Anda di halaman 1dari 3

071811233054_Ageng Hayu Gumilang_Week10_Feminisme

Perspektif Feminisme dalam Hubungan Internasional

Dinamika studi Hubungan Internasional melahirkan perspektif-perspektif baru yang menjadi pusat
kajian dalam menanggapi fenomena-fenomena yang terjadi dalam hubungan internasional. Ada perspektif
menarik yang dapat dikatakan sebagai perspektif pendobrak gender yaitu perspektif feminisme. Perspektif
feminisme ini mengangkat tentang peran perempuan dalam dunia internasional yang selama ini tertutup oleh
peran laki-laki yang terlihat begitu mendominasi dunia internasional. Feminisme merupakan perspektif yang
mencoba menghilangkan pandangan-pandangan HI yang selalu memperlihatkan maskulinitas atau peranan
laki-laki dalam dunia iternasional.
Feminisme lahir dan mulai memasuki disiplin studi HI pada akhir tahun 1980-an hingga 1990-an.
Feminisme awal mula kemunculannya mencoba menentang pandangan tradisional HI yang terlalu
memfokuskan peranan laki-laki dan melupakan tentang adanya peranan perempuan. Terdapat beberapa varian
feminisme. (1) Feminisme liberal menjabarkan berbagai aspek subordinasi perempuan. Feminisme liberal
banyak mengkaji permasalahan khusus tentang perempuan seperti permasalahan pengungsi perempuan,
ketidaksetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam kesempatan menyampaikan pendapat, dan juga
permasalahan tentang pelanggaran HAM yang terjadi secara tidak proporsional terhadap perempuan seperti
human traffic atau penindasan terhadap perempuan. Feminisme liberal mempercayai jika kesetaraan Antara
laki-laki dan perempuan dapat dicapai dengan menghilangkan hambatan hukum dan menghilangkan persepsi
dimana wanita tidak boleh memiliki hak dan peluang yang sama dengan laki-laki. Feminisme menginginkan
kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. (2) Feminisme kritis. Feminisme kritis menggunakan gender
sebagai variable bahasannya. Feminisme kritis mengeksplorasi tentang ideasional dan manifestasi material
dari identitas gender dan kekuatan gender dalam politik global. Sandra Whitworth (1994), seorang feminisme
memberikan pandangannya tentang gender melalui bukunya Feminisme and International Relations.
Whitworth mengklaim bahwa pemahaman tentang gender hanya bergantung terhadap kondisi material
perempuan dan laki-laki pada keadaan tertentu. Ia menginginkan seharusnya gender didasari oleh makna
tentang reality-ideas yakni tentang hubungan satu sama lain antara laki-laki dan perempuan (Tickner and
Sjoberg, 2007: 209). (3) Feminisme konstruktivisme. Varian ini memfokuskan terhadap ide-ide tentang bentuk
gender dan pembentukan gender oleh politik global. Elizabeth Prugl (1999) memberikan pandangan
konstruktivisme feminis. Prugl melihat jika gender merupakan institusi penggerak kekuasaan di tingkat politik
global. Ia beranggapan jika politik gender meliputi politik dunia dimaa menciptakan peraturan berbasis
linguistik tentang cara negara berinteraksi satu dengan lainnya dan dengan warga negaranya. Feminisme
konstrutivis mengkaji proses tentang ide-ide tentang gender mempengaruhi politik global dan cara politik
global membentuk ide-ide tentang gender (Tickner and Sjoberg, 2007: 210).
Perspektif feminisme memiliki empat asumsi dasar yang menjadi titik fokus kajiannya. Asumsi
pertama yaitu feminisme menganggap sifat manusia tidak tetap, artinya sifat dasar manusia dinamis dapat
berubah setiap saat. Feminisme memberikan asumsi jika kapasitas manusia dapat berkembang melalui
pendidikan. Seperti contohnya jika dulu wanita dianggap sebagai manusia lemah dan hanya mengurusi
071811233054_Ageng Hayu Gumilang_Week10_Feminisme
permasalahan rumah tangga, namun kini contohnya melalui pendidikan bisa merubah dan membuat peranan
wanita menjadi lebih besar dan setara dengan laki-laki. Asumsi kedua ialah feminisme tidak bisa membedakan
antara fakta dan nilai. Feminisme menganggap jika fakta dan nilai memiliki persamaan yang sulit untuk
dibedakan. Hal tersebut yang menyebabkan feminisme kesulitan untuk membedakan fakta dan nilai dengan
jelas. Asumsi ketiga yaitu feminisme menganggap jika ada hubungan yang kuat Antara pengetahuan dan
kekuatan dan juga ‘teori’ manusia tentang dunia dan praktiknya. Feminisme mengasumsikan bahwa
pengetahuan serta kekuatan memiliki relasi yang kuat yakni kekuatan mempunyai kemampuan untuk
mengkonstruksi pengetahuan yang ada. Feminisme juga memandang jika teori dan praktik tidak dapat terlepas
satu sama lain dan juga dipengaruhi oleh lingkungan fisik serta sosialnya. Asumsi keempat ialah feminisme
pos-strukturalis mendefinisikan jika empowerment merupakan agenda utama dari feminisme. Feminisme pos-
strukturalis mengatakan bahwa perempuan sudah semestinya untuk disejahterakan, bukan hanya sekedar
mendapatkan emansipasi saja (Steans, et. Al. 2005:165).
Kaum feminisme memberikan argument-argumen yang menguatkan asumsinya tentang peranan
wanita dalam dunia internasional. Perspektif feminisme menganggap jika kajian pada hubungan internasional
terlalu berfokus pada maskulinitas dimana peranan laki-laki begitu dominan dalam dunia HI. Feminisme
menilai bahwa teori-teori HI yang ada melupakan aspek feminisitas yakni peranan perempuan yang diabaikan.
Kaum feminisme memberikan argumen jika sudah seharusnya aspek feminisme diangkat dan menjadi bagian
dari politik global (True, 2001:226). Feminisme memperjuangkan hak-hak perempuan untuk dapat setara
dengan kaum laki-laki. Kaum feminisme juga menilai jika hubungan internasional banyak dilakukan dengan
cara menggunakan soft power daripada hardpower, ini artinya aspek feminisme merupakan hal yang penting
dalam dunia internasional.
Feminisme memiliki beberapa tema utama yang menjadi pokok kajian mereka dalam studi HI.
Pertama, gender dapat dijadikan kategori utama dalam melakukan analisis teori dalam Hubungan
Internasional. Feminisme memandang jika gender menjadi kekuatan yang besar yang seharusnya dapat terjun
dan mempengaruhi politik global. Kedua, gender dapat dipahami sebagai salah satu jenis kekuatan dari
hubungan kekuasaan. Ketiga, kaum feminisme menginginkan keadilan terhadap hak perempuan, dimana
perempuan harus dihormati serta mendapatkan hak dan peran yang sama dengan laki-laki dalam ranah politik
global (Steans, et. Al. 2005:167).
Sebagai sebuah perspektif dalam HI, feminisme tidak terlepas dari kritikan-kritikan. Feminisme dinilai
terlalu memfokuskan kajian tentang isu gender khususnya tentang perempuan, feminisme terlalu
menitikberatkan fokus untuk menguatkan hak dan peranan perempuan sehingga melupakan isu gender lainnya
seperti permasalahan transgender dan sebagainya. Perspektif feminisme juga dinilai terlalu melebih-lebihkan
peranan perempuan dan feminisme dinilai gagal membangun pandangan tentang hubungan internasional.
Dimana pada kenyataanya tidak ada kajian pada HI tentang feminisme (Steans, et. Al. 2005:180).. Artinya
tidak ada paradigma feminisme yang menjadi teori dalam studi HI.
071811233054_Ageng Hayu Gumilang_Week10_Feminisme
Dari pemaparan yang telah diuraikan tersebut dapat disimpulkan jika perspektif feminisme merupakan
teori alternatif kritis yang memberikan kritikan keras terhadap teori-teori HI sebelumnya yang dinilai terlalu
menitikberatkan maskulinitas dalam kajian studi HI. Kaum feminisme memberikan pandangan jika
seharusnya emansipasi perempuan dijunjung tinggi dan perempuan mendapatkan hak yang sama dengan laki-
laki dalam peranan politik global. Perspektif feminisme banyak mengangkat isu gender tentang diskriminasi
yang diterima oleh kaum perempuan. Meskipun mendapatkan banyak kritikan, penulis menyimpulkan jika
perspektif feminisme berhasil mendobrak gender dan peranan perempuan serta emansipasinya, sehingga
perempuan memiliki peranan yang cukup besar dan memiliki tempat di dalam dunia politik global saat ini.
Referensi :

Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas, 2005. Introduction to International Relations, Perspectives

& Themes, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 6, pp. 155-180.

Tickner, J. Ann & Sjoberg, Laura, 2007. Feminism, in; Tim Dunne, Milja Kurki & Steve Smith (eds.)

International Relations Theories, Oxford University Press, pp. 185-202.

True, Jacqui, 2001. Feminism, in; Scott Burchill, et al, Theories of International Relations, Palgrave, pp. 231-

276.

Anda mungkin juga menyukai