Anda di halaman 1dari 13

NASIONALISME : ANTARA UNIVERSALISME DAN

PARTIKULARISME
Bima Arya Sugiarto

Pendahuluan
Optimisme dan harapan dari banyak pihak bahwa berakhirnya
perang dingin akan menciptakan tatanan dunia yang lebih aman dan
stabil, dengan cepat sirna seiring dengan trend baru yang bergulir begitu
kuat dan nyaris mengimbangi trend globalisasi yang lebih dulu melanda
dunia. Dunia menyaksikan, sejak awal 90an, betapa konflik etnis dan
separatisme merebak di kawasan Eropa Timur, bekas Uni Sovyet, Afrika
dan beberapa kawasan di benua Asia.
Diamond & Mc Donald mencoba memetakan masalah tersebut
dengan mengatakan bahwa dewasa ini penduduk dunia tengah berada
diantara dua paradigma (Diamond & Mc Donald: 1997). Warga dunia kini
menyaksikan dua gerakan yang secara simultan terjadi pada tatanan
internasional, Gerakan pertama adalah gerakan yang mengarah kepada
Unity (keseragaman) dimana batasan negara menjadi semakin kabur dan
dunia seolah-olah diproyeksikan menjadi “global village”. Di sisi lain juga
terjadi gerakan kedua yang mengarah justru pada diversity
(keberagaman). Jadi, sementara pada satu sisi kerjasama dan kolaborasi
menjadi perhatian utama para aktor dalam sistem internasional, disisi lain,
menguatnya identitas-identitas lokal yang terwujud dalam berbagai
gerakan dan tuntutan menjadi potensi konflik baru yang mengancam
stabilitas internasional. Benjamin Barber menggambarkannya sebagai
kekuatan “Mc World” melawan “The Forces of Jihad” (Barber 1992). Unity
versus Diversity, Universalisme Versus Partikularisme, atau Kolektivisme

Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54


Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme

versus Individualisme, menjadi potret signifikan dunia di awal abad 21 ini


yang sangat menarik untuk dijadikan fokus kajian bagi para pengamat.
Selain dari berbagai kontroversi kedua arus tersebut, yang jelas
dua arus tadi sama-sama menimbulkan satu pertanyaan besar mengenai
dua konsep vital dalam hubungan internasional, yaitu negara dan
nasionalisme. Globalisme telah menimbulkan perdebatan menarik
mengenai otoritas dari negara-bangsa dimana pada saat yang bersamaan
gerakan separatis, konflik antar etnis dan agama juga kembali
menempatkan wacana mengenai otoritas negara dan relevansi konsep
nasionalisme pada pusat perhatian para ilmuwan politik. Negara
dihadapkan pada masalah loyalitas warganya, antara individu yang
berorientasi ke arah keterikatan global dan pihak yang bergerak ke arah
penguatan subnasional. Arus manakah yang akan menjadi pemenang
pada masa-masa mendatang? Bagaimana sebetulnya konsepsi
nasionalisme seharusnya dipahami dalam kecenderungan-kecenderungan
ini. Tulisan ini, walaupun sama sekali tidak berambisi untuk menjawab
pertanyaan–pertanyaan tersebut, paling tidak akan berupaya untuk
memetakan wacana mengenai konsepsi nasionalisme ditengah-tengah
arus universalisme dan partikularisme berdasarkan kecenderungan-
kecenderungan yang semakin menguat.

ll. Berbagai Karakter Nasionalisme.


Kata “nation” yang berasal dari kata lain nasci yang berarti “lahir”,
mulai digunakan pada abad ke-13 untuk mengidentifikasi sekelompok
orang yang mempunyai kesamaan berdasarkan kelahiran ataupun ciri-ciri
fisikal lainnya. Baru pada abad ke-18 istilah nasionalisme menjadi lebih
politis dan inklusif. Austin Barel, menggunakan kata nasionalisme untuk
pertama kalinya pada tahun 1789 (Kamenka:1976). Terinspirasi oleh
pemikiran Jean Jaques Rousseau mengenai “general will” dan “popular
sovereignty”, Austin mengaitkan jargon nasionalisme dengan semangat
juang rakyat Perancis yang digambarkan sebagai pemegang kedaulatan

43
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54

Perancis, untuk melawan rejim Louis XVI. Sejak saat itulah nasionalisme
dalam konteks gerakan perlawanan terhadap penguasa menjelma menjadi
doktrin dan kredo politik yang sangat kuat dan berpengaruh. Pada
perkembangan selanjutnya virus nasionalisme menyebar ke Asia dan
Eropa dalam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
Menariknya, karakter nasionalisme bisa berubah karena berbagai
faktor politik. Ketika nasionalisme dipahami sebagai reaksi perlawanan
terhadap dominasi unsur lain maka ia memiliki karakter liberalis atau
sebagai pembebas dalam konteks kemerdekaan, keadilan dan demokrasi.
Ini merupakan konsep nasionalisme yang paling tua seperti yang
diilustrasikan pada masa Revolusi Perancis dimana liberalisme dan
nasionalisme seakan tidak dapat dipisahkan. Pada situasi kompetisi dan
persaingan internasional, dimana tumbuh ketidakpercayaan, ketakutan
ataupun kebencian terhadap negara lain, nasionalisme kemudian
mempunyai karakter chauvinis-ekspansionis (Heywood: 1998).
Nasionalisme jenis ini tidak lagi mengakui persamaan kebebasan bagi
seluruh individu atau kelompok, melainkan hak-hak atas dasar kualitas
suatu bangsa, untuk menguasai bangsa lain. Jingoism kemudian menjadi
ungkapan yang kerap digunakan untuk menggambarkan naluri dan
antusiasme masyarakat yang meluap-luap untuk mendukung kegiatan-
kegiatan ekspansi dari negaranya. Aktivis nasionalis-sayap kanan
Perancis Charles Maurras (1868-1952) menyebut paham ini dengan istilah
“integral nationalism” dimana identitas individu dan kelompok lebur ke
dalam suatu negara yang sangat kuat dan berpengaruh.
Pada periode pasca–kolonial khususnya tahun 60 dan 70an,
seiring dengan pengaruh kekuatan Amerika yang semakin kokoh, kritik
terhadap paradigma modernisasi dalam menjelaskan pembangunan di
negara-negara dunia ketiga mulai marak. Paradigma dependensi mulai
tampil sebagai pemikiran alternatif dari negara dunia ketiga sebagai reaksi
atas berbagai kebijakan barat yang dinilai banyak memberikan dampak
negatif pada proses pembangunan di negara dunia ketiga. Kiprah negara-

44
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme

negara barat ini kemudian mulai diartikan sebagai neo-kolonialisme dan


oleh beberapa rejim pemerintahan dijadikan landasan untuk membangun
jargon-jargon nasionalisme baru, yaitu memobilisasi dukungan rakyat
untuk menolak dominasi ide, kebudayaan dan tentu saja ekonomi barat.
Mengingat para pioneer dari paradigma dependensi adalah ilmuwan yang
sangat terilhami oleh pemikiran-pemikiran Marxis, agaknya dapat kita
kategorikan nasionalisme jenis ini sebagai nasionalisme sosialis-populis.
Pada situasi tertentu, nasionalisme juga dapat mempunyai
karakter yang konservatif, yaitu, ketika dipahami sebagai suatu doktrin
untuk mempertahankan tatanan & pranata sosial serta stabilitas. Prinsip
utama dari nasionalisme konservatif adalah mempertahankan persatuan
dengan membangkitkan semangat patriotik dan kecintaan terhadap
negara. Nasionalisme kemudian identik dengan pelestarian norma dan
institusi tradisional yang cenderung backward–looking karena upaya-
upayanya yang mencoba untuk menghadirkan kembali kejayaan-kejayaan
masa lalu. Kegigihan Margaret Tacher dalam mengkampanyekan
“Victorian Values” dan berbagai simbol kebesaran Inggris lainnya untuk
menghadirkan kembali jaman keemasan Inggris abad ke 19, agaknya
dapat menjadi ilustrasi yang menarik pada kategori nasionalisme-
konservatif ini. Umumnya nasionalisme jenis ini tampil ketika the sense of
national identity mengalami ancaman.
Isu-isu kependudukan kerap memberikan kontribusi pada
hidupnya nasionalisme konservatif. Persaingan ekonomi yang keras
antara penduduk asli dan pendatang atau kebijakan imigrasi yang
merugikan warga negara asli, seringkali menjadi faktor pemicu. Dalam hal
ini nasionalisme menjadi kendaraan bagi prasangka rasial atau
xenophobia, ketakutan yang berlebihan terhadap etnis asing. Tahun-tahun
belakangan ini kita menyaksikan tampilnya kembali para politikus yang
tergolong pada aliran ini --atau yang sering disebut sebagai ultra
nasionalis-- seperti Jorg Haider di Austria dan Pauline Hanson di Australia.
Para politikus ini sangat kritis terhadap kebijakan imigrasi yang merugikan

45
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54

kepentingan-kepentingan penduduk asli, dan memang nyatanya


mendapat dukungan yang cukup luas dari masyarakat, khususnya
kalangan menengah ke bawah. Pada prinsipnya nasionalisme konservatif
menyangsikan daya tahan dari negara yang terbentuk dari mullticultural
society. Resep ampuh yang kemudian ditawarkan adalah membangun
identitas nasional yang kuat yang diyakini dapat berfungsi sebagai perekat
kohesi sosial masyarakat.

III. Pertarungan Dua Arus besar: beberapa kecenderungan utama


Bagaimanakah arti nasionalisme pada awal abad 21 ini? Untuk
menjawab pertanyaan kita tidak bisa melepaskan diri dari skenario yang
mungkin terjadi sebagai akibat pertarungan dua arus besar tadi, yaitu
Universalisme versus Partikularisme. Skenario pertama adalah arus
pertama sebagai pemenang, artinya, proses globalisasi akan berjalan
mulus sehingga proyeksi “World as a global village” akan mejadi
kenyataan dimana kemudian loyalitas individu praktis akan berada dalam
konteks keterikatan global pula. Inilah masa yang sering disebut sebagai
“The End of Nationalism”. Prediksi akan berpindahnya loyalitas individu
dari negara-bangsa ini sebenarnya mulai marak sejak berakhirnya perang
dunia kedua. Beberapa ilmuwan seperti, Herz (1959) E.H Carr (1945) dan
Snyder (1960) meramalkan “kiamat” bagi nation-state atas beberapa
kecenderungan-kecenderungan. Snyder melandaskan argumennya pada
beberapa hal: pertama: meningkatnya komunikasi lintas budaya akan
memudarkan konsep identitas; kedua: merger-nya isu-isu domestik dan
internasional akan mendorong proses internasionalisme; ketiga:
kegagalan negara-bangsa dalam mengatasi masalah-masalah global
seperti lingkungan hidup, produksi pangan, wabah penyakit dll.; keempat:
ketidakmampuan negara bangsa untuk memberikan perlindungan secara
menyeluruh bagi warganya di era nuklir ini; kelima: nasionalisme
mempunyai cacat sejarah sebagai pemicu konflik; serta keenam:

46
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme

Perusahaan Multinasional (MNC) dan economic interdependence telah


mengakhiri ide economic nationalism .
Beberapa literatur yang terbit pasca perang dingin seperti Korten
(1996), Ohmae (1995), Horsman & Marshal (1994) bahkan dengan tegas
menyatakan bahwa negara-bangsa tidak relevan lagi untuk mengatasi
persoalan-persoalan global. Organisasi regional, global atau transnasional
dianggap lebih mampu berhadapan dengan berbagai isu global.
Akan tetapi, tampaknya jika kita menyimak beberapa
kecenderungan yang terus bergulir, munculnya skenario yang sama sekali
berbeda tetaplah terbuka lebar.
Pertama adalah kecenderungan rekonseptualisasi globalisasi.
Arus universalisme mulai dilihat tidak lagi sebagai suatu keharusan
sejarah dunia, melainkan suatu proses pembaratan. Para penganut
sosiologi postmodernisme secara keras mengkritik proses modernisasi
global. Mereka menentang keras asumsi Weber yang menyatakan bahwa
perubahan masyarakat dunia menuju modern merupakan hal yang tidak
terelakan dan globalisasi akan menghilangkan segenap tradisi dalam
masyarakat dunia ketiga. Kaum Postmodernis percaya bahwa sejarah
hanyalah ciptaan barat yang telah menekan masyarakat di luar kultur
barat. Para penganut Universalisme dianggap terlalu memfokuskan
analisisnya terhadap apa yang terjadi di kawasan yang relatif lebih
makmur ketimbang berbagai anomali yang juga terus berlangsung di
kawasan lainnya. Karena itu kaum sosiologi-postmodernisme menolak
proyek global dan mengajak untuk melihat perbedaan dan keunikan setiap
bagian (Rosenau : 1992). Dengan demikian, pemikiran dari kelompok ini
merupakan landasan teoritis yang menarik bagi fenomena-fenomena
partikularisme.
Kedua: Kesalahan-kesalahan kapitalisme di negara-negara dunia
ketiga yang tidak sejalan dengan proses nation building turut memberikan
kontribusi bagi menguatnya arus kontra globalisasi. Segala bentuk
kapitalisme pada negara-negara berkembang bermuara pada terciptanya

47
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54

masyarakat yang terfragmentasi secara sosial, ekonomi maupun politik.


Vesna Pesic, profesor pada University of Belgrade dan pemimpin oposisi
di Serbia mengatakan bahwa pada intinya berbagai etnik konflik yang
terjadi disebabkan karena meningkatnya ketakutan dari kelompok etnis
(the emergence of collective fear) dalam melihat prospek masa depan
kelompoknya. Lake & Rothchild (1998) kemudian membedakan ketakutan
itu atas dua hal, pertama ketakutan atas proses asimilasi kebudayaan dan
hegemoni negara dan kedua ketakutan atas keselamatan fisik dan
kelangsungan hidup. Penegasan identitas kelompok dalam bentuk
perlawanan dominasi kelompok lain kemudian akan menjadi satu jalan
yang ditempuh untuk mendapatkan rasa aman. Dalam hal ini kemajuan
teknologi dan komunikasi telah menjadi media yang efektif bagi
penyadaran identitas dan penyampaian aspirasi kelompok (Tehranian:
1999). Pendapat senada juga dilansir oleh Susan Olzak (1992) yang
menyatakan bahwa modernisasi berkecenderungan untuk makin
meningkatkan kompetisi antar etnis dalam berebut lapangan kerja, dalam
mendominasi sumber-sumber kesejahteraan, dan dalam upaya untuk
mengontrol mekanisme pasar. Olzak mengamati bahwa modernisasi yang
diyakini dapat menjadi penghancur orientasi-orientasi tradisional dan
primordial, malah justru membangkitkan sentimen etnisitas.
Hechter, seorang pakar masalah-masalah nasionalisme
berdasarkan penelitiannya mengenai fenomena Nasionalisme di kawasan
Eropa khususnya di wilayah Inggris raya, menyodorkan konsep menarik
yang ia sebut dengan “Internal Colonialism” (Hechter 2000), dimana terjadi
dominasi politik dan eksploitasi ekonomi dari wilayah core --daerah pusat
pemerintahan-- terhadap periphery-daerah-daerah pinggiran. Proses
marjinalisasi inilah yang kembali menghadirkan semangat nasionalisme
liberal --dalam perspektif periphery-- untuk melawan internal kolonialisme
tadi atau yang Hechter sebut dengan Peripheral Nationalism. Menurutnya,
semakin sentralistis bentuk pemerintahan, maka semakin kuat pula
perjuangan identitas suku atau kelompok.

48
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme

Ketiga: Tersendat-sendatnya proses pembentukan Uni-Eropa


yang sebetulnya merupakan test-case bagi proses integrasi Global,
menyiratkan keengganan penyerahan kedaulatan pada batas-batas
tertentu yang bahkan masih terdapat di negara-negara maju. Sebuah
penelitian menghasilkan temuan bahwa sebagian besar negara anggota
kurang antusias menanggapi Uni-Eropa karena kurang demokratisnya
Uni-Eropa dan terpisahnya Uni-Eropa dari kepentingan-kepentingan
warga biasa (Giddens:1999)
Kecenderungan-kecenderungan yang mengarah kepada kuatnya
arus partikularisme tadi telah membuat kita sulit untuk tiba pada suatu
tesis mengenai pudarnya peranan negara-bangsa. Asumsi kaum realis
yang meyakini bahwa kondisi dunia yang anarki tanpa eksistensi supreme
power tidak akan pernah kondusif bagi suatu jalinan kerjasama yang
permanen agaknya menarik untuk kembali dilirik. Dalam teori prisoners
dillemma, arus Universalisme dan kerjasama internasional tidak akan
pernah bisa dipahami secara mutlak oleh para aktor dalam sistem
Internasional, baik itu Negara atau Non-negara sebagai suatu jembatan
emas menuju kesejahteraan.

IV. Menuju Nasionalisme abad 21


Masalahnya kemudian adalah, jika memang partikularisme adalah
kecenderungan utama yang akan mewarnai sistem internasional,
kemanakah warga dunia akan menyerahkan loyalitasnya? Ada dua
skenario yang mungkin terjadi. Skenario pertama adalah menguatnya
kembali konsepsi nasionalisme ala Hechter dan keberhasilan dari
kelompok-kelompok untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan
sentimen etnisitas, yang berarti akan banyak terbentuk negara negara
baru berskala kecil atau yang disebut oleh Rourke sebagai “Microstates”
(Rourke:1986). Ini juga sejalan dengan prediksi dari Huntington yang
sangat populer dalam bukunya “The Clash of Civilization” (Huntington :
1993).

49
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54

Skenario kedua adalah pemberian kembali kedaulatan individu


atau kelompok baik secara suka rela ataupun terpaksa pada negara-
bangsa yang multikultur. Pada skenario ini, karena untuk mencapai tujuan-
tujuannya penguasa tetap akan dihadapkan pada keharusan memelihara
kohesivitas warganya, maka Nasionalisme sebagai alat perekat kohesi
sosial akan tetap diperlukan.
Apabila kita mengikuti cara berpikir kaum realisme, maka format
nasionalisme yang akan dikembangkan kemudian akan banyak
dipengaruhi oleh persepsi para penguasa terhadap kondisi lingkungan
internal dan eksternalnya. Sejarah mencatat bahwa semakin kuat persepsi
ancaman terhadap kohesivitas dan identitas nasional dari para pembuat
kebijakan, maka akan semakin keras pula upaya yang akan dilakukan
untuk membangun doktrin-doktrin nasionalisme. Walaupun demikian,
nasionalisme garis keras seperti ekspansionis-chauvinistik cenderung
bukan merupakan pilihan yang tepat karena karakter masyarakat yang
jelas berbeda dengan masa ketika Fasisme merajalela. Demokrasi yang
kini seolah sudah ditasbihkan sebagai “agama baru” warga dunia,
merupakan filter yang sangat kuat bagi tumbuhnya benih-benih
nasionalisme jenis tadi. Akan tetapi jika proses konsolidasi demokrasi
yang sedang berlangsung di sebagian besar kawasan dunia tidak dijalani
dengan sabar, maka Fasisme bukan tidak mungkin akan kembali
menemukan bentuknya.
Digunakannya perspektif Marxis dalam melihat persepsi ancaman
universalisme oleh para pembuat kebijakan, akan memetakan kondisi
global dalam wujud core-versus periphery dalam konteks neo-
kolonialisme. Selanjutnya, sentimen nasionalisme Sosialis–Populis akan
menemukan jalannya. Dukungan rakyat yang dimobilisasi pemerintah
kemudian menjadi alat perekat yang diandalkan bagi upaya menjaga
kohesivitas masyarakat. Pola seperti ini cenderung terjadi di negara-
negara Selatan. Kritisisme Mahathir Muhammad terhadap kiprah negara
Barat dalam ekonomi internasional, atau konsistensi perlawanan Fidel

50
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme

Castro dan Sadam Hussein terhadap Amerika agaknya dapat dilihat dari
perspektif Nasionalisme Sosialis-Populis ini.
Bagi negara-negara yang relatif lebih mapan baik dari segi
ekonomi ataupun sosial, kembali kepada nasionalisme konservatif
merupakan skenario yang juga mungkin, dengan upayanya memperkokoh
tatanan tradisional. Konsep ini cenderung mengabaikan faktor multikultur
dan mengandung bibit-bibit rasialisme, sehingga lebih memungkinkan
untuk terjadi di masyarakat homogen karena pada masyarakat plural,
nasionalisme ini hanya akan menimbulkan gejolak-gejolak sektarian.
Jika skenario ini terjadi maka konstelasi politik internasional
mungkin saja akan kembali menjadi bipolar, berdasarkan dikotomi Utara-
Selatan. Kubu negara berkembang dengan nasionalisme sosialis-
populisnya di satu sisi dan kekuatan negara-negara maju dengan
konsepsi nasionalisme konservatifnya di sisi lain. Bagi negara-negara
Utara, nasionalisme konservatif ini tidak lantas menegaskan paradigma
liberalisasi perdagangan. Kaum neoliberal seperti Tatcher yang menganut
nasionalisme konservatif sangat tertarik pada ekonomi pasar dan percaya
bahwa pasar bebas dapat diselaraskan dengan nilai-nilai tradisional.
Pada kasus Amerika Serikat, dapat dipelajari beberapa hal
menarik. Sejak akhir abad ke 18 , Amerika telah membangun “nilai-nilai
Amerika” atau yang sering disebut dengan “American Creed”. Selama
beratus-ratus tahun nilai inilah yang berperan sangat signifikan sebagai
identitas nasional yang sekaligus menjadi ideologi dan nasionalisme
Amerika. Nilai-nilai kebebasan, persamaan, individualis, demokrasi dan
konstitusi telah menjadi konsensus nasional yang menjadi pengikat warga
Amerika. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa nilai-nilai Amerika ini
mengendalikan dukungan lebih dari 75% populasi negara itu (Devine:
1972). Luasnya konsensus terhadap nilai-nilai tersebut terbukti dengan
stabilitas sistem politik Amerika, dengan didasari asumsi bahwa
konsensus pada nilai ditransformasikan ke dalam dukungan institusional.
Kini propaganda nilai-nilai Amerika secara global yang dimulai secara

51
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54

sistimatis sejak 1982 melalui kebijakan fenomenal Ronald Reagan yang


lebih dikenal dengan “project democracy”, sebetulnya dapat juga dipahami
sebagai upaya Amerika untuk mempertahankan identitas nasionalnya.
Artinya, arus universalisme hanyalah merupakan instrumen dari
nasionalisme Amerika. Semakin luas penyebaran nilai-nilai Amerika maka
semakin muluslah pencapaian kepentingan Amerika dan semakin kuat
pulalah konsensus warga Amerika terhadap negaranya. Dalam konteks ini
Nasionalisme Amerika dewasa ini pada satu sisi dapat memiliki muatan
konservatisme, karena mempertahankan nilai-nilai tradisional Amerika dan
penolakan yang tegas terhadap nilai-nilai ideal dari perspektif timur,
misalnya. Pada sisi lain, nuansa ekspansionis-chauvinistik juga cukup
kentara karena penyebaran nilai-nilai yang diyakini paling ideal tadi ke
seluruh dunia. Setiap upaya perlawanan pihak asing terhadap propaganda
nilai-nilai Amerika tersebut juga dapat memperkuat dukungan internal
terhadap legitimasi pemerintah. Populernya Jendral Norman Schwarzkopf
yang dianggap sebagai pahlawan perang teluk di kalangan warga Amerika
dan dukungan kuat mayoritas rakyat Amerika terhadap tindakan tegas
Clinton dalam mengatasi kebandelan Sadam Husein menggambarkan
betapa nasionalisme Amerika tadi menghasilkan efek ganda.
Selain konsep-konsep nasionalisme diatas tadi, masih adakah
suatu kemungkinan bagi nasionalisme jenis lain untuk berkembang
dimasa depan? Tawaran Anthony Giddens dalam hal ini mungkin juga
dapat dijadikan bahan diskusi yang menarik. Giddens (1999)
menyodorkan konsep nasionalisme-kosmopolis yaitu suatu paham
kebangsaan dimana terdapat kepekaan yang sama dari individu baik
sebagai warga global, nasional, maupun lokal. Dimana penerimaan
terhadap identitas lain senafas dengan rasa kebangsaan, dimana
identitas-identitas nasional selalu berada dalam lingkungan yang
kolaboratif dan jauh dari konotasi Chauvinist. Prof M.T Zen, guru besar
geofisika terapan ITB, juga mempunyai pemikiran yang selaras dengan
Giddens. Menurutnya definisi seorang nasionalis adalah seorang yang

52
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme

commited untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa dan


perdamaian dunia untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik (Zen
1999)
Dalam hal ini selain nasionalisme mengindikasikan adanya
dimensi loyalitas global, nasionalisme juga tidak hanya ditafsirkan sebagai
pengikat yang emosional, tetapi juga rasional. Faktor rasionalitas inilah
yang lebih tepat dalam menghadapi perubahan-perubahan global, dimana
pemerintah tidak lagi dianggap sebagai penafsir tunggal nasionalisme.
Loyalitas kepada negara-bangsa akan sangat tergantung dari kemampuan
negara-bangsa untuk meningkatkan kualitas hidup warganya.
Pemahaman nasionalisme seperti inilah yang bisa disebut dengan welfare
nationalism. Suatu perspektif yang sangat logis jika kita percaya bahwa
pada akhirnya penguasa akan tunduk pada kepentingan warganya. Jika
tidak, maka Marx mungkin benar, hidup ini sebenarnya adalah dialektika
dan perulangan sejarah, betapapun kelamnya sejarah itu.***

Daftar Pustaka:

Barber, Benjamin. Jihad Vs Mc World. Kota terbit: The Atlantic Monthly, V 269
March 1992.

Carr, E.H. 1945. Nationalism & After, London: Macmillan.

Devine, Donald. 1972. The Political Culture of the United States. Boston: Little
Brown.

Diamond & Mc Donald. Tahun. Multitrack Diplomacy: A Sistems Approach to


Peace.. Kota terbit: Penerbit.

Giddens, Anthony. 1998. The Third Way. Cambridge: Polity Press.

Hechter, Michael. 2000.Containing Nationalism. New York: Oxford University


Press.

Herz, The Rise of Demise of Territorial States. World Politics 9, 1959.

Heywood, Andrew. 1998.Political Ideologis: An Introduction. London: Macmillan


Press Ltd.

53
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54

Horsman, Mathew & Andrew Marshal. 1994. After The Nation State: Citizens,
Tribalism & The World Disorder. New York: Harper Collins Publisher.

Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations and The Remaking of World
Order. New York: Simon and Schuester Inc.

Kamenka, E. (ed). 1976. Nationalism: The Nature & Evolution of an idea. London:
Edward Arnold.

Korten, David. 1996. When Corporations Rule The World. Conecticut California:
Kumarin Press Inc & Berret-Koehler Publisher.

Lake & Rotchild. 1998. The International Spread of Ethnic Conflict. Princeton:
Princeton University Press.

Ohmae, Kenichi. 1995. The End of The Nation State. The Rise of The Regional
Economics. New York: The Free Press.

Olzal, Susan. 1992. The Dynamics of Ethnic Competition & Conflict. Stanford:
Stanford University Press.

Rosenau, Pauline Marie. 1992. Post-Modernism & The Social Sciences, Insights,
Inroads & Intrusion. Princeton: Princeton University Press.

Snyder. 1960. Varieties of Nationalism. Cambridge: Harvard University Press.

Tehranian, Madjid. 1999. Global Communication & World Politics: Domination,


Development & Discourse. Colorado: Lynne Reannar.

Zen, M.T. 1999. Developing New Nationalism & Building a High Standard of
Professionalism in The Maritime Continent of Indonesia: A Global
Paradox. Jakarta: PT IAGI ke 28, November 1999.

54

Anda mungkin juga menyukai