Anda di halaman 1dari 18

KEMENTERIAN PERTAHANAN KEAMANAN

DIREKTORAT JENDERAL KEKUATAN PERTAHANAN

TANGGUNG JAWAB WARGA NEGARA


DALAM PENYELENGGARAAN PERTAHANAN NEGARA
BERDASARKAN SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Disampaikan Oleh :

Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan


Kementerian Pertahanan RI
dalam rangka
Wisuda Sarjana Universitas Haluoleo
Tgl 30 Juni 2010 di Kendari

Pendahuluan.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan titik


puncak perjuangan bangsa Indonesia melepaskan diri dari penjajahan dan
merupakan titik awal bagi bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan kehidupan
bangsa dan negara guna mencapai cita-cita luhur yaitu masyarakat yang merdeka,
berdaulat, bersatu, adil dan makmur.
Cita-cita tersebut diejawantahkan dalam alinea IV Pembukaan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 bahwa tujuan pembentukan
pemerintah Negara Indonesia adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, …dst.1
Dengan demikian melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari setiap bentuk ancaman dari dalam negeri dan/atau luar negeri yang
pada hakikatnya merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara menjadi dasar
dalam upaya penyelengaraan kesejahteraan dan penyelenggaraan keamanan serta
perdamaian dunia.
Era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern khususnya teknologi informasi, komunikasi dan
transportasi, dunia seakan-akan sudah menyatu menjadi kampung sedunia tanpa

1
Buku Himpunan Perundang-Undangan Yang Terkait dengan Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan,
Biro Hukum Setjen Dephan, Jakarta, Th 2007, hal 1.
1
mengenal batas negara.2 Kondisi tersebut berdampak pada aspek kehidupan
bangsa dan negara yang dapat mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pola tindak
bangsa Indonesia. Era globaliasi akan membuka dan meluasnya hubungan antar
negara yang bersifat bilateral maupun multilateral, memposisikan Indonesia untuk
segera melakukan langkah-langkah konkrit dalam pembangunan nasional, guna
mengantisipasi dan merebut posisi pasar bebas sesuai keunggulan yang dimiliki.
Kondisi tersebut akan sangat berpengaruh terhadap pola ancaman yang
membahayakan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang semula
bersifat konvensional (fisik) baik berasal dari dalam dan/atau luar negeri. Ancaman
yang bersifat multi dimensi tersebut dapat bersumber dari permasalahan ideologi,
politik, ekonomi, sosial dan budaya maupun permasalahan pertahanan dan
keamanan. Upaya mengatasi ancaman tersebut menjadi tanggung jawab seluruh
warga negara baik sipil maupun militer. Oleh karena itu hubungan yang harmonis
antara sipil dan militer dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara perlu
lebih ditingkatkan.
Pendidikan merupakan manifestasi dari amanat konstitusi dan merupakan
tanggung jawab negara dalam rangka mewujudkan warga negara yang memiliki
kepribadian sebagai insan yang beriman dan bertaqwa, cerdas dan berpengetahuan
luas serta memiliki keterampilan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Kalangan
pendidikan diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam keikutsertaan
penyelenggaraan pertahanan negara.
Dari uraian tersebut di atas pada kesempatan ini disampaikan beberapa hal
yaitu tentang manajemen pertahanan, hubungan sipil dengan militer, dan wujud
tanggung jawab warga negara dalam penyelenggaraan pertahanan negara.

Manajemen Pertahanan

Doktrin Pertahanan Negara

Doktrin pertahanan pada hakikatnya adalah suatu ajaran tentang prinsip-


prinsip fundamental pertahanan negara yang diyakini kebenarannya, digali dari nilai-
nilai perjuangan bangsa dan pengalaman masa lalu untuk dijadikan pelajaran dalam
mengembangkan konsep pertahanan sesuai dengan tuntutan tugas pertahanan
dalam dinamika perubahan, serta dikemas dalam bingkai kepentingan nasional.

2
Pendidikan Kewarga Negaraan , PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Th 2001, hal. 96

2
Doktrin pertahanan negara tidak bersifat dogmatis, tetapi penerapnnya disesuaikan
dengan perkembangan kepentingan nasional.3
Doktrin pertahanan negara memiliki arti penting yakni sebagai penuntun
dalam pengelolaan sistem dan penyelenggaraan pertahanan negara. Pada tataran
strategis, doktrin pertahanan negara berfungsi untuk mewujudkan sistem pertahanan
yang bersifat semesta, baik pada masa damai maupun pada keadaan perang.
Dalam kerangka penyelenggaraan pertahanan negara, esensi doktirn pertahanan
negara adalah acuan bagi setiap penyelenggara pertahanan dalam menyinergikan
pertahanan militer dan pertahanan nirmiliter secara terpadu, terarah dan berlanjut
sebagai satu kesatuan pertahanan.
Pada masa damai, doktrin pertahanan negara sebagai penuntun dan
pedoman bagi penyelenggara pertahanan negara dalam menyiapkan kekuatan dan
pertahanan dalam kerangka kekuatan untuk daya tangkal yang mampu mencegah
setiap hakikat ancaman serta kesiapsiagaan dalam meniadakan ancaman, baik
yang berasal dari luar maupun yang timbul di dalam negeri. Pada keadaan perang,
Doktrin pertahanan negara memberikan tuntutan dan pedoman dalam
mendayagunakan segenap kekuatan nasional dalam upaya pertahanan guna
menyelamatkan negara dan bangsa dari ancaman yang dihadapi.
Pertahanan pada hakikatnya merupakan segala upaya pertahanan yang
bersifat semesta, yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran akan hak
dan kewajiban seluruh warga negara serta keyakinan akan kekuatan sendiri untuk
mempertahanankan kelangsungan hidup bangsa dan negara Indonesia yang
merdeka dan berdaulat. Kesemestaan mengandung makna pelibatan seluruh rakyat
dan segenap sumber daya nasional, sarana dan prasarana nasional, serta seluruh
wilayah negara sebagai satu kesatuan pertahanan yang utuh dan menyeluruh.
Upaya pertahanan yang bersifat semesta adalah model yang dikembangkan
sebagai pilihan yang paling tepat bagi pertahanan Indonesia, yang diselenggarakan
dengan keyakinan pada kekuatan sendiri, serta berdasarkan atas hak dan kewajiban
warga negara dalam pertahanan negara. Meskipun Indonesia telah mencapai tingkat
kemajuan yang cukup tinggi nantinya, model tersebut tetap menjadi pilihan strategis
untuk dikembangkan, dengan menempatkan warga negara sebagai subjek
pertahanan negara sesuai dengan perannya masing-masing.

3
Doktrin Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th 2007, hal. 4.

3
Sistem Pertahanan Negara yang bersifat semesta bercirikan kerakyatan,
kesemestaan, dan kewilayahan. Ciri kerakyatan mengandung makna bahwa
orientasi pertahanan diabdikan oleh dan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ciri
kesemestaan mengandung makna bahwa seluruh sumber daya nasional
didayagunakan bagi upaya pertahanan negara. Sedangkan ciri kewilayahan
mengandung makna bahwa gelar kekuatan pertahanan dilaksanakan secara
menyebar di seluruh wilayah NKRI, sesuai dengan kondisi geografi sebagai negara
kepulauan.

Strategi Pertahanan Negara

1. Kecenderungan Perkembangan Lingkungan Strategis. Salah satu faktor


utama dalam penyelenggaran pertahanan negara adalah perkembangan lingkungan
strategis, baik global, regional, maupun kondisi dalam negeri. Esensi dari analisis
terhadap perkembangan lingkungan strategis adalah menentukan dugaan ancaman
terhadap pertahanan negara. Dugaan ancaman tersebut menjadi dasar dalam
pemilihan strategi pertahanan.

2. Ancaman. Ancaman militer memiliki karakter yang beragam. Ancaman militer


dapat berupa jenis ancaman yang sifatnya terorganisasi dengan menggunakan
kekuatan bersenjata, yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan
kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa.
Ancaman militer dapat pula berupa jenis ancaman yang dilakukan oleh militer suatu
negara atau ancaman bersenjata yang datangnya dari gerakan kekuatan bersenjata,
yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara, dan keselamatan segenap bangsa. Dari batasan tentang ancaman seperti
diuraikan di atas, ancaman yang dikatagorikan sebagai Ancaman militer yang dapat
membahayakan kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa
dapat berupa agresi, pelanggaran wilayah, spionase, sabotase, pemberontakan
bersenjata, aksi teror bersenjata, dan ancaman keamanan laut atau udara, serta
perang saudara atau konflik komunal.4

3. Sasaran Strategis. Tujuan Strategi Pertahanan Negara dijabarkan dalam


Sasaran Strategis, yang terdiri atas lima sasaran strategis, dimana satu dengan

4
Strategi Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007, hal.30

4
yang lainnya saling terkait. Substansi sasaran strategis mencakupi saran di bidang
penangkalan, sasaran dalam menghadapi ancaman agresi militer, sasaran untuk
mengatasi ancaman nirmiliter, serta sasaran dalam rangka mewujudkan perdamaian
dunia dan stabilitas regional. Kepentingan nasional Indonesia yang vital dan
permanen adalah tegak dan utuhnya NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945. Dalam mewujudkan kepentingan nasional tersebut, pertahanan negara
Indonesia diselenggarakan untuk menangkal dan mencegah segala bentuk
ancaman dan gangguan, baik yang bersumber dari luar maupun dari dalam negeri.
Dalam mewujudkan komitmen bangsa Indonesia yang anti penjajahan dan
penindasan suatu bangsa terhadap bangsa yang lain, maka orientasi
penyelenggaran pertahanan negara diarahkan untuk sebesar-besarnya mewujudkan
daya tangkal bangsa yang handal.

4. Konsep Umum Strategi Pertahanan. Dalam mempertahankan kedaulatan


negara, keutuhan wilayah NKRI, dan menjamin keselamatan segenap bangsa dari
segala bentuk ancaman, upaya pertahanan negara diselenggarakan dengan strategi
pertahanan berlapis.

5. Formulasi Strategi Penangkalan. Pertahanan Militer dalam mewujudkan


kemampuan penangkalan dikembangkan dalam formula sebagai berikut :

Pertama. Pertahanan Indonesia membangun konsep pertahanan berlapis.


Pertahanan militer dilaksanakan secara Tri-Matra terpadu dengan pusat
kekuatan berupa dukungan rakyat atas peran TNI sebagai satu kesatuan dan
totalitas pertahanan Indonesia.

Kedua. Pertahanan Indonesia yang dikembangkan dalam pola pertahanan


berlapis yang mengedepankan kemampuan penangkalan dengan
menggabungkan penangkalan dengan cara penolakan dan penangkalan
dengan cara pembalasan, terdiri atas kekuatan TNI sebagai komponen utama
yang didukung oleh seluruh rakyat Indonesia dalam susunan komponen
cadangan dan komponen pendukung.

Ketiga. Pertahanan berlapis yang dilaksanakan dengan perlawanan


berlarut, selain untuk tujuan penangkalan dengan cara penolakan, juga untuk
tujuan strategi penangkalan dengan cara pembalasan. Implementasi
penangkalan dengan cara pembalasan melalui kemampuan perang gerilya,
5
yang dipersiapkan untuk menghadapi situasi ketika upaya pertahanan
konvensional tidak efektif, yang dimiliki oleh unsur-unsur pertahanan militer
dan pertahanan nirmiliter dengan basis-basis perlawanan yang tersebut di
seluruh wilayah Indonesia.

Keempat. Dalam rangka penangkalan dengan cara penolakan


kemampuan khusus perorangan untuk melakukan pertempuran, didukung
oleh penguasaan medan, dikembangkan dalam pola pembinaan yang
berkesinambungan.

Kebijakan Pembangunan Postur Pertahanan Negara

1. Kerangka Pokok Postur Pertahanan Negara. Postur Pertahanan Negara


yang dikembangkan untuk mewujudkan sistem pertahanan yang bersifat semesta.
Postur Pertahanan Negara disusun berdasarkan strategi pertahanan negara, yang
merefleksikan kekuatan, kemampuan dan gelar kekuatan pertahanan. Dalam rangka
melaksanakan strategi pertahanan, Postur Pertahanan Negara dikembangkan untuk
mencapai standar penangkalan (deterrence standard), yakni Postur Pertahanan
Negara yang mampu menangkal dan mengatasi ancaman agresi terhadap
kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, dan keselamatan bangsa. Dalam
lingkup tersebut, Postur Pertahanan Negara dikembangkan untuk menghadapi untuk
menghadapi kondisi terburuk berupa perang. Jika Postur Pertahanan Negara yang
dibangun dengan standar konvensional, mampu mempertahanankan diri dari
agresi, niscaya tugas-tugas pertahanan lainnya akan dapat diemban.
Berdasarkan substansi tersebut, Postur Pertahanan Indonesia yang bersifat
semesta, dalam arti melibatkan seluruh rakyat dan segenap sumber daya nasional,
sarana dan prasarana nasional, serta seluruh wilayah negara sebagai satu kesatuan
pertahanan yaitu Sishankamrata (sistem pertahanan keamanan rakyat semesta)
akan menyinergikan kekuatan pertahanan militer yang berbasis alutsista. Postur
Pertahanan Militer dikembangkan dalam pola Tri-Matra terpadu antara kekuatan
Matra Darat, kekuatan Matra Laut,dan kekuatan Matra Udara dan dibangun dengan
berbasis kemampuan (capability based defence) sesuai dengan kondisi
kemampuan anggaran.

Selain itu, Postur Pertahanan Negara berbasis kemampuan tersebut pada


hakikatnya Postur Pertahanan Reguler, yakni wujud pertahanan konvensional untuk

6
menghadapi ancaman militer dari suatu negara yang mengancam Indonesia. Postur
tersebut dibangun berdasarkan kebutuhan pertahanan dihadapkan dengan besarnya
ancaman yang diperkirakan akan dihadapi dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena
itu, Postur Pertahanan Negara harus mencerminkan kapabilitas pertahanan
Indonesia (detterence standard pertahanan negara) yang melebihi tingkat
Minimum Essential force.

2. Perancangan Postur Pertahanan Negara. Pembangunan Postur Pertahanan


Negara didasarkan pada kemampuan negara dalam mengalokasikan anggaran
pertahanan dengan tidak menggangu keseimbangan sektor-sektor pembangunan
nasional secara menyeluruh. Meskipun demikian dalam membangun Postur
Pertahanan Negara harus pula memperhatikan urgensi fungsi pertahanan
berdasarkan dinamika kondisi lingkungan strategi yang berdimensi ancaman aktual
yang dihadapi.

3. Kekuatan. Postur Pertahanan militer yang dibangun di masa datang tidak


diarahkan untuk menambah personel. Penataan organisasi menjadi salah satu
aspek yang dibenahi dalam membangun Postur Pertahanan Negara. Penataan
organisasi harus dapat mewujudkan strategi militer yang bersifat Tri-Matra terpadu.
Pembentukan organisasi baru atau pengembangan organisasi yang ada tidak
otomatis berimplikasi kepada penambahan personel untuk memperbesar kekuatan.
Jumlah kekuatan personel TNI yang ada saat ini akan dipertahankan dan relatif tidak
dilakukan penambahan. Pengisian organisasi bentukan baru atau organisasi yang
dikembangkan diprioritaskan dari personel yang ada. Pelaksanaannya diintegrasikan
dengan penataan Markas Besar (termasuk Departemen Pertahanan), Badan
Pelaksana Pusat ( Balakpus), dan Markas Komando di tingkat Komando Utama
(Kotama). Dalam hal ini penambahan personel TNI secara signifikan, hanya
dilaksanakan dalam situasi yang sangat khusus.

4. Kemampuan. Pengembangan kemampuan pertahanan militer diarahkan


pada 5 (lima) kemampuan utama, yakni kemampuan intelijen, kemampuan
pertahanan, kemampuan keamanan, kemampuan pembedayaan wilayah dan
kemampuan dukungan.

5. Penggelaran. Gelar kekuatan pertahanan militer diselenggarakan dalam


rangka strategi penangkalan guna terwujudnya efektivitas penyelenggaraan operasi

7
militer dalam menghadapi ancaman, dengan memaksimalkan keterpaduan Tri-
Matra. Dalam rangka gelar penangkalan, pembentukan Komando wilayah
Pertahanan diselenggarakan dalam keterpaduan matra darat, matra laut dan matra
udara sesuai dengan kondisi geografi wilayah indonesia.5

Gelar kekuatan TNI AD mencakupi Gelar Kekuatan Terpusat. Gelar kekuatan


kewilayahan, dan Gelar kekuatan satuan pendukung. Gelar kekuatan terpusat terdiri
atas Gelar Kostrad dan Gelar Kopassus, Gelar kekuatan kewilayahan bertumpu
pada Gelar Kodam yang diintegrasikan dengan Gelar Komando Gabungan Wilayah
Pertahanan, sedangkan Gelar Kekuatan Satuan pendukung bertumpu pada Gelar
Pusat Kecabangan Fungsional.

Gelar kekuatan TNI AL diselenggarakan dalam rangka Strategi Pertahanan untuk


menjaga kedaulatan negara dan keutuhan wilayah NKRI yakni mampu menjangkau
seluruh wilayah perairan NKRI, sekaligus mengintegrasikan Sistem Senjata Armada
Terpadu (SSAT) dengan Komando Gabungan Wilayah (Kogabwil) sehingga menjadi
kekuatan yang disegani kawan dan lawan. Pelaksanaan gelar kekuatan TNI AL
diarahkan untuk mampu memberikan efek penangkalan yang tinggi dalam
mengawal dan menjaga wilayah NKRI, serta disesuaikan dengan Pertahanan Laut
Nusantara yang meliputi gelar permanen untuk tujuan penangkalan maupun gelar
penindakan.

Gelar kekuatan TNI AU diselenggarakan dalam rangka Strategi Pertahanan Udara


Indonesia dengan konsep strategi untuk memberikan efek deterrence dan
mengamankan wilayah dirgantara Indonesia sampai di luar wilayah ZEE Indonesia.
Fungsi yang diemban dalam penggelaran kekuatan TNI AU diarahkan untuk
memberikan payung udara yang melindungi Kekuatan TNI dalam penyelenggaraan
operasi, baik laut, maupun di darat. Gelar kekuatan TNI AU tersebut dikembangkan
dalam kerangka Tri Matra Terpadu. Dalam rangka itu, penggelaran empat Koopsau
akan disesuaikan dengan penggelaran Devisi Kostrad dan Armada TNI AL sehingga
mewujudkan suatu keterpaduan.

5
Postur Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007. Hal. 96.

8
Sipil Dan Militer Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia
Masyarakat Sipil dan Hubungan Sipil-Militer.

Menurut M. Mahfud MD. Dilihat dari sudut teori sosial dan politik yang baku
mengaitkan persoalan hubungan antara sipil dengan militer dan masyarakat sipil
sebenarnya kurang relevan, sebab pada mulanya konsepsi masyarakat sipil atau
masyarakat madani (civil society) itu tidak terkait dengan masalah kedudukan militer
dalam politik terutama dalam hubungannya dengan sipil. Namun di luar teks yang
baku, membicarakan masyarakat sipil, terlebih lagi di Indonesia, tidak dapat
dilepaskan dari pembicaraan tentang hubungan antara sipil dengan militer.
Alasannya sederhana saja; upaya-upaya membangun demokrasi dan membongkar
struktur politik yang dihegemoni oleh negara atau otoriter disamakan dengan
pemerintahan yang militeristik. Apalagi, aktor utama politik Orde Baru yang otoriter
itu adalah militer yang masuk ke ranah politik melalui konsepsi Dwifungsi ABRI. 6

Oleh sebab itu upaya membangun masyarakat madani yang berarti


membongkar struktur politik yang otoriter, tidak dapat dihindarkan dari persoalan
posisi militer di dalam politik dan ketatanegaraan Indonesia. Disinilah letak relevansi
topik yang mengaitkan soal upaya membangun masyarakat sipil dengan persoalan
hubungan antara sipil dengan militer.

Untuk memahami konsepsi masyarakat sipil, yang dalam konteks ini


dianggap sama dengan istilah Civil Society, berikut ini akan dijelaskan asal muasal
dan perkembangan istilah tersebut.

Akar Konsepsi Masyarakat Sipil.


Jika dilacak berdasarkan perkembangan socio-legal dan kultural, konsepsi
civil society (yang kemudian diterjemahkan sebagai masyarakat sipil, masyarakat
warga atau masyarakat madani) sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari proses
terjadinya sekularisasi kekuasaan di Eropa pada abad pertengahan. Konsep dasar
masyarakat sipil dalam wacana ilmu sosial, semula seperti yang banyak

6
Nomenson Sinamo, Hukum Tata Negara, Suatu Kajian Ktritis, Jala Permata Aksara, Jakarta, Th. 2010, hal. 119.

9
diperbincangkan orang. Ia lebih merupakan lawan dari konsep masyarakat negara
(state society) atau masyarakat politik. 7
Semula konsep ini dimunculkan di Eropa pada zaman enlightment sebagai
jawaban atas alternatif dari sekularisasi kekuasaan. Dengan sekularisasi kekuasaan
yang mempunyai arti penugasan dari Tuhan sesuai dengan dictatus papae (yang
dikeluarkan oleh Paus Gregorius VII pada tahun 1075), muncullah pertanyaan
tentang sumber kekuasaan (legitimasi) pemerintah di dalam negara. Sebelum
terjadinya sekularisasi, masalah sumber legitimasi tidak dipersoalkan karena dasar
kekuasaan diyakini bersumber dari Tuhan seperti halnya Paus dengan gerejanya.
Tetapi, ketika raja-raja melakukan ekspansi dan penguasaan atas teritori di luar
teritori kekuasaan gereja timbullah pertanyaan tentang sumber kekuasaan raja.
Selanjutnya Paus Gregorius VII mengeluarkan Dictatus Papae (1075) yang
mengatakan bahwa raja berkuasa dalam urusan duniawi yang tidak terkait dengan
urusan agama sehingga kekuasaannya pun tidak dapat dikatakan bersumber dari
Tuhan (teokrasi). Karena itu muncullah pertanyaan “darimana sumber kekuasaan
pemerintah kalau bukan dari Tuhan ?. Jawaban atas pertanyaan itu adalah
munculnya teori “social contract” yang mengatakan bahwa sumber kekuasaan
pemerintah atau raja itu adalah perjanjian masyarakat. Salah seorang tokoh pemikir
tentang teori ini, Thomas Hobbes, mengatakan bahwa pemerintah memiliki
kekuasaan karena adanya perjanjian masyarakat yang menyerahkan kekuasaan
kepada pemerintah untuk mengurus hak mereka. Karena itu pemerintah atau raja
memiliki kekuasaan yang tidak terbatas dan tidak boleh dilawan didalam sistem
pemerintahan yang absolut. Beberapa pemikir lain tentang teori ini seperti JJ.
Rousseau, John Locke dan Montesquieu mengatakan bahwa perjanjian masyarakat
itu mengamanatkan terbentuknya pemerintahan yang demokratis dan bertanggung
jawab. Dan, jika pemerintah melakukan tindakan-tindakan diluar kekuasaan yang
diberikan secara terbatas oleh masyarakat, sewaktu-waktu mereka bisa dilawan
oleh masyarakatnya. Maka, muncullah sistem pemerintahan yang memisahkan
kekuasaan kedalam poros-poros yang berbeda dan mempunyai batas sendiri-sendiri
untuk dipertanggungjawabkan kepada rakyat, seperti yang kemudian dikenal
sebagai sistem atau konsep Trias Politika. Gagasan dasar dari konsep ini adalah
bahwa untuk menghindari menumpuknya kekuasaan di satu tangan, kekuasaan

7
Ibid, hal. 120.

10
harus dipisah kedalam poros-poros yang berbeda yakni poros pembuat undang-
undang (legislasi), pelaksana undang-undang (eksekutif) dan poros yang melakukan
peradilan (yudikatif).

Dwifungsi : Pembelokan Upaya Kudeta.

Dari penjelasan di atas, tampak jelas bahwa mempersoalkan hubungan sipil-


militer menjadi konsekuensi dari upaya membangun masyarakat sipil. Artinya,
kehendak untuk membangun masyarakat madani yang berbeda dengan msyarakat
negara yang militeristik seperti era Orde Baru, setidaknya harus dirumuskan kembali
hubungan antara sipil dan militer dalam struktur politik dan tata hukum Indonesia.
Pada masa lalu hubungan sipil-militer senantiasa dikaitkan dengan konsepsi
Dwifungsi ABRI yang sejak tahun 2000 oleh Markas Besar (Mabes) TNI Konsepsi
Dwifungsi dinyatakan dihapus. Walau demikian untuk merancang hubungan sipil-
militer sesuai dengan masyarakat sipil yang diinginkan, perlu dijelaskan terlebih
dahulu tentang latar belakang dan akses dari Dwifungsi. Sebab, yang kita inginkan
bukan sekedar hilangnya dwifungsi sebagai istilah, melainkan juga hilangnya
konsepsi tersebut di dalam praktek kehidupan politik dan ketatanegaraan
Indonesia.8

Posisi Militer di Era Reformasi.

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa salah satu agenda pokok dari
reformasi paling tidak sebagaimana dikemukakan oleh para penggeraknya di
kampus-kampus, adalah penghapusan Dwifungsi ABRI. Maka agenda ini harus
dielaborasi menjadi konsep-konsep yang kuat. Hal ini penting karena dalam
kenyataannya ekses penerapan Dwifungsi telah merusak proses demokrasi yang
sedang dibangun. Masyarakat menjadi tidak otonom karena selalu diintervensi oleh
negara melalui pendekatan yang militeristik. Masyarakat menjadi takut kepada
negara bukan merasa memiliki dan harus berpartisipasi dalam pembangunan
negara. Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan negara hanyalah karena
mobilisasi, bukan partisipasi dan keterlibatannya dalam proses politik hanyalah

8
Ibid, hal. 121.

11
formalitas dalam demokrasi formal karena harus mengikuti proses dan persyaratan
yang tidak adil yang dibuat oleh negara. Dalam situasi seperti itu kekuatan
masyarakat sipil (masyarakat madani) tidak dapat tumbuh wajar, karena yang
diutamakan dan dipaksakan tumbuh adalah masyarakat negara. Kedaulatan rakyat
berpindah titik beratnya menjadi kedaulatan negara. Didalam pembangunan
masyarakat negara itulah militer melalui konsepsi Dwifungsinya menjadi pemeran
utamanya dengan cara-cara yang sangat represif.
Itulah sebabnya setelah rezim Orde Baru runtuh, militer dianggap sebagai
salah satu penyebabnya yang dominan sehingga agenda reformasi tak dapat
dibendung untuk mempersoalkan peran militer dalam politik melalui konsepsi
Dwifungsinya. TNI sendiri menyadari bahwa tuntutan reformasi harus direspons
secara positif karena mereka tidak dapat mengelak dari kenyataan tentang akibat-
akibat buruk dan penerapan Dwifungsi itu. Berdasarkan kesadaran itulah pada April
tahun 2000 konsepsi Dwifungsi ABRI dihapus secara resmi dari khazanah
institusi TNI setelah sebelumnya TNI bersedia mengurangi porsinya di DPR dengan
janji bahwa pada akhirnya akan ditiadakan juga melalui tahap-tahap yang disepakati.
TNI harus disambut positif sebagai langkah awal yang dapat memberi sumbangan
bagi pembangunan masyarakat madani di Indonesia. Selanjutnya pihak TNI sendiri
merumuskan pedoman peran sertanya dalam kehidupan bernegara di Indonesia
melalui kebijakan dasar dan langkah-langkah tertentu.

Ada empat kebijakan dasar yang digariskan oleh TNI, yaitu :


1. Redefinisi jatidiri TNI yang menegaskan bahwa TNI adalah Tentara Rakyat,
Tentara Pejuang dan Tentara Nasional

2. Reposisi TNI di dalam supra dan infrastruktur politik dengan menghilangkan


konsepsi Dwifungsi TNI.

3. Reaktualisasi peran TNI dengan 4 paradigma. Pertama, posisi TNI tidak


harus di depan. Kedua, TNI tidak menduduki tetapi akan mempengaruhi dalam arti
tidak dengan intervensi. Ketiga, TNI akan mempengaruhi secara tidak langsung
agar masyarakat dan bangsa ini menjadi independen. Keempat, TNI akan
melakukan political and role sharing dengan masyarakat lainnya.

12
4. Pembenahan hukum dan penegakan HAM.9

Militer adalah alat negara, dan tugasnya adalah membantu negara dalam
mencapai tujuan nasionalnya. Dalam kontek Indonesia, TNI adalah alat negara yang
bertujuan melindungi segenap rakyat Indonesia dan menegakkan kedaulatan negara
terlepas dari dinamika sosial politik yang terjadi. Implikasinya TNI harus dapat
menjadi tentara yang profesional dan memiliki keahlian yang mencukupi dalam
bidang pertahanan negara serta dapat memposisikan diri dalam kedudukan netral
dan tidak terbawa oleh arus distorsi perpolitikan yang terjadi atau bahkan mencoba
menginterpretasikan keadaaan di masyarakat dan mengambil tindakan atas nama
masyarakat secara sepihak.10 Hal tersebut sesuai dengan amanat Panglima Besar
Jenderal Sudirman pada tanggal 1 Januari 1946 dalam maklumat pimpinan Tentara
Keamanan Rakyat (TKR) bahwa TNI bukan anak emas artinya TNI bukan
merupakan suatu golongan di luar masyarakat, bukan suatu kasta yang berdiri
sendiri di atas masyarakat, TNI tidak lain dan tidak lebih dari salah satu bagian
masyarakat yang mempunyai kewajiban tertentu.

Citra TNI yang profesional itu sendiri didasarkan pada empat pandangan, 1)
konsep bangsa Indonesia tidak dibangun berdasarkan atas ras, suku, agama dan
sebagainya, tetapi atas dasar keinginan untuk bersatu, 2) di dalam konstitusi
disebutkan bahwa tugas negara adalah melindungi setiap warga negara dan tanah
tumpah darah, 3) konsep pertahanan Indonesia yang tidak akan menyerang bangsa
lain apabila tidak diserang, 4) hakikat perjuangan bangsa ini adalah melanjutkan
perjuangan masa kini yang berorientasi pada bidang-bidang lain yang tidak melulu
pada perjuangan bersenjata, tetapi dalam aspek politik, ekonomi dan sosial budaya
dengan menyusun suatu kebersamaan di dalam mencapai-cita-cita.11

Wujud Tanggung Jawab Warga Negara Dalam Penyelenggaraan Pertahanan


Negara.

9
Ibid, hal 126
10
Aditya Batara Gunawan , Doktrin Pertahanan Negara, dan Kebutuhan akan Komponen Cadangan, dalam
Pertahanan Semesta Dan Wajib Militer, Lesperssi, Jakarta, Th. 2008. hal. 24
11
Dr. Kusnanto Anggoro, Dr Anak Agung Banyu Perwita, Rekam Jejak Proses SSR Indonesia 2000-2005, Pro
Patria, Jakarta, Th. 2006, hal 13.

13
Para pendiri negara sangat sadar bahwa membela negara dan
mempertahankan negara merupakan hak dan kewajiban yang hakiki oleh setiap
warga negara yang kemudian dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam
Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 30 ayat (1). Implementasi dari hal tersebut maka negara
Indonesia tidak cukup dipertahankan oleh tentara saja, tetapi perlu sekali
mengadakan kerjasama yang serat-eratnya dengan golongan serta badan-badan di
luar tentara.12 Sejarah mengingatkan tentang perjuangan merebut dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia pada saat perang kemerdekaan
dilaksanakan oleh seluruh lapisan masyarakat secara spontan dan simultan. Dengan
demikian yang wajib mempertahankan dan membela negara Republik Indonesia
serta menyelamatkan rakyat dan bangsa Indonesia seluruhnya dari marabahaya itu
tidak lain, yang mempunyai hak milik sendiri, yaitu rakyat Indonesia seluruhnya.13Hal
tersebut selaras dengan apa yang disampaikan oleh mantan Menteri Pertahanan
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, bahwa rasa aman di semua aspek kehidupan yang
meliputi tata kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya serta pertahanan dan
keamanan bukanlah tanggung jawab pemerintah saja, akan tetapi menjadi
kewajiban seluruh rakyat.14
Dalam rangka membangun pertahanan negara modern yang mampu
menghadapi ancaman yang lebih kompleks diperlukan industri yang handal. Industri
tersebut harus menghasilkan alat utama sistem senjata (alutsista) yang dirancang
oleh sumber daya manusia yang profesional dan didukung oleh sumber daya alam
dan sumber daya buatan yang bersumber dari dalam negeri.15
Dalam mempertahankan kedaulatan negara salah satu hal yang harus
diutamakan adalah pembangunan industri pertahanan dalam negeri yang dikelola
oleh putra-putra terbaik Indonesia termasuk yang dihasilkan oleh Perguruan Tinggi,

12
Wawasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Disiapkan Pusat Pembinaan Mental ABRI, Yayasan
Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Jakarta, Th. 1972 hal 7.
13
Ibid, hal 220.
14
Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Pengantar Buku Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, dalam T.
Hari Prihatono, Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, ProPatria, Jakarta, Th. 2006, hal. xiii.
15
Jenderal Mayor TB Simatupang, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam Damai, Kupasan Mengenai Masalah
Pertahanan Negara dan Angkatan Perang RI, Yayasan Pustaka Militer, Jakarta, Th. 1954, hal 155.

14
sehingga diperlukan kerjasama di antara stakeholders terutama pimpinan TNI,
kalangan industri dan Perguruan Tinggi.
Sebagai contoh peranan putra terbaik di negara lain telah disampaikan
Jenderal Mayor TB Simatupang Kepala Staf Angkatan Perang Tahun 1954, seperti
misalnya Archimides (257-212 SM) seorang sarjana yang ternama menciptakan
senjata baru ketika tempat tinggalnya diserang oleh pasukan dari armada Romawi.
Berkat temuan tersebut Sirakusa tempat tinggal Archimides dapat bertahan lebih
dari tiga tahun. Leonardo da Vinci dan Galileo dua sarjana lain yang ahli dalam
pembuatan jembatan, alat penyemprot api, dan meriam sebagai sarana untuk
perang. Michelangelo, juga sarjana dan seniman yang ternama dari zaman itu,
memperkuat perbentengan kota Florence, Lavoiser, yang meletakkan dasar-dasar
bagi ilmu kimia modern, bekerja dalam pembuatan mesiu di Perancis. Descartes
adalah seorang prajurit, seorang ahli ilmu pasti dan seorang ahli filsafat yang besar.
Prosede Bessemer untuk membuat baja dalam memenuhi kebutuhan pembuatan
meriam.
Dalam konteks kekinian contoh tersebut di atas masih sangat relevan dalam
hal kontribusi warga negara dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara menyebutkan bahwa
sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang bersifat semesta yang
melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta
dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara terpadu,
terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan
keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman, yang dilaksanakan melalui
usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa.
Yang dimaksud secara dini adalah pembangunan pertahanan negara
dilakukan pada masa damai sebagai daya tangkal dan kesiapan menghadapi
ancaman dari invasi negara lain. Secara total pengerahan dan penggunaan segenap
komponen pertahanan negara yaitu TNI sebagai komponen utama yang didukung
oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Secara terpadu berarti
pemerintah dalam mewujudkan sistem pertahanan semesta bersifat lintas sektoral
dengan melibatkan pemangku kepentingan lainnya. Secara terarah berarti wujud
kesemestaan tersebut harus disiapkan dengan membuat berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur seluruh warga negara, wilayah negara, dan

15
sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional. Secara berlanjut berarti
dilaksanakan sesuai dengan program tahapan pembangunan nasional.16
Sistem pertahanan yang bersifat semesta diwujudkan dalam tiga komponen
pertahanan yang meliputi; 1) Komponen Utama, yaitu TNI, 2) Kompnenen Cadangan
yang terdiri warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan
prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna
memperbesar dan memperkuat komponen utama, 3) Komponen Pendukung yang
terdiri warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan
prasarana nasional yang secara langsung atau tidak langsung dapat meningkatkan
kekuatan dan kemampuan komponen utama dan komponen cadangan.
Dengan demikian tanggung jawab warga negara dalam penyelenggaraan
pertahanan negara diwujudkan melalui 1) keanggotaan TNI baik secara sukarela
karena menggunakan haknya maupun secara wajib memenuhi panggilan negara, 2)
keanggotaan Komponen Cadangan atau Komponen Pendukung dan 3) pengabdian
warga negara sesuai dengan profesi yang disebut dengan Tenaga Profesi
Pertahanan Negara.

Kesimpulan

1. Penyelengaraan Pertahanan Negara diarahkan sebagai wujud


kepentingan nasional dalam menjaga pilar berbangsa dan bernegara
yang meliputi tetap tegaknya nilai-nilai Pancasila, konsistensi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan
tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta terpeliharanya
Bhinneka Tunggal Ika.

2. Masalah pertahanan negara bukan semata tanggung jawab TNI, tetapi


merupakan tanggung jawab semua elemen bangsa melalui komponen
pertahanan negara.

16
Peran Komponen Pendukung Sebagai Kekuatan Pertahanan Negara Ditinjau dari Aspek Aplikasi di
Lapangan(Binter), Staf Teritorial TNI, Jakarta, Th. 2002, hal 5.

16
3. TNI konsisten dalam rangka mewujudkan cita-cita reformasi termasuk
menjaga hubungan yang harmonis dengan masyarakat sipil didalamnya
dengan Perguruan Tinggi dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara.

Rekomendasi

Melalui forum ini atas nama Kementerian Pertahanan merekomendasikan :

1. Perlunya melestarikan nilai-nilai kebangsaan dalam pengelolaan pendidikan


sebagai wujud kepedulian terhadap penyelenggaraan pertahanan negara.

2. Kementerian Pertahanan mengharapkan adanya masukan dan saran dalam


rangka perumusan kebijakan di bidang pertahanan negara untuk dapat
diaplikasikan ditengah masyarakat.

Direktur Jenderal
Kekuatan Pertahanan

Suryadi, M.Sc
Mayor Jenderal TNI

17
Daftar Pustaka

1. Aditya Batara Gunawan, Doktrin Pertahanan Negara, Dan Kebutuhan Akan


Komponen Cadangan, Dalam Pertahanan Semesta Dan Wajib Militer,
Lesperssi, Jakarta, Th. 2008.
2. Nomenson Sinamo, Hukum Tata Negara, Suatu Kajian Kritis, Jala Permata
Aksara, Jakarta, Th. 2010.
3. Jenderal Mayor TB. Simatupang, Pelopor Dalam Perang Pelopor Dalam
Damai, Kupasan Mengenai Masalah Pertahanan Negara Dan
Angkatan Perang RI, Yayasan Pustaka Militer, Jakarta, Th. 1954.
4. Dr. Kusnanto Anggoro, Dan Anak Agung Banyu Perwita, Rekam Jejak Proses
SSR Indonesia 2000 – 2005, ProPatria, Jakarta, Th. 2006.
5. Prof. Dr. Juwono Sudarsono, Pengantar Buku Penataan Kerangka Regulasi
Keamanan Nasional, Dalam T Hari Prihatono, Penataan Kerangka
Regulasi Keamanan Nasional, ProPatria, Jakarta, Th. 2006.
6. Buku Himpunan Perundang-undangan Yang Terkait dengan
Penyelenggaraan dan Pengelolaan Pertahanan, Biro Hukum Setjen Dephan,
Jakarta, Th. 2007
7. Pendidikan Kewarganegaraan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Th.
2001
8. Doktrin Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007
9. Strategi Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007.
10. Postur Pertahanan Negara, Departemen Pertahanan, Jakarta, Th. 2007.
11. Wawasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal Sudirman, Disiapkan Pusat
Pembinaan Mental ABRI, Yayasan Kejuangan Panglima Besar Jenderal
Sudirman, Jakarta, Th. 1972.
12. Peran Komponen Pendukung Sebagai Kekuatan Pertahanan Negara Ditinjau
Dari Aspek Aplikasi di Lapangan (Binter), Staf Teritorial TNI, Jakarta, Th.
2002.

18

Anda mungkin juga menyukai