Anda di halaman 1dari 8

RESUME 10 TEORI KOMUNIKASI

“Teori Kelompok Terbungkam & Teori Sudut Pandang Feminis”

Berdasarkan pada penelitian Cheris Kramarae & Nancy C.M. Hartsock dan Julia T. Wood

Mata Kuliah: Teori Komunikasi

Dosen Pengampu: Dr. Agustinus Rusdianto Berto, M.Si.

SIFRA REBEKA WARUWU

1971650023

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA, 2020
Teori Kelompok Terbungkam

Oleh Cheris Kramarae

Asumsi-asumsi Teori Kelompok terbungkam

Cheris Kramarae (1981) menetapkan tiga asumsi yang dia percaya adalah pusat untuk MGT.

1. perempuan memandang dunia secara berbeda dibandingkan laki-laki karena perbedaan


pengalaman dan aktivitas yang berasal dari pembagian kerja antara perempuan dan laki-
laki. Perempuan bertanggung jawab untuk pekerjaan di rumah, sedangkan laki-laki
bertanggung jawab untuk pekerjaan di luar rumah atau dengan kata lain perempuan
bekerja mengurus rumah tangga, sedangkan laki-laki bekerja mencari nafkah bagi
keluarganya. Setelah revolusi industri, banyak perempuan yang bekerja di luar rumah
atau menjadi wanita karir. Meskipun begitu, mereka tetap mempunyai tanggung jawab
untuk mengurus rumah dan anaknya. Hal ini disebut Arlie Hochschild sebagai waktu
kerja kedua (second shift), yakni saat perempuan menghabiskan waktu delapan jam untuk
karirnya dan pulang ke rumah untuk mengurus rumah tangga.
2. Karena dominansi politik mereka, sistem persepsi laki-laki adalah dominan, menghambat
kebebasan perempuan untuk berekspresi. Asumsi ini menekankan bahwa perempuan sulit
untuk mengekspresikan apa yang ingin mereka katakan. Teori ini mengemukakan bahwa
orang akan sulit berbicara jika tidak ada kata yang dapat menggambarkan apa yang ada
dipikirannya.
3. Untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, perempuan harus mengubah model mereka
sendiri berdasarkan ketentuan yang dapat diterima oleh sistem ekspresi laki-laki.
Perempuan harus mengkonseptualisasi apa yang ada dipikirannya, lalu mencari kalimat
yang sesuai dengan pikiran laki-laki. Dengan kata lain, perempuan melakukan
pengkodean terhadap apa yang ia pikirkan

Proses pembungkaman

Inti dari teori kelompok bungkam adalah anggota anggota kelompok yang termarginalkan
dibungkam dan dianggap sebagai penutur yang tidak fasih, pembungkaman kelompok bungkam
adalah fenomena yang dialami secara sosial tidak seperti kegiatan pidato yang tidak
membutuhkan lebih dari satu orang aktor, pemungkiman terjadi dengan proses yang
tersendirinya dikarenakan adanya orang yang memiliki kekuasaan tertentu.yang memiliki
kekuasaan akan sangat vokal dalam menyatakan segala statemennya Sedangkan kelompok yang
dibawah akan jadi terbungkam

 Mengejek

Sebuah pernyataan yang begitu kontras bahwa wanita adalah identik dengan kebiasaan
mengomel menggosip berceloteh, hingga muncul persepsi bahwa wanita lebih rendah daripada
pria karena wanita dipersepsikan sebagai subjek yang selalu menggosip sehingga timbul ejekan-
ejekan yang menyalahkan hobi yang selalu dilakukan para wanita, sebagaimana yang dikatakan
oleh houston dan karamae,: pembicara wanita sering kali di remehkan.pria memberi label label
terhadap pembicaraan wanita sebagai mengoceh mengomel.menggosip,merengek. Persepsi ini
menempatkan wanita sebagai sasaran ejekan kaum pria dan parahnya ada beberapa kasus wanita
memiliki tingkat kekhawatiran yang tinggi sehingga menjadi sasaran untuk dijadikan sasaran
ejekan

 Ritual

Ritual termasuk kedalam proses pembungkaman, hal ini disebabkan di dalam ritual terdapat
unsur-unsur yang dapat menciptakan pembungkaman hal ini terjadi biasanya pada wanita.
Wanita sering menjadi objek yang dikatakan bungkam hal ini dikarenakan dalam segala prosesi
wanita selalu menjadi subjek sekunder dimana saat adanya prosesi prosesi tertentu wanita hanya
menerima dan mematuhi segala keputusan keputusan yang telah di buat oleh pria. Contoh :
dalam prosesi perkawinan wanita masih saja diletakkan sebagai subjek yang hanya menerima
semua proses pernikahan mulai dari proses pengiriman mempelai wanita dan mempelai pria
menyambut di samping kepala pemuka agama yang menikahkan pasangan itu hingga saat
mengucapkan kata ijab Kabul mempelai pria lah yang mengucapkan ijab Kabul sementara
wanita hanya diam dan mengangguk tanda setuju,dari contoh diatas jelas ritual membuat wanita
menjadi semakin terbungkam begitu juga dengan nama yang diberikan  setelah kedua pasangan
menikah sang istri cenderung diharuskan memakai nama suaminya untuk nama belakangnya dan
ini terjadi pada tokoh pengemuka teori kelompok bungkam (cheris rae kramarae).dari penjelasan
ini dapat disimpulkan pembungkaman juga berasal dari proses ritual.

 Control

 Dalam kehidupan sosial wanita acap kali kurang berkontribusi dalam pembuatan dan
pengambilan keputusan kebanyakan prialah yang menjadi pembuat dan pengambilan keputusan.
Begitu juga dengan proses komunikasi pria lebih banyak berbicara, pria lebih diyakini
mempunyai kemampuan yang lebih dibandingkan dengan wanita pria lebih sering menjadi
pembicara pembicara penting hal ini dikarenakan pria memiliki kharisma yang lebih besar dan
berwibawa. 

 Pelecehan

Elisabeth kissling (1991) menulis tentang pelecehan pelecehan yang terjadi di jalan jalan wanita
cenderung rawan terkena tindakan-tindakan pelecehan wanita tidak selalu aman bila berada pada
area bebas pada jalan jalan umum.pelecehan pun sering terjadi pada wanita-wanita karena wanita
dianggap lemah dan kurang mampu menjaga diri mereka sendiri

Kritik 

 Utilitas 

Teori Kelompok Terbungkam telah dikritik selama tidak berguna karena terlibat dalam
esensialisme, atau keyakinan bahwa semua laki-laki pada dasarnya sama dan semua perempuan
pada dasarnya sama serta keduanya berbeda satu sama lain.

 Uji waktu

Beberapa kritikus MGT menegaskan bahwa teori belum banyak dimanfaatkan dalam penelitian
komunikasi dan kadang-kadang Ketika telah menggunakannya, prinsip-prinsipnya belum bisa
mendukung. Elspeth Tilley (2010), contohnya menemukan bahwa laki-laki tidak lebih mungkin
dibandingkan perempuan untuk berbicara di depan umum ketika dihadapkan dengan seorang
karyawan yang telah melanggar standar etika.
Teori Sudut Pandang Feminis

Oleh Nancy C.M. Hartsock dan Julia T. Wood

Terdapat lima asumsi tertentu tentang sifat sosial yang telah Hartsock konseptualisasikan.

1. Kehidupan material (atau posisi kelas) membentuk dan membatasi pemahaman mengenai
hubungan sosial. Asumsi pertama, memberikan gagasan bahwa lokasi individu pada
struktur kelas dapat membentuk dan membatasi pemahaman mereka mengenai hubungan
sosial.

2. Ketika kehidupan material dibentuk untuk dua kelompok dengan menggunakan dua hal
yang bertolak belakang, maka pemahaman pada masing-masing pihak juga akan saling
bertolak belakang. Ketika ada kelompok dominan dan subordinat, maka pemahaman pada
kelompok dominan akan berat sebelah dan membahayakan. Asumsi kedua, Teori Sudut
Pandang Feminis berpendapat bahwa semua sudut pandang adalah memihak, namun
kelompok superior dapat merugikan mereka yang berada pada posisi subordinat.

3. Pandangan pada kelompok yang memiliki kuasa akan membentuk hubungan material di
mana semua kelompok dipaksa untuk berpartisipasi. Asumsi ketiga, menyatakan bahwa
kelompok superior dapat menyusun kehidupan untuk menghilangkan pilihan-pilihan dari
kelompok subordinat.

4. Pandangan yang ada pada kelompok yang tertindas mewakili upaya dan penghargaan.
Asumsi keempat, menyatakan bahwa kelompok subordinat harus mengupayakan dengan
keras untuk menyuarakan pandangan mereka pada kehidupan sosial.

5. Pemahaman potensial pada pihak yang tertindas (sudut pandang) dapat menunjukkan
kekejaman hubungan yang sudah berlangsung di antara kelompok-kelompok. Keadaan
ini dapat mendorong kita untuk maju dan menciptakan kehidupan yang lebih adil.
Asumsi kelima, membenarkan bahwa upaya ini akan menghasilkan pandangan yang lebih
jelas dan akurat pada kelompok subordinat yang mengalami tekanan oleh kelompok
superior. Dengan pandangan ini, kelompok subordinat dapat melihat kekejaman dalam
urutan orde sosial dan menuntut akan perbaikan dunia.

Konsep Teori Sudut Pandang Feminis juga dapat mewujudkan sebuah epistemologi atau cara


untuk mengetahui, dan juga ontologi atau kepercayaan akan sesuatu hal yang layak untuk
diketahui. Epistemologi dan ontologi dari Teori Sudut Pandang Feminis juga didasarkan pada
asumsi-asumsi di bawah ini:

1. Semua pengetahuan merupakan produk  dari aktivitas sosial dan dengan


demikian ilmu pengetahuan bersifat objektif. Asumsi pertama, pengetahuan bukanlah
konsep yang objektif tetapi dibentuk secara subjektif dari mereka yang mengetahuinya.
Asumsi ini membuka kesempatan pada berbagai konsep kebenaran yang menjadi inti dari
Teori Sudut Pandang Feminis.
2. Kondisi budaya yang mengelilingi kehidupan wanita akan menghasilkan pengalaman dan
pemahaman yang secara rutin berbeda dengan apa yang dialami oleh pria. Perbedaan
pemahaman ini sering menimbulkan perbedaan pola komunikasi. Asumsi kedua,
menitikkan pada perbedaan lokasi sosial di mana pria dan wanita tinggal. Debbie
Dougherty (2001) mengungkapkan bahwa ketika muncul disfungsi pada pelecehan
seksual, maka hal ini dapat menimbulkan fungsi pada pria. Dougherty menyimpulkan
bahwa perbedaan lokasi sosial pada pria dan wanita membentuk reaksi pria dan wanita
terhadap pelecehan seksual. Dougherty juga memberikan gambaran bagaimana manajer
dapat menggunakan informasi ini untuk mengembangkan workshop yang menunjukkan
bahwa fungsi tersebut dapat memuaskan pria tanpa menekan wanita di dalam organisasi.
3. Pemahaman terhadap perbedaan-perbedaan pengalaman wanita akan menjadi sangat
bermanfaat. Asumsi ketiga, berkaitan dengan ontologi atau apa yang layak untuk
diketahui. Asumsi ini menempatkan orang-orang yang termarjinalkan (dalam hal ini
wanita) pada posisi awal untuk dijadikan teori dan penelitian. Ini membuat Teori Sudut
Pandang Feminis menjadi feminis dan sedikit banyak menggantikan sudut pandang kaum
yang mendominasi dengan sudut pandang dari kelompok yang tidak mainstream.
4. Kita hanya dapat mengetahui pengalaman wanita dengan cara menghadiri interpretasi
wanita akan pengalaman mereka. Asumsi keempat, Teori Sudut Pandang Feminis
berangkat dari sebuah epistemologi. Cara untuk mencapai sentimen yang dikemukakan
oleh Harding adalah dengan cara melihat bagaimana wanita berbicara dan
menginterpretasikan pengalaman mereka.

Konsep Teori Sudut Pandang Feminis

Teori ini bersandar pada tiga kunci kunci konsep, yaitu sudut pandang, pengetahuan menurut
situasi, dan pembagian Kerja secara seksual.

1. Sudut Pandang

Sudut pandang (standpoint) adalah posisi yang didapat dan berasal dari wilayah sosial yang
berpengaruh pada aspek pemahaman kehidupan seseorang. Menurut Hartsock (1998) dalam
(West & Turner, 2017) sudut pandang dibentuk dari pengalaman-pengalaman yang terstruktur
oleh posisi seseorang dalam hierarki sosial. Sebuah perspektif dapat mencapai sudut pandang
namun hanya melalui usaha. Sudut pandang bisa didapatkan setelah seseorang berpikir,
berinteraksi, dan berusaha. Sudut pandang harus dicari dengan aktif, sudut pandang dimiliki oleh
mereka yang telah mengalami penindasan.

Sudut pandang diperoleh melalui pengalaman penindasan, refleksi dan pengenalan dari implikasi
politik dari semua pengalaman-pengalaman tersebut. Sudut pandang tidak lepas dari konteks
sosial dan politik. Hal ini karena sudut pandang ditentukan oleh lokasi sosial yang spesifik,
mereka memihak, atau tidak sempurna. Kejelasan pandangan ini juga memposisikan hierarki
yang berada lebih rendah menguasai ketelitian atau akurasi paling besar pada sudut pandang
mereka, merujuk kepada kemampuan untuk melebihi batas dari pandangan parsial dan melihat di
luar lokasi spesifik seseorang.

2. Pengetahuan Menurut Situasi

Pengetahuan Menurut Situasi merupakan pengetahuan seseorang yang didasarkan pada konteks
dan keadaan. Pengetahuan dipandang sebagai sesuatu yang banyak dan terletak di dalam
pengalaman. Dengan demikian, apa yang dipelajari oleh seseorang didapat dari posisi dan peran
yang diembannya dalam kehidupan sosial.

Pengetahuan Menurut Situasi mengingatkan kita bahwa apa yang kita ketahui dan kita lakukan
bukanlah bawaan tetapi adalah hasil dari pembelajaran kita dari pengalaman yang dialami.
Komunitas lokal yang berbeda dapat menentukan standpoint yang sedikit banyak berbeda,
tergantung pada pengalaman yang dialami.

3. Pembagian Kerja secara Seksual

Teori Sudut Pandang Feminis bersandar pada gagasan bahwa pria dan wanita terikat dalam
jabatan yang berbeda, berdasarkan pada jenis kelamin yang berimplikasi pada pembagian kerja
secara seksual. Pembagian kerja secara seksual merupakan alokasi pekerjaan berbasiskan pada
jenis kelamin.

Divisi ini tidak hanya membedakan pekerjaan berdasarkan jenis kelamin, tetapi juga
mengeksploitasi wanita dengan pekerjaan tanpa menyediakan upah. Lebih jauh lagi,
ketidaksetaraan yang dialami oleh wanita dalam lingkungan kerja juga dikaitkan dengan
pekerjaan domestik mereka (yang tidak diberi upah).

Dengan demikian, teori sudut pandang feminis menyoroti pada eksploitasi dan distorsi yang
dihasilkan ketika pekerjaan dibagi menurut jenis kelamin.

Kritik

 Utilitas

Teori sudut pandang feminis berfokus pada lokasi kelompok sosial, banyak peneliti berpendapat
bahwa itu adalah esensial. Misalnya, Catherine O’ Leary (1997) berpendapat bahwa meskipun
FST telah membantu dalam mereklamsi pengalaman perempuan sebagai topik penelitian yang
sesuai, berisi penekanan bermasalah pada universalitas pengalaman ini dengan mengorbankan
perbedaan antara pengalaman perempuan.

Anda mungkin juga menyukai