Disusun Oleh:
Rasvan Windhi
NPM 2006509781
UNIVERSITAS INDONESIA
Francis Fukuyama adalah penulis berkebangsaan Amerika Serikat yang terkenal lewat
bukunya The End of History and The Last Man yang ditulis tahun 1992. Dia adalah penganut
paham demoktrasi liberal yang nampaknya sangat kentara terlihat melalui karya-karyanya,
salah satunya adalah buku berjudul Identity ini. Penulisan buku ini oleh Fukuyama dipicu
oleh Kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat pada tahun 2016. Ia terkejut
sekaligus khawatir dengan nasib demokrasi di Amerika yang menurutnya merupakan kunci
sukses bagi negara maju dan menjadi kiblat bagi sistem pemerintahan modern di seluruh
dunia.
Pada bab-bab awal, Fukuyama menjelaskan berbagai hasrat dalam jiwa manusia
termasuk keinginan untuk merasa diakui dan dianggap oleh sekitaranya, ia menyebut dengan
istilah Thymos, diambil dari percakapan Socrates dan Adeimantus. Fukuyama lebih jauh lagi
membedakan antara isothymia dan megalothyma, kedunya merupakan keinginan untuk diakui
dan dihormati, bedanya isothymia menginginkan pengakuan yang setara sedangkan
megalothymia lebih pada keinginan diakui sebagai superior. Hal ini lah yang kemudian
mendorong terjadinya berbagai identitas yang ingin mendapatkan pengakuan yang setara atau
pengakuan sebagai superior.
Tak hanya persoalan individu, rasa keinginan untuk diakui pun muncul dalam lingkup
yang besar, Presiden Rusia, Vladmir Putin yang menyatakan bahwa ia membenci perilaku
Amerika dan Eropa yang memanfaatkan runtuhnya Uni Soviet dan berperilaku superior.
Hingga kekesalan Xi Jin Ping yang menganggap adanya penghinaan bertahun-tahun dari
Jepang dan Amerika yang mencegah kebangkitan mereka. Kejadian-kejadian lain muncul,
seperi hadirnya ISIS, kebangkitan nasionalisme Eropa, gerakan Black Lives Matter, dan lain
sebaginya ini yang kemudian dianggap menjadi tantangan demokrasi liberal. Pada kasus
terpilihnya Donald J. Trump dengan berbagai pernyataan kontroversinya ini seolah
menyebarkan ketakutan akan hilangnya ‘ke-Amerikaan’ di mana seolah diamini oleh pemilih
Trump. Kejadian Brexit pun serupa karena ketakutan akan banyaknya imigran yang akan
datang ke daratan Eropa, hingga secara bersamaan membangkitkan nasionalisme Eropa itu
sendiri. Berbagai kejadian tersebut menjadi cukup dilematis ketika melihat kembali
bagaimana demokrasi liberal membawa kebebasan untuk berpendapat, berbicara, hingga
beorientasi.
Kecenderungan paradigma politik identitas nasionalisme ini menjadikan sifat
eksklusifisme di kancah pergaulan global. Hal ini berdampak pada kebijakan terkait imigran
dan kebijakan politik luar negeri yang protektif. Hal ini tidak hanya terjadi kepada negara-
negara yang menolak paham liberalisme, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat yang pada
awalnya kita kenal adalah negara yang sangat liberal.
Banyak kritikus Amerika yang menganggap bahwa Fukuyama cukup keliru dengan
menghadirkan identitas pemersatu, yaitu identitas nasional. Sebab menggunakan identitas
pemersatu ini malah memungkinkan seorang warga negara untuk meninggalkan identitas
kelompoknya dengan dalih persatuan. Identitas nasional yang digaungkan oleh Fukuyama ini
dalam waktu tertentu memang dibutuhkan, tapi jarang memenuhi kebutuhan warga sebagai
individu. Selain itu, identitas nasional ini tak jarang akan bergantung pada nilai dan norma
mayoritas. Dengan demikian maka akan kembali memarjinalkan kebutuhan kelompok
identitas yang minor.