Disampaikan Oleh :
Pendahuluan.
1
Buku Himpunan Perundang-Undangan Yang Terkait dengan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan,
Biro Hukum Setjen Dephan, Jakarta, Th 2007, hal 1.
1
mengenal batas negara.2 Kondisi tersebut berdampak pada aspek kehidupan
bangsa dan negara yang dapat mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak
bangsa Indonesia. Era globaliasi akan membuka dan meluasnya hubungan antar
negara yang bersifat bilateral maupun multilateral, memposisikan Indonesia untuk
segera melakukan langkah-langkah konkrit dalam pembangunan nasional, guna
mengantisipasi dan merebut posisi pasar bebas sesuai keunggulan yang dimiliki.
Kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pola ancaman yang
membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semula
bersifat konvensional (fisik) baik berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Ancaman
yang bersifat multi dimensi tersebut dapat bersumber dari permasalahan ideologi,
politik, ekonomi, sosial dan budaya maupun permasalahan pertahanan dan
keamanan. Upaya mengatasi ancaman tersebut menjadi tanggung jawab seluruh
warga negara baik sipil maupun militer. Oleh karena itu hubungan yang harmonis
antara sipil dan militer dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara perlu
lebih ditingkatkan.
Pendidikan merupakan manifestasi dari amanat konstitusi dan merupakan
tanggung jawab negara dalam rangka mewujudkan warga negara yang memiliki
kepribadian sebagai insan yang beriman dan bertaqwa, cerdas dan berpengetahuan
luas serta memiliki keterampilan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalangan
pendidikan diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam keikutsertaan
penyelenggaraan pertahanan negara.
Dari uraian tersebut di atas pada kesempatan ini disampaikan beberapa hal
yaitu tentang manajemen pertahanan, hubungan sipil dengan militer, dan wujud
tanggung jawab warga negara dalam penyelenggaraan pertahanan negara.
Manajemen Pertahanan
2
Pendidikan Kewarga Negaraan , PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Th 2001, hal. 96
2
Doktrin pertahanan negara tidak bersifat dogmatis, tetapi penerapnnya disesuaikan
dengan perkembangan kepentingan nasional.3
Doktrin pertahanan negara memiliki arti penting yakni sebagai penuntun
dalam pengelolaan sistem dan penyelenggaraan pertahanan negara. Pada tataran
strategis, doktrin pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan sistem pertahanan
yang bersifat semesta, baik pada masa damai maupun pada keadaan perang.
Dalam kerangka penyelenggaraan pertahanan negara, esensi doktirn pertahanan
negara adalah acuan bagi setiap penyelenggara pertahanan dalam menyinergikan
pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter secara terpadu, terarah dan berlanjut
sebagai satu kesatuan pertahanan.
Pada masa damai, doktrin pertahanan negara sebagai penuntun dan
pedoman bagi penyelenggara pertahanan negara dalam menyiapkan kekuatan dan
pertahanan dalam kerangka kekuatan untuk daya tangkal yang mampu mencegah
setiap hakikat ancaman serta kesiapsiagaan dalam meniadakan ancaman, baik
yang berasal dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Pada keadaan perang,
Doktrin pertahanan negara memberikan tuntutan dan pedoman dalam
mendayagunakan segenap kekuatan nasional dalam upaya pertahanan guna
menyelamatkan negara dan bangsa dari ancaman yang dihadapi.
Pertahanan pada hakikatnya merupakan segala upaya pertahanan yang
bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak
dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan akan kekuatan sendiri untuk
mempertahanankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia yang
merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat
dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh
wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.
Upaya pertahanan yang bersifat semesta adalah model yang dikembangkan
sebagai pilihan yang paling tepat bagi pertahanan Indonesia, yang diselenggarakan
dengan keyakinan pada kekuatan sendiri, serta berdasarkan atas hak dan kewajiban
warga negara dalam pertahanan negara. Meskipun Indonesia telah mencapai tingkat
kemajuan yang cukup tinggi nantinya, model tersebut tetap menjadi pilihan strategis
untuk dikembangkan, dengan menempatkan warga negara sebagai subjek
pertahanan negara sesuai dengan perannya masing-masing.
3
Doktrin Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th 2007, hal. 4.
3
Sistem Pertahanan Negara yang bersifat semesta bercirikan kerakyatan,
kesemestaan, dan kewilayahan. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa
orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri
kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional
didayagunakan bagi upaya pertahanan negara. Sedangkan ciri kewilayahan
mengandung makna bahwa gelar kekuatan pertahanan dilaksanakan secara
menyebar di seluruh wilayah NKRI, sesuai dengan kondisi geografi sebagai negara
kepulauan.
4
Strategi Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007, hal.30
4
yang lainnya saling terkait. Substansi sasaran strategis mencakupi saran di bidang
penangkalan, sasaran dalam menghadapi ancaman agresi militer, sasaran untuk
mengatasi ancaman nirmiliter, serta sasaran dalam rangka mewujudkan perdamaian
dunia dan stabilitas regional. Kepentingan nasional Indonesia yang vital dan
permanen adalah tegak dan utuhnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Dalam mewujudkan kepentingan nasional tersebut, pertahanan negara
Indonesia diselenggarakan untuk menangkal dan mencegah segala bentuk
ancaman dan gangguan, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam negeri.
Dalam mewujudkan komitmen bangsa Indonesia yang anti penjajahan dan
penindasan suatu bangsa terhadap bangsa yang lain, maka orientasi
penyelenggaran pertahanan negara diarahkan untuk sebesar-besarnya mewujudkan
daya tangkal bangsa yang handal.
6
menghadapi ancaman militer dari suatu negara yang mengancam Indonesia. Postur
tersebut dibangun berdasarkan kebutuhan pertahanan dihadapkan dengan besarnya
ancaman yang diperkirakan akan dihadapi dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena
itu, Postur Pertahanan Negara harus mencerminkan kapabilitas pertahanan
Indonesia (detterence standard pertahanan negara) yang melebihi tingkat
Minimum Essential force.
7
militer dalam menghadapi ancaman, dengan memaksimalkan keterpaduan Tri-
Matra. Dalam rangka gelar penangkalan, pembentukan Komando wilayah
Pertahanan diselenggarakan dalam keterpaduan matra darat, matra laut dan matra
udara sesuai dengan kondisi geografi wilayah indonesia.5
5
Postur Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007. Hal. 96.
8
Sipil Dan Militer Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Masyarakat Sipil dan Hubungan Sipil-Militer.
Menurut M. Mahfud MD. Dilihat dari sudut teori sosial dan politik yang baku
mengaitkan persoalan hubungan antara sipil dengan militer dan masyarakat sipil
sebenarnya kurang relevan, sebab pada mulanya konsepsi masyarakat sipil atau
masyarakat madani (civil society) itu tidak terkait dengan masalah kedudukan militer
dalam politik terutama dalam hubungannya dengan sipil. Namun di luar teks yang
baku, membicarakan masyarakat sipil, terlebih lagi di Indonesia, tidak dapat
dilepaskan dari pembicaraan tentang hubungan antara sipil dengan militer.
Alasannya sederhana saja; upaya-upaya membangun demokrasi dan membongkar
struktur politik yang dihegemoni oleh negara atau otoriter disamakan dengan
pemerintahan yang militeristik. Apalagi, aktor utama politik Orde Baru yang otoriter
itu adalah militer yang masuk ke ranah politik melalui konsepsi Dwifungsi ABRI. 6
6
Nomenson Sinamo, Hukum Tata Negara, Suatu Kajian Ktritis, Jala Permata Aksara, Jakarta, Th. 2010, hal. 119.
9
diperbincangkan orang. Ia lebih merupakan lawan dari konsep masyarakat negara
(state society) atau masyarakat politik. 7
Semula konsep ini dimunculkan di Eropa pada zaman enlightment sebagai
jawaban atas alternatif dari sekularisasi kekuasaan. Dengan sekularisasi kekuasaan
yang mempunyai arti penugasan dari Tuhan sesuai dengan dictatus papae (yang
dikeluarkan oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075), muncullah pertanyaan
tentang sumber kekuasaan (legitimasi) pemerintah di dalam negara. Sebelum
terjadinya sekularisasi, masalah sumber legitimasi tidak dipersoalkan karena dasar
kekuasaan diyakini bersumber dari Tuhan seperti halnya Paus dengan gerejanya.
Tetapi, ketika raja-raja melakukan ekspansi dan penguasaan atas teritori di luar
teritori kekuasaan gereja timbullah pertanyaan tentang sumber kekuasaan raja.
Selanjutnya Paus Gregorius VII mengeluarkan Dictatus Papae (1075) yang
mengatakan bahwa raja berkuasa dalam urusan duniawi yang tidak terkait dengan
urusan agama sehingga kekuasaannya pun tidak dapat dikatakan bersumber dari
Tuhan (teokrasi). Karena itu muncullah pertanyaan “darimana sumber kekuasaan
pemerintah kalau bukan dari Tuhan ?. Jawaban atas pertanyaan itu adalah
munculnya teori “social contract” yang mengatakan bahwa sumber kekuasaan
pemerintah atau raja itu adalah perjanjian masyarakat. Salah seorang tokoh pemikir
tentang teori ini, Thomas Hobbes, mengatakan bahwa pemerintah memiliki
kekuasaan karena adanya perjanjian masyarakat yang menyerahkan kekuasaan
kepada pemerintah untuk mengurus hak mereka. Karena itu pemerintah atau raja
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak boleh dilawan didalam sistem
pemerintahan yang absolut. Beberapa pemikir lain tentang teori ini seperti JJ.
Rousseau, John Locke dan Montesquieu mengatakan bahwa perjanjian masyarakat
itu mengamanatkan terbentuknya pemerintahan yang demokratis dan bertanggung
jawab. Dan, jika pemerintah melakukan tindakan-tindakan diluar kekuasaan yang
diberikan secara terbatas oleh masyarakat, sewaktu-waktu mereka bisa dilawan
oleh masyarakatnya. Maka, muncullah sistem pemerintahan yang memisahkan
kekuasaan kedalam poros-poros yang berbeda dan mempunyai batas sendiri-sendiri
untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat, seperti yang kemudian dikenal
sebagai sistem atau konsep Trias Politika. Gagasan dasar dari konsep ini adalah
bahwa untuk menghindari menumpuknya kekuasaan di satu tangan, kekuasaan
7
Ibid, hal. 120.
10
harus dipisah kedalam poros-poros yang berbeda yakni poros pembuat undang-
undang (legislasi), pelaksana undang-undang (eksekutif) dan poros yang melakukan
peradilan (yudikatif).
Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa salah satu agenda pokok dari
reformasi paling tidak sebagaimana dikemukakan oleh para penggeraknya di
kampus-kampus, adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Maka agenda ini harus
dielaborasi menjadi konsep-konsep yang kuat. Hal ini penting karena dalam
kenyataannya ekses penerapan Dwifungsi telah merusak proses demokrasi yang
sedang dibangun. Masyarakat menjadi tidak otonom karena selalu diintervensi oleh
negara melalui pendekatan yang militeristik. Masyarakat menjadi takut kepada
negara bukan merasa memiliki dan harus berpartisipasi dalam pembangunan
negara. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan negara hanyalah karena
mobilisasi, bukan partisipasi dan keterlibatannya dalam proses politik hanyalah
8
Ibid, hal. 121.
11
formalitas dalam demokrasi formal karena harus mengikuti proses dan persyaratan
yang tidak adil yang dibuat oleh negara. Dalam situasi seperti itu kekuatan
masyarakat sipil (masyarakat madani) tidak dapat tumbuh wajar, karena yang
diutamakan dan dipaksakan tumbuh adalah masyarakat negara. Kedaulatan rakyat
berpindah titik beratnya menjadi kedaulatan negara. Didalam pembangunan
masyarakat negara itulah militer melalui konsepsi Dwifungsinya menjadi pemeran
utamanya dengan cara-cara yang sangat represif.
Itulah sebabnya setelah rezim Orde Baru runtuh, militer dianggap sebagai
salah satu penyebabnya yang dominan sehingga agenda reformasi tak dapat
dibendung untuk mempersoalkan peran militer dalam politik melalui konsepsi
Dwifungsinya. TNI sendiri menyadari bahwa tuntutan reformasi harus direspons
secara positif karena mereka tidak dapat mengelak dari kenyataan tentang akibat-
akibat buruk dan penerapan Dwifungsi itu. Berdasarkan kesadaran itulah pada April
tahun 2000 konsepsi Dwifungsi ABRI dihapus secara resmi dari khazanah
institusi TNI setelah sebelumnya TNI bersedia mengurangi porsinya di DPR dengan
janji bahwa pada akhirnya akan ditiadakan juga melalui tahap-tahap yang disepakati.
TNI harus disambut positif sebagai langkah awal yang dapat memberi sumbangan
bagi pembangunan masyarakat madani di Indonesia. Selanjutnya pihak TNI sendiri
merumuskan pedoman peran sertanya dalam kehidupan bernegara di Indonesia
melalui kebijakan dasar dan langkah-langkah tertentu.
12
4. Pembenahan hukum dan penegakan HAM.9
Militer adalah alat negara, dan tugasnya adalah membantu negara dalam
mencapai tujuan nasionalnya. Dalam kontek Indonesia, TNI adalah alat negara yang
bertujuan melindungi segenap rakyat Indonesia dan menegakkan kedaulatan negara
terlepas dari dinamika sosial politik yang terjadi. Implikasinya TNI harus dapat
menjadi tentara yang profesional dan memiliki keahlian yang mencukupi dalam
bidang pertahanan negara serta dapat memposisikan diri dalam kedudukan netral
dan tidak terbawa oleh arus distorsi perpolitikan yang terjadi atau bahkan mencoba
menginterpretasikan keadaaan di masyarakat dan mengambil tindakan atas nama
masyarakat secara sepihak.10 Hal tersebut sesuai dengan amanat Panglima Besar
Jenderal Sudirman pada tanggal 1 Januari 1946 dalam maklumat pimpinan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) bahwa TNI bukan anak emas artinya TNI bukan
merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri
sendiri di atas masyarakat, TNI tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian
masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.
Citra TNI yang profesional itu sendiri didasarkan pada empat pandangan, 1)
konsep bangsa Indonesia tidak dibangun berdasarkan atas ras, suku, agama dan
sebagainya, tetapi atas dasar keinginan untuk bersatu, 2) di dalam konstitusi
disebutkan bahwa tugas negara adalah melindungi setiap warga negara dan tanah
tumpah darah, 3) konsep pertahanan Indonesia yang tidak akan menyerang bangsa
lain apabila tidak diserang, 4) hakikat perjuangan bangsa ini adalah melanjutkan
perjuangan masa kini yang berorientasi pada bidang-bidang lain yang tidak melulu
pada perjuangan bersenjata, tetapi dalam aspek politik, ekonomi dan sosial budaya
dengan menyusun suatu kebersamaan di dalam mencapai-cita-cita.11
9
Ibid, hal 126
10
Aditya Batara Gunawan , Doktrin Pertahanan Negara, dan Kebutuhan akan Komponen Cadangan, dalam
Pertahanan Semesta Dan Wajib Militer, Lesperssi, Jakarta, Th. 2008. hal. 24
11
Dr. Kusnanto Anggoro, Dr Anak Agung Banyu Perwita, Rekam Jejak Proses SSR Indonesia 2000-2005, Pro
Patria, Jakarta, Th. 2006, hal 13.
13
Para pendiri negara sangat sadar bahwa membela negara dan
mempertahankan negara merupakan hak dan kewajiban yang hakiki oleh setiap
warga negara yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1). Implementasi dari hal tersebut maka negara
Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, tetapi perlu sekali
mengadakan kerjasama yang serat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di
luar tentara.12 Sejarah mengingatkan tentang perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada saat perang kemerdekaan
dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat secara spontan dan simultan. Dengan
demikian yang wajib mempertahankan dan membela negara Republik Indonesia
serta menyelamatkan rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya dari marabahaya itu
tidak lain, yang mempunyai hak milik sendiri, yaitu rakyat Indonesia seluruhnya.13Hal
tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh mantan Menteri Pertahanan
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, bahwa rasa aman di semua aspek kehidupan yang
meliputi tata kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan
keamanan bukanlah tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi menjadi
kewajiban seluruh rakyat.14
Dalam rangka membangun pertahanan negara modern yang mampu
menghadapi ancaman yang lebih kompleks diperlukan industri yang handal. Industri
tersebut harus menghasilkan alat utama sistem senjata (alutsista) yang dirancang
oleh sumber daya manusia yang profesional dan didukung oleh sumber daya alam
dan sumber daya buatan yang bersumber dari dalam negeri.15
Dalam mempertahankan kedaulatan negara salah satu hal yang harus
diutamakan adalah pembangunan industri pertahanan dalam negeri yang dikelola
oleh putra-putra terbaik Indonesia termasuk yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi,
12
Wawasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Disiapkan Pusat Pembinaan Mental ABRI, Yayasan
Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Jakarta, Th. 1972 hal 7.
13
Ibid, hal 220.
14
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Pengantar Buku Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, dalam T.
Hari Prihatono, Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, ProPatria, Jakarta, Th. 2006, hal. xiii.
15
Jenderal Mayor TB Simatupang, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai, Kupasan Mengenai Masalah
Pertahanan Negara dan Angkatan Perang RI, Yayasan Pustaka Militer, Jakarta, Th. 1954, hal 155.
14
sehingga diperlukan kerjasama di antara stakeholders terutama pimpinan TNI,
kalangan industri dan Perguruan Tinggi.
Sebagai contoh peranan putra terbaik di negara lain telah disampaikan
Jenderal Mayor TB Simatupang Kepala Staf Angkatan Perang Tahun 1954, seperti
misalnya Archimides (257-212 SM) seorang sarjana yang ternama menciptakan
senjata baru ketika tempat tinggalnya diserang oleh pasukan dari armada Romawi.
Berkat temuan tersebut Sirakusa tempat tinggal Archimides dapat bertahan lebih
dari tiga tahun. Leonardo da Vinci dan Galileo dua sarjana lain yang ahli dalam
pembuatan jembatan, alat penyemprot api, dan meriam sebagai sarana untuk
perang. Michelangelo, juga sarjana dan seniman yang ternama dari zaman itu,
memperkuat perbentengan kota Florence, Lavoiser, yang meletakkan dasar-dasar
bagi ilmu kimia modern, bekerja dalam pembuatan mesiu di Perancis. Descartes
adalah seorang prajurit, seorang ahli ilmu pasti dan seorang ahli filsafat yang besar.
Prosede Bessemer untuk membuat baja dalam memenuhi kebutuhan pembuatan
meriam.
Dalam konteks kekinian contoh tersebut di atas masih sangat relevan dalam
hal kontribusi warga negara dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa
sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta
dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara terpadu,
terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman, yang dilaksanakan melalui
usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa.
Yang dimaksud secara dini adalah pembangunan pertahanan negara
dilakukan pada masa damai sebagai daya tangkal dan kesiapan menghadapi
ancaman dari invasi negara lain. Secara total pengerahan dan penggunaan segenap
komponen pertahanan negara yaitu TNI sebagai komponen utama yang didukung
oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Secara terpadu berarti
pemerintah dalam mewujudkan sistem pertahanan semesta bersifat lintas sektoral
dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya. Secara terarah berarti wujud
kesemestaan tersebut harus disiapkan dengan membuat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur seluruh warga negara, wilayah negara, dan
15
sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional. Secara berlanjut berarti
dilaksanakan sesuai dengan program tahapan pembangunan nasional.16
Sistem pertahanan yang bersifat semesta diwujudkan dalam tiga komponen
pertahanan yang meliputi; 1) Komponen Utama, yaitu TNI, 2) Kompnenen Cadangan
yang terdiri warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan
prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna
memperbesar dan memperkuat komponen utama, 3) Komponen Pendukung yang
terdiri warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan
prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan
kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Dengan demikian tanggung jawab warga negara dalam penyelenggaraan
pertahanan negara diwujudkan melalui 1) keanggotaan TNI baik secara sukarela
karena menggunakan haknya maupun secara wajib memenuhi panggilan negara, 2)
keanggotaan Komponen Cadangan atau Komponen Pendukung dan 3) pengabdian
warga negara sesuai dengan profesi yang disebut dengan Tenaga Profesi
Pertahanan Negara.
Kesimpulan
16
Peran Komponen Pendukung Sebagai Kekuatan Pertahanan Negara Ditinjau dari Aspek Aplikasi di
Lapangan(Binter), Staf Teritorial TNI, Jakarta, Th. 2002, hal 5.
16
3. TNI konsisten dalam rangka mewujudkan cita-cita reformasi termasuk
menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat sipil didalamnya
dengan Perguruan Tinggi dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara.
Rekomendasi
Direktur Jenderal
Kekuatan Pertahanan
Suryadi, M.Sc
Mayor Jenderal TNI
17
Daftar Pustaka
18