PARTIKULARISME
Bima Arya Sugiarto
Pendahuluan
Optimisme dan harapan dari banyak pihak bahwa berakhirnya
perang dingin akan menciptakan tatanan dunia yang lebih aman dan
stabil, dengan cepat sirna seiring dengan trend baru yang bergulir begitu
kuat dan nyaris mengimbangi trend globalisasi yang lebih dulu melanda
dunia. Dunia menyaksikan, sejak awal 90an, betapa konflik etnis dan
separatisme merebak di kawasan Eropa Timur, bekas Uni Sovyet, Afrika
dan beberapa kawasan di benua Asia.
Diamond & Mc Donald mencoba memetakan masalah tersebut
dengan mengatakan bahwa dewasa ini penduduk dunia tengah berada
diantara dua paradigma (Diamond & Mc Donald: 1997). Warga dunia kini
menyaksikan dua gerakan yang secara simultan terjadi pada tatanan
internasional, Gerakan pertama adalah gerakan yang mengarah kepada
Unity (keseragaman) dimana batasan negara menjadi semakin kabur dan
dunia seolah-olah diproyeksikan menjadi “global village”. Di sisi lain juga
terjadi gerakan kedua yang mengarah justru pada diversity
(keberagaman). Jadi, sementara pada satu sisi kerjasama dan kolaborasi
menjadi perhatian utama para aktor dalam sistem internasional, disisi lain,
menguatnya identitas-identitas lokal yang terwujud dalam berbagai
gerakan dan tuntutan menjadi potensi konflik baru yang mengancam
stabilitas internasional. Benjamin Barber menggambarkannya sebagai
kekuatan “Mc World” melawan “The Forces of Jihad” (Barber 1992). Unity
versus Diversity, Universalisme Versus Partikularisme, atau Kolektivisme
43
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54
Perancis, untuk melawan rejim Louis XVI. Sejak saat itulah nasionalisme
dalam konteks gerakan perlawanan terhadap penguasa menjelma menjadi
doktrin dan kredo politik yang sangat kuat dan berpengaruh. Pada
perkembangan selanjutnya virus nasionalisme menyebar ke Asia dan
Eropa dalam bentuk perlawanan terhadap kolonialisme.
Menariknya, karakter nasionalisme bisa berubah karena berbagai
faktor politik. Ketika nasionalisme dipahami sebagai reaksi perlawanan
terhadap dominasi unsur lain maka ia memiliki karakter liberalis atau
sebagai pembebas dalam konteks kemerdekaan, keadilan dan demokrasi.
Ini merupakan konsep nasionalisme yang paling tua seperti yang
diilustrasikan pada masa Revolusi Perancis dimana liberalisme dan
nasionalisme seakan tidak dapat dipisahkan. Pada situasi kompetisi dan
persaingan internasional, dimana tumbuh ketidakpercayaan, ketakutan
ataupun kebencian terhadap negara lain, nasionalisme kemudian
mempunyai karakter chauvinis-ekspansionis (Heywood: 1998).
Nasionalisme jenis ini tidak lagi mengakui persamaan kebebasan bagi
seluruh individu atau kelompok, melainkan hak-hak atas dasar kualitas
suatu bangsa, untuk menguasai bangsa lain. Jingoism kemudian menjadi
ungkapan yang kerap digunakan untuk menggambarkan naluri dan
antusiasme masyarakat yang meluap-luap untuk mendukung kegiatan-
kegiatan ekspansi dari negaranya. Aktivis nasionalis-sayap kanan
Perancis Charles Maurras (1868-1952) menyebut paham ini dengan istilah
“integral nationalism” dimana identitas individu dan kelompok lebur ke
dalam suatu negara yang sangat kuat dan berpengaruh.
Pada periode pasca–kolonial khususnya tahun 60 dan 70an,
seiring dengan pengaruh kekuatan Amerika yang semakin kokoh, kritik
terhadap paradigma modernisasi dalam menjelaskan pembangunan di
negara-negara dunia ketiga mulai marak. Paradigma dependensi mulai
tampil sebagai pemikiran alternatif dari negara dunia ketiga sebagai reaksi
atas berbagai kebijakan barat yang dinilai banyak memberikan dampak
negatif pada proses pembangunan di negara dunia ketiga. Kiprah negara-
44
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme
45
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54
46
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme
47
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54
48
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme
49
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54
50
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme
Castro dan Sadam Hussein terhadap Amerika agaknya dapat dilihat dari
perspektif Nasionalisme Sosialis-Populis ini.
Bagi negara-negara yang relatif lebih mapan baik dari segi
ekonomi ataupun sosial, kembali kepada nasionalisme konservatif
merupakan skenario yang juga mungkin, dengan upayanya memperkokoh
tatanan tradisional. Konsep ini cenderung mengabaikan faktor multikultur
dan mengandung bibit-bibit rasialisme, sehingga lebih memungkinkan
untuk terjadi di masyarakat homogen karena pada masyarakat plural,
nasionalisme ini hanya akan menimbulkan gejolak-gejolak sektarian.
Jika skenario ini terjadi maka konstelasi politik internasional
mungkin saja akan kembali menjadi bipolar, berdasarkan dikotomi Utara-
Selatan. Kubu negara berkembang dengan nasionalisme sosialis-
populisnya di satu sisi dan kekuatan negara-negara maju dengan
konsepsi nasionalisme konservatifnya di sisi lain. Bagi negara-negara
Utara, nasionalisme konservatif ini tidak lantas menegaskan paradigma
liberalisasi perdagangan. Kaum neoliberal seperti Tatcher yang menganut
nasionalisme konservatif sangat tertarik pada ekonomi pasar dan percaya
bahwa pasar bebas dapat diselaraskan dengan nilai-nilai tradisional.
Pada kasus Amerika Serikat, dapat dipelajari beberapa hal
menarik. Sejak akhir abad ke 18 , Amerika telah membangun “nilai-nilai
Amerika” atau yang sering disebut dengan “American Creed”. Selama
beratus-ratus tahun nilai inilah yang berperan sangat signifikan sebagai
identitas nasional yang sekaligus menjadi ideologi dan nasionalisme
Amerika. Nilai-nilai kebebasan, persamaan, individualis, demokrasi dan
konstitusi telah menjadi konsensus nasional yang menjadi pengikat warga
Amerika. Suatu penelitian menyimpulkan bahwa nilai-nilai Amerika ini
mengendalikan dukungan lebih dari 75% populasi negara itu (Devine:
1972). Luasnya konsensus terhadap nilai-nilai tersebut terbukti dengan
stabilitas sistem politik Amerika, dengan didasari asumsi bahwa
konsensus pada nilai ditransformasikan ke dalam dukungan institusional.
Kini propaganda nilai-nilai Amerika secara global yang dimulai secara
51
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54
52
Bima Arya Sugiarto
Nasionalisme: antara Universalisme dan Partikularisme
Daftar Pustaka:
Barber, Benjamin. Jihad Vs Mc World. Kota terbit: The Atlantic Monthly, V 269
March 1992.
Devine, Donald. 1972. The Political Culture of the United States. Boston: Little
Brown.
53
Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, Agustus 2001: 42-54
Horsman, Mathew & Andrew Marshal. 1994. After The Nation State: Citizens,
Tribalism & The World Disorder. New York: Harper Collins Publisher.
Huntington, Samuel. 1996. The Clash of Civilizations and The Remaking of World
Order. New York: Simon and Schuester Inc.
Kamenka, E. (ed). 1976. Nationalism: The Nature & Evolution of an idea. London:
Edward Arnold.
Korten, David. 1996. When Corporations Rule The World. Conecticut California:
Kumarin Press Inc & Berret-Koehler Publisher.
Lake & Rotchild. 1998. The International Spread of Ethnic Conflict. Princeton:
Princeton University Press.
Ohmae, Kenichi. 1995. The End of The Nation State. The Rise of The Regional
Economics. New York: The Free Press.
Olzal, Susan. 1992. The Dynamics of Ethnic Competition & Conflict. Stanford:
Stanford University Press.
Rosenau, Pauline Marie. 1992. Post-Modernism & The Social Sciences, Insights,
Inroads & Intrusion. Princeton: Princeton University Press.
Zen, M.T. 1999. Developing New Nationalism & Building a High Standard of
Professionalism in The Maritime Continent of Indonesia: A Global
Paradox. Jakarta: PT IAGI ke 28, November 1999.
54