang di
pertanyakan adalah, apa yang dapat di kontribusikan oleh ilmuwan islam terhadap tuntutan moral
tersebut?

Sebagian besar menyadari, bahwa kini tidak cukup lagi mengandalkan pemikiran
tradisional yang berbasis pada teks yang bercorak legalistic, tetapi harus ada lompatan
metodologis untuk menjawab problem-problem etis kontemporer lompatan metodologis tersebut
melahirkan pemikiran baru sebagai kelanjutan dari tradisionalisme yang disebut dengan
“kontekstualisme”. Pendekatan kontekstual ini menekankan pada pentingnya konteks, baik
kontek makro maupun mikro, dalam memahami suatu teks agama. Oleh karena itu pendekatan
ini dikatakan sebagai pendekatan kontekstualis ( kontextualist approach ). Tujuannya adalah
menangkap spirit nilai utama, nilai nilai universal, nilai nilai etis yang palin esensial, yang
termuat dalam ajaran teks kitab suci tersebut melalui pemahaman konteks historis teks kitab suci
itu, untuk kemudain di mungkingkan adanya rekontekstualisasi bagi solusi pemarsalahan-
pemarsalahan kontemporer yang baru di dalam arus zaman yang jauh dari periode kenabian,
maka, yang di butuhkan adalah kerangka metodologis, yang juga formula etis, untuk mengmbil
bagian dalam penyelesaian perkara-perkara moral kontemporer.

Salah satu ilmuwan islam yang memberikan perhatian etis dan berupaya mengambil
pesan moral kitab suci ini adalah ilmuwan mslim dari Australia, Abdullah Seed. Menurut
Abdullah Seed, islam memiliki pesan-pesan etis yang terkandung secara sistematis dalam al-
qur’an, yang terangkum pada pesan utama untuk beramal shaleh. Al-qur’an mengandung
sistematika nilai yang bercorak hierarki berupa: nilai-nilai kewajiban, nilai nilai fundamental,
dan nilai nilai perlindungan yang sifatnya universal tidak bergantung pada kultur, dan nilai nilai
implementatif dan nilai nilai instruksional yang sifatnya kontekstual dan implementasinya
bergantung pada kultur masyarakat. (1) nilai kewajiban mencangkup aturan-aturan al-qur’an
tentang kepercayaan(iman), praktik-praktik ibadah wajib, dan perkara halal haram yang sudah
jelas. (2) nilai fundamental tersebut mencangkup nilai nilai universal dan memuat pesan pesan
universal seperti kemanusiaan, prinsip-prinsip kemaslahatan manusia.(3) nilai proteksional,
mengandung unsure-unsur protektif terhadap nilai nilai fundamental tersebut, seperti larangan
pencurian, laranga riba, dan lain-lain. Dapat di katakan, ketika bagian dari sistem nilai tersbut
bersifat universal dan tidak bergantung ruang dan waktu.

Adapun (4) nilai implementatif yang tujuannya adalah sebagai langkah-langkah spesifik
untuk melaksankan nilai protektif tersebut seperti hukuman bagi pencuri, hukuman bagi pezina,
hukuman bagi pembunuh, bersifat relative terkait kultur, ruang dan waktu. Adanya pertaubatan
menjadai salah satu pertimbangan penting dalam hal ini. Dan (5) nilai intruksional mencangkup
intruksi-intruksi spesifik, perintah dan larangan dalam al-quran yang terkait dalam konteks
pewahyuan itu, yang bisa jadi sangat berbeda situasinya dengan masa sekarang. Hal ini
menyangkut problem-problem seprti: kepemimpinan,poligami, kebeasan beragama, perbudakan,
hubungan dengan penganut agama berbeda, perintah salam, dll. Seed menekankan bahwa
implementasi pesan pesan etis terkait nilai fundamental dan nilai intruksional harus
mempertimbangkan berbagai aspek dan memperhatikan konteks budaya. Kekinian yang tentu
sudah jauh berbeda dengan konteks pewahyuan waktu itu, konsekuensinya, putusan putusan etis
terkait hal itu pun menjadi berubah. Jadi, Seed menekankan, pesan pesan etis universal al- qur’an
harus tetap terjaga di luar konteks ruang dan waktu, smentara pada tataran implementasi dan
instruksional, harus ada peritimbangan lebih dan mempertimbangkan konteks ruang dan waktu
kontemporer . boleh jadi beberapa hal sudah tidak relevan lagi, seperti perbudakan.
Kontekstualisme etika hukum dalam al-qur’an oleh Seed, yang berusaha menepis pandangan
agama yang hanya berorientasi hukum (legal oriented dan minus etika) sudah barang tentu hanya
satu dari berbagai bentuk usaha pemikir muslim unuk menjawab kegelisahan moral kekinian,
beberapa aliran pemikiran islam yang lebih progresif sekarang ini juga memberikan perhatian
lebih agar agama mampu menjawab tantangan tantangan etis kontemporer scara lebih luas,
seperti melalui: dialog-dialoginternasional secara inklusif lintas agama, pembelaan terhadap
kaum marjinal, , pembelaan hak kaum permepuan oleh feminis muslim, pembelaan atas hak
kewarganegaraan oleh muslim partisipan, spirit mendukung demokratisasi dalam rangkai
perdamaian dunia, pembelan terhadap kaum yang lemah dan tertindas ( korban-korban rezim
politik) penolakan terhadap gerakan kontra-kemanusiaan seperti terorisme mengatasnamakan
agama dengan gerakan deradikalisasi agama, dan lain sebagainya.

PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Hardiman, F.B. (1993). Menuju masyarakat komunikatif: Ilmu, masyarakat, politik dan
posmodernisme menurut Jürgen Habermas, Yogyakarta: Kanisius.

Magnis-Suseno, F. (2000). 12 Tokoh etika abad ke-20, Yogyakarta: Kanisius.

Anda mungkin juga menyukai