Anda di halaman 1dari 4

TANGGAPAN TEORI FEMINISME DALAM HUBUNGAN

INTERNASIONAL

Resume makalah ini disusun untuk memenuhi tugas pengganti Ujian Akhir
Semester mata kuliah Pengantar Ilmu Hubungan Internasional

Dosen Pengampu : Ratnawati, S.Sos. M.SI

Disusun Oleh :

Afrizal Muhammad Lazuardi (151220040)

Lillian Hariyanto Putri (151220047)

Ma’rifah Hikmawati (151220053)

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA

YOGYAKARTA

2022
A. Pendahuluan

Pemikiran tentang feminisme mulai masuk ke dalam dunia Hubungan


Internasional pada akhir dekade 1980-an. Feminisme muncul dikarenakan para
pemikir feminis merasa kajian Hubungan Internasional didominasi oleh maskulinitas.
Teori ini hadir untuk menentang teori realis yang berpikir bahwa negara perlu
memperbesar power dan kekuatan militer yang identik dengan maskulinitas. Menurut
para ahli, dalam teori-teori utama Hubungan Internasional, seperti realis, liberalis,
structural, postmodern, dan lain-lain cenderung mengabaikan sudut pandang
perempuan dalam pengkajian persoalan internasional. Para ahli ingin mengangkan isu
gender dalam berbagai peristiwa internasional, seperti gerakan separatis, terorisme,
konflik primordial, hubungan ekonomi global, pembuatan kebijakan luar negeri, dan
peperangan.

B. Pembahasan

Feminisme merupakan sebuah teori yang menginginkan adanya kesetaraan


gender bagi kaum perempuan. Feminisme berasal dari kata femina di mana berkaitan
dengan sifat keperempuanan, seperti halnya lemah lembut. Feminisme muncul karena
adanya kesadaran kaum feminis untuk menyeimbangkan posisi perempuan agar setara
dengan laki-laki. Namun, kedudukan perempuan tidak dapat lebih tinggi ataupun sama
dengan laki-laki karena perempuan dan laki-laki memiliki peran dan tugasnya masing-
masing. Di masa kini, feminisme menjadi perjuangan agar dapat mencapai kesetaraan,
harkat, serta kebebasan bagi kaum perempuan untuk memilih dan mengelola
kehidupannya, serta mengembangkan apa yang dimilikinya.

Feminisme melihat hubungan internasional dari sudut pandang kaum pinggiran


dengan menawarkan cara pandang alternatif yang sebelumnya diabaikan dalam studi
hubungan internasional. Feminisme memberikan kritik atas dominasi maskulinitas
yang ada dalam dunia hubungan internasional, terutama terhadap teori realisme di
mana dalam teori tersebut menunjukkan bahwa negara selalu menampilkan karakter
kuat (macho) dalam menghadapi permasalahan internasional. Sedangkan pemikiran
feminism menawarkan cara pandang yang berbeda mengenai kaum perempuan serta
menawarkan prespektif humanism dalam memandang fenomena internasional.
Menurut Jacqui True, Feminisme menawarkan tiga bentuk dalam memahami
fenomena politik internasional :

1. Fenomena empiris, yang memiki focus dimana kegiatan pengajaran dan


penilitian mengenai Hubungan Internasional di dominasi oleh kaum laki-
laki.
2. Feminism analitis, yang berusaha melakukan dekontruksi terhadap
kerangka teoritis dalam Hubungan Internasional yang memiliki bias gender
dalam politik internasional.
3. Feminism normatif, mencoba menghadirkan kembali unsur etika, nilai, dan
norma dalam penyusunan teori-teori Hubungan Internasional.

Hubungan internasional mempelajari sebab konflik dan perang tanpa


memperhatikan manusianya sebagai satu individu. Feminisme dalam kajian
internasional pada awalnya, merupakan kaum yang memperjuangkan hak-hak politik
untuk perempuan. Seiring dengan perkembangannya, feminisme telah berubah
menjadi gerakan perjuangan persamaan hak, martabat dan membebaskan perempuan
dari struktur dan sistem yang dianggap terlalu mengekang peran
perempuan. Feminisme lebih mengarahkan pandangannya dalam perspektif
humanisme, misalnya ketika terjadi peperangan, hubungan internasional lebih
berfokus pada situasi politik dan juga ekonomi negaranya tanpa memperhatikan
penderitaan yang dialami oleh rakyatnya, sedangkan feminisme ingin agar penderitaan
yang dialami oleh rakyat juga diperhatikan. Feminisme merupakan isu gender yang
tergolong low politics, sedangkan ilmu dalam hubungan internasional itu bersifat
netral dan tidak terpengaruh oleh isu gender dikarenakan masalah yang dibahas
termasuk dalam ranah high politics. Peran dan posisi perempuan maupun laki-laki
dalam masyarakat dan lembaga tinggi negara tidak berpengaruh terhadap proses
internasional. Feminisme telah berhasil membawa feminisme ke dalam hubungan
internasional dengan menjadikan para pemimpin dengan posisi perempuan. Sebagai
contoh Perdana Menteri Margareth Tatcher di Inggris atau Presiden Megawati ketika
memimpin Indonesia (2001-2004). Namun para pemimpin tersebut tidak menunjukkan
sifat yang mencerminkan sangat feminis sehingga, menimbulkan perspektif
diperlukannya autokritik terhadap kepemimpinan tersebut. Hal ini akan memperkuat
anggapan lama bahwa ilmu Hubungan Internasional itu netral terhadap gender.
C. Kesimpulan

Feminisme dalam dunia hubungan internasional masih menjadi perdebatan


besar. Feminisme masih mencari bentuk yang tepat untuk memahami fenomena
yang ada terutama di dalam ilmu hubungan internasional. Hal ini dikarenakan
feminisme masih menjadi hal yang baru di dunia HI itu sendiri. Paradigma baru
yang diberikan feminisme tentang fenomena-fenomena hubungan antarnegara
masih belum banyak dipahami melalui lensa feminis. Feminisme merupakan
bagian dari studi ilmu hubungan internasional yang tidak memiliki pengaruh yang
besar. feminisme dalam kajian internasional pada awalnya merupakan konsep
yang memperjuangkan hak-hak politik untuk perempuan, sedangkan isu gender
yang merupakan kajian sosial kaitannya dengan politik-internasional sangat
minim. Ilmu hubungan internasional bersifat netral dan tidak terpengaruh oleh isu
gender dikarenakan masalah yang dibahas termasuk dalam ranah high politics.
Peran dan posisi perempuan maupun laki-laki dalam masyarakat dan lembaga
tinggi negara pada saat ini dinilai sudah hampir mengalami kesetaraan sehingga
konsep feminisme tidak lagi berpengaruh terhadap proses internasional.

Anda mungkin juga menyukai