Anda di halaman 1dari 14

Hubungan Internasional merupakan sebuah disiplin ilmu yang dinamis.

Hal tersebut ditandai


dengan banyaknya peristiwa yang dapat dilihat dari perpektif yang beragam. Selain memiliki
perspektif tradisional, Hubungan Internasional juga mempunyai perspektif alternatif. Salah satu
perspektif alternatif tersebut adalah Feminisme. Pada dasarnya pemikiran Feminisme ada di
setiap ilmu sosial. Salah satu hal menarik mengenai Feminisme yang berbeda dengan
Posmodernisme adalah pemikirannya yang hadir secara langsung dari pengalaman perjuangan
politik. Awal pemikiran Feminisme di setiap tempat berbeda-beda. Seperti contoh di Amerika
Serikat muncul pada tahun 1900an sedangkan di Indonesia pada masa kolonial tepatnya saat R.A
Kartini mengusung emansipasi bagi wanita Indonesia. Dalam Hubungan Internasional sendiri
Feminisme hadir secara meluas pada akhir 1980an. Berakhirnya Perang Dingin dan adanya
reevaluasi dari teori tradisional Hubungan Internasional sepanjang tahun 1990an memunculkan
issu baru mengenai gender (Dugis. 2014). Isu gender telah menerima perhatian yang meningkat
di banyak bidang ilmu sosial dalam dekade terakhir ini. Titik awal memperkenalkan gender pada
Hubungan Internasional sering merupakan perdebatan tentang perbedaan mendasar antara laki-
laki dan perempuan dan akibat dari perbedaan tersebut dalam politik dunia (Jackson & Sorenson,
1999:331).
            Berbicara mengenai gender, penulis akan menjelaskan mengenai perbedaan gender
dengan seks. Seks adalah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis dan melekat
pada jenis kelamin tertentu. Konsep jenis kelamin (seks) digunakan untuk membedakan laki-laki
dan perempuan berdasarkan unsur biologis dan anatomi tubuh. Contohnya laki-laki mempunyai
jakun, perempuan mempunyai rahim yang dapat memproduksi indung telur. Alat-alat yang
dimiliki pria dan wanita tersebut merupakan atribut yang selamanya melekat pada setiap manusia
dan fungsinya tidak dapat dipertukarkan. Alat-alat tersebut bersifat permanen tidak berubah dan
merupakan ketentuan biologis atau ketentuan Tuhan (kodrat). Karena itu jenis kelamin (seks)
merupakan sifat bawaan dengan kelahirannya sebagai manusia. Sementara gender adalah  suatu
istilah yang digunakan untuk menggambarkan pembedaan antara laki-laki dan perempuan secara
sosial. Gender adalah kelompok atribut dan perilaku yang dibentuk secara kultural yang ada pada
laki-laki dan perempuan. Gender sebagai hasil konstruksi sosial maupun kultural. Contohnya
saja wanita dianggap lemah lembut, emosional, keibuan. Sementara pria dianggap kuat, rasional,
perkasa (Herwanto, 2013).
            Terdapat tiga pendekatan teoritis utama pada gender adalah Feminisme liberal,
Feminisme marxis, dan Feminisme radikal. Feminisme liberal memiliki hak-hak yang sama bagi
laki-laki dan perempuan sebagai fokus utamanya. Feminis liberal menunjukkan bahwa hak-hak
liberal dasar atas kehidupan, kebebasan dan kepemilikan tidak meluas dalam tindakan yang sama
bagi perempuan. Feminisme marxis menggambarkan posisi rendah perempuan dalam struktur
ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis. Menurut Aliran Feminisme Marxis, penindasan
perempuan adalah bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan
selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapitalisme. Sementara Feminisme radikal lebih
ekstrim lagi. Menurut penganut aliran feminis radikal, patriarki adalah sumber  penindasan yang
merupakan sistem hirarki seksual dimana laki-laki memiliki kekuasaan superior
dan privilege ekonomi. Feminisme radikal tidak ingin disamakan antara laki-laki dengan
perempuan (Jackson & Sorensen, 1999:335-338).
            Sementara menurut True (2001), Feminisme dibagi atas Feminisme empiris, Feminisme
analitis, dan Feminisme normatif. Feminisme empiris berfokus pada perempuan dan
mengeksplorasi gender sebagai dimensi empiris dari hubungan internasional. Feminisme empiris
mengangkat isu mengenai eksploitasi wanita sebagai akibat dari globalisasi ekonomi yang
kemudian memunculkan inequality terhadap kaum wanita (True, 2001:216). Feminisme analitis
mendekonstruksi kerangka teori dalam Hubungan Internasional, mengungkapkan bias gender
yang meliputi konsep kunci dan menghambat pemahaman yang akurat dan komprehensif dari
Hubungan Internasional. Feminisme analitis juga mencoba mendekonstruksi kembali perspektif
mengenai feminitas dan maskulinitas yang secara asimetris terkonstruksikan secara sosial (True,
2001:221-228). Sementara Feminisme normatif merefleksikan proses teori Hubungan
Internasional sebagai bagian agenda normatif perubahan global. Feminisme normatif tidak lagi
melihat diskriminasi dalam bentuk oposisi biologis pria dan wanita maupun pemikiran maskulin-
feminin. Feminisme normatif lebih melihat pada bagaimana dan darimana posisi tertentu dapat
diperoleh (True, 2001:228-229).
            Beberapa asumsi dari pemikiran Feminisme secara umum adalah pertama, keadaan asli
manusia dapat diubah. Feminisme percaya bahwa manusia adalah makhluk rasional, namun
kapasitas manusia dapat berkembang melalui proses pendidikan. Kedua, para penganut
Feminisme sulit untuk membedakan batas antara fakta dan nilai. Ketiga, terdapat hubungan yang
erat dan khusus antara pengetahuan dan power. Cara hidup dari masyarakat dianggap telah
terpengaruh oleh keterkaitan lingkungan dan kekuasaan. Serta yang keempat adalah Feminisme
memiliki komitmen mengenai liberalisasi maupun emansipasi wanita (Steans et al, 2005:165).
            Terdapat beberapa tema yang dikemukakan Steans et al (2005) mengenai Feminisme.
Tema pertama berbicara tentang negara dan power. Perspektif feminis jika dihubungkan dengan
negara adalah menantang gagasan bahwa hubungan gender itu tidak ada hubungannya dengan
politik internasional (Steans et al, 2005:168). Tema kedua mengenai identitas dan komunitas
dengan institusi dan tatanan dunia sebagai tema ketiga. Di seluruh dunia perjuangan untuk
kedaulatan rakyat dan kemerdekaan nasional telah mendorong tuntutan untuk hak-hak
kewarganegaraan. Karena hal ini, perempuan sering diuntungkan. Selain itu, di dunia ini banyak
lembaga kemasyarakatan yang bergerak dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan anak.
Hal tersebut juga tercermin dalam perjanjian Geneva yang megatur permasalahan perempuan
dan anak-anak dalam perang. Gender juga merupakan faktor sentral dalam memahami tatanan
dunia (Steans et al, 2005:169-171). Tema keempat berbicara mengenai ketidaksetaraan dan
keadilan. Seperti pandangan dari Feminisme marxis, wanita seharusnya diberi kesempatan yang
sama dalam hal pekerjaan. Dalam era globalisasi seperti sekarang angka peluang pekerjaan yang
didapat oleh kaum wanita terus bertambah (Steans et al, 2005:173-174). Tema yang kelima
mengenai perdamaian dan keamanan. Para penganut Feminisme liberal berpendapat bahwa
keamanan global tidak akan tercapai jika tidak ada pengakuan dan penghormatan atas hak asasi
manusia yang melekat pada setiap orang terutama kaum wanita. Hal itu pula yang membuat
Hubugan Internasional tidak lagi hanya dipandang secara state-centric, namun dipandang pula
sebagai people-centric. Serta tema yang terakhir berkaitan dengan konflik dan kekerasan. Tidak
seperti pemikiran Realis yang menganggap bahwa keadan yang anarki membuat konflik dan
kekerasan wajar untuk terjadi, para penganut Feminisme melihat bahwa kekerasan bukan
merupakan endemik dari hubungan internasional (Steans et al, 2005:176-178).
            Layaknya perspektif-perspektif yang ada di Hubungan Internasional, Feminisme pun
tidak lepas dari adanya kritik-kritik yang ditujukan padanya. Kritik-kritiknya antara lain pertama,
Feminisme dikatakan memiliki kecenderungan untuk melihat perspektif gender untuk
menciptakan kesetaraan gender, namun apa yang terjadi adalah Feminisme terlalu fokus kepada
sisi wanita. Kedua, perspektif tentang gender dianggap gagal karena tidak mampu memberikan
pandangan secara koheren terkait dengan fenomena Hubungan Internasional sendiri. Ketiga,
Feminisme sebagai divisi gender dikatakan hanya melihat hubungan antara pria dan wanita saja,
padahal masih banyak kategori lain yang perlu dibahas dalam hubungan internasional. Serta
yang terakhir adalah kecenderungan Feminisme untuk berangkat dari generalisasi wanita saja
(Steans et al, 2005:180-181). Terlepas dari kritiknya, pemikiran Feminisme juga memiliki
konstribusi terhadap Hubungan Internasional. Konstribusi besarnya adalah menjadikan agenda
marjinal sebagai agenda utama dalam Hubungan Internasional (Dugis, 2014). Feminisme
menawarkan studi Hubungan Internasioal dengan berbagai perspektif dengan issu yang baru
dalam ranah feminis bahwa gender tidak hanya tentang perempuan namun juga tentang cara
politik internasional dibentuk, dipelajari, dan diimplementasikan (Tickner & Sjoberg, 
2007:200).
            Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Feminisme merupakan salah satu perspektif
alternatif dalam Hubungan Internasional. Perspektif tradisional menawarkan pandangan
mengenai hubungan internasional secara state-centric, lain halnya dengan Feminisme yang lebih
memandang secara people-centric. Feminisme hadir sebagai reaksi dari dunia yang terlau
bersifat maskulin dengan cirinya seperti perang, konflik, keamanan, dan lain sebagainya. Fokus
utama mengenai pandangan Feminisme adalah kesetaraan gender. Terdapat tiga pendekatan dari
Feminisme, yaitu Feminisme liberal, Feminisme marxis,dan Feminisme radikal. Namun menurut
True, terdapat tiga macam Feminisme. Yakni Feminisme empiris, Feminisme analitis, dan
Feminisme normatif. Sama halnya dengan perspektif lainnya yang ada di Hubungan
Internasional, Feminisme juga menerima beberapa kritikan. Namun terlepas dari itu, pemikiran
Feminisme telah memberi konstribusi besar dalam Hubungan Internasional dengan menjadikan
agenda marjinal sebagai agenda utama dalam Hubungan Internasional.
            Penulis beropini dengan adanya perspetif Feminisme dalam Hubungan Internasional
semakin menambah kedinamisan dari disiplin ini. Pemikiran Feminisme mengenai kesetaraan
gender yang diusung membuat mata masyarakat dunia terbuka untuk melihat sesuatu yang tidak
selalu mengenai negara namun lebih kepada orang-orang yang di dalamnya. Sebagai contoh
banyaknya wanita sebagai pemimpin negara maupun organisasi yang besar sehingga
berpengaruh pada kebijakan yang dihasilkanya. Sebut saja tokoh seperti Margareth Tatcher
dengan julukannya sebagai wanita besi serta Indira Gandhi yang memiliki banyak partisipan. Isu
teraktual datang datang dari Ukraina, dimana para demonstran masih merupakan pendukung dari
mantan perdana menteri Ukraina Tymoshenko yang mana merupakan pemimpin oposisi dari
presiden Viktor Yanukovych.
Referensi:
Dugis, Vinsensio. 2014. Perkuliahan Teori Hubungan Internasional Minggu IX: Gender &
Feminism. Surabaya. Universitas Airlangga.
Herwanto. 2013. Perkuliahan Pengantar Sosiologi Minggu XI: Gender dan Kajian tentang
Perempuan. Surabaya. Universitas Airlangga.
Jackson, Robert & Sorensen, Georg. 1999. Introduction to International Relations. Terjemahan
oleh Suryadipura, Dadan. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas. 2005. Introduction to International Relations,
Perspectives & Themes,  2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 6, pp. 155-180.
Tickner, J. Ann & Sjoberg, Laura, 2007. Feminism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith
(eds.) International Relations Theories. Oxford University Press, pp. 185-202.
True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International
Relations, Palgrave, pp. 231-276.
Jenis kelamin dalam hubungan internasional.

Meskipun tujuan buku ini adalah untuk memperkenalkan gender sebagai kategori analisis ke
dalam disiplin hubungan internasional, marginalisasi wanita di arena pembuatan kebijakan
asing melalui jenis gender stereotype yang saya jelaskan menunjukkan bahwa politik
internasional selalu menjadi aktivitas gender dalam sistem negara modern. Karena
kebijakan luar negeri dan militer terutama dilakukan oleh pria, tindakan disiplin yang
dianalisis pasti terutama tentang pria dan pria jantan. Akan tetapi, kita jarang menyadari apa
yang kita pikirkan dalam istilah - istilah ini; Dalam kebanyakan bidang pengetahuan kita telah
terbiasa untuk menyamakan apa yang manusia dengan apa yang maskulin. Tidak ada
tempat lain mana pun yang lebih benar daripada dalam hubungan internasional, suatu
disiplin yang, sementara itu sebagian besar menolak pengenalan gender ke ceramahnya,
mendasarkan asumsi dan penjelasannya hampir seluruhnya pada kegiatan dan pengalaman
manusia. Setiap upaya untuk memperkenalkan analisa yang lebih eksplisit ke lapangan oleh
karena itu harus dimulai dengan membahas tentang kejantanan.

Maskulinitas dan politik memiliki hubungan yang erat dan panjang. Ciri-ciri yang berkaitan
dengan "kejantanan", seperti ketangguhan, keberanian, kekuasaan, kemerdekaan, dan
bahkan kekuatan fisik, telah, sepanjang sejarah, merupakan sifat-sifat yang paling dihargai
dalam perilaku politik, khususnya politik internasional. Sering kali, kejantanan juga dikaitkan
dengan kekerasan dan penggunaan kekerasan, suatu jenis perilaku yang, sewaktu
dilakukan di arena internasional, telah diteguhkan dan disambut tangan atas nama membela
negaranya

Perayaan kekuasaan laki-laki, terutama pemujaan dari prajurit laki-laki, menghasilkan lebih
dari dikotomi jenis kelamin daripada yang ada dalam kenyataan karena, sebagaimana
ditunjukkan R. W. Connell, gambaran umum tentang kejantanan ini tidak cocok bagi
kebanyakan pria. Connell berpendapat bahwa apa yang ia sebut "kemaskulinan hegemoni",
sejenis maskulinitas yang dominan secara budaya yang ia pilih dari maskulinitas bawahan
lainnya, merupakan idealisme sosial yang, meskipun tidak sesuai dengan kepribadian yang
sebenarnya dari mayoritas manusia, mendukung wewenang patriarkat dan melegitimasi
tatanan politik dan sosial patriarkat

 Maskulinitas hegemoni didukung melalui penentangannya terhadap berbagai bawahan dan


mengurangi maskulinitas, seperti homoseksualitas, dan, yang lebih penting, melalui
kaitannya dengan berbagai femininitas yang merosot nilai. Perbedaan gender yang
dibangun secara sosial didasarkan pada hubungan yang disetujui secara sosial, tidak
seimbang antara pria dan wanita yang memperkuat kepatuhan dengan superioritas yang
dinyatakan oleh pria. Tidak ada tempat di dunia umum yang gambaran gender yang
stereotip ini lebih jelas daripada di dunia politik internasional, di mana karakteristik yang
terkait dengan maskulinitas hegemonik diproyeksikan pada perilaku negara-negara yang
keberhasilannya sebagai pelaku internasional diukur dalam hal kemampuan dan kapasitas
mereka untuk menolong diri sendiri dan otonomi.

 Definisi Connell tentang kejantanan hegemoni tergantung pada pertentangan dan hubungan
yang tidak seimbang dengan berbagai femininitas bawahan. Banyak feminis kontemporer
memanfaatkan hubungan yang juga dibangun secara sosial dalam definisi mereka tentang
perbedaan gender. Secara historis, perbedaan antara pria dan wanita biasanya dianggap
sebagai biologi. Tetapi, ketika para feminis menggunakan istilah gender dewasa ini, mereka
umumnya tidak mengacu pada perbedaan biologis antara pria dan wanita, tetapi pada
serangkaian karakteristik yang berbentuk budaya dan jelas yang berhubungan dengan
kemaskulinan dan feminim. Karakteristik ini dapat dan melakukan bervariasi waktu dan
tempat. Dalam pandangan ini, biologi mungkin membatasi perilaku, tetapi itu hendaknya
tidak digunakan "secara intelektual" atau "secara alami" untuk membenarkan praktik,
institusi, atau pilihan yang dapat berada di luar kebiasaan. Meskipun apa artinya menjadi
pria atau wanita bervariasi di budaya dan sejarah, dalam kebanyakan budaya perbedaan
jenis kelamin menandakan hubungan ketidaksetaraan dan dominasi wanita oleh pria. Joan
Scott juga mencirikan jenis kelamin sebagai "unsur dasar hubungan sosial berdasarkan
perbedaan yang dirasakan antara jenis kelamin, dan … Cara utama untuk menandakan
hubungan kekuasaan."
 Memang, seseorang dapat mencirikan pengetahuan feminis paling modern dalam hal
keyakinan ganda bahwa perbedaan gender telah memainkan peran penting dan penting
dalam pembentukan ketimpangan sosial dalam banyak sejarah manusia dan bahwa
perbedaan yang diakibatkannya dalam mengidentifikasi diri, pemahaman manusia, status
sosial, dan hubungan kekuasaan tidak dapat dibenarkan. Scott mengklaim bahwa cara di
mana pemahaman kita tentang gender menandakan hubungan kekuasaan adalah melalui
serangkaian konsep normatif yang menetapkan interpretasi arti simbol. Dalam budaya barat,
konsep-konsep ini mengambil bentuk pertentangan biner yang tetap yang menegaskan arti
maskulin dan feminin dan karenanya melegitimasi satu set hubungan sosial yang tidak
sama.
 Scott dan banyak feminis kontemporer lainnya menegaskan bahwa, melalui penggunaan
bahasa, kita memahami dunia melalui pertentangan biner ini. Pemahaman barat kita tentang
gender didasarkan pada satu set perbedaan biner yang ditetapkan secara budaya, seperti
publik versus pribadi, obyektif versus lainnya, nalar versus emosi, otonomi versus
keterhubungan, dan budaya versus alam; Yang pertama dari setiap pasangan karakteristik
biasanya terkait dengan maskulinitas, yang kedua dengan feminim.
 Scott mengklaim bahwa pembangunan hierarkis dari perbedaan ini dapat mengambil
kualitas tetap dan permanen yang mempertahankan penindasan wanita: karena itu mereka
harus ditantang. Untuk melakukannya kita harus menganalisis cara oposisi biner ini
beroperasi dalam konteks yang berbeda dan, daripada menerimanya sebagai tetap,
berusaha menggantikan konstruksi hirarki mereka.
 Ketika banyak perbedaan antara wanita dan pria tidak lagi dianggap alami atau tetap, kita
dapat memeriksa bagaimana hubungan ketidaksetaraan gender dibangun dan didukung di
berbagai tempat dalam kehidupan publik dan pribadi. Dalam berkomitmen pada gender
sebagai kategori analisis, feminisme kontemporer juga berkomitmen pada kesetaraan
gender sebagai tujuan sosial.
 Memperluas tantangan Scott ke bidang hubungan internasional, kita bisa segera mendeteksi
satu set yang sama oposisi biner hierarkis. Namun, terlepas dari hubungan politik
internasional yang tampak jelas dengan ciri-ciri maskulin yang diuraikan di atas, bidang
hubungan internasional merupakan salah satu bidang ilmu sosial terakhir yang disentuh oleh
analisis gender dan perspektif feminis. Ada alasan untuk ini, saya percaya, bukanlah bahwa
bidang ini netral secara jenis kelamin, yang berarti bahwa pengenalan jenis kelamin tidak
relevan dengan pokok bahasan seperti yang dipercayai banyak pakar, tetapi bahwa hal itu
sedemikian maskulinnya sehingga pekerjaan dari hubungan gender hirarkis ini
disembunyikan.
 Berbingkai dalam rangkaian perbedaan biner sendiri, disiplin hubungan internasional
mengambil hubungan hierarkis yang sama ketika ia memunculkan dunia anarchic yang "di
luar" untuk dipertahankan melawan melalui akumulasi dan penggunaan kekuasaan secara
rasional. Dalam wacungan politik, ini menjadi diterjemahkan ke dalam konsep yang stereotip
tentang mereka yang tinggal di luar. Seperti wanita, orang asing sering digambarkan
sebagai "yang lain ": negara-negara yang bukan kulit putih dan tropis sering digambarkan
sebagai karakteristik yang tidak masuk akal, emosional, dan tidak stabil, yang juga dianggap
sebagai ciri wanita. Pembangunan ceramah ini dan cara kita diajar untuk berpikir tentang
politik internasional secara erat sejalan dengan cara kita disosialisasikan pada pemahaman
perbedaan gender. Untuk mengabaikan konstruksi hirarkis ini dan relevansinya dengan
kekuasaan oleh karena itu risiko mengabadikan hubungan dominasi dan kepatuhan. Tapi
sebelum mulai menggambarkan bidang hubungan internasional yang mungkin terlihat
seperti jika gender disertakan sebagai kategori pusat analisis, saya akan memberikan
tinjauan sejarah singkat tentang lapangan karena telah dibangun secara tradisional.

 C. STUDI GENDER DALAM POLITIK INTERNASIONAL


 Cara memandang politik internasional melalui lensa sensitif-gender (gender-sensitive lens) telah
menjadi satu kajian yang mulai banyak dibahas oleh para ilmuwan sejak akhir 1980-an. Cara
memandang politik internasional melalui lensa sensitif-gender berarti “enables us to ‘see’ how the
world is shaped by gendered concepts, practices, and institutions” (Memungkinkan kita untuk
‘melihat’ dunia yang terkotak dalam konsep pemikiran, praktik, dan institusi yang bias gender). 11
Pemikiran, praktik-praktik, dan pembentukan institusi yang sarat dengan nilai-nilai bias gender tidak
terlepas dari pemikiran dominan yang ada dalam politik internasional, yaitu pendekatan realisme
(Realism Approach). J. Ann Tickner12 menegaskan bahwa pendekatan realisme dalam memandang
politik internasional membuat nilai maskulinitas (agresif, kompetitif, struktural, berorientasi pada
akumulasi kekuasaan) lebih mengemuka dan merugikan perempuan. Tickner menjelaskan bahwa
sudah lama para Feminis mempertanyakan adagium yang menyatakan bahwa perang dilakukan untuk
melindungi perempuan, anak-anak dan warga sipil lain yang dianggap lemah. Tickner 13 lebih lanjut
menjelaskan:
 “Challenging the myth that wars are fought to protect women, children, and others stereotypically viewed as
‘vulnerable’, feminists point to the high level of civilian casualties in contemporary wars.”
 (Berlawanan dengan mitos yang menjelaskan bahwa perang dilakukan untuk melindungi perempuan, anak-anak,
dan pihak yang lemah, kaum feminis menunjukkan adanya angka kematian warga sipil yang tinggi pada perang-
perang modern).

 Paradigma realis yang bersifat top-down, militeristik. dan berorientasi struktural pada kepentingan elit
politik dianggap tidak lagi relevan untuk menjawab permasalahan keamanan kontemporer. Tickner
memformulasikan paradigma alternatif, yang pendekatan keamanan dilakukan dengan wacana
bottom-up, menganalisa akibat peperangan pada level terendah dari masyarakat untuk mendapatkan
satu penyelesaian yang komprehensif. Pemikiran serupa muncul dari Cockburn dan Zarkov, 14 mereka
menganalisis dampak perang sipil yang terjadi di Bosnia-Herzegovina pada tahun 1990an. Cockburn
dan Zarkov membuat suatu peta di mana terjadi pemerkosaan sistematis terhadap perempuan sipil
warga Bosnia-Herzegovina oleh tentara Bosnia-Serbia (sebelum Serbia Bosnia terpecah menjadi dua
negara) sebagai salah satu strategi perang yaitu pembersihan etnis dan penurunan mental lawan.
Perempuan menjadi target perang karena posisinya yang unik secara sosial budaya di masyarakat,
yaitu sebagai representasi ibu dan pihak yang melahirkan generasi baru. Pada proses penyelesaian
konflik dan proses perdamaian yang difasilitasi oleh NATO dan PBB (United Nations Protection
Force/UNPROFOR), terlihat fakta bahwa peran perempuan sangat penting dalam proses rekonsiliasi
dan pemulihan trauma para korban perang. Berdasar fakta-fakta di lapangan konflik tentang
pentingnya analisa post-konflik yang sadar gender pada tahun 2000/2001, membuat PBB menge-
luarkan kebijakan baru yaitu:15
 “A commitment to addressing gender issues in the planning and implementation of international peacekeeping
operations”.
 (Komitmen untuk memperhatikan isu-isu gender pada perencanaan dan pelaksanaan operasi perdamaian
internasional).

 Pernyataan tersebut merupakan sebuah pengakuan bagi perjuangan para aktivis gender di kancah
internasional. Argumen yang diajukan adalah apabila gaya-gaya militer yang maskulin itu dibawa dan
diterapkan pada perumusan dan pelaksanaan operasi perdamaian, maka yang terjadi hanyalah
pengulangan kekerasan yang dilakukan anggota pasukan perdamaian, dan bisa berakibat pada
eksploitasi dan pelecehan terhadap perempuan atau gadis-gadis lokal.
 Ilmuwan lain yang berpendapat mengenai kurangnya perhatian terhadap isu gender dalam politik
internasional adalah Grant dan Newland. Grant dan Newland 16 berpendapat bahwa seringkali kerangka
pemikiran yang sadar gender dan masalah perempuan di wilayah konflik luput dari perhatian para
pengkaji politik internasional karena dua hal. Pertama, hanya sedikit sekali perempuan yang
menduduki jabatan sebagai pengambil kebijakan luar negeri (Foreign Policy maker) sehingga
kebijakan yang dihasilkan bersifat bias. Kedua, selama ini pembahasan isu-isu gender dianggap tidak
masuk kajian politik yang penting (high politics) karena isu gender dianggap kajian wilayah domestik,
bukan publik. Logika Grant dan Newland yang pertama, di mana jumlah perempuan menjadi penentu
kebijakan luar negeri merupakan hal yang substansial, mempunyai kelemahan tertentu. Beberapa
perempuan yang menjadi penentu kebijakan luar negeri seperti Condolezza Rice (mantan menteri luar
negeri AS), Tzipi Livni (politisi Israel), Hillary Clinton (senator dari AS), Madeleine Albright
(mantan menteri luar negeri AS), dianggap sebagai representasi perempuan dalam politik
internasional, yang sayangnya tidak terlihat mengarusutamakan isu-isu gender dalam kebijakannya.
Peristiwa konflik Gaza terbaru mulai Desember 2008 sampai Januari 2009 terjadi pada waktu Rice
menjabat sebagai menlu pada pemerintahan George W. Bush Jr., Rice bahkan dianggap tidak tegas
terhadap pihak Israel dan tidak bersimpati terhadap warga sipil Palestina yang menjadi korban, karena
AS mengambil sikap abstain dalam proses voting penetapan Resolusi DK PBB 1860. Rice 17 me-
nyatakan alasan sikap abstain AS karena:
 “Gaza must never again be used as launching pad for rockets against Israeli citizens, because it is important to
remember how this crisis began...some 18 months ago, Hamas had taken over the Gaza strip in a coup and since
then, thousands of guns, rockets and mortars had been smuggled into territory..”
 (Gaza tidak boleh lagi digunakan sebagai basis pelontar berbagai roket ke arah warga Israel, karena penting
untuk diingat bagaimana krisis ini bermula…yaitu sekitar 18 bulan lalu di mana Hamas mengambil alih wilayah
Gaza dengan paksa dan menyelundupkan ribuan senjata, roket dan mortar ke wilayah tersebut..)

 Rice menegaskan pula adanya ambiguitas komunitas internasional terhadap siapa yang bersalah
karena menurut pandangan Rice, Israel mempunyai hak untuk membela diri terhadap tiap serangan
yang membahayakan nyawa warganya. Disadari atau tidak, ketika figur-figur politisi perempuan di
atas menjadi aktor politik internasional yang penting, mereka telah mengadopsi paradigma politik
yang hierarkis, berorientasi pada kepentingan elit, struktural, dan pragmatis. Dari beberapa studi kasus
yang ada, dan minimnya kajian yang membahas gender dalam politik internasional, membuat praktik-
praktik kekerasan yang ditargetkan terhadap warga sipil perempuan dan anak-anak masih berpeluang
tinggi dilakukan.
Menurut feminisme, teori hubungan International berkembang mencakup prasangka maskulin
pada tiga tingkatan analisis, yaitu manusia, negara dan perang. Realis merupakan androsentrik
dalam memperdebatkan kecenderungan konflik yang sangat universal di alam manusia (man),
logika dan moralitas negara berdaulat tidak identik dengan individu (negara), dan dunia adalah
anarki di mana negara berdaulat harus siap untuk mengandalkan self-help, termasuk kekerasan
terorganisir (perang). Teoretisi feminis akan mengekspos kepalsuan dari pengertian kedaulatan,
dan hubungan mereka dengan patriarki dan militerisme, serta menggantikan penekanan realis
yang sempit pada keamanan, khususnya militer, dengan redefinisi keamanan sebagai keadilan
sosial universal. Kaum feminis liberal kontemporer ingin membuat perempuan menjadi lebih
terkenal dalam politik dunia, menghilangkan akses yang berbeda pada kekuatan dan pengaruh
atas laki-laki dan perempuan, dan dengan demikian mencapai hak yang sama bagi pria dan
wanita Feminisme liberal menekankan pada pentingnya hak-hak liberal dasar atas kehidupan,
kebebasan, dan kepemilikan yang seharusnya meluas dalam tindakan yang sama bagi laki-laki
dan perempuan.12 Isu gender menginginkan adanya pengakuan terhadap kontribusi
perempuan dalam berbagai aspek yang dianggap hanya milik laki-laki. Hal ini menyebabkan
bertambahnya aktor dari yang semula hanya didominasi oleh kaum lelaki, kemudian menjadi
semakin plural dengan adanya campur tangan perempuan di dalamnya. Dengan demikian ada
berbagai model pendekatan dalam penelitian feminism yang menunjukkan kategorisasi dari
subtansi kajiannya yaitu sebagai berikut:

1. feminism berbicara mengenai diskriminasi seks feminism 2. Difference feminism merupakan


perbedaan gender yang berakar Difference feminism kuat dan sebagian secara biologis 3.
Postmodern feminism berbicara mengenai konstruksi budaya Postmodern feminism secara
sewenang-wenang menguntungkan orang-orang yang berkuasa. Christine Sylvester menerapkan
tipologi menarik dalam memandang masyarakat untuk menganalisis hubungan International
adalah sebagai berikut:14 1. Feminist empiricism melihat bahwa negara dan sistem antar
Feminist empiricism negara dilihat secara struktur gender dalam dominasi dan interaksi.
struktur dominasi gender dan interaksi 2. Feminist standpoint berpendapat bahwa pengalaman
perempuan Feminist standpoint di kehidupan politik memberi perspektif tentang isu sosial yang
memberikan wawasan valid ke dunia politik. Feminis ini menawarkan kritik terhadap teori yang
dibangun oleh pembuat kebijakan 3. Feminist pastmodernism adalah istilah sulit untuk
menentukan Feminist pastmodernism dan untuk menutupi berbagai kecenderungan. Harding
dan Sylvester berargumen bahwa esensi feminis ini merupakan perlawanan terhadap konsepsi
dari “satu kisah nyata” ke “perspektif universal yang salah”. Sedangkan pendekatan teoritis
utama pada gender atau feminisme, yaitu sebagai berikut: 1. Feminisme liberal memiliki hirauan
utama yaitu hak-hak yang sama bagi laki-laki dan perempuan dengan adanya kebebasan dan
kebahagiaan manusia perorangan. Aliran feminisme Liberal berakar dari filsafat liberalism yang
memiliki konsep bahwa kebebasan merupakan hak setiap individu sehingga ia harus diberi
kebebasan untuk memilih tanpa terkekang oleh pendapat umum dan hokum. Akar teori ini
bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan rasionalitas. 2. Feminisme marxis/sosialis
menggambarkan posisi rendah perempuan dalam struktur ekonomi, sosial, dan politik dari
sistem kapitalis, serta adanya analisis patriarki (pemusatan pada laki-laki). Fokusnya adalah
kapitalisme dan patriarki menempatkan perempuan pada posisi yang tidak istimewa. Mereka
berpendapat bahwa penghapusan sistem kapitalis merupakan cara agar perempuan mendapat
perlakuan yang sama. Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya, sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi. Status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property)
kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri berubah menjadi
keperluan pertukaran (exchange). Feminisme sosial muncul sebagai kritik terhadap feminisme
Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme, dan tetap
tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Feminisme sosial menggunakan analisis kelas dan
gender untuk memahami penindasan perempuan. 3. Feminisme radikal mengembangkan
feminis yang lebih nyata dan lebih merdeka sepenuhnya sehingga dapat mencegah
penyubordinatan gender pada agenda tradisional. Oleh karenanya mereka menolak setiap
kerjasama dan menjalankan langkah praktis dan teoritis untuk mengembangkan analisis gender.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki (sistem yang berpusat pada laki-laki). Pada pokoknya, aliran ini berupaya
menghancurkan sistem patriarki, yang fokusnya terkait fungsi biologis tubuh perempuan. 4.
Feminisme Teologis. Teori ini dikembangkan berdasarkan paham teologi pembebasan yang
menyatakan bahwa sistem masyarakat dibangun berdasarkan ideologi, agama, dan
normanorma masyarakat. mereka berpendapat bahwa penyebab tertindasnya perempuan oleh
laki-laki adalah teologi atau ideologi masyarakat yang menempatkan perempuan di bawah laki-
laki (subordinasi). 5. Ekofeminisme. Aliran ini merupakan jenis feminisme yang meyalahi arus
utama ajaran feminisme, sebab cenderung menerima perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Ekofeminisme mengkritik pemikiran aliran-aliran sebelumnya yang menggunakan
prinsip maskulinitas (ideologi untuk menguasai) dalam usaha untuk mengakhiri penindasan
perempuan akibat sistem patriarki. https://media.neliti.com/media/publications/60877-ID-
kerangka-studi-feminisme-model-penelitia.pdf

Hubungan Internasional melalui Pendekatan Gender


dengan Perspektif Feminisme
 
Pengaruh Feminisme dalam hubungan internasional baru dimuali di akhir
tahun 80an. Definisi mengenai feminisme sendiri mengarah pada persoalan yang
dihadapi perempuan dan juga gerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok wanita.
Namun demikian secara umum, ide mengenai Feminisme muncul sejak abad
pencerahan dimana ide mengenai persamaan hak bagi manusia mulai diakui. Hal ini
kemudian mendorong munculnya ide pembebasan (emancipatory) bagi kaum
perempuan dalam bidang sosial, ekonomi maupun politik (Burchill dan Linklater, 1996:
281).
Ada dua hal penting yang perlu digarisbawahi dalam pemahaman
prespektif Feminisme. Pertama adalah seks atau jenis kelamin. Jenis kelamin
merupakan suatu hal kodrat atau God given yang tidak bisa diubah dan bersifaf biologis
dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya (Dugis, 2014). Namun pada
praktek di dalam masyarakat, jenis kelamin kemudian menjadi penentu posisi sosial-
budaya, ekonomi dan politik. Pemahaman inilah yang kemudian mendorong munculnya
konsep kedua, yaitu gender. Konsep ini muncul karena ketertarikan kaum feminis
terhadap karakteristik tertentu yang dipercaya merupakan 'milik' laki-laki atau
perempuan. Misal, sifat agresif dan kompetitif dianggap sebagai milik laki-laki,
sedangkan emosional dan patuh dianggap sebagai milik perempuan. Sehingga, secara
garis besar, gender dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat sosiologis, tidak ada
simbol, membahas tentang femaleness dan maleness serta merupakan konstruksi
sosial dalam masyarakat tertentu (Dugis, 2014).
Feminisme adalah satu dari kajian emancipatory dalam studi Hubungan
Internasional, selain posmodernisme dan teori kritis. Feminisme berkembang didorong
oleh munculnya perempuan-perempuan modern dan kontemporer yang mulai
mengintervensi segala aspek kehidupan, misalnya keterlibatan mereka dalam kegiatan
militer dan ekonomi global. Hal ini menggeser perspektif tradisional dan mengancam
dasar-dasar ontologis dan epistemologis Hubungan Internasional. Permasalahan
gender dalam HI merupakan perdebatan mendasar antara laki-laki dan perempuan dan
dampak dari perbedaan tersebut dalam politik dunia. Gender mengacu pada perilaku
dan harapan yang dipelajari secara sosial yang membedakan antara maskulinitas dan
feminitas, dimana kualitas yang dikaitkan dengan maskulinitas (seperti rasionalitas,
ambisi, dan kekuatan) diberi nilai dan status tinggi dibanding kualitas yang dikaitkan
dengan feminitas (seperti emosionalitas, kapasitas, kelemahan) yang pada akhirnya
menyebabkan hirarki gender (Jackson & Sorensen 1999, 332).
Berangkat dari kritik feminisme terhadap realisme, sebagai pemikiran
yang mendominasi studi hubungan internasional, realisme justru dianggap menjadi
pemikiran yang sangat berseberangan dengan pemikiran feminis. Dari banyaknya
pemikir politik internasional yang berjenis kelamin laki-laki, hasil pemikiran yang mereka
sumbangkan dalam studi Hubungan Internasional pun sarat dengan cara berpikir yang
maskulin, terutama dalam pembuatan kebijakan dan kekuasaan. Salah satu pemikir
feminis, Cynthia Enloe (1989:35), mengklaim bahwa ada pihak-pihak yang tidak terlibat
sepenuhnya dalam pembuatan kebijakan negara, yaitu perempuan. Oleh karena itu,
semua kebijakan yang dihasilkan tidak pernah mempertimbangkan pandangan dan
atau pertimbangan perempuan. Isu atau persoalan yang dihadapi oleh perempuan tidak
pernah menjadi agenda yang cukup penting untuk diulas. Demikian pula pandangan
dan pertimbangan perempuan dalam persoalan-persoalan masyarakat domestik dan
hubungan antar negara. Hal kedua yang menjadi kritikan kaum feminis terhadap
realisme adalah konsep kekuasaan yang dianggap semata-mata berkutat pada wacana
dominasi militer, ekonomi dan geografi. Sementara, salah seorang penulis feminis,
Nancy Harstock, mengklaim bahwa kekuasaan tidak selalu identik dengan penguasaan
yang bersifat fisik. Melainkan, Harstock lebih memaknainya sebagai energi, kapasitas
dan potensi.
Dengan prespektif liberalisme, feminisme memiliki pandangan yang sama
dalam memandang hubungan antar negara. Feminisme juga meyakini bahwa
hubungan antar negara mestinya dikelola tidak dengan cara-cara paksaan, kekerasan
dan dominasi yang cenderung bersifat maskulin, melainkan dapat dikelola melalui
upaya-upaya yang feminim seperti kompromi dan kerjasama. Feminisme mulai
berseberangan dengan pemahaman liberal karena liberalisme tidak memberikan
perhatian kepada dampak dari perdagangan bebas dan struktur kapitalis. Perempuan
menjadi terpinggirkan karena masih ada pandangan bahwa kaum perempuan adalah
kaum subordinan laki-laki. Kaum feminis mengganggap bahwa eksploitasi perempuan
justru terjadi pada sistem kapitalisme. Sebagai pekerja yang dianggap tidak memiliki
kapabilitas yang sama dengan laki-laki (second class worker) maka perempuan
memiliki kecenderungan untuk dibayar dengan upah yang lebih rendah. Padahal
mereka menghadapi kondisi pekerjaan dan resiko yang sama dengan laki-laki.
Dalam buku Jackson dan Sorensen (1999, 335-337) disebutkan tiga
pendekatan teoritis utama pada gender, yaitu feminisme liberal, feminisme
marxis/sosialis, dan feminisme radikal. Feminisme liberal memiliki hak-hak yang sama
bagi laki-laki dan perempuan sebagai hirauan utamanya, serta kebebasan dan
kebahagiaan manusia perorangan. Feminisme liberal mengkritik kondisi dimana
perempuan tidak memiliki akses dan kesempatan ekonomi dan pendidikan yang sama
seperti laki-laki. Feminis Marxis menggambarkan posisi perempuan rendah dalam
struktur ekonomi, sosial, dan politik dari sistem kapitalis. Menurut Friedrich Engels,
kapitalisme membangun bagian antara pekerjaan yang produktif di pabrik dan
pekerjaan “yang tak terlihat” di bidang privat, di rumah. Laki-laki melakukan pekerjaan
yang produktif, dibayar oleh pabrik, sedangkan perempuan melakukan pekerjaan rumah
yang tak terlihat dan tidak dibayar. Mereka berpendapat satu-satunya jalan menuju
perlakuan yang sama atas perempuan adalah menghancurkan sistem kapitalis.
Sementara itu, perspektif feminisme radikal berbeda dengan feminisme lainnya, yaitu
menolak setiap jenis kerjasama. Feminis radikal ingin mengembangkan analisis feminis
yang lebih nyata dan lebih merdeka yang sepenuhnya dapat mencegah subordinasi
gender pada agenda tradisional HI (Peterson & Runyan 1993, dalam Jackson &
Sorensen 1999).
Tak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan feminisme di atas,
dalam tulisan Tickner dan Sjoberg (2007, 188-192), disebutkan ada beberapa tipologi
teori feminis HI. Pertama, feminisme liberal yang menginvestigasi masalah-masalah
subordinasi perempuan, seperti perempuan pengungsi, ketidaksetaraan pendapatan
antara laki-laki dan perempuan, dan kekerasan terhadap hak asasi manusia, seperti
perdagangan perempuan dan pemerkosaan. Kaum feminis liberal percaya bahwa
kesetaraan perempuan bisa dicapai dengan menghilangkan undang-undang dan
penghambat-penghambat lainnya yang menyangkal hak-hak dan kesempatan yang
sama seperti laki-laki. Feminis liberal menggunakan gender sebagai variabel penjelas
dalam analisis pembuatan kebijakan luar negeri, serta hasil kebijakan tertentu.
Kedua, critical feminism yang menggambarkan bahwa dunia dalam stuktur historis
dibangun oleh tiga kategori dari interaksi paksaan timbal balik yaitu kondisi materi, ide,
dan institusi. Gagasan tentang kaum wanita dan feminitas memberi kontribusi dalam
debat komunitas internasional, gender sebagai institusi yang menyusun kekuatan pada
tiap level politik global. Feminis konstruktivis mengkaji proses bagaimana ide tentang
gender mempengaruhi politik global sebagaimana politik global membentuk ide tentang
gender. Ketiga, feminist post-structuralist yang menganggap bahwa pemahaman
tentang realitas dimediasi melalui penggunaan bahasa. Oleh karena itu, mereka yang
mengkonstruksi pengertian dan menciptakan pengetahuan mendapatkan power yang
besar. Perempuan dianggap termarjinalkan baik sebagai knowers maupun sebagai
subyek pengetahuan. Feminisme pos-strukturalis concern pada cara dikotomis
konstruksi linguistik, seperti kuat/lemah, rasional/emosional, publik/privat, yang
menguasakan maskulin di atas feminin. Mereka memandang gender sebagai sebuah
konstruksi sosial yang kompleks dan mereka menekankan bahwa makna terucap dari
gender secara konstan berkembang. Keempat, postcolonial feminism yang mengklaim
tentang cara feminis barat telah mengkonstruksi pengetahuan tentang perempuan non-
barat. Sebagaimana feminis telah mengkritik pengetahuan Barat karena asumsi yang
salah tentang universalitas, padahal merupakan pengetahuan yang terkonstruksi
terutama dari kehidupan laki-laki, feminis poskolonial melihat klaim salah universalisme
muncul dari pengetahuan yang secara luas berdasarkan pengalaman perempuan Barat
yang memiliki hak istimewa.
Kaum feminis meberikan sorotan terhadap konsepsi keamanan. Gillian
Young (2007: 66) menengarai bahwa konsep keamanan dalam hubungan internasional
selama ini telah dipengaruhi oleh konsep maskulinitas. Pengaruh ini dapat terlihat pada
pemahaman bahwa kemanan hanyalah berkaitan dengan perang dan bentuk ancaman
militer lainnya. Sementara kaum feminis menyadarkan bahwa ancaman yang
sesungguhnya adalah dominasi dan tekanan laki-laki terhadap perempuan. Sehingga,
keamanan hanya akan tercipta jika segala bentuk dominasi dan kepatuhan sepihak
dihilangkan dan keadilan gender ditegakkan (Hudson, 2005: 18). Kaum feminis
mendefinisikan security secara luas dalam hubungan multidimensional dan multilevel,
sebagai pengurangan dari segala bentuk kekerasan, termasuk secara fisik, struktur,
dan ekologi. Ancaman keamanan termasuk kekerasan domestik, pemerkosaan,
kemiskinan, subordinasi gender, dan destruksi ekologi. Feminis tidak hanya mengkaji
apa arti security namun juga siapa yang dijamin dalam security. Analisis tentang
keamanan dimulai dari bawah dengan individual atau komunitas, daripada dalam
konteks negara atau sistem internasional, karena keamanan individu berhubungan
dengan politik nasional dan internasional dan bagaimana politik internasional
berdampak pada keamanan induvidu bahkan pada level lokal.
Pengaruh ide feminis dalam perkembangan teori hubungan internasional
cukup penting. Wacana baru mengenai pengambilan kebijakan yang selalu dilakukan
oleh laki-laki telah meminggirkan banyak persoalan yang dihadapi perempuan. Oleh
karena itu, gerakan feminis internasional berupaya untuk memasukkan beberapa
agenda ke dalam sejumlah lembaga internasional yang telah ada. Mereka juga
berusaha agar lembaga independen yang mereka bentuk sebagai wadah gerakan
feminis yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan dalam lembaga
otoritas berskala internasional lebih memperhatikan beberapa isu yang penting bagi
perempuan. Isu tersebut antara lain; kemiskinan, pendidikan, kesehatan kekerasan
terhadap perempuan, akibat konflik bersenjata, struktur dan kebijakan ekonomi,
pembagian kekuasaan, kemajuan bagi perempuan, hak perempuan, dan lain
sebagainya. Saat ini, peran perempuan dalam sektor politik dan keamanan semakin
terlihat meski hasilnya dinilai belum cukup signifikan. Keterlibatan perempuan dalam
menyelesaikan isu internasional bisa dilihat dalam Bonn Agreement untuk
menyelesaikan konflik di Afganistan dan dalam Interim Council untuk penyelesaian
konflik Irak (Pettman, 2004: 26)
Dari penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi mengenai
feminisme sendiri mengarah pada persoalan yang dihadapi perempuan dan juga
gerakan yang dilakukan oleh beberapa kelompok wanita. Feminisme dalam hubungan
internasional baru dimuali di akhir tahun 80an. Namuni ide mengenai Feminisme
muncul sejak abad pencerahan dimana ide mengenai persamaan hak bagi manusia
mulai diakui. Terdapat perbedaan mendasar antara seks dan gender. Sex atau jenis
kelamin merupakan suatu hal kodrat atau God given yang tidak bisa diubah dan
bersifaf biologis dengan disertai simbol-simbol tertentu untuk mengenalinya. Sementara
gender bersifat sosiologis, tidak ada simbol, serta membahas
tentang femaleness dan maleness serta terbentuk atas konstruksi sosial. Sehingga,
keamanan hanya akan tercipta jika segala bentuk dominasi dan kepatuhan sepihak
dihilangkan dan keadilan gender ditegakkan.
Penulis berpendapat bahwa perspektif feminisme semakin membawa
keberagaman dalam teori-teori Hubungan Internasional. Feminisme membawa
pandangan baru yang selama ini belum pernah dikaji dan cenderung diabaikan oleh
masyarakat. Penulis setuju dengan salah satu argumen kaum feminis yang
mengatakan bahwa kemanan hanya akan tercipta jika dilakukan emancipatory gender.
Sehingga tidak ada lagi dominasi dari suatu pihak dan sebaliknya pula, tidak ada kaum
yang tereksploitasi.

http://putri-aini-fisip13.web.unair.ac.id/artikel_detail-106960-SOH201%20THI-
Feminisme.html

Tulisan ini bermaksud menjawab pertanyaan di atas dengan membahas latar belakang penyebab munculnya gender
sebagai salah satu isu baru dalam studi hubungan internasional. Pembahasan diawali dengan mendefinisikan
konsep gender dan menelusuri perkembangan konsepsi gender, sehingga pada akhirnya menjadikannya sebagai isu
penting dalam studi dan praktek hubungan internasional.
Gender bukanlah suatu istilah yang mengacu pada karakter biologis (seks) laki-laki dan perempuan secara fisik.
Namun gender, menurut Mansoer Fakih, lebih merupakan ”sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.” Definisi ini menunjukkan bahwa gender adalah sifat atau karakter
maskulin dan feminin dimana keduanya dapat muncul baik pada laki-laki maupun perempuan. Maksudnya adalah
seorang laki-laki tidak semata-mata identik dengan salah satu karakter yaitu maskulin, namun juga memiliki karakter
feminin dalam dirinya. Selain itu, definisi tersebut juga menegaskan bahwa gender adalah suatu produk dari
konstruksi sosial budaya. Hal ini berarti konsepsi tentang gender dapat berbeda antar kelompok masyarakat dan
berubah seiring dengan perkembangan zaman.
Pada tahun 1920an, konsepsi gender dipahami sebagai suatu perbedaan (differences) antara laki-laki dan
perempuan yang sifatnya atribut personal. Pada masa ini konsep gender sangat terkait erat dengan faktor fisik atau
biologis. Perbedaan karakteristik fisik antara laki-laki dan perempuan menciptakan konstruksi peran dan fungsi sosial
tertentu serta ekspektasi perilaku yang seharusnya ada atau melekat pada laki-laki atau perempuan. Akibatnya, jenis
kelamin sebagai sebuah personal traits  menghasilkan  perbedaan peran sosial dan menentukan pembagian kerja
yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.
Hal ini menunjukkan bahwa memahami gender sebagai ”perbedaan” tidak lagi hanya terkait dengan hubungan
personal tapi juga struktur sosial karena perbedaan gender telah melegitimasi ketidaksetaraan sosial yang lebih
menghargai laki-laki daripada perempuan. Penyebab mengapa karakter maskulin mendapat nilai atau status yang
lebih tinggi daripada karakter feminitas tidak hanya terkait dengan fakta perbedaan biologis tapi juga karena
eksistensi struktur sosial yang melembagakan kontrol laki-laki terhadap perempuan. Pada tahap inilah perbedaan
gender telah menciptakan ketidaksetaraan gender (gender inequality) dalam sistem ekonomi, sosial dan politik.
Ketidaksetaraan gender akibat perbedaan jenis kelamin kian menjadi persoalan ketika hal tersebut mengakibatkan
ketidakadilan gender.
Namun dalam perkembangannya, memahami persoalan ketidakadilan gender tidak lagi cukup hanya dengan konsep
gender yang sifatnya dikotomis yaitu hanya melihat perbedaan laki-laki dan perempuan. Beberapa ilmuwan
menganggap bahwa konsepsi gender sebagai suatu ”perbedaan” antara laki-laki dan perempuan seakan-akan
melihat bahwa ketidaksetaraan dan ketidakadilan terjadi hanya pada satu jenis laki-laki dan satu jenis perempuan.
Maksudnya adalah konsep tersebut mengarah pada generalisasi akan karakteristik laki-laki dan perempuan serta
tidak melihat keterkaitan atau relasi antara keduanya.
R.W Connell, misalnya, berargumen bahwa konsepsi yang cenderung dikotomi ini tidak dapat menangkap
kompleksitas gender dalam kehidupan manusia. Konsep gender seharusnya juga mampu mengakomodir fakta akan
keberagaman dalam laki-laki maupun perempuan dan tidak secara mudah membuat dikotomi hanya antara dua jenis
kelamin itu. Dalam konteks ini Connell menyoroti pluralitas dalam maskulinitas. Connell berargumen bahwa karakter
maskulin tidaklah tunggal namun beragam dan terdapat hegemonic masculinity sebagai salah satu karakter maskulin
yang mendominasi dan menghegemoni struktur dan sistem internasional sehingga memarginalkan karakter lainnya.
Jika kembali dikaitkan dengan persoalan ketidakadilan gender maka Connell menegaskan bahwa korban
ketidakadilan gender tidak hanya perempuan tapi juga laki-laki yang memiliki karakter maskulinitas tertentu.
Oleh karena itu sekitar tahun 1960an Connell dan ilmuwan lain seperti Jill Steans mengusulkan perubahan konsepsi
gender dengan tidak lagi berkutat pada isu perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang sifatnya dikotomis tapi
lebih melihat relasi gender (gender relations) antar keduanya. Lebih jelasnya, Connell kemudian mendefinisikan
gender sebagai ”a matter of the social relations within which individuals and groups act.” Steans juga mengartikan
gender sebagai ”ideological and material relations” yang eksis diantara laki-laki dan perempuan. Kedua definisi ini
menunjukkan bahwa konsepsi relasi gender tidak hanya mencerminkan hubungan personal dan sosial tapi juga
hubungan kekuasaan dan simbolik.
Konsep relasi gender, yang mengandung unsur kekuasaan dan simbolisasi, pada akhirnya mempengaruhi
kompleksitas isu gender dalam studi dan praktek hubungan internasional. Manifestasi kedua unsur tersebut dalam
hubungan internasional tidak hanya berupa material, tapi juga non material sehingga meningkatkan signifikansi
perspektif gender dalam memahami politik internasional. Unsur kekuasaan dan simbolisasi dalam relasi gender yang
bersifat non material dapat berupa diskursus teori dan paradigma dalam bahasa tertulis atau tidak tertulis. Dalam
konteks ini, melihat isu relasi gender dalam hubungan internasional menjadi penting karena hubungan internasional
sebagai suatu studi bertanggung jawab dalam ”the production of knowledge and discourse.”
Studi hubungan internasional dikritik sebagai bias gender karena menghasilkan diskursus yang lebih mencerminkan
dan mendorong pandangan dunia yang maskulin. Kritikan tersebut tercermin dalam berbagai studi yang dilakukan
oleh generasi pertama feminis hubungan internasional yang hirau pada ”the nature of international relations”. Para
feminis yang dikenal sebagai feminis analitis dan feminis normatif ini terlibat dalam debat ketiga (third debates) dalam
hubungan internasional yang mengkritisi sisi ontologis dan epistemologis dari pendekatan positivitis.
Rebecca Grant dan Kathleen Newland, misalnya, mengkritisi konsepsi positivitis dalam hubungan internasional yang
tidak memasukkan pengalaman perempuan sebagai subjek penelitian mereka dan mengkonstruksi teori-teori
hubungan internasional dengan ”male eyes” serta menempatkan laki-laki sebagai satu-satunya aktor politik. Selain
itu feminis lainnya J. Ann Tickner juga melakukan dekonstruksi terhadap teori-teori hubungan internasional dengan
menguji konsep enam prinsip dari political realism yang diformulasikan oleh Hans Morgenthau dalam bukunya
Politics Among Nations. Tickner berargumen bahwa cara Morgenthau menggambarkan dan menjelaskan politik
internasional berakar pada perspektif maskulin.
Selain dalam tataran studi hubungan internasional, perspektif gender juga penting untuk melihat praktek-praktek
hubungan internasional karena dapat membantu memahami persoalan global kontemporer yang nyata (material) di
banyak negara, misalnya isu pembangunan.  Hal ini menjadi fokus perhatian feminis generasi kedua yang
mengembangkan feminisme empiris. Mereka mengkritisi aktivitas hubungan internasional yang mengeneralisasi dan
tidak membedakan implikasi pembangunan bagi laki-laki dan perempuan. Misalnya, sistem dan kebijakan ekonomi
politik internasional yang berlaku di banyak negara ternyata telah menyebabkan terciptanya posisi subordinat pada
perempuan. Karena isu gender bukan hanya terkait dengan ketidakadilan terhadap perempuan tapi juga laki-laki,
maka perspektif gender penting dalam membantu untuk merumuskan kebijakan yang tepat bagi masing-masing
kelompok laki-laki dan perempuan sebagai respons atas berbagai persoalan global. Ketidakadilan gender dalam
aktivitas hubungan internasional memiliki implikasi yang berbeda bagi laki-laki dan perempuan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa menggunakan gender sebagai category of analysis dalam studi hubungan
internasional penting karena mampu membuka mata dan menawarkan cara pandang baru. Selain dari sisi hubungan
internasional sebagai suatu studi, perspektif gender juga penting dalam memahami praktek-praktek ekonomi politik
dan keamanan internasional yang mempengaruhi relasi gender antara perempuan dan laki-laki.
Tulisan berikutnya akan membahas berbagai isu-isu global yang mengemuka dalam praktek hubungan internasional
tersebut dan posisi mereka di tengah isu-isu tradisional hubungan internasional.

http://www.politik.lipi.go.id/kolom/176-mengapa-gender-menjadi-isu-penting-dalam-
hubungan-internasional

Anda mungkin juga menyukai