Anda di halaman 1dari 9

Perang Asimetrik: global, regional dan nasional1

Kusnanto Anggoro2

Tak seorangpun menyangkal bahwa terorisme, penyebaran senjata pemusnah massal, kejahatan
transnasional terorganisasi, dan penggunaan kekerasan oleh suatu kelompok sub-nasional
merupakan masalah serius. Namun belum tentu semua orang sepakat bahwa mereka merupakan
masalah asimetrik, peperangan asimetrik, atau perang asimetrik – yang sarat dengan konotasi
politik dan hubungan relasional antar aktor, bukan sekedar masalah keamanan non-konvensional
atau non-tradisional.1 Persamaan pada tataran global, regional maupun nasional hanya terlihat
pada betapa fenomena asimetrik merupakan sesuatu yang unpredictable, unconventional, dan
berbagai “un” yang lain. Perang ataupun peperangan asimetrik menjadi lebih rumit karena
simetri (anti-asimetri) tidak bisa dirumuskan. Fenomena peperangan asimetrik membalik hampir
seluruh diktum perang. Center of gravity bukan tulang punggung, tapi detak jantung. The fog of
war dan the friction of war bukan sesuatu yang harus dihindari, tetapi justru harus diciptakan.
Bagi pihak yang lebih lemah, tujuan politik bukan untuk menang tetapi self satisfaction, baik
berupa martyrdom, keuntungan komersial, atau mengikis legitimasi politik lawan. Tentu ada
variasi titik berat keberadaan karakter-karakter seperti pada beberapa aktor yang sering dianggap
melakukan peperangan asimetrik – negara, insurgent/gerilyawan, organisasi kriminal
transnasional, maupun teroris.

Fenomena asimetrik pada tingkat global

Siapa yang dianggap sebagai penabur ancaman asimetrik juga amat kontekstual, sebagian
diantaranya karena memang asimetrisitas dirumuskan dalam konteks kemampuan, intensi, dan
beragam masalah struktural. Amerika Serikat, misalnya, sebagian diantaranya karena peran
global, menjadikan aktor negara seperti Iran, Korea Utara dan Kuba maupun mereka yang
memiliki kemampuan cyber seperti China dan Rusia sebagai ancaman asimetrik. 2 Amerika juga
masih menganggap kekuatan insurgensi yang sering dihadapinya di daerah “operasi
kemanusiaan” seperti Afghanistan dan Iraq merupakan ancaman asimetrik. 3 Sementara itu China
dan Rusia menganggap kekuatan domestik, misalnya Tibet dan Chechnya, sebagai ancaman
asimetrik. Beberapa negara Asia Tenggara memasukkan fenomena subnasional, partikularisme
identitas lokal, dan berbagai hal lain terkait dengan ancaman terhadap bina-=bangsa dan bina-
negara sebagai persoalan asimetrik.

1 Preliminary draft untuk diskusi tentang Peperangan Asimetrik, Seminar “Menjawab


Tantangan Perkembangan Asymetric Warfare di Kawasan nasional, regional dan internasional”,
Universitas Pertahanan Indonesia, Lantai VIII, Gedung Piere Tendean Kementerian Pertahanan
Republik Indonesia, 7 Desember 2011
2 Dr. Kusnanto Anggoro, pengajar masalah-masalah strategi, keamanan dan politik luar
negeri pada beberapa program pasca-sarjana di beberapa perguruan tinggi; dapat dihubungi
melalui belanegari@gmail.com dan diikuti melalui www.twitter/kusanggoro
1
Aksi terorisme, senjata pemusnah massal, insurgensi/gerilya modern, dan serangan cyber
merupakan empat ancaman asimetrik yang paling serius bagi beberapa Barat. Langsung atau
tidak, bagi Amerika Serikat mereka itu terkait dengan Al Qaeda, Korea Utara dan Iran maupun
Kuba, para gerilyawan Iraq pasca-Saddam Hussein, dan bahkan China serta Russia. Mereka
menjadi ancaman asimetrik karena mereka memang memiliki kriteria asimetrik terhadap pusat
gravitas negara-negara itu.(Lihat background Paper). Mereka dibicarakan dalam konteks
organisasional, khususnya dengan kejahatan kriminal terorganisasi, insurgensi dan gerilya, serta
organisasi teroris internasional khususnya Al Qaeda. Mereka juga dikaitkan dengan senjata non-
konvensional (nuklir, kimia dan biologi) maupun senjata unkonvensional seperti laser, cyber,
ranjau darat maupun beberapa jenis senjata lain yang tidak berada dalam kekangan rejim
anti/non-proliferasi.

Tentu saja berbagai dimensi, aspek dan aktor itu telah banyak dibicarakan dalam berbagai
perspektif. Perspektif asimetrik menekankan beberapa aspek saja, yang seharusnya memang
dilihat sebagai sesuatu yang distinctive dari berbagai fenomena lain. Distinctive features itu
adalah asimetri dari segi kemampuan, intensi, dan lingkungan struktural di mana mereka berada.
Gambar 1 sekedar untuk menunjukkan komplikasi dari fenomena asimetrik, terutama tentang
bagaimana elemen kemampuan tertentu, misalnya senjata pemusnah massal, cyber capability
maupun organisasi jejaring meruppakan potensi asimetrik bagi negara atau non-negara; dan
bagaimana perbedaan intensi aktor-aktor simetrik tersebut ketika melakukan peperangan di
mandala yang tak lagi dapat dibatasi dari segi teritorialitas.

Perlu dicatat bahwa sesuatu yang bisa menjadi kemampuan bagi satu aktor, bisa menjadi intensi
bagi aktor yang lain. Composite asymmetry merupakan tantangan baru dan tidak mudah dijawab
baik secara akademik, orientasi kebijakan, maupun opsi-opsi strategis serta langkah operasional
yang diperlukannya. Perpaduan antara kompleksitas struktur, yang menyebabkan fog of war
maupun friction of war taklagi dipahami seperti dalam pandangan Clausewitzian yang
konvensional. Begitu pula halnya dengan kecenderungan multifacet, khususnya ketidakjelasan
antara kemampuan dan intensi, menyebabkan center of gravity yang pada umumnya lebih
dipahami sebagai tulang punggung kekuatan, dipahamai sebagai titik lemah. Strategic/tactical
targetting oleh karenanya lebih mengutamakan sasaran-sasaran non-militer tetapi memiliki
banyak makna,mulai dari sisi perekonomian maupun pelayanan publik ataupun sekedar simbol-
simbol negara.

Tak diragukan bahwa dari sisi kejadian (events) banyak data yang dapat disimak. Fokus pada 3-5
tahun belakangan ini, beberapa data base menunjukkan menurunnya ancaman terorisme global 4
tetapi meningkatnya berbagai bentuk kejahatan internasional. Di berbagai tempat, perompakan
cenderung menurun, kecuali di Tanduk Afrika (Sonalia) yang sepanjang tahun 2009-2010
merupakan 50-60 persen dari perompakan di seluruh dunia. Namun merosotnya terorisme global
itu disertai dengan meningkatnya penggunaan cara-cara teror oleh insurgent dan gerilyawan,
khususnya di Afghanistan dan Irak, dan hingga tingkat tertentu oleh perompak Somalia, kartel
narkotika di Kolombia dan Meksiko. Senjata pamusnah massal telah lama menabur kecemasan.
Kecenderungan baru terkait fenomena asimetrik adalah bagaimana proliferasi itu bisa dilakukan
oleh aktor non-negara seperti Abdul Rauf Khan, atau terjadi bersamaan dengan konsolidasi
strategi peperangan laut asimetrik oleh Iran, 5 atau hadir bersama dengan keikutsertaan mantan

2
anggota KGB dalam Mafia Russia dan narco-terrorisme di Meksiko, 6 serta keterlibatan Korea
Utara dalam beragam bentuk tindak kriminal transnasional, mulai dari penyelundupan senjata
sampai dengan pemalsuan mata uang. Isu nuklir Iran dan/atau Korea Utara tidak bisa dilihat
melulu dari segi perimbangan kekuatan regional dan/atau proliferasi nuklir tetapi dinilai sebagai
sesuatu yang membawa komplikasi tersendiri bagi munculnya kecenderungan komposit dalam
peperangan asimetrik.

Hal serupa berlaku untuk Rusia dan China. Dalam 8 tahun ini saja, China dicurigai telah
melakukan lebih dari 10 kali serangan cyber ke sasaran-sasaran strategis di Amerika Serikat. 7
Serangan-serangan itu menimbullan berbagai bentuk kerugian, mislanya pencurian data (Titan
Rain 2004, Lockheed Martin 2009), diversi pengiriman data ke beberapa perwakilan AS di
seluruh dunia (Biro Asia Timur 2006, Ghosnet 2009), serangan pribadi ke beberapa tokoh yang
di kenal anti-China (Frank Wolf 2006, Bill Nelson 2009), sampai dengan sekedar gangguan
untuk offline (NWC, Desember 2006) atau bahkan mengganti seluruh sistem dengan komputer
baru (Departemen Perdagangan, 2003).8 Tahun 2011 Rusia dicurigai sebagai penyerang
prasarana air minum di beberapa kota Amerika.

Potensi dan kemungkinan meningkatnya ancaman asimetrik selalu ada. Yang sering menjadi
persoalan lebih serius adalah seberapa besar kemungkinan itu akan terjadi. Betapapun seriusnya
ancaman cyber attacks, misalnya, kemampuan seperti itu baru dimiliki oleh aktor negara seperti
China, Iran, Rusia – selain Inggris dan Amerika Serikat. Menurut internal Memo dalam NATO,
pelaku-pelaku non-negara mash dikategorikan sebagai near-capable.9 Betapapun seriusnya
perpaduan antara terorisme dengan insurgensi, kejadian itu terutama terjadi di daerah pasca
konflik yang melibatkan keikutsertaan aliansi barat. Namun fenomena yang tak bisa diingkari
adalah bahwa transformasi aktor, opsi strategis, dan penyesuaian dari segi targetting tampaknya
akan semakin cepat di masa yang akan datang. Mungkin itu pula sebabnya mengapa munculnya
ancaman asimetrik telah membawa berbagai konsekuensi, antara lain penguatan rejim
internasional, kerjasama keamanan, legalisasi kewenangan negara yang lebih kuat, sampai
dengan upaya-upaya yang lebih spesifik terkait dengan force structure, force elements, maupun
bagaimana modalitas operasi taktis harus dilakukan.

The danger of viscious militarization in Asia and the Pacific

Betulkah ada ancaman asimetrik di kawasan Asia Pasifik, dan seberapa besar ancaman itu
memang bersifat asimetrik dan harus dihadapi dengan, sebut saja untuk sementara, strategi
kontra-asimetri. Tidakkah mereka lebih mudah dianggap sebagai masalah keamanan non-
tradisional atau non-konvensional saja. Kalau bukan peperangan asimetrik, tetapi cukup
menganggu, tidakkah kemudian agak berlebihan untuk menyebutnya sebagai “war” atau sekedar
“regional disorder”. Masing-masing membawa komplikasi tersendiri, misalnya kebutuhan akan
“strategic warfare” dan counter-unconventional tactics atau sekedar pendekatan diplomatik untuk
reordering. Tentu, kalaupun tidak dipandang sebagai peperangan asimerik, mereka tetap
merupakan tantangan, bahkan ancaman, yang amat serius.

3
Jawaban dari persoalan itu bervariasi, seringkali tergantung pada kepada siapa kita bertanya dan
dalam konteks apa pertanyaan itu diajukan. Modernisasi persenjataan tak bisa dicegah,
kecenderungan umum di Asia Pasifik adalah introduksi teknologi baru, khususnya matra udara
dan laut, yang sangat sarat dengan teknologi information operation. Tiadanya perang bukan
berarti tiadanya kegentingan. Si vis pacem para belum! “para-bellum” tidak melulu persoalan
gelar sepapan, yetapi juga bagaimana mempersiapkan force element, strategic information,
logictical support, maupun beragam tata organisasi yang diperlukan untuk dapat memasuki
palagan dengan dada tengadah. Tiadanya deklarasi perang bukan berarti tidak ada peperangan,
sekalipun mungkin terbatas dalam bentuk tertentu seperti electronic warfare, information
warfare atau yang lain-lain sekalipun mungkin tidak pada tingkat military objectives yang
ekstrim, sekedar untuk mengetahui apa yang terjadi dan dilakukan oleh pihak lain.

Dalam 5 tahun belakangan ini kecenderungan itu muncul dalam suasana ketegangan, belum
dalam suasana permanen, misalnya ketika terjadi sengketa wilayah antara Korea dengan Jepanf
atau China dengan Jepang. Bukan tidak mungkin hal serupa juga terjadi antara China dengan
Taiwan. Tak jelas apakah itu memang harus ditafsirkan sebagai sesuatu yang lead to a war, atau
memang begitulah dinamika perang di dunia maya.

Pada tataran naratif tentu tidak sulit mengidentifikasi beberapa fenomena asimetrik di Asia
Pasifik, sekalipun negara-negara Assia Pasifik memandang dari perspektif yang berbeda. Iran
dan Korea Uara, misalnya, bukan aktor yang dipandang sebagai ancaman asimetrik, sekalipun
sering dilihat sebagai negara yang mengancam keseimbangan kekuatan regional. Response
terhadap hiruk pikuk yang ditumbulkan oleh mereka bukanlah militer, tetapi diplomatik. Mereka
adalah soal konvensional dan balance of power. Pernyataan diplomatik dari Russia dan China,
kedua-duanya anggota Dewan Keamanan PBB, tentang krisis nuklir Iran dan Semenjaung Korea,
mengindikasikan asimetrik behaviour Teheran dan Pyongyang sebagai konsekuensi dari
imperialisme dan arogansi Amerika. Kalaupun ada beberapa features dari Iran dan Korea Utara
yang menjadi common concern di Asia Pasifik adalah weapons of mass destruction -- produksi,
distribusi, dan ketidakpastian yang bisa terjadi di masa depan.

Beragam masalah keamanan non-tradisional muncul. Migrasi internasional dapat mengubah


delicate ethnic balance di beberapa negara. Criminal organization merupakan nexus yang
sekaligus mengancam otoritas negara dan kepentingan korporasi. Terorisme menebar maut
kepada penduduk, dan mengurangi legitimasi negara. Di kawasan Asia Pasifik dan Asia
Tenggara yang kerap diidentifikasi sebagai pelaku peperangan asimetrik adalah organisasi
teroris, kejahatan transnasional, dan bentuk kekerasan terorganisasi yang lain. China, Jepang,
Filipina dan Thailand masih concern tentang kekerasan terorganisasi di Xinjiang dan Tibet,
radikalisme agama, gerilawan Moro, dan Thailand Selatan. Cyberwar belum merupakan
kecemasan serius di Asia Pasifik, mungkin dengan perkecualian Singapura, Australia dan
Jepang. Sekalipun mulai munncul di beberapa dokumen resmi, seperti Buku Putih China dan
Jepang, hal itu hanya disinggung sepintas lalu dalam Buku Putih Pertahanan Malaysia,
Indonesia, dan Vietnam. Australia dan Singapura secara spesifik memang menganggap
cyberwar sebagai ancaman terhadap kepentingan nasional mereka.

Kawasan adalah linking up antara nasional dan internasional. Kecemasan internasional dan
kerawanan domestik oleh sebab itu penting untuk diperhatikan mengapa seuatu menjadi isu

4
asimetrik. Sebab itu kalaupun harus dibuah distinksi, tanpa mengabaikan kemungkinan
interseksi, dari apa yang terjadi pada tataran global adalah bagaimana cara negara-negara
kawasan mengidentifikasi apa yang disebut sebagai peperangan asimetris. Di Barat, identifikasi
itu mengandalkan pada struktural approach, dengan state/organizational type of identification,
dan oleh sebab itu yang predominan adalah Al Qaeda, Korea Utara, Iran, gerilyawan Iraq pasca
Saddam Hussein. Di Asia Pasifik, tentu dengan perkecualian bagi mereka yang terkait langsung
dengan Amerika Serikat, identifikasi itu dilakukan berdasarkan gejala (phenomenological-
based), dan sebab itu yang lebih menonjol adalah transnansionalisasi dari gerakan teror,
kriminal, seperatis dan radikalisme domestik.

Kerjasama regional adalah satu-satunya modalitas yang feasibel untuk menghadapi peperangan
asimetrik. Beberapa ancaman yang disebut diatas telah lama menjadi kecemasan bagi ARF,
APEC, East Asian Summit, dan ASEAN. Namun solusi Asia Pasifik masih amat terbatas, titik
paling jjauh yanag dihasilkan adalah CBM, Preventive Diplomacy, serta berbagai bentuk
kerjsasama untuk peningkatan kapasitas negara (legislasi, kompetensi penegakan hukum, tukar-
menukar informasi, coordinated cooperation, community bulding). Formula itu agak berbeda
dengan Barat, misalnya dalam kerangka NATO, yang sudah sampai pada militarization of
policing dan militarizatin of intelligence terutama dalam border protection tasks atau target
identification tasks. Tidak tertampung dalam kerjasama di Asia Pasifik adalah, antara lain, isu
terkait dengan modern warfare (naval, air srike, information, land). Proliferation Security
Initiatives (PSI), Maritime Security Initiatives dan ReCAPP (Regional Cooperation on Arms
Robbery and Piracy) adalah kerjasama beberapa negara tetapi tidak dalam kerangka regional.

Missing point di Asia Pacific adalah kerjasama yang secara langsung bersentuhan dengan the use
of force atau the potential of using force. Protection of border, jika dilakukan masih terbatas
pada tukar menukar informasi intelijen, peningkatan kapasitas aparat penegak hukum atau cara-
cara tidak langsung, misalnya dengan membetuk perdagangan cross-border. Di Asia Pasific,
combating terrorisme menjadi sesuatu yang miniscule dibanding dengan kecenderungan
dominan untuk memerangi akar masalah terorisme. Pada tataran nasional, beberapa negara
kembali menekankan pentingnya “keamanan negara” melalui restriksi kebebasan warganegara,
misalmya seperti munculmya kembali rejim-rejim keamanan informasi atau kerahasiaan
informasi di beberapa negara.

Betulkah ada concerns peperangan asimetrik di Asia Pasifik, seberapa besar konflik itu
mengancam negara dan kestabilan regional kawasan tetap menjadi persoalan akademik. Selat
Malaka semakin padat menjadi lintasan kepal komersial dari Timur Tengah menuju Asia Timur.
Kerentanan domestik di Thailand, Kamboja, dan beberapa negara Asia Tenggara lain bukan tidak
mungkin mengawali metamorfese dari modalitas dari satu model asimetri ke model yang lain.
Terorisme dan piracy menurun, namun metamorfose selalu mungkin terjadi. Konon salah satu
sebab metamorfose dari modalitas asimetrik satu ke lainnya, dalam skala yang lebih koersif,
justru karena excessive respose. Perompak bisa saja justru menjadi teroris maritim.

Peperangan asimetrik di Indonesia

5
Seperti halnya regional merupakan linking up antara yang internasional dan nasional, nasional
adalah linking up antara regional dan sub-nasional. Dynamics of globalization dan localization
jelas merupakan salah satu faktor yang menentukan tentang bagaimana Indonesia memandang
peperangan asimetrik. Indonesia yang, menurut Anderson dianggap sebagai imagined
community, tercermin dalam bagaimana rumusan itu dilakukan., kerawanan nasional dan
penetrasi asing merupakan kunci segenap pembahasan tentang ancaman asimetrik. Di Indonesia,
fenomena asimetrik sering dianggap sebagai fenomena perang modern (modern war) yang
berisfat mutidimensional, bukan persoalan peperangan modern (modern warfare) yang harus
dihadapi dengan strategi non- atau un-conventional.10 Tak heran jika formula yang kerap muncul
adalah peningkatan ketahanan nasional, bukan peningkatan kapasitas keamanan nasonal.
Inferiority complex sebuah negara bajang menyebabkan identifikasi tentang fenomena
asimetrik lebih dipandang sebagai instrumen Barat untuk mengikis kedaulatan Indonesia,
daripada kegagalan negara untuk membangun hubungan state-market-society yang lebih baik.

Persoalan kita di Indonesia bukanlah kesadaran mengenai ada/tidaknya fenomena asimetrik


namun bagaimana menempatkan fenomena itu dalam konteks perang, strategi peperangan
(strategic resposne) dan/atau taktis operasional. Kesadaran cukup besar, mungkin agak
berlebihan dan terjadi distorsi, displacement, dan misorientasi untuk menjawabnya. Istilah
asimetrik muncul dalam naskah akademik RUU Sistem Keamanan Nasional Lemhannas,
diskursus keamanan nasional Kementerian Pertahanan maupun berbagai diskusi publik.
Teknologi modern (internet), globalisasi nilai-nilai universal, fenomena kejahatan transnasional,
terorisme, dan perkembangan pada tataran global maupun regional tercakup dalam wacana itu.
Dalam Shangri La Dialogue pertengahan tahun ini, Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro
menyinggung tentang ancaman asimetrik sebagai salah satu ancaman paling serius yang telah
menjadi fenomena global. Kementerian Kominfo bergumul dengan berbagai regulasi untuk
mengamankan dunia maya dari berbagai bentuk ancaman melalui kerawanan sistem informasi.
Salah satu konsideran Badan Intelijen Negara ketika mengajukan RUU Intelijen juga didera
oleh kebutuhan untuk mengendalikan ruang pertempuran tak berbentuk itu.

Namun konsep asimetrik hanya disinggung sambil lalu dalam Buku Putih Pertahanan (2008)
maupun Strategi Pertahanan Indonesia (2008).11 Itupun dalam konteks keamanan non-
tradisional atau non-konvensional, dan oleh sebab itu condong menggarisbawahi tantangan
terhadap keamanan nasional daripada langkah strategis untuk menghadapi sebuah peperangan
yang bersifat asimetrik. Penguatan komponen utama difokuskan pada pembentukan beberapa
ribu personil komponen cadangan ( reservis), bukan pada kemampuan industri dan teknologikal.
Pada tataran kebijakan, titik paling jauh yang dicapai adalah bahwa “keamanan menyeluruh
harus dihadapi dengan seluruh sumberdaya nasional”; “ancaman nirmiliter dihadapi oleh
instansi sipil sebagai komponen utama dan TNI sebagai pendukung”. Dengan mengatakan
bahwa “perang asimetrik terjadi dalam bentuk bermacam gangguan “ketika kerusuhan dan
berbagai gejolak hukum telah melanda dan tidak dapat dihadapi”, 12 seorang mayor infanteri yang
bekerja di Kementerian Pertahanan tampaknya ingin menyampaikan pesan tentang pentingnya
melibatkan TNI dalam masalah-masalah non-pertahanan – yang dalam konteks Indonesia sampai
saat ini tetap menjadi perdebatan politik, bukan opsi strategis.

Dalam wacana publik, lingkup ancaman asimetrik ditafsirkan sebagai ranah yang amat luas,
mulai dari sms fitnah, propaganda media asing,13 dukungan LSM internasional untuk

6
melemahkan NKRI, atau yang lain. Mengaitkan kerentanan sosial dan meluasnya tapalbatas
maya, Lemhannas dan Universitas Gajahmada condong menafsirkan fenomena asimetrik sebagai
sesuatu yang mengancam ketahanan nasional daripada keamanan nasional. Solusi umumnya
berkisar soal pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 14 dan/atau pemantapan ketahanan nasional serta
konsep sistem keamanan nasional yang komprehensif.

Di Indonesia, seperti di Barat, peperangan asimetrik diakui sebagai taktik perang kaum lemah
melawan pihak yang lebih kuat. Namun berbeda dengan Barat yang condong mencari solusi
strategis, Indonesia memilih menafsirkan perang asimetrik sebagai perang modern, yang
memerlukan jawaban komprehensif, dan terutama dengan memperkuat ketahanan nasional.
Sebagian karena konstruksi geostrategis dan historis, solusi Indonesia untuk meredam perang
asimetrik adalah menyejahterakan kaum lemah sehingga tak ada lagi gugatan terhadap
legitimasi negara. Barangkali karena sifatnya yang inward looking, atau karena semangat
“million friends, zero enemy” strategi asimterik tidak akan digunakan untuk counter-asymmetric
warfare melawan negara lain yang menggunakan irregularitas untuk mengikis otoritas,
kemandirian, dan kemerdekaan Indonesia.

Catatan Akhir: sedulur papat, lima pancer!

Beberapa butir pemikiran berikut sekedar menegaskan ulang beberapa kecenderungan yang
telah dipaparkan sebelumnya. Pertama, fenomena asimetrik merupakan “unknown, uknowns”,
tak seorangpun tahu ke mana akan berujung. Fenomena yang mulai muncul adalah “emerging
composite pictures” dari fenomena asimetrik itu sendiri. Rough-states-terorisme-kejahatan
lintasbatas-gerakan radikal dalam negeri terajur menjadi satu. Perlindungan wilayah nasional,
penegakan hukum, keselamatan dan ketertiban masyarakat menjadi tak terpisahkan satu dari
yang lain. Kita tahu bahwa saat ini fenomena asimetrik sudah menjadi “emerging composite
pictures”. Kita tetap tidak tahu apa yang akan terjadi besok karena dinamika fenomena asimetrik
tidak hanya mengikuti non-linear curve tetapi juga tangential space. There will be no limit.

Kedua fenomena peperangan asimetrik bukanlah fenomena baru. Taktik asimetrik dikenal sejak
lama, seperti terlihat dari Aswathama Gangsir, Samson-Goliath, Parthian-Alexander (Agung),
Bhuyans-Sultan Akbar (India Moghul), maupun gerilyawan melawan para penguasa kolonial.
Yang baru adalah lebih mudahnya aksesibilitas alat kekerasan, perluasan battlefield,
terdiversifikasinya sasaran peperangan, dan motivasi self-satisfaction. Manipulasi kelemahan
lawan adalah fenomena lama, setua sejarah perang, yanag sejak ribuan tahun silam dibayangkan
oleh SunTzu, Chanakya Kautilya, Kresnadwipayana Wyasa, dan Walmiki. Titik kelemahan itu
menjadi seakan-akan baru hanya dalam perspektif Wesphalian. The political elements of the
center of gravity is changing.

Ketiga, kalau betul bahwa nation-states diakui sebagai sovereign authority, maka seiring dengan
adequate statecraft seharusnya sovereignty itu ditafsirkan bukan hanya sebagai the rights to
exploit tetapi juga the responsibility to protect di dalam nation-states itu sendiri. Dalam kontrak
politik antara negara dan masyarakat, ketidakberdayaan negara untuk menegakkan kedaulatan
internal harus dipandang sebagai the absence of political will, continued negligence, and

7
prevailed ignorance. Penetrasi, intervensi, dan rekayasa asing, kalau ada, harus dijawab dengan
pandangan outward looking.

Keempat, perang bisa saja multidimensional dan terjadi di berbagai battlespace, namun strategi
tetap harus dirumuskan berdasarkan kontekstualisasi dimensi dengan particular battlefields.
Differentiated stretegy itu harus menampilkan diri dalam specific operational tactics di setiap
palagan – rongrongan media asing, propaganda, radikalisme, organisasi kejahatan transnasional,
terorisme maritim, operasi informasi, maupun yang lain. Diferensiasi strategi dan partikularisasi
taktik operasional itu merupakan konsekuensi logis dari pemerintahan demokratik tetapi juga
kebutuhan alami untuk peningkatan kompetensi, profesionalitas para pelaksana yang akan
memanggul tombak di lapangan yang berbeda.

Pada akhirnya, keempat hal itu bermuara pada kebutuhan ganda, dua sisi dari keping mata uang
yang sama. Di satu sisi, yang diperlukan adalah otoritas sekuritisasi, tentu dalam batas-batas
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratik, peduli kemanusiaan, dan ambeg paramaartha
kepentingan publik. Berbeda dari logika ketahanan nasional yang bertumpu pada solusi adanya
redundancy, reserves, atau non-projective actions, sekuritisasi justru menuntut proventive
actions. Di sisi lain, partikularisasi taktik operasional itu meniscayakan perlunya effect-based
operation di setiap battlespace, termasuk tetapi tidak terbatas di dunia kemiliteran. Berbeda dari
peperangan konvensional, effect based operation dalam peperangan asimetrik tampaknya tidak
memiliki tujuan militer lebih dari sekedar “netralisasi”.

Bisa dipastikan bahwa keharusan ini akan membawa implikasi serius pada sesuatu yang di dunia
kemiliteran dikenal dengan sebagai antara lain force structure, force elements, dan chain of
command, rules of engagement, code of conducts dan sebagainya. Entah bagaimana
mentransformasi gagasan-gagasan itu untuk juga diterapkan pada instansi-instansi penyelenggara
pemerintahan yang lain -- tetap berpijak pada kompetensi dan fungsi normal masing-masing
dengan tetap membuka ruang bagi kemungkinan sekuritisasi terbatas.

Endnotes:

8
1 Secara teoretis ada beberapa persyaratan utuk menyebut sesuatu dalam kerangka, teori, dan
analisis tentang asimetri. Tanpa menggunakan kerang yang tepat tidak mustahil fenomena asimetrik
akan mengundang unnecessary securitization, non-differentiated strategy, dan inadequate tactical
responses. Hal itu dapat bermuara lebih jauh, misalnya apa yang dalam literatur disebut sebagai
defence dilemma, yaitu ketika postur pertahanan tidak lagi relevan dengan kebutuhan penangkalan
dan/atau pertahanan. Untuk analisis singkat tentang masalah ini lihat Kusnanto Anggoro,
“Fenomena Asimetrik: dinamika, karakter, dan agenda kajian” – paper yang pada mulanya
disiapkan untuk seminar ini.
2 David E. Long, “Countering Asymmetrical Warfare in the 21st Century: A Grand Strategic
Vision”, Strategic Insights, Volume VII, Issue 3 (July 2008)
3 Patrick Henrichon, “Protecting Canadian Forces against Asymmetric threats”, the Canadian
Military Journal (Winter 2002-2003)
4 Data dalam 5 tahun belakangan ini menunjukkan penurunan dari segi kurban jiwa maupun
luka. Meskipun demikian, dari segi rasio serangan/kurban jiwa sebenarnya terjadi peningkatan dari
0.74 (2008), 0.71 (2009) menjadi 0.88 (2010). Menurunnya jumlah insiden tetapi meningkatnya
rasio kurban itu merupakan petunjuk bahwa kemungkinan besar serangan teroris lebih banyak
dilakukan terhadap sasaran-sasaran yang lebih terbuka dan/atau menggunakan senjata yang lebih
mematikan (lethal). Tidak tertutup kemungkinan bahwa berkurangnya serangan itu merupakan
pertanda bahwa upaya penanggulangan terorisme cukup berhasil di beberapa negara.
5 Doktrin perang laut yang dirumuskan pada tahun 2005 itu menegaskan tentang bagaimana
intimidasi, selective targetting, dan martyrdom merupakan doktrin yang embedded bagi Iran.
“intimidasi” dan “martyrdom: saja merupakan doktrin yang, dari sudut pandang Amerika, tidak
rasional dan oleh sebab itu menjadikan Iran merupakan ancaman yang bersifat asimetris. Iran juga
merupakan satu dari 5 negara yang memiliki memampuan cyber attacks.
6 Lihat David Goldman, “The cyber Mafia has already hacked you”, CNN MoneyTech, 27 Juli
2011
7 Jason, Fritz, “How china will use cyber warfare to leapfrog in military competitiveness”
Culture Mandala, Vol. 8, No. 1, October 2008, pp.28-80
8 Lihat Josh Rogin, “The top 10 Chinese cyber attacks”, 22 January 2010.
9 NATO versus Cyber attacker: Internal memo (24 Mei 2011)
10 Lokakarya yang diselenggarakan oleh Dewan Riset Nasional, 10 Juli 2007.Lokakarya
tersebut membahas berbagai hal terkait dengan perang asimteris, termasuk teknologi informasi.
11Buku Putih Pertahanan Indonesia (Jakarta, kementerian Pertahanan Republik Indonesia,
2008): hal 13. Dalam Buku Putih Pertahanan itu istilah asimetrik dikaitkan sebagai bagian dari
fenomena global, isu ancaman lintas negara (transnational) dalam beragam bentuk, misalnya
pembuangan limbah beracun, narkotika dan obat terlarang sampai dengan terorisme.
12 Mayor Inf Andy Irawan Ch, S.Sos, “Analisa Perang Asimetris dihadapkan sebagai
Pertahanan Semesta”, Tandef 2010.
13 Indonesia Jadi Sasaran Perang Asimetris Intelijen Asing, Antara, 9 April 2011
14 Lihat Panji R Hadinoto, “Pasal 33 UUD 1945 Tangkal Perang Asimetrik”, Situs Berita
Indonesia, 9 Juli 2008

Anda mungkin juga menyukai