Anda di halaman 1dari 9

TUGAS KULIAH 3

MATA KULIAH PERTAHANAN DAN KEAMANAN NASIONAL

Disusun Oleh:
Rasvan Windhi
NPM 2006509781

PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL


SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL

UNIVERSITAS INDONESIA

Jakarta, 30 Maret 2021

1
1. Bagaimana Membangun Sistem Pertahanan yang Kuat untuk Indonesia di Masa
Depan dengan Menggunakan Sistem Pertahanan Semesta termasuk Organisasinya
(Ide dari Mahasiswa)?

Pertahanan negara Indonesia diselenggarakan dalam suatu sistem pertahanan


semesta. Bentuk pertahanan yang dikembangkan melibatkan seluruh warga negara,
wilayah, segenap sumber daya dan sarana prasarana nasional, yang dipersiapkan
secara dini oleh Pemerintah, serta diselenggarakan secara total, terpadu, terarah dan
berlanjut. Sistem pertahanan semesta mengintegrasikan pertahanan militer dan
pertahanan nirmiliter, melalui usaha membangun kekuatan dan kemampuan
pertahanan negara yang kuat dan disegani serta memiliki daya tangkal yang tinggi.
Dipersiapkan secara dini berarti sistem pertahanan semesta dibangun secara
berkelanjutan dan terus-menerus, untuk menghadapi berbagai jenis ancaman baik
ancaman militer, nonmliter, maupun hibrida. Berbagai jenis ancaman ini secara
akumulatif dapat dikelompokkan dalam bentuk ancaman nyata dan belum nyata.

Pembangunan pertahanan negara diselenggarakan untuk mewujudkan pertahanan


militer dan pertahanan nirmiliter menuju kekuatan maritim regional yang disegani di
kawasan Asia Pasifik dengan prinsip defensif aktif dalam rangka menjamin
kepentingan nasional. Usaha pertahanan negara diselenggarakan melalui
pembangunan postur pertahanan negara secara berkesinambungan untuk mewujudkan
kekuatan, kemampuan dan gelar. Pembangunan postur pertahanan militer diarahkan
pada pemenuhan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force/MEF)
komponen utama dan menyiapkan komponen pertahanan lainnya, yang diprioritaskan
pada pembangunan kekuatan pertahanan maritim dengan memanfaatkan teknologi
satelit dan sistem drone. Sedangkan pembangunan postur pertahanan nirmiliter
diprioritaskan pada: peningkatan peran Kementerian/Lembaga (K/L) sesuai tugas dan
fungsi masing-masing dalam menghadapi ancaman non militer; kemampuan
pengelolaan sumber daya dan sarana prasarana nasional; serta dalam pembinaan
kemampuan pertahanan nirmiliter guna mendukung kepentingan pertahanan negara.1

Sinergi diantara komponen militer dan nirmiliter dalam rangka mewujudkan


Sistem Pertahanan Semesta menurut pandangan penulis dapat diwujudkan dengan
beberapa cara sebagai berikut:

1
Kementerian Pertahanan Republik Indonesia (2015). Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2015.

1
a. Pendidikan bela negara sejak dini melalui Organisasi Gerakan Pramuka Indonesia

Gerakan Pramuka Indonesia adalah nama organisasi pendidikan nonformal yang


menyelenggarakan pendidikan kepanduan yang dilaksanakan di Indonesia. Kata
"Pramuka" merupakan singkatan dari Praja Muda Karana, yang memiliki arti Orang
Muda yang Suka Berkarya. Pramuka merupakan sebutan bagi anggota Gerakan
Pramuka, yang meliputi; Pramuka Siaga (7-10 tahun), Pramuka Penggalang (11-15
tahun), Pramuka Penegak (16-20 tahun) dan Pramuka Pandega (21-25 tahun).
Kelompok anggota yang lain yaitu Pembina Pramuka, Andalan Pramuka, Korps
Pelatih Pramuka, Pamong Saka Pramuka, Staf Kwartir dan Majelis Pembimbing.
Kepramukaan adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar
lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur,
terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar Kepramukaan
dan Metode Kepramukaan, yang sasaran akhirnya pembentukan watak, akhlak, dan
budi pekerti luhur.2

Melalui Gerakan Pramuka Ini, kita dapat menanamkan semangat bela negara
kepada generasi-generasi muda Indonesia (sejak umur 7 tahun hingga 25 tahun)
dengan berbagai kegiatan yang menarik dan bernilai positif sesuai dengan umurnya.
Secara perlahan tapi berkesinambungan, penanaman nilai-nilai Pancasila dan bela
negara akan membuat rasa nasionalisme dan bangga kepada bangsa dan negara akan
tertanam secara kuat di benak dan hati seluruh peserta didik Gerakan Pramuka.

Contohnya, pendidikan Pramuka untuk anak usia 7-10. Semangat mencintai tanah
air dan bela negara dapat ditanamkan kepada mereka melalui kegiatan menjelajah
alam. Anak-anak diperkenalkan dengan keanekaragaman kekayaan alam Indonesia
berupa hutan, gunung, bentangan alam, tumbuh-tumbuhan dan hewan, dan
ditanamkan kepada diri mereka masing-masing bahwa dengan luas dan kayanya
bentangan alam negara kita ini, adalah sangat penting bagi kita bersama-sama untuk
menjaga dan melestarikannya. Dengan penanaman nilai-nilai kebangsaan kepada
generasi-generasi muda Indonesia sejak usia dini ini diharapkan akan menciptakan
generasi penerus bangsa yang cinta tanah air dan berwawasan luas dalam upaya
membangun dan membela bangsa dan negara.

2
Faesol Alkhazazi (2016). Gerakan Pramuka Indonesia. Diambil kembali dari
https://www.scout.org/node/274816

2
Kemudian pendidikan bela negara untuk peserta Pramuka usia dewasa bisa
diarahkan kepada pendidikan ringan yang bersifat semi-militer. Melalui kerja sama
pihak sekolah/instansi dengan TNI, mereka dapat diajarkan beberapa teknik bela diri,
bagaimana menggunakan senjata misalnya senapan, granat tangan (senjata replika
tentunya, bukan senjata asli), teknik penyergapan dan bertahan, dan lain-lain. Tak
lupa pula mereka diajarkan juga teknologi informasi dan komunikasi dasar yang akan
berguna nantinya dalam hal pemberdayaan kekuatan nirmiliter dalam upaya
menghadapi ancaman siber.

b. Pemberlakuan Wajib Militer (Wamil) bagi laki-laki yang berbadan sehat dengan rentang
usia 18 hingga 28 tahun

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang memberlakukan Wamil bagi
warga laki-lakinya yang mempunyai tubuh sehat serta berusia 18 tahun hingga 28
tahun. Ini dilakukan karena Korea Selatan pernah berperang dengan Korea Utara 65
tahun lalu. Mulanya, konflik Korea terjadi akibat ancaman militer pada tahun 1950
hingga 1953, konflik ini berakhir dengan cara gencatan senjata, bukan melalui
perjanjian damai.3 Alhasil, gencatan senjata Maka, dengan adanya wajib militer
diharapkan dapat membantu angkatan besenjata Korea Selatan, bila mana diperlukan
dalam menghadapi gempuran negara tetangga yang sewaktu-waktu bisa terjadi.

Dalam hal ini kita dapat mencontoh Korea Selatan. Bukan berarti karena negara
kita memiliki musuh dari negara tetangga atau negara lainnya yang sewaktu-waktu
dapat menyerang, karena memang sampai saat ini negara kita belum memiliki musuh
yang mengancam, tetapi lebih kepada upaya persiapan dan jaga-jaga seandainya tiba-
tiba pecah suatu peperangan dan kemudian jumlah angkatan bersenjata yang kita
punya tidak cukup, mau tidak mau kita harus memberdayakan kekuatan nirmiliter
yang kita punya, sesui dengan prinsip Sistem Pertahanan Semesta.

Wamil kepada pemuda Indonesia dengan rentang umur antara 18 hingga 28 tahun
tersebut dapat dilaksanakan dalam beberapa waktu, sekitar 1,5 hingga 2 tahun, sesuai
dengan angkatan bersenjata dalam wajib militer yang diikuti. Jika mencontoh
pelaksanaannya di Korea Selatan, Wamil di Angkatan Darat (AD) akan
menghabiskan waktu sekitar 21 bulan, Angkatan Udara (AU) 24 bulan dan Angkatan
3
Bunga Kartikasari (2020). Sederet Fakta tentang Wajib Militer di Korea Selatan yang Wajib Anda Tahu.
Diambil kembali dari https://jogja.tribunnews.com/2020/04/17/sederet-fakta-tentang-wajib-militer-di-korea-
selatan-yang-perlu-anda-tahu

3
Laut (AL) 23 bulan. Menurut saya, pendidikan Wamil selama 1,5 hingga 2 tahun
tersebut sudah cukup untuk menanamkan semangat bela negara dan memperoleh
pendidikan militer dasar bagi pemuda-pemuda Indonesia.

c. Pemberlakuan Program Bela Negara dalam rangka Perwujudan Hak dan Kewajiban
Warga Negara dalam Penyelenggaraan Pertahanan Negara

Menteri Pertahanan era pemerintahan pertama Presiden Joko Widodo, yaitu


Ryamizard Ryacudu, pada bulan Oktober 2015 menyatakan bahwa pemerintah akan
menyelenggarakan program bela negara, dengan merekrut 100 (seratus) juta kader
bela negara. Program ini akan dimulai pada tahun 2015, dan direncanakan akan
dilakukan selama 10 (sepuluh) tahun. Tujuan dari program bela negara adalah untuk
menumbuhkan 5 (lima) nilai dasar, yaitu rasa cinta tanah air, rela berkorban, sadar
berbangsa dan bernegara, meyakini Pancasila sebagai ideologi negara, serta memiliki
kemampuan awal bela negara fisik dan non fisik.4

Terlepas dari pro dan kontra terkait ketiadaan sarana dan prasarana penunjang
yang memadai serta permasalahan anggaran, wacana ini patut diapresiasi. Mungkin
saja dalam beberapa waktu yang akan datang, ketika sarara dan prasarana yang
dibutuhkan dan pendanaan untuk program ini sudah memadai, program ini dapat
dijalankan dengan sukses dan dapat mencetak generasi-generasi penerus bangsa yang
sadar akan bela negara dan siap sedia untuk mempertahankan kemerdekaan dan
kedaulatan bangsa dan negara apabila dibutuhkan. Untuk itu, pada tahap awal
diperlukan inisiasi pemerintah bersama DPR untuk bersama-sama membentuk
Rancangan Undang-Undang (RUU) Bela Negara sebagai dasar hukum dalam
penyelenggaraan Program Bela Negara. Setelah itu, barulah diikuti penetapan
peraturan lain yang lebih rendah dan teknis. Sehingga ke depannya pelaksanaan
Prgram Bela Negara ini memiliki landasan hukum yang kuat dan bisa
dipertanggungjawabkan.

2. Menurut Mahasiswa, Bagaimana Hubungan Sipil-Militer di Indonesia, Apakah


Sudah Menunjukkan “Democratic Civil Military Relation”?
Sejatinya, di dalam pemerintahan suatu negara yang berlandaskan demokrasi,
militer itu posisinya berada di bawah komando sipil. Karena, militer memiliki peran

4
Zaqiu Rahman (2015). “Prgram Bela Negara sebagai Perwujudan Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam
Penyelenggaraan Pertahanan Negara”. Rechts Vinding Online

4
utama yaitu melindungi masyarakat sipil. Secara kasarnya dapat kita katakan bahwa
militer itu adalah ‘pelayan-nya’ masyarakat sipil. Sama halnya dengan Polisi. Jadi, di
dalam nomenklatur kepemerintahan demokrasi khususnya di Indonesia, sudah
seharusnya militer itu tunduk dan bertanggung jawab kepada pemerintahan sipil.
Yang memegang kendali kekuasaan adalah dari pihak sipil.
Seperti yang dikatakan oleh Sutoro Eko dalam Koesnadi Kardi sebagai berikut:
“Sebenarnya, posisi militer secara ideal harus berada di bawah kendali sipil. Secara
teoritis, kontrol sipil atas militer sangat sederhana, yaitu seluruh keputusan pemerintah,
termasuk keputusan mengenai keamanan nasional, tidak bisa ditentukan oleh pihak
militer satu pihak. Melainkan harus didasarkan pada keputusan pejabat sipil yang telah
dipilih secara demokratis. Keberadaan sipil sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan
mencakup seluruh aspek kehidupan bernegara, di mana seluruh tanggung jawab yang
diemban oleh militer berasal dari keputusan sipil yang telah didelegasikan oleh
pemerintah sipil.
Secara lebih rinci, hubungan sipil-militer yang ideal sampai masuk ke dalam ranah
keputusan perintah perang, termasuk pemilihan strategi pertahanan yang akan digunakan,
dan waktu serangan militer. Sementara itu, militer didelegasikan untuk melaksanakan
operasional militer di lapangan berdasarkan doktrin militer yang dimiliki, pengalaman,
dan kompetensi yang memang secara profesional sudah dimiliki oleh militer. Namun,
pada dasarnya seluruh peraturan yang digunakan akan disesuaikan oleh keputusan kaum
sipil”.5
Lalu yang menjadi pertanyaan sekarang, bagaimana hubungan sipil-militer di
Indonesia di era pemerintahan Presiden Jokowi, apakah sudah menunjukkan
“democratic civil military relation” yang benar sesuai dengan politik pemerintahan
yang berasaskan demokrasi?
Mari kita sedikit menarik garis ke belakang pada perpolitikan di Indonesia setelah
rezim Orde Baru Soeharto. Seperti yang kita ketahui, rezim Orde Baru yang dipimpin
oleh Soeharto dengan masa jabatan yang cukup panjang (kurang lebih 32 tahun),
menggantikan resim Orde Lama Soekarno, merupakan masa-masa kelam demokrasi.
Soeharto bertindak seolah-olah telah mengamalkan demokrasi yang benar di
Indonesia dengan berlandaskan pada sila keempat Pancasila, padahal sebenarnya
Soeharto dengan basis pendukungnya berupa kekuatan militer yang kuat telah
menempatkan militer sebagai kekuatan yang lebih superior dibandingkan dengan
kekuatan sipil dengan dirinya sebagai pusat kekuasaan.
Hal ini terus berlanjut hingga rezim otoriter beliau yang berkedok ‘Demokrasi
Pancasila’ runtuh dan digantikan oleh era reformasi dengan titik awalnya dimulai oleh
pengganti beliau yang sebelumnya menjabat Wakil Presiden, yaitu B.J. Habibie. Pada
era Presiden B.J. Habibie inilah dimulainya kembali pondasi dasar hubungan sipil-

5
Koesnadi Kardi (2015). Democratic Civil Military Relations (Hubungan Sipil-Militer di Era Demokrasi
Indonesia), Hal. 35. Jakarta: Pratama.

5
militer yang sebenarnya di dalam negara demokrasi dengan tiga langkah kebijakan
sebagaimana disebutkan di dalam Koesnadi Kardi sebagai berikut:
“Langkah pertama, militer diupayakan menarik diri secara bertahap dari peran
politik untuk segera kembali ke peran militer yang proporsional di mana sebelumnya
sangat dominan. Langkah kedua, pemerintah sipil mulai meletakkan dasar-dasar
terhadap bagaimana pengendalian sipil atas militer secara bertahap. Langkah ketiga,
mengupayakan ‘kontrol demokratis’ terhadap militer yang berarti militer menerima
kewajibannya untuk bertanggung jawab kepada pemerintahan yang terpilih melalui
legislasi dan opini publik yang sah.”6
Berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), TNI-Polri
telah menarik fraksinya di DPR/MPR sejak 30 September 2004. Hal ini menandakan
TNI telah menarik diri secara keseluruhan dari kancah politik sejak tanggal tersebut.
Langkah tersebut diambil oleh TNI karena berdasarkan UUD 1945, semua lembaga
legislatif hanya terdiri dari anggota yang dipilih (oleh rakyat dalam Pemilu) dan tidak
memungkinkan bagi keberadaan anggota yang diangkat. Apabila seandainya fraksi
TNI-Polri bertahan melampaui tahun 2004, ia akan terkena oleh ketentuan dan akan
dieliminasi keberadaannya dalam lembaga legislatif.7
Amandemen UUD 1945 memunculkan bentuk baru di dalam kancah perpolitikan
di Indonesia, khususnya bagi kalangan militer. Kalangan militer memang tidak lagi
bergelut di dalam ranah politik, tapi perannya tersebut digantikan oleh purnawirawan
TNI atau perwira TNI yang memang menanggalkan jabatannya di militer untuk
beralih menjadi warga sipil dalam rangka terjun ke dalam arena politik. Hal ini
menimbulkan pertanyaan, bagaimana peran militer dalam politik praktis? Di era
reformasi ini, anggota TNI tidak serta merta dikekang dari hak politik untuk dipilih,
tetapi apabila anggota TNI aktif tersebut bermaksud untuk mencalonkan diri dalam
sebuah pemilu, maka ia sudah harus menanggalkan status dinas aktif anggota TNI.
Begitu juga dengan purnawirawan TNI. Mereka otomatis memiliki hak untuk
berpolitik karena statusnya adalah bukan lagi anggota aktif TNI, tetapi telah menjadi
warga negara sipil.
Dari penjelasan-penjelasan di atas dapat kita lihat bahwa saat ini militer aktif
telah benar-benar menarik diri dari keterlibatannya di dalam polotik praktis. Hal ini
telah sesuai dengan amanat Undang-Undang dan cita-cita Demokrasi Pancasila.
Namun, tak dapat kita pungkiri juga bahwa, TNI tetap memiliki kharisma yang kuat
dan ketegasan dalam memimpin. Oleh karena itu, para purnawirawan TNI seringkali
menjadi pilihan bagi presiden era reformasi untuk memegang posisi-posisi penting
setingkat menteri dalam upaya membantu presiden menciptakan pemerintahan yang
solid.

6
Koesnadi Kardi (2015). Democratic Civil Military Relations (Hubungan Sipil-Militer di Era Demokrasi
Indonesia), Hal. 58. Jakarta: Pratama.
7
Agus Widjojo (2015). Transformasi TNI dari Pejuang Kemerdekaan menuju Tentara Profesional dalam
Demokrasi: Pergulatan TNI Mengukuhkan Kepribadian dan Jati Diri. Jakarta: Kata Penerbit.

6
Hal ini dapat kita lihat pada pemerintahan dua periode era Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi dalam pemerintahannya mempercayakan pembantunya (menteri-
menteri) kepada beberapa purnawirawan TNI. Contohnya saja Luhut Binsar Panjaitan
yang dalam dua periode pemerintahannya selalu menjabat posisi menteri, hanya
berpindah posisi dari jabatan menteri satu ke menteri lainnya. Ada lagi beberapa
menteri lain yang juga pernah menjabat sebagai perwira TNI, seperti Terawan Agus
Putranto (Mantan Menteri Kesehatan), Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan),
Fachrul Razi (Mantan Menteri Agama), dan lain-lain. Praktek ini menunjukkan bahwa
unsur TNI masih memiliki peranan penting dalam pemerintahan dengan kelebihan
mereka dalam hal ketegasan dan kedisiplinan yang telah dipupuk terus-menerus
selama berkarier. Dengan menggabungkan kekuatan sipil dan para perwira TNI dalam
pemerintahan, secara langsung Jokowi telah menciptakan suatu keseimbangan politik
di Indonesia.
Kembali ke pertanyaan awal, apakah hubungan sipil-militer di era kepemimpinan
Jokowi sudah menunjukkan “Democratic Civil-Military Relation”? Secara konstitusi,
hubungan sipil-militer di era kepemimpinan Jokowi sudah menunjukkan “Democratic
Civil-Military Relation” di mana militer tidak lagi memegang kekuasan politik, tidak
lagi memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam kontestasi politik, yang tunduk
pada kekuatan sipil, sehingga merupakan konsep demokrasi yang sesuai dengan
pemahaman demokrasi seutuhnya. Namun, tak dapat dipungkiri juga bahwa posisi
kalangan militer masih tetap kuat dalam kancah politik walaupun tidak terjun
langsung di politik dalam jabatan militer aktif. Hal ini tak lepas dari kondisi politisi
dari kalangan sipil yang begitu lemah, kewibawaan pemerintahan sipil masih perlu
dipertanyakan.
Jika kita lihat fenomena yang terjadi sekarang ini, masuknya purnawirawan TNI
ke ranah politik praktis tak lepas dari lemahnya infrastruktur demokrasi di Indonesia.
Lemahnya sistem kepartaian, terutama dalam rekrutmen politik, menjadi faktor utama
partai-partai politik mengandalkan purnawirawan TNI dalam rangka mendulang
dukungan politik. Hal ini tentu saja bukanlah sesuatu hal yang bagus dalam
“Democratic Civil-Military Relation”. Pelibatan purnawirawan TNI dalam politik
dirasa sedikit mengganggu hubungan sipil-militer yang demokratis tersebut. Anggota
TNI seharusnya sama sekali tidak boleh memikirkan politik, apalagi terjun ke
dalamnya. Militer yang dibutuhkan oleh pemerintahan sipil dalam hubungan yang
demokratis adalah militer yang profesional dalam bidangnya, bukan militer yang ikut
campur dalam kekuasaan dan kepentingan politik. Menurut pendapat pribadi saya,
seharusnya militer tetap harus konsisten dengan prinsipnya untuk tidak terjun ke
politik sama sekali, bahkan setelah pensiun sekalipun. Seseorang harus memilih
diantara dua, terjun ke politik dengan menjadi warga sipil, atau terjun ke militer dan
menjadi pelindung sipil, bukan mengambil keduanya.

7
8

Anda mungkin juga menyukai