Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KULIAH 2

MATA KULIAH GEOPOLITIK DAN GEOSTRATEGI

Disusun Oleh:
Rasvan Windhi
NPM 2006509781

PROGRAM STUDI KAJIAN KETAHANAN NASIONAL


SEKOLAH KAJIAN STRATEJIK DAN GLOBAL

UNIVERSITAS INDONESIA

Jakarta, 12 Maret 2021


RESENSI BUKU “IDENTITY” KARYA FRANCIS FUKUYAMA

Judul Buku : Identitas – Tuntutan atas Martabat dan Politik Kebencian


(Judul Bahasa Inggris: Identity – The Demand for Dignity and The Politics of
Resentment)
Penulis Buku : Francis Fukuyama
Penerbit Buku : Farrar, Straus, & Giroux (New York)
Tahun Terbit : 2018

Francis Fukuyama adalah penulis berkebangsaan Amerika Serikat yang terkenal lewat
bukunya The End of History and The Last Man yang ditulis tahun 1992. Dia adalah penganut
paham demoktrasi liberal yang nampaknya sangat kentara terlihat melalui karya-karyanya,
salah satunya adalah buku berjudul Identity ini. Penulisan buku ini oleh Fukuyama dipicu
oleh Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat pada tahun 2016. Ia terkejut
sekaligus khawatir dengan nasib demokrasi di Amerika yang menurutnya merupakan kunci
sukses bagi negara maju dan menjadi kiblat bagi sistem pemerintahan modern di seluruh
dunia.

Menurut Fukuyama, politik identitas mewarnai permulaan abad 21 sampai dengan


sekarang. Ia menyatakan bahwa telah terjadi perubahan spektrum politik dari dua kelompok
di Amerika Serikat yaitu kelompok kanan dan kiri yang berbeda dengan era sebelumnya. Di
abad 20, perselisihan antara dua kelompok tersebut berada pada perbedaan dalam isu
ekonomi. Kelompok kanan mengkampanyekan kebebasan rasionalitas individu dan
keterbatasan intervensi negara dalam urusan warga negara, terutama dalam hal ekonomi.
Sedangkan kelompok kiri mengutuk keras praktek ekonomi liberal yang semakin
menyengsarakan kehidupan masyarakat dan memperlebar jarak kesenjangan antara si kaya
dan si miskin. Kemudian, saat ini kelompok kiri tidak lagi fokus kepada isu-isu ekonomi
seperti menggaungkan protes terhadap kebijakan demokrasi liberal, tetapi telah beralih
kepada isu-isu identitas seperti LGBT, inmigran, kulit hitam dan kelompok lainnya yang
identitasnya terpinggirkan. Sedangkan kelompok kanan cenderung menguatkan rasa
patriotisme nasionalisme atas negaranya.

Pada bab-bab awal, Fukuyama menjelaskan berbagai hasrat dalam jiwa manusia
termasuk keinginan untuk merasa diakui dan dianggap oleh sekitaranya, ia menyebut dengan
istilah Thymos, diambil dari percakapan Socrates dan Adeimantus. Fukuyama lebih jauh lagi
membedakan antara isothymia dan megalothyma, kedunya merupakan keinginan untuk diakui
dan dihormati, bedanya isothymia menginginkan pengakuan yang setara sedangkan
megalothymia lebih pada keinginan diakui sebagai superior. Hal ini lah yang kemudian
mendorong terjadinya berbagai identitas yang ingin mendapatkan pengakuan yang setara atau
pengakuan sebagai superior.

Pada konteks isothymia, Fukuyama menjelaskan tentang bagaimana berbagai kelompok


berjuang untuk mendapatkan hak dan pengakuan yang sama dengan yang lain. Misalnya, ia
mencotohkan gerakan yang menuntut pernikahan sesama jenis di mana pada dasarnya,
pasangan sesama jenis menuntut persamaan hak dan pengakuan yang sama dengan pasangan
heteroseksual. Mereka ingin sistem politik secara eksplisit mengakui martabat yang setara
antara kaum homoseksual dan heteroseksual. Mereka ingin adanya hak untuk menikah
sebagai penanda dari keinginan mendapatkan kesetaraan, bukan motif ekonomi. Namun,
adanya isothymia juga mucul juga megalothyma yang tak jarang sering kali menjadi oposisi
dari isothymia. Megalothyma yang menginginkan adanya superioritas ini jelas menolak
kesetaraan dengan suatu hal yang dianggap berbeda. Sebagai contoh, dalam konteks
pernikahan sesama jenis selain muncul gerakan pendukung juga muncul gerakan penolak,
sebab masih memegang teguh konsep keluarga tradisional dan superioritas heteroseksual.

Tak hanya persoalan individu, rasa keinginan untuk diakui pun muncul dalam lingkup
yang besar, Presiden Rusia, Vladmir Putin yang menyatakan bahwa ia membenci perilaku
Amerika dan Eropa yang memanfaatkan runtuhnya Uni Soviet dan berperilaku superior.
Hingga kekesalan Xi Jin Ping yang menganggap adanya penghinaan bertahun-tahun dari
Jepang dan Amerika yang mencegah kebangkitan mereka. Kejadian-kejadian lain muncul,
seperi hadirnya ISIS, kebangkitan nasionalisme Eropa, gerakan Black Lives Matter, dan lain
sebaginya ini yang kemudian dianggap menjadi tantangan demokrasi liberal. Pada kasus
terpilihnya Donald J. Trump dengan berbagai pernyataan kontroversinya ini seolah
menyebarkan ketakutan akan hilangnya ‘ke-Amerikaan’ di mana seolah diamini oleh pemilih
Trump. Kejadian Brexit pun serupa karena ketakutan akan banyaknya imigran yang akan
datang ke daratan Eropa, hingga secara bersamaan membangkitkan nasionalisme Eropa itu
sendiri. Berbagai kejadian tersebut menjadi cukup dilematis ketika melihat kembali
bagaimana demokrasi liberal membawa kebebasan untuk berpendapat, berbicara, hingga
beorientasi.
Kecenderungan paradigma politik identitas nasionalisme ini menjadikan sifat
eksklusifisme di kancah pergaulan global. Hal ini berdampak pada kebijakan terkait imigran
dan kebijakan politik luar negeri yang protektif. Hal ini tidak hanya terjadi kepada negara-
negara yang menolak paham liberalisme, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat yang pada
awalnya kita kenal adalah negara yang sangat liberal.

Meskipun cenderung bersifat negatif, menurut Fukuyama, perasaan nasionalisme itu


sendiri sangat penting bagi keberlangsungan praktik demokrasi, pertumbuhan ekonomi,
pencegahan konflik dan sebagainya. Nasionalisme dapat membangkitkan semacam identitas
nasional sehingga semua warga negara menjadi satu bagian. Semua orang akan merasa
memiliki kebanggaan atas penyatuan identitas dalam bahasa, budaya dan politik. Ketika
perasaan nasionalisme itu menyusut, maka akan terjadi kekacauan yang akan berdampak
pada perekonomian negara tersebut. Contohnya dapat kita lihat pada negara Timur Tengah
yang saat ini sedang dilanda perang saudara seperti Suriah dan Yaman.

Melihat berbagai pergolakan identitas di berbagai negara, Fukuyama kemudian


menghadirkan tawaran dalam tulisannya dengan perlunya memunculkan identitas yang lebih
besar, yaitu identitas nasional. Term identitas nasional sendiri hadir dengan argumen, bahwa
jika logika politik identitas adalah untuk memecah masyarakat menjadi kelompok-kelompok
yang lebih kecil dan lebih mementingkan diri sendiri, maka memungkinkan juga untuk
menciptakan identitas yang lebih luas dan lebih integratif. Seseorang tidak harus menyangkal
potensi dan pengalaman hidup individu untuk mengakui bahwa mereka juga dapat berbagi
nilai dan aspirasi dengan lingkaran warga yang jauh lebih luas, yaitu identitas nasional.

Melalui identitas nasional, Fukuyama membayangkan adanya keberagaman dalam


masyarakat dengan menghadurkan sebuah visi tentang bagaimana keaneragaman akan tetap
sesuai dengan tujuan bersama, termasuk mendukung demokrasi liberal. Dalam bab
terakhirnya, ia memberikan langkah konkret dari berbagai konsep yang telah disampaikan.
Menurutnya, keberagaman identitas tetap bisa berjalan positif dengan mencoba
mengintegrasikan kelompok-kelompok kecil ke dalam keseluruhan yang lebih besar menjadi
dasar kepercayaan bersama dan kewargaan. Meskipun begitu, ia menganjurkan bahwa
identitas nasional seharusnya dibangun dengan ide-ide dasar demokrasi liberal karena
menurutnya, demokrasi liberal akan lebih menghargai keberagaman dari berbagai ideologi
dan kebudayaan lainnya.
Kajian identitas Fukuyama, meskipun memberikan perspektif baru terhadap wawasan
bernegara, namun identitas nasional ala Fukuyama ini memunculkan berbagai celah, sebab ia
tetap saja merekomendasikan demokrasi liberal sebagai dasar- dasarnya. Padahal jika benar
identitas nasional yang diharapkan, maka tak bisa mendasarkan pada demokrasi liberal saja.
Ini terkait dengan pengalaman yang berbeda dalam setiap entitas masyarakat, di mana ia
menyebut sendiri dengan istilah erlebnis (pengalaman hidup).

Banyak kritikus Amerika yang menganggap bahwa Fukuyama cukup keliru dengan
menghadirkan identitas pemersatu, yaitu identitas nasional. Sebab menggunakan identitas
pemersatu ini malah memungkinkan seorang warga negara untuk meninggalkan identitas
kelompoknya dengan dalih persatuan. Identitas nasional yang digaungkan oleh Fukuyama ini
dalam waktu tertentu memang dibutuhkan, tapi jarang memenuhi kebutuhan warga sebagai
individu. Selain itu, identitas nasional ini tak jarang akan bergantung pada nilai dan norma
mayoritas. Dengan demikian maka akan kembali memarjinalkan kebutuhan kelompok
identitas yang minor.

Anda mungkin juga menyukai