TINJAUAN TEORITIS
A. Pengertian
Dalam buku Encyclopedia of Feminism, yang ditulis Lisa Tuttle pada tahun 1986,
feminisme dalam bahasa Inggrisnya feminism, yang berasal dari bahasa Latin femina
(woman), secara harfiah artinya having the qualities of females. Istilah ini awalnya
digunakan merujuk pada teori tentang persamaan seksual dan gerakan hak-hak asasi
perempuan. Feminisme yang memiliki artian dari femina, memiliki arti sifat
keperempuan, sehingga feminisme diawali oleh presepsi tentang ketimpangan posisi
perempuan dibanding laki-laki di masyarakat. Akibat presepsi ini, timbul berbagai upaya
untuk mengkaji penyebab ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan
formula penyetaraan hak perempuan dan laki-laki dalam segala bidang, sesuai dengan
potensi mereka sebagai manusia (Hubeis, Aida Vitayala Sjafri, 1996).
Bagaimana kekerasan simbolis (meminjam istilah Pierre Bourdieu) telah
menjlar dalam kegiatan ilmu pengetahuan dan membuat suara perempuan tidak
terdengan. Kekerasan simbolik adalah kekerasan tak kasat mata yang tidak dirasakan
sebagai kekerasan, melainkan sebagi sesuatu yang dianggap alamiah dan wajar.
Kekerasan simbolik digulirkan laki -laki dengan mendikte cara berpikir, bertindak,
bahkan cara berbahasa terhadap perempuan. Perempuan harus tunduk pada kategori
-kategori pengetahuan yang dibuat oleh laki -laki. Hal ini disebut falosentrisme, situasi
dimana laki - laki mendominasi pengetahuan, bahasa, wacana, tindakan, dan menjadi
pusat dan kriteria segara sesuatu.
Seperti yang ditulis Dorothy Smith, feminisme adalah sebuah teori, gerakan,
epiteiologi, metodologi, dan praktek yang sangat merindukan kebenaran. Ia
menginginkan konsep yang mengakui keberadaan dirinya, sehingga nantinya keputusan
-keputusan perempuan menjadi keputusan yang berangkat dari nilai dan pengetahuan
yang dicapainya sendiri, bukan dari orang lain.
Feminisme adalah teori dan praktek politik yang membebaskan semua
perempuan : perempuan berwarna, perempuan pekerja, perempuan miskin, perempuan
cacat, perempuan lanjut usia-sebagimana barat memprlakukan perempuan heteroseksual
kulit putih dengan istimewa.
Metodologi feminis hidup sebagi kritik mendasar atas metodologi ilmu modern
(tradisional) yang mendevaluasi perempuan. Agenda besar metodologi feminis adalah
menyusun dasar - dasar konseptual bagi aspirasi perempuan dalam kontruksi ilmu.
Agenda ini dalam prakteknya ditempuh melalui pendekatan dan pandangan yang berbeda
-beda. Karenanya, yang kita temui adalah kemajemukan.
Maggie Humm dalam bukunya Dictionary of Feminist Theories menyebutkan
feminisme merupakan ideologi pembebasan perempuan karena yang melekat dalam
semua pendekatannya adalah keyakinan bahwa perempuan mengalami ketidakadilan
disebabkan jenis kelamin yang dimilikinya (Hidayatullah, 2010). Feminisme adalah
sebuah paham yang muncul ketika wanita menuntut untuk mendapatkan kesetaraan hak
yang sama dengan pria. Istilah ini pertama kali digunakan di dalam debat politik di
Perancis di akhir abad 19. Menurut June Hannam (2007:22) di dalam buku Feminism,
kata feminisme bisa diartikan sebagai:
a. Pengakuan tentang ketidakseimbangan kekuatan antara dua jenis kelamin, dengan
peranan wanita berada dibawah pria.
b. Keyakinan bahwa kondisi wanita terbentuk secara sosial dan maka dari itu dapat
diubah
c. Penekanan pada otonomi wanita
Seiring berjalannya waktu, feminisme bukanlah sekedar sebuah wacana
melainkan sebuah idelogi yang hakikatnya perlawanan, anti, dan bebas dari penindasan,
dominasi, hegemoni, ketidakadilan, dan kekerasan yang dialami perempuan (Heroepoetri
& Valentina, 2004). Dengan beragamnya arti feminisme, maka akan sulit mendapatkan
definisi feminisme dalam semua ruang dan waktu. Hal ini terjadi karena feminisme tidak
mengusung teori tunggal, akan tetapi menyesuaikan kondisi sosiokultural yang
melatarbelakangi munculnya paham itu serta adanya perbedaan tingkat kesadaran,
presepsi, dan tindakan yang dilakukan oleh para feminis (Barorah, 2002). Contohnya di
Amerika, gerakan feminisme pada mulanya lebih dipandang sebagai suatu sudut
pandangan yang mencoba membantu melihat adanya ketimpangan-ketimpangan perilaku
terhadap tindakan kaum perempuan, baik yang bersifat struktual maupun kultural maka
pada perekembangannya yang lebih lanjut nilai yang diperjuangkan gerakan ini
dikonsektualisasi sesuai dengan kepentingan sejarah dan tempat gerakan itu mucul.
Yakni dari penolakan perilaku menjadi upaya pembebasan hak-hak perempuan yang
cenderung radikal (Dewi, 1977).
Sedangkan aksiologi, unsur kelima, adalah bagaimana nilai-nilai yang kita miliki
mempengaruhi penelitian kita. Dalam metodologi feminis, ilmu pengetahuan dipandang
sebagai aktivitas yang tertanam dalam konteks sosiohistoris dan dibentuk oleh kepedulian
dan komitmen personal, sehingga bias peneliti tidak dapat dihindari. Pre-understanding
tidak mungkin dihindari, tetapi harus diminimalisir.
Unsur keenam dan terakhir adalah metodologi. Kerangka konseptual dan teoretis
yang dipergunakan dalam meninjau tema penelitian adalah konsep-konsep subordinasi,
penindasan, hubungan kekuasaan, dan sebagainya yang terkait dengan situasi perempuan
sehari-hari. Metodologi feminis juga terbuka setiap saat untuk berubah jika hal tersebut
diperlukan saat peneliti berada di lapangan. Fleksibilitas perubahan berdasarkan
kebutuhan di lapangan ini disebut emergent design.
E. Aliran Feminisme
1) Feminisme liberal. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraan
rasionalitas. Perempuan adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-
laki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya
terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad
18 sering muncul tuntutan agar perempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad
19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi
perempuan, dan di abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk
menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal.
Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang beperspektif keadilan melalui
desakan 30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari
pengalaman feminis liberal.
2) Feminisme Radikal. Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap
perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama
penindasan oleh kekuasaan laki- laki. Oleh karena itu, feminisme radikal
mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk
lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-
publik. The personal is political menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau
permasalahan perempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu
untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan yang buruk (black
propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena
pengalamannya membongkar persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini
memiliki Undang- Undang RI No.23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (UU PKDRT).
3) Feminis Marxis. Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik
kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas
dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini
status perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaan pribadi (private property).
Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri
berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi
untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.
Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat
borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat
diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus.
4) Feminisme Sosialis. Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme
marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme
dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus
disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan
analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham
dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan
perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme
radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan
patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh
Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi
resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran
maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran
feminin. Agenda perjuangan untuk memeranginya adalah menghapus- kan
kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat
untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi beban perempuan.
5) Feminisme Poskolonial. Dasar pandangan aliran ini berakar di penolakan
universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara
dunia ketiga (koloni/bekas koloni) berbeda dengan perempuan berlatar belakang
dunia pertama.
F. Tema-tema Pokok Ilmuwan Feminis
Perspektif yang beraneka ragam dalam mengadakan riset sosial berkaitan dengan
banyaknya definisi feminisme, yang satu sama lain berbeda. Dasar keanekaragaman itu
adalah keyakinan bahwa pemahaman tentang kehidupan perempuan dalam berbagai
aspeknya merupakan satu hal yang benar-benar penting dan perlu.
Karena feminisme tidak mempunyai satu pemimpin atau tokoh panutan yang
diterima secara bulat oleh semua ilmuwan feminis, tidak mengherankan apabila tidak ada
satu pun definisi baku tentang apa yang disebut sebagai penelitian feminis atau penelitian
berperspektif perempuan.
Ilmuwan feminis biasanya menggunakan sejumlah metode penelitian. Tidak ada satu
cara penelitian khusus yang sepenuhnya mengandung perspektif feminis, tetapi sejumlah
cara yang sekaligus juga mencermin- kan imajinasi para peneliti feminis untuk lebih
memahami persoalan perempuan. Misalnya, cara mereka menerapkan metode wawancara
dan melakukan riset memakai oral history. Ada yang menerapkannya tanpa modifikasi,
ada yang mengubah-ubahnya agar dalam penelitian berikutnya para responden lebih dapat
menjawab pertanyaan si peneliti. Penelitian feminis melakukan kritik yang berkelanjutan
terhadap konsep atau teori sebelumnya yang non-feminis. Selain menggunakan metode
riset yang beraneka ragam, sesuai dengan keinginan mereka untuk lebih memahami
perempuan dan semua aspek kehidupannya, riset yang dianggap androsentris mendapat
perhatian khusus dari peneliti feminis.
Riset feminis diarahkan oleh teori-teori feminisme. Artinya, waktu menyusun
pertanyaan-pertanyaan untuk risetnya para ilmuwan feminis sering menggunakan
kerangka pikir yang berasal dari teori feminis. Contohnya, dalam melakukan suatu riset
tentang pemerkosaan, pertanyaan-pertanyaan itu akan sengaja disusun berdasarkan
konsep- konsep tentang hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dan tentang
perbedaan gender antara si korban dan si pemerkosa. Hal itu berbeda dari riset tradisional
yang biasanya hanya akan bertumpu pada kerangka konseptual tentang seksualitas,
perilaku yang menyimpang, atau jiwa yang tidak sehat.
Ilmuwan feminis membuka diri untuk pendekatan transdisipliner. Sebuah riset
mungkin memerlukan peneliti yang memiliki latar belakang pendidikan ilmu sejarah,
psikologi, seni, sosiologi, ilmu politik, biologi, ekonomi, matematika, dan disiplin ilmiah
lain. Jelas seorang peneliti tidak akan bisa menguasai semua disiplin tersebut. Namun,
peneliti feminis harus menyadari: kaum perempuan memerlukan tinjauan dari berbagai
disiplin. Intinya, para peneliti feminis memerlukan perspektif yang multidisipliner demi
memperkaya pengetahuan disiplin ilmunya sendiri. Umpamanya, seorang psikolog
menaruh minat meneliti persoalan psikologi perempuan, maka ia memerlukan
pengetahuan psikologi yang berperspektif perempuan. Dengan demikian ia menjadi peka
terhadap masalah dan pandangan dalam psikologi yang bersifat seksis, dan peka terhadap
perbedaan antara perempuan dan laki-laki, baik ditinjau dari segi biologis, perilaku,
maupun aspek peran sosial yang diharapkan.
Ilmuwan feminis berusaha untuk mengadakan perubahan sosial. Selain menekankan
perspektif perempuan yang didasari oleh teori-teori feminisme, banyak riset feminis juga
bertujuan merangsang perubahan sosial atau memberi masukan kepada para pembuat
kebijakan. Sebagai peneliti dan ilmuwan feminis, mereka merasa bertanggung jawab
untuk menyadarkan masyarakat akan masalah sosial tertentu (umpamanya, secara kritis
dan berdasarkan data konkrit menyoroti kondisi buruh perempuan) atau menyumbangkan
suatu gagasan, berdasarkan suatu penelitian, mengenai apa yang perlu diubah dalam
undang-undang atau ketentuan hukum yang tengah berlaku. Misalnya, dengan meneliti
secara kritis berbagai kelemahan yang ada dalam UU Perkawinan 1974 dan Peraturan
Pemerintah No 10.
Penelitian berperspektif feminis menerima dan mementingkan keanekaragaman
pengalaman perempuan. Bahkan ada yang meng- anggap bahwa keragaman tersebut
merupakan kriteria utama dalam riset feminis. Metode kasus dianggap dapat
meningkatkan kualitas riset karena dapat memberikan wawasan yang lebih tepat dalam
meng- konsepkan sebuah masalah. Para peneliti feminis juga harus benar-benar peka
terhadap perbedaan pengalaman yang diakibatkan berbedanya status sosial ekonomi
seseorang, kesukuannya, latar belakang pendidikannya, dan sebagainya.
Peneliti feminis mementingkan keterlibatan dirinya sebagai individu, pengalaman
pribadi peneliti dianggap sangat berharga. Ini sangat berbeda dari kriteria riset non-
feminis. Mereka pada umumnya menganggap bahwa keterlibatan pribadi seorang peneliti
justru akan mencemari hasil risetnya. Peneliti non-feminis juga menuntut bahwa
penulisan laporan tidak menggunakan kata saya. Namun, dalam riset feminis suatu
proyek riset yang berdasarkan pengalaman pribadi penyusunnya tidak begitu saja dicap
non-ilmiah. Justru, pengalaman pribadi diakui sebagai faktor perangsang penelitian yang
sah. Gagasan starting from ones own experience kemudian dikembangkan untuk
menghadapi riset-riset yang androsentris.
Riset semacam ini juga melanggar ketentuan konvensional yang beranggapan bahwa
peneliti harus mengambil jarak agar hasilnya obyektif dan netral. Peneliti feminis
mementingkan keterlibatan responden atau pihak yang diteliti, karena dalam suatu proses
riset yang interaktif yang justru terjadi adalah empati. Sebagai peneliti ia akan masuk
dalam kehidupan subyek yang diteliti sehingga terjadi kekaburan antara hubungan formal
dan hubungan personal. Laporan yang ditulis pun akan berupa suatu narasi personal
peneliti, dan subjek yang diteliti menjadi teman-teman, subjek narasinya. Batas antara
peneliti dan subjek yang diteliti juga menjadi kabur karena peneliti secara langsung
membantu subjek yang sedang diriset (memberikan konseling atau bantuan konkret
lainnya). Dalam situasi yang demikian, rapport (hubungan pribadi yang harmonis dan
selaras) yang kemudian tercipta akan memberikan rasa nyaman dan kelegaan tersendiri di
hati peneliti bahwa ia tidak pernah dan tidak mencoba mengeksploitasi subyek yang
sedang diteliti.
G. Jenis Feminisme
a. Feminisme liberal
Apa yang disebut sebagai Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan
perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini
menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan
antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya
kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan.
Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh
kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka
bisa bersaing di dunia dalam kerangka persaingan bebas dan punya kedudukan
setara dengan lelaki.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai Feminisme Kekuatan yang merupakan
solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan
pendapatan, dan perempuan harus terus menuntut persamaan haknya serta saatnya
kini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah
golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik
dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi
sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu
dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme. Wanita-
wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak tergantung lagi pada
pria.
Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus
diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk
kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul
tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak upaya
memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di abad 20
organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi
seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks
Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota
bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.
b. Feminisme radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan
ideologi perjuangan separatisme perempuan. Pada sejarahnya, aliran ini muncul
sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di
Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri
pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta
dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya
yang radikal.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi
akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme,
relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik. The personal is
political menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau permasalahan prempuan
sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke
permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan
kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar persoalan-
persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no. 23 tentang
Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
c. Feminisme post modern
Ide Posmo menurut anggapan mereka ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas,
gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena
penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka
berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial
d. Feminisme anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-
citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber
permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan
e. Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam kerangka kritik kapitalisme.
Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari eksploitasi kelas dan cara
produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran inistatus
perempuan jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (private property).
Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah
menjadi keperluan pertukaran (exchange). Laki-laki mengontrol produksi untuk
exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial.
Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang
berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat
borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakat dapat
diperbaiki dan penindasan terhadap perempuan dihapus
f. Feminisme sosialis
Sebuah faham yang berpendapat Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan.
Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme. Feminisme sosialis berjuang
untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir
pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx
yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini
mengatakan baha patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan
berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik
dominasi atas perempuan. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender
untuk memahami penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis
bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran
feminis sosialis ini juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap
patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan
yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat
keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena
peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk
memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks
Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang
menjadi beban perempuan.
g. Feminisme postkolonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan.
Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekas koloni)
berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga
menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan
berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan
agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada
intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang,
maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative
Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class
menyatakan, hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan
kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan
Contoh silogisme induktif adalah : Bebek milik tetangga yang diberi nama Pinpin bisa
terbang, bebek milik warung Pak Ahmad kemarin terbang sebelum disembelih.
Kesimpulannya, semua yang bisa terbang adalah rumpun keluarga burung. Pinpin adalah
keluarga burung. Strategi analisis kualitatif, umumnya tidak digunakan sebagai alat
mencari data dalam arti frekuensi akan tetapi digunakan untuk menganalisis proses sosial
yang berlangsung dan makna dari fakta-fakta yang tampak di permukaan itu. Dengan
demikian, maka analisis kualitatif digunakan untuk memahami sebuah proses dan fakta
dan bukan sekadar untuk menjelaskan fakta tersebut. Model tahapan analisis induktif
adalah sebagai berikut:
a. Melakukan pengamatan terhadap fenomena sosial, melakukan identifikasi, revisi-
revisi, dan pengecekan ulang terhadap data yang ada.
b. Melakukan kategorisasi terhadap informasi yang diperoleh
c. Menelusuri dan menjelaskan kategorisasi
d. Menjelaskan hubungan-hubungan kategorisasi
e. Menarik kesimpulan-kesimpulan umum
f. Membangun atau menjelaskan teori.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa tahapan penelitian kualitatif juga adalah tahapan
analisis kualitatif, dengan demikian, maka tahapan-tahapan analisis itu juga adalah yang
dilaksanakan peneliti pada setiap tahapan penelitiannya. Jadi, model langkah analisis
data kualitatif bukanlah teknik analisis kualitatif melainkan sebuah strategi analisis data
yang melekat pada setiap tahapan langkah penelitian kualitatif, sedangkan metode atau
teknik analisis kualitatif adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data
(beberapa alat hanya untuk mengumpulkan data saja) dan sekaligus juga adalah alat
analisis data. Dari berbagai varian penelitian kualitatif yang berkembang saat ini, pada
prinsipnya ada tiga model desain yang paling sering digunakan di kalangan peneliti,
yaitu format desain deskriptif-kualitatif, format desain kualitatif-verifikatif, dan format
desain kualitatif grounded research. Format desain deskriptif-kualitatif banyak memiliki
kesamaan dengan desain deskriptif-kuantitatif, karena itu desain deskriptif-kualitatif bisa
disebut pula dengan kuasi kualitatif atau desain kualitatif semu. Artinya desain ini belum
benar-benar kualitatif karena bentuknya masih dipengaruhi oleh tradisi kuantitatif
(deduktif) terutama dalam menempatkan teori pada data yang diperolehnya. Format
desain kualitatif-verifikatif merupakan upaya pendekatan induktif terhadap seluruh
proses penelitian yang dilakukan karena itu, format desain penelitiannya secara total
berbeda dengan format penelitian kuantitatif (maupun dekriptif-kualitatif). Format
penelitian kualitatif-verifikatif lebih banyak mengkonstruksi format penelitian dan
strategi memperoleh data dari lapangan secara induktif. Varian desain ini seperti juga
desain penelitian kualitatif-evaluatif, audit komunikasi, dan semacamnya.
Grounded Research dipengaruhi oleh pandangan bahwa peneliti kualiatif tidak
membutuhkan pengetahuan dan teori tentang objek penelitian untuk mensterilkan
subjektivitas peneliti, maka format desain grounded research dikonstruksi agar peneliti
dapat mengembangkan semua pengetahuan dan teorinya setelah mengetahui
permasalahannya di lapangan. Analisis data kualitatif bertumpu pada ketiga strategi
format desain kualitatif di atas, sehingga masing-masing format desain menentukan
strategi analisis datanya berdasarkan format masing-masing desain.
DAFTAR PUSTAKA
Barorah, Umul. 2002. Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Pemahaman Islam dan
Tantangan Keadilan Jender, ed. Sri Suhandjati Sukri. Yogayakarta: Gama Media.
Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. (1982). Qualitative Research for Education : An Introduction
to Theory and Mehtods, Boston : Allyn and Bacon, Inc
Clandinin, D, J., & Conely, F, M. (2009). Metode Pengalaman Pribadi. Dalam Denzin, N. K
dan Lincoln, Y. Handbook of Qualitative Research: 571-588. Diterjemahkan oleh
Dariyatno. Terbitan ke-1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Eriyanti Nurmala Dewi, Feminisme Kontemporer VS Feminisme Islam, dalam
Membincangkan Feminisme. (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)
Eriyanti Nurmala Dewi. (1997). Feminisme Kontemporer VS Feminisme Islam, dalam
Membincangkan Feminisme. Bandung: Pustaka Hidayah
Goodhue, D.I dan Thompson. R. L. (1995). Task Technology and
IndividualPerformance.Mis Quarterly, Juni 213-236.
Heroepoetri, Arimbi dan Valentina R. (2004). Percakapan Tentang Feminisme vs
Neoliberalisme. Jakarta: Institut Perempuan.
Hubeis, Aida Vitayala Sjafri. (1996). Muslimat Indonesia di Tengah Budaya Global dalam
Islam dan Kebudayaan Indonesia Dulu, Kini dan Esok. Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal.
Jackson, R., & Sorensen, G. (2005). Pengantar Studi Hubungan Internasional. (D.
Suryadipura, Trans.) Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Moleong, Lexy J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya.
Olesen, V. (1994). "Feminism and models of qualitative research." In NK Denzin & YS
Lincoln (eds.) Handbook of Qualitative Research. pp. 158-174. Thousand Oaks: Sage
Publications.
Seidel, John V., (1998) Qualitative Data Analysis, www.qualisresearch.com (originally
published as Qualitative Data Analysis, in The Ethnograph v5.0: A Users Guide,
Appendix E, 1998, Colorado Springs, Colorado: Qualis Research).
Syarif Hidayatullah, Teologi Feminisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010)
Umul Barorah, Feminisme dan Feminis Muslim, dalam Pemahaman Islam dan
Tantangan Keadilan Jender, ed. Sri Suhandjati Sukri (Yogayakarta: Gama Media,
2002), 183-184.