net/publication/312796881
CITATIONS READS
0 1,859
5 authors, including:
Laely Armiyati
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
8 PUBLICATIONS 1 CITATION
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Cultural Heritage For Developing Tourism Based On Integrated Tourism Concept (A Case In Cilacap, Indonesia) View project
All content following this page was uploaded by Laely Armiyati on 25 January 2017.
) Artikel disusun dalam rangka pengukuhan Prof. Dr. Suswandari, M. Pd., sebagai Guru
Besar Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA, Jakarta, tanggal 29 November 2014.
) Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Prof.
DR. HAMKA.
teori nurture berpendapat bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan sebagian besar
disebabkan oleh konstruksi sosial melalui sosialisasi. (Arief Budiman dalam Nunuk P.
Murniati: XVII) Akibat perbedaan tersebut, kedua penganut teori memiliki sikap yang
saling bertolak belakang apabila berbicara tentang peran perempuan. Penganut teori
nature akan menganggap bahwa dominansi laki-laki adalah kewajaran, sedangkan
penganut teori nurture bersikap melawan dominansi laki-laki.
Melacak permasalahan superioritas kaum laki-laki, dapat dimulai dari adanya
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan zaman Pra-aksara dalam periode
berburu dan meramu dimana laki-laki bertugas sebagai pemburu dan perempuan
bertugas meramu (mengumpulkan makanan), inilah yang memunculkan konsepsi Man
The Hunter oleh Washburn dan Lancaster. Konsep Man The Hunter yang disampaikan
Washburn dan Lancaster dalam Hadriana Marhaeni Munthe (2003: 1) akhirnya
dipersepsikan dalam label bahwa laki-laki memiliki postur tubuh yang kekar dan kuat,
rasional, dan bersifat agresif, sehingga mampu berburu hewan liar secara kasar dan
membunuhnya. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah, emosional,
memerlukan perlindungan, kurang inisiatif, kurang dinamis, lebih pasif dan lebih
submitif daripada laki-laki.
Pembagian kerja berdasarkan seksual terus berlanjut hingga memasuki era
Neolithikum, dimana manusia sudah mulai memproduksi. Dalam zaman inipun,
perempuan tetap diberikan jatah bekerja di rumah, mengurus seluruh kebutuhan rumah
tangga, sedangkan laki-laki tetap bekerja di luar. Di Dunia Barat, marginalisasi
perempuan pada abad XIX dari ranah publik semakin besar. Perempuan hanya
diijinkan untuk mengurusi ranah domestik dan tidak diijinkan keluar tanpa ijin dari
suami. Kesadaran akan adanya ketidakadilan, telah terjadi sejak lama. Namun, baru
memperoleh bentuknya ketika istilah feminisme yang mulai disosialisasikan oleh
majalah Century pada tahun 1914. Meski demikian feminism sudah digunakan sejak
tahun 1880 di Perancis oleh Hubertine Auclort, pendiri perjuangan perempuan pertama
di Perancis. (Nunuk P. Murniati, 2008: XXVII)
Munculnya perlawanan perempuan di dunia Barat, merupakan bentuk
kekecewaan mereka terhadap pandangan masyarakat yang menempatkan mereka pada
posisi yang rendah. Ini didukung oleh adanya stigma yang disebarluaskan melalui
dogma agama bahwa perempuan adalah jelmaan syaitan untuk menggoda manusia.
Alhasil, sikap Gereja pun menempatkan derajat perempuan jauh lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Pun sebelumnya, perempuan tidak dianggap berarti dalam
struktur kehidupan masyarakat Eropa. Aristoteles (384-422 S.M.), berpendapat bahwa
perempuan adalah“lelaki yang cacat atau memiliki kekurangan (defect male)”,
karenanya perempuan harus dikuasai laki-laki karena jiwanya tidak lengkap, dan
Thomas Aquinas dalam tulisannya “Summa Theologia” setuju dengan pernyataan ini.
Sedangkan Imanuel Kant (1724-1804), menyatakan bahwa : “Perempuan mempunyai
perasaan yang kuat tentang kecantikan dan keanggunan dan sebagainya, tetapi kurang
dalam bidang kognitif dan tidak dapat memutuskan tindakan moral”. (Gadis Ariva
dalam Muhammad Ariffin, 2012: 5)
Schopenhauer (1788-1860) menganggap bahwa kaum perempuan lebih lemah
daripada laki-laki, sebab itu wajar kalau tempat mereka di rumah. Tokoh lainnya, Freud
(1856-1939) dalam pandangannya phallocentric mengemukakan bahwa dunia adalah
dunianya laki-laki, sedangkan perempuan hidup dalam bayang-bayang laki-laki dengan
kondisi “apa yang berlaku bagi laki-laki dan apa yang ditentukan oleh laki-laki, seperti
itulah hidup perempuan.” Bahkan, Francis Bacon dalam bukunya Marriage and Single
Life menyatakan bahwa perempuan hanya menyimpan benih keburukan, sehingga
harus diawasi oleh keluarga dan suaminya jika ia telah menikah. Maka, menurutnya
hidup ideal bagi laki-laki adalah apabila ia tidak menikah, sehingga terhindar dari
keburukan perempuan dan beban anak-anak, serta dapat lebih berperan bagi
kepentingan masyarakat. (Abul A’la Maududi dalam Muhammad Ariffin, 2012: 6)
Kehadiran para tokoh sentral inilah yang mendukung marginalisasi atas perempuan,
sehingga mengakibatkan posisi perempuan di Eropa semakin tidak berarti. Ia menjadi
warga kelas dua yang berada di balik bayang-bayang laki-laki.
Pada periode berikutnya, di Eropa muncul feminisme dengan doktrinnya yang
memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan
terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan
terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis
(heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek
dari kehidupan pribadi dan politik. Menurut Thornham (2006) dalam Ni Komang Arie
Suwastini (2013: 201), salah satu ciri utama feminisme gelombang kedua baik di
Inggris maupun di Amerika adalah usaha mereka untuk merumuskan teori yang mampu
memayungi semua perjuangan feminis. Pada periode ini, gerakan feminis sudah mulai
menentang institusi perkawinan yang dianggap melegitimasi budaya patriarkhi.
Tuntutan berupa persamaan upah, pelaksanaan aborsi sesuai kebutuhan, tidak adanya
tuntutan untuk berkeluarga, persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tersedianya
fasilitas penitipan anak 24 jam, dan alat kontrasepsi gratis, menjadi tuntutan atas
gerakan feminisme gelombang kedua. Feminisme gelombang kedua dianggap berakhir
pada 1975 dan pada akhir 1980-an, feminisme berkembang secara divergen ke arah
feminisme gelombang ketiga dan yang berbarengan dengan lahirnya postfeminisme.
Gelombang terakhir adalah munculnya kelompok feminisme yang lebih
menekankan kepada keragaman (diversity). Gelombang ini dipengaruhi oleh
perkembangan postfeminisme yaitu suatu pernyataan sikap yang pro perempuan namun
tidak anti-laki-laki, sebagai euforia atas keberhasilan feminisme gelombang pertama
dalam meraih hak pilih (Ni Komang Suwastini: 203). Sebenarnya, gaung
postfeminisme sudah terdengar ketika periode gelombang kedua terjadi. Namun,
setelah perempuan mulai memperoleh tempat di sisi lelaki, terutama pada ranah politik,
postfeminisme semakin populer dan digandrungi oleh kelompok feminis. Sejak itulah
periode ketiga dari feminisme terjadi di Eropa dan Amerika. Postfeminisme dilihat
sebagai bentuk protes dari generasi feminis non-akademis yang melihat feminisme
sebagai gerakan yang sudah mencapai tujuannya dan karenanya sudah tidak relevan
lagi untuk dilanjutkan. Postfeminisme berusaha menjelaskan bahwa kekerasan
perempuan tidak hanya didasari oleh diskriminasi gender, tetapi bisa disebabkan juga
oleh permasalahan ras, politik, maupun agama. Postfeminisme juga melarang
generalisasi atas kekerasan yang dialami perempuan karena hanya satu sebab, yaitu
permasalahan gender.
Menilik isi suratnya, sudah tidak seharusnya kita sekedar menjulukinya sebagai
“pejuang kaum perempuan”, karena Kartini tidak menyuarakan semangatnya kepada
kaum perempuan semata, tetapi juga laki-laki. Ia berusaha menyatukan semangat untuk
membebaskan bangsa dari ikatan kolonialisme. Namun kuatnya kemauan Kartini untuk
meningkatkan derajat kaumnya, ternyata tidak memperoleh dukungan dari perempuan
lainnya. Ia pun menyerah dan mengeluhlah ia dalam suratnya kepada Stella tertanggal
23 Agustus 1900:
“Perempuan-perempuan itu sudah terbiasa dengan keadaan feodal yang
menguntungkan kaum laki-laki, hingga mereka menerima saja nasibnya. Tetapi
itu tidak berarti bahwa mereka tidak menderita. Hampir semua perempuan yang
kukenal mengutuk keadaan sekarang ini. Tetapi kutukan saja takkan menolong
sedikitpun. Harus ada perbuatan! Maka marilah ibu-ibu dan gadis-gadis,
bangkitlah! Marilah kita bergandengan dan bekerjasama untuk merubah keadaan
yang sudah tak tertahankan lagi”(William H. Frederick dan Soeri Soeroto, 2005:
244)
DAFTAR RUJUKAN
Frederick, William H., dan Soeri Soeroto. 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia,
Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas, Praktik Kolonial di Hindia Belanda
1900-1942, a.b. Jugiarie Soegiarto dan Suma Riella Rusdiarti. Jakarta: Serambi.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah, cet. IV. Yogyakarta: Bentang Budaya
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah, Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nuryanti, Reni.
Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004, Cet. III. Jakarta: Serambi.
Suwastini, Ni Komang Arie. “Perkembangan Feminisme Barat dari Abad Kedelapan
Belas hingga Postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoretis”, Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora. ISSN: 2303-2898 Vol. 2, No. 1, April 2013.
Nunuk P. Murniati. 2008. Getar Gender, Buku Pertama. Yogyakarta: Indonesia Tera.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3841/1/sosiologi-hadriana3.pdf
http://www.muftiwp.gov.my/v1/doc/GERAKAN_FEMINISME_PERSAMAAN_GEN
DER_DAN_PEMAHAMAN_AGAMA_BHG1.pdf
(http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z8821-quovadis
kesetaraan-gender)