Anda di halaman 1dari 15

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/312796881

PEREMPUAN BERJUANG, BUKAN MENANTANG: STUDI GERAKAN


PEREMPUAN INDONESIA

Chapter · November 2015

CITATIONS READS

0 1,859

5 authors, including:

Laely Armiyati
Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka
8 PUBLICATIONS   1 CITATION   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Cultural Heritage For Developing Tourism Based On Integrated Tourism Concept (A Case In Cilacap, Indonesia) View project

All content following this page was uploaded by Laely Armiyati on 25 January 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


PEREMPUAN BERJUANG, BUKAN MENANTANG:
STUDI GERAKAN PEREMPUAN INDONESIA
MENUJU KESETARAAN
Oleh: Laely Armiyati

A. Perempuan dan Gerakan Feminisme di Barat


Ketidakadilan terhadap perempuan seringkali tidak atau enggan disadari oleh
perempuan itu sendiri. Konsep ketidakadilan pada perempuan meliputi empat hal, yaitu
marginalisasi, stereotip, subordinasi, beban ganda, dan kekerasan terhadap perempuan.
Marginalisasi berarti memunculkan kesan lemah, kurang atau tidak rasional, kurang
atau tidak berani, sehingga tidak pantas memperoleh kedudukan tertentu. Akibatnya,
peran perempuan ditempatkan di pinggir, bahkan dianggap tidak memberikan
kontribusi apapun. Stereotip berkaitan dengan pembakuan diskriminatif antara laki-laki
dan perempuan. Maksudnya, perempuan dan laki-laki sudah memiliki wadahnya
masing-masing dan itu bersifat baku, misalnya pandangan masyarakat bahwa
perempuan hanya boleh bekerja di dua bidang saja, yaitu kesehatan dan pendidikan.
Subordinasi berkaitan dengan kurang atau tidak adanya pengakuan atas hasil-hasil
karya perempuan, Beban ganda diakibatkan adanya tuntutan kepada perempuan yang
bekerja di sektor publik untuk mengurusi seluruh urusan rumah tangga. Sedangkan
kekerasan berkaitan dengan adanya rasa berkuasa yang berlebihan kepada perempuan
sehingga terjadi kekerasan baik itu fisik maupun psikis. (Nunuk P. Murniati, 2008:
XXIV)
Terdapat perdebatan tentang perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yaitu
teori nature dan teori nurture. Teori nature berpendapat bahwa perbedaan antara laki-
laki dan perempuan disebabkan perbedaan biologis di antara keduanya. Sedangkan


) Artikel disusun dalam rangka pengukuhan Prof. Dr. Suswandari, M. Pd., sebagai Guru
Besar Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr.
HAMKA, Jakarta, tanggal 29 November 2014.

) Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Muhammadiyah Prof.
DR. HAMKA.
teori nurture berpendapat bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan sebagian besar
disebabkan oleh konstruksi sosial melalui sosialisasi. (Arief Budiman dalam Nunuk P.
Murniati: XVII) Akibat perbedaan tersebut, kedua penganut teori memiliki sikap yang
saling bertolak belakang apabila berbicara tentang peran perempuan. Penganut teori
nature akan menganggap bahwa dominansi laki-laki adalah kewajaran, sedangkan
penganut teori nurture bersikap melawan dominansi laki-laki.
Melacak permasalahan superioritas kaum laki-laki, dapat dimulai dari adanya
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan zaman Pra-aksara dalam periode
berburu dan meramu dimana laki-laki bertugas sebagai pemburu dan perempuan
bertugas meramu (mengumpulkan makanan), inilah yang memunculkan konsepsi Man
The Hunter oleh Washburn dan Lancaster. Konsep Man The Hunter yang disampaikan
Washburn dan Lancaster dalam Hadriana Marhaeni Munthe (2003: 1) akhirnya
dipersepsikan dalam label bahwa laki-laki memiliki postur tubuh yang kekar dan kuat,
rasional, dan bersifat agresif, sehingga mampu berburu hewan liar secara kasar dan
membunuhnya. Sebaliknya perempuan dianggap sebagai kaum yang lemah, emosional,
memerlukan perlindungan, kurang inisiatif, kurang dinamis, lebih pasif dan lebih
submitif daripada laki-laki.
Pembagian kerja berdasarkan seksual terus berlanjut hingga memasuki era
Neolithikum, dimana manusia sudah mulai memproduksi. Dalam zaman inipun,
perempuan tetap diberikan jatah bekerja di rumah, mengurus seluruh kebutuhan rumah
tangga, sedangkan laki-laki tetap bekerja di luar. Di Dunia Barat, marginalisasi
perempuan pada abad XIX dari ranah publik semakin besar. Perempuan hanya
diijinkan untuk mengurusi ranah domestik dan tidak diijinkan keluar tanpa ijin dari
suami. Kesadaran akan adanya ketidakadilan, telah terjadi sejak lama. Namun, baru
memperoleh bentuknya ketika istilah feminisme yang mulai disosialisasikan oleh
majalah Century pada tahun 1914. Meski demikian feminism sudah digunakan sejak
tahun 1880 di Perancis oleh Hubertine Auclort, pendiri perjuangan perempuan pertama
di Perancis. (Nunuk P. Murniati, 2008: XXVII)
Munculnya perlawanan perempuan di dunia Barat, merupakan bentuk
kekecewaan mereka terhadap pandangan masyarakat yang menempatkan mereka pada
posisi yang rendah. Ini didukung oleh adanya stigma yang disebarluaskan melalui
dogma agama bahwa perempuan adalah jelmaan syaitan untuk menggoda manusia.
Alhasil, sikap Gereja pun menempatkan derajat perempuan jauh lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Pun sebelumnya, perempuan tidak dianggap berarti dalam
struktur kehidupan masyarakat Eropa. Aristoteles (384-422 S.M.), berpendapat bahwa
perempuan adalah“lelaki yang cacat atau memiliki kekurangan (defect male)”,
karenanya perempuan harus dikuasai laki-laki karena jiwanya tidak lengkap, dan
Thomas Aquinas dalam tulisannya “Summa Theologia” setuju dengan pernyataan ini.
Sedangkan Imanuel Kant (1724-1804), menyatakan bahwa : “Perempuan mempunyai
perasaan yang kuat tentang kecantikan dan keanggunan dan sebagainya, tetapi kurang
dalam bidang kognitif dan tidak dapat memutuskan tindakan moral”. (Gadis Ariva
dalam Muhammad Ariffin, 2012: 5)
Schopenhauer (1788-1860) menganggap bahwa kaum perempuan lebih lemah
daripada laki-laki, sebab itu wajar kalau tempat mereka di rumah. Tokoh lainnya, Freud
(1856-1939) dalam pandangannya phallocentric mengemukakan bahwa dunia adalah
dunianya laki-laki, sedangkan perempuan hidup dalam bayang-bayang laki-laki dengan
kondisi “apa yang berlaku bagi laki-laki dan apa yang ditentukan oleh laki-laki, seperti
itulah hidup perempuan.” Bahkan, Francis Bacon dalam bukunya Marriage and Single
Life menyatakan bahwa perempuan hanya menyimpan benih keburukan, sehingga
harus diawasi oleh keluarga dan suaminya jika ia telah menikah. Maka, menurutnya
hidup ideal bagi laki-laki adalah apabila ia tidak menikah, sehingga terhindar dari
keburukan perempuan dan beban anak-anak, serta dapat lebih berperan bagi
kepentingan masyarakat. (Abul A’la Maududi dalam Muhammad Ariffin, 2012: 6)
Kehadiran para tokoh sentral inilah yang mendukung marginalisasi atas perempuan,
sehingga mengakibatkan posisi perempuan di Eropa semakin tidak berarti. Ia menjadi
warga kelas dua yang berada di balik bayang-bayang laki-laki.
Pada periode berikutnya, di Eropa muncul feminisme dengan doktrinnya yang
memandang perbedaan gender sengaja diciptakan untuk memperkuat penindasan
terhadap perempuan. Pada gelombang kedua inilah dimulai gugatan perempuan
terhadap institusi pernikahan, keibuan (motherhood), hubungan lawan jenis
(heterosexual relationship) dan secara radikal mereka berusaha mengubah setiap aspek
dari kehidupan pribadi dan politik. Menurut Thornham (2006) dalam Ni Komang Arie
Suwastini (2013: 201), salah satu ciri utama feminisme gelombang kedua baik di
Inggris maupun di Amerika adalah usaha mereka untuk merumuskan teori yang mampu
memayungi semua perjuangan feminis. Pada periode ini, gerakan feminis sudah mulai
menentang institusi perkawinan yang dianggap melegitimasi budaya patriarkhi.
Tuntutan berupa persamaan upah, pelaksanaan aborsi sesuai kebutuhan, tidak adanya
tuntutan untuk berkeluarga, persamaan pendidikan dan kesempatan kerja, tersedianya
fasilitas penitipan anak 24 jam, dan alat kontrasepsi gratis, menjadi tuntutan atas
gerakan feminisme gelombang kedua. Feminisme gelombang kedua dianggap berakhir
pada 1975 dan pada akhir 1980-an, feminisme berkembang secara divergen ke arah
feminisme gelombang ketiga dan yang berbarengan dengan lahirnya postfeminisme.
Gelombang terakhir adalah munculnya kelompok feminisme yang lebih
menekankan kepada keragaman (diversity). Gelombang ini dipengaruhi oleh
perkembangan postfeminisme yaitu suatu pernyataan sikap yang pro perempuan namun
tidak anti-laki-laki, sebagai euforia atas keberhasilan feminisme gelombang pertama
dalam meraih hak pilih (Ni Komang Suwastini: 203). Sebenarnya, gaung
postfeminisme sudah terdengar ketika periode gelombang kedua terjadi. Namun,
setelah perempuan mulai memperoleh tempat di sisi lelaki, terutama pada ranah politik,
postfeminisme semakin populer dan digandrungi oleh kelompok feminis. Sejak itulah
periode ketiga dari feminisme terjadi di Eropa dan Amerika. Postfeminisme dilihat
sebagai bentuk protes dari generasi feminis non-akademis yang melihat feminisme
sebagai gerakan yang sudah mencapai tujuannya dan karenanya sudah tidak relevan
lagi untuk dilanjutkan. Postfeminisme berusaha menjelaskan bahwa kekerasan
perempuan tidak hanya didasari oleh diskriminasi gender, tetapi bisa disebabkan juga
oleh permasalahan ras, politik, maupun agama. Postfeminisme juga melarang
generalisasi atas kekerasan yang dialami perempuan karena hanya satu sebab, yaitu
permasalahan gender.

B. Perjuangan Perempuan Indonesia Sebelum Kemerdekaan


Marginalisasi merupakan bagian dari ketidakadilan yang dialami oleh
perempuan. Bentuk-bentuk marginalisasi yang terstruktur menempatkan perempuan
menjadi warga kelas dua yang akses publiknya dibatasi. Ketidakmampuan perempuan
untuk bergerak dan tampil, sebenarnya bukanlah karena ketidakmampuannya. Tetapi
lebih disebabkan oleh keengganan untuk melawan budaya yang telah berakar kuat
dalam sistem sosial masyarakat Indonesia. Tidak banyak perempuan Indonesia yang
memiliki kemampuan untuk melawan marginalisasi, namun tidak sedikit pula
perempuan yang mampu bertahan dan bersaing untuk memperjuangkan haknya.
Di Indonesia, gaung feminisme yang mengusung kesetaraan gender baru tumbuh
pada akhir abad XIX. Sebelumnya, perempuan Indonesia masih enggan menyuarakan
kehendak dan aspirasinya, karena budaya dalam masyarakat yang tidak
membolehkannya. Gagasan Kartini menjadi rujukan bagi perempuan Indonesia untuk
bergerak. Meski demikian, sebelum Kartini di Indonesia sudah terdapat tokoh-tokoh
perempuan yang juga berperan dalam perjuangan melawan Kolonialisme dan
Imperialisme, misalnya Dewi Sartika dari Jawa Barat, Maria Walanda dari kalangan
Minahasa, serta Tjut Nyak Dien dan Tjut Meutia dari Aceh. Dan jauh sebelum itu,
ketika kuasa di Nusantara masih dimiliki oleh kerajaan-kerajaan, beberapa perempuan
berhasil menaiki tahta dan menjadi sosok yang berperan bagi perkembangan kerajaan
tersebut, diantaranya adalah Ratu Sima dari Kerajaan Tarumanegara, Sultanah Seri
Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Kerajaan Aceh, dan Siti Aisyah We
Tenriolle dari Sulawesi Selatan.
Sultanah Seri Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat naik tahta setelah
suaminya Sultan Alaidin Mughaiyat Syah Iskandar Sani wafat pada usia 25 tahun.
Tidak adanya pewaris dan dikarenakan Ia merupakan puteri dari Sultan Iskandar Muda,
maka diangkatlah ia sebagai Raja Aceh. Di bawah pemerintahannya selama lebih dari
30 tahun, Aceh menjadi daerah yang memberi banyak kebebasan bagi para cendekia
untuk mengembangkan diri. Karena itu, pada masanya muncul tokoh-tokoh pemikir
seperti Abdul Rauf, Hamzah Fansuri, dan Nuruddin ar-Raniry. Perempuan selanjutnya
adalah Siti Aisyah We Tenriolle dari Kerajaan Tanette. Ia naik tahta menggantikan
kakeknya, La Rumpang Megga Matinro Eri Moetiara, yang mengusulkan dirinya
kepada Gubernur “Celebes en Onderhoorigheden” (Sulawesi dan Daerah
Taklukkannya), saat itu sejak 1826 VOC memperoleh hak mengangkat dan
memberhentikan kepala negara Tanette. Selain mahir dalam pemerintahan, We
Tenriolle juga memiliki pengetahuan yang luas dalam Kesusastraan Bugis. Ia menulis
ikhtisar epos La-Galigo yang kemudian dimanfaatkan oleh seorang ilmuwan bernama
Matthes. Selama pemerintahannya pula didirikan sekolah pertama yang dibuka untuk
anak-anak laki-laki dan perempuan pada tahun 1908. (William H. Frederick dan Soeri
Soeroto, 2005: 251)
Akhir abad XIX, menjadi periode penting bagi bangsa Indonesia. Karena pada
saat itulah awal tumbuhnya keinginan untuk bebas, merdeka, hingga muncul harapan
untuk menjadi satu bangsa. Masuknya ide-ide Barat yang dibawa oleh kelompok liberal
Belanda dan para pemuda yang telah mengenyam pendidikan di Belanda, menjadi
saluran yang mumpuni bagi masuknya ide-ide pembebasan tersebut. Gerakan
perempuan di Indonesia menjadi populer setelah terbitnya buku kompilasi surat-surat
Kartini kepada Ny. Abendanon, Stella, Ny. Ovink-Soer, dan teman Belandanya yang
lain, buku tersebut bertajuk Door Duisternis Tot Licht (1911). Buku ini menjadi
populer ketika Armijn Pane, menerjemahkannya dan diterbitkan kembali dengan judul
Habis Gelap Terbitlah Terang.
Berbincang tentang Kartini, Kartini adalah sosok perempuan yang memiliki
pergaulan luas. Awal pergaulannya dengan orang Belanda adalah ketika ia bertemu
Asisten-residen Ovink, yang kemudian membawanya mengenal Abendanon, Hilda de
Booy-Boissevain (isteri ajudan Gubernur Jenderal), Estella Zeehandelar (anggota
Sociaal Democratische Arbeiders Partij/ SDAP) –sosok yang mengenalkannya dengan
sosialisme dan perjuangan wanita-, Van Kool, dan Van Deventer. Kesamaan cita-cita
dengan Kartini, membuat Abendanon memutuskan untuk mensponsori penerbitan surat-
surat Kartini. Maka pada tahun 1911, lebih dari enam tahun setelah wafatnya Kartini,
buku berjudul Door Duisternis tot Licht terbit di Belanda. Dua tahun sesudahnya, Hilda
de Booy-Boissevain memprakarsai pengumpulan dana untuk pembiayaan sejumlah
sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikanlah Komite Kartini Fonds
diketuai Van Deventer. (William H. Frederick dan Soeri Soeroto, 2005: 256) Sejak
itulah ide dan nama Kartini semakin populer di Jawa. Maka, terlepas dari anggapan
bahwa sosok Kartini diciptakan oleh Belanda, Kartini tetaplah mengagumkan karena
pemikirannya telah melampaui perempuan lainnya pada usia dan zamannya.
Keberadaan Kartini dan kompilasi surat-suratnya, secara tidak langsung menginspirasi
kaum perempuan Indonesia untuk bangkit dan memperjuangkan hak-haknya sebagai
manusia. Meskipun banyak perempuan yang lebih dahulu muncul, tetapi kekaguman
atas kemauan dan kehendak Kartini untuk maju bersama bangsanya, serta
kemampuannya berbahasa Belanda dan memiliki kedekatan dengan orang Belanda,
merupakan nilai tambah baginya. Tidak seperti yang digaungkan kaum feminis radikal,
Kartini tidak pernah ingin memarginalkan kaum laki-laki, tetapi justru mengajak
mereka untuk bekerjasama. Seperti disampaikannya dalam surat yang ditujukan pada
Ny. Ovink-Soer di awal tahun 1900:
“Kami akan menggoyahkan Gedung Feodalisme itu dengan segala tenaga yang
ada pada kami, dan andaikan hanya ada satu potong batu yang jatuh, kami akan
menganggap hidup kami tidak sia-sia. Tetapi sebelum itu, kami akan mencoba
memperoleh kerjasama, meski dari hanya satu orang laki-laki yang paling baik
dan terpelajar di Jawa. Kami akan menghubungi kaum laki-laki kita yang
terpelajar dan progreif. Kami akan mencoba memperoleh persahabatan dan
bantuan mereka. Sebab kami bukan berjoang untuk memusuhi kaum lelaki,
melaikan untuk menentang pendapat-pendapat dan adat yang kolot, yang tidak
berguna lagi bagi Tanah Jawa di hari depan.....”(Kartini dalam Frederick,
William H., dan Soeroto, Soeri, 2005: 243)

Kutipan surat Kartini tersebut merupakan upayanya untuk menghubungi kaum


muda laki-laki dan perempuan untuk berjuang bersama bagi perbaikan martabat
perempuan. Inilah bukti bahwa perjuangan emansipasi dan kesetaraan bukan berarti
memarginalkan peranan kaum Adam, tetapi justru mengajak mereka untuk berpikir
bersama guna kemajuan bangsa. Dalam suratnya yang lain, Kartini berucap:
“Kaum muda, perempuan dan laki-laki, seharusnya saling berhubungan. Mereka
seorang-seorang dapat berbuat sesuatu untuk mengangkat martabat bangsa kita.
Tetapi jika kita semua bersatu, menyatupadukan kekuatan kita dan bekerjasama,
hasil pekerjaan kita akan jauh lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan
dan kekuasaan!” (Kartini dalam Frederick, William H., dan Soeroto, Soeri,
2005: 244)

Menilik isi suratnya, sudah tidak seharusnya kita sekedar menjulukinya sebagai
“pejuang kaum perempuan”, karena Kartini tidak menyuarakan semangatnya kepada
kaum perempuan semata, tetapi juga laki-laki. Ia berusaha menyatukan semangat untuk
membebaskan bangsa dari ikatan kolonialisme. Namun kuatnya kemauan Kartini untuk
meningkatkan derajat kaumnya, ternyata tidak memperoleh dukungan dari perempuan
lainnya. Ia pun menyerah dan mengeluhlah ia dalam suratnya kepada Stella tertanggal
23 Agustus 1900:
“Perempuan-perempuan itu sudah terbiasa dengan keadaan feodal yang
menguntungkan kaum laki-laki, hingga mereka menerima saja nasibnya. Tetapi
itu tidak berarti bahwa mereka tidak menderita. Hampir semua perempuan yang
kukenal mengutuk keadaan sekarang ini. Tetapi kutukan saja takkan menolong
sedikitpun. Harus ada perbuatan! Maka marilah ibu-ibu dan gadis-gadis,
bangkitlah! Marilah kita bergandengan dan bekerjasama untuk merubah keadaan
yang sudah tak tertahankan lagi”(William H. Frederick dan Soeri Soeroto, 2005:
244)

Berbicara sedikit tentang J. H. Abendanon, tokoh yang mempromosikan dan


menerbitkan surat-surat Kartini, dia adalah Belanda totok yang ditunjuk sebagai direktur
pendidikan “Etis” yang pertama, dan menjabat sejak 1900-1905. Setelah usul Van
Deventer diterima, sejak 1900 dimulailah politik etis yang disebut-sebut sebagai balas
budi atas “jasa dan sumber daya alam” yang diberikan rakyat Indonesia. Abendanon
merancang pendidikan yang sasarannya adalah kaum elite pribumi, dengan konsep
bergaya Eropa dan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Tujuannya adalah
memperoleh elit-elit baru yang bersedia bekerjasama, memperkecil anggaran belanja
pemerintah, mengendalikan ‘fanatisme Islam’, dan menciptakan sosok yang dapat
menjadi raw model bagi masyarakat golongan bawah pada saat itu. Abendanon berhasil
menyatukan tiga “hoofdenscholen” atau ‘sekolah para kepala’ yang terdapat di
Bandung, Magelang, dan Probolinggo, menjadi OSVIA (Opleidingscholen voor
inlandsche ambtenaren) atau “sekolah untuk pelatihan pejabat pribumi” di tahun 1900.
Selain itu, Ia juga mengganti nama dan kurikulum “Sekolah Dokter Jawa” menjadi
STOVIA (School tot opleiding van indlansche artsen) atau “sekolah untuk pelatihan
dokter pribumi”. Jika dahulu yang bisa masuk sekolah ini hanya orang kaya dan
bangsawan, karena iurannya yang sangat tinggi, pada kepemimpinannya Abendanon
menghapuskan iuran sekolah bagi para orang tua yang penghasilannya di bawah 50
Gulden per bulan. Ia pun memperluas kesempatan bagi calon siswa yang berasal dari
kalangan menengah ke bawah. Namun, ada satu cita-citanya yang tidak tercapai, yaitu
keinginan untuk memperluas kesempatan pendidikan bagi kaum wanita Jawa kalangan
atas. (Ricklefs, 2007: 329-330)
Sesudah Kartini meninggal, perjuangan perempuan Indonesia terus berlanjut.
Mr. AK Pringgodigdo membagi perjuangan perempuan Indonesia menjadi tiga
gelombang yaitu gelombang pertama (1908-1920) yang berjuang untuk mempertinggi
kedudukan sosial, sedangkan persoalan politik, seperti hak pemilihan tidak menjadi
perhatian. Gelombang kedua pada 1920-1930, pada saat ini perjuangan perempuan
sudah menemukan bentuknya. Kesadaran atas kepemilikan hak-hak perempuan mulai
muncul. Ini ditandai dengan berkurangnya kawin paksaan, anak-anak perempuan
diperbolehkan bersekolah dan lainnya. Bahkan, pada 22-25 Desember 1928, setelah
Kongres Pemuda II, perempuan Indonesia berkumpul dalam Kongres Perempuan
Indonesia di Yogyakarta yang bertujuan mempersatukan cita-cita dan usaha untuk
memajukan perempuan Indonesia. Pada saat itu, sudah banyak perkumpulan perempuan
yang terbentuk dan hadir di Kongres, diantaranya Wanito Utomo, Putri Indonesia,
Wanito Katolik, Wanito Mulyo, Aisyiyah, Sarekat Islam (SI) bagian perempuan, JIB
dan Jong Java (JJ) bagian perempuan, dan Perempuan Taman Siswa. Gelombang ketiga
yaitu tahun 1930-1942, pada periode ini gerakan perempuan mengadakan kongres di
Bandung tahun 1938 dan memutuskan agar 22 Desember dijadikan sebagai Hari Ibu
dengan semboyan: "Merdeka melaksanakan Dharma". Sejak saat itu, perempuan
Indonesia merumuskan cita-cita, yaitu sebagai Ibu Keluarga, Ibu Masyarakat dan Ibu
Bangsa. (http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z8821-quovadis
kesetaraan-gender)
Perjuangan perempuan tidak hanya dilakukan di tingkat nasional, banyak pula
tokoh-tokoh di tingkat lokal yang berupaya untuk menyadarkan perempuan atas hak-
hak yang dimilikinya, tentu saja melalui pendidikan. Di Padang Panjang, daerah yang
terkenal dengan sistem kekerabatan Matrilineal-nya ini memiliki sekolah yang
dikhususkan untuk perempuan bernama Kerajinan Amai Setia di tahun 1914, dengan
membawa misi meningkatkan kedudukan kaum perempuan melalui pelajaran dan
pelatihan. Organisasi yang dimotori oleh Rohana Kudus memiliki surat kabar yang
mengupas kehidupan perempuan bernama Soenting Melajoe. Selain itu, terdapat
kelompok Keutamaan Istri Minangkabau yang membangun sekolah dan mengajarkan
pengetahuan tentang kehidupan rumah tangga. Selanjutnya terdapat Al Madrasatul
Dinniyah atau Meisjes Dininiyah School yang berdiri di tahun 1923 dan dikenal dengan
Sekolah Putri Padang Panjang. Sekolah yang dipimpin oleh Rahmah el Yunusiah
bertujuan membentuk kaum perempuan yang berjiwa Islam dan ibu pendidik yang
cakap, aktif, serta bertanggungjawab pada kesejahteraan keluarga, masyarakat, dan
tanah air, atas dasar pengabdian kepada Allah. (Reni Nuryanti, 2009: 70)
Memasuki zaman kemerdekaan, Pemerintahan era Presiden Soekarno
mendukung keberadaan gerakan feminis. Perempuan mulai memperoleh tempat dan
diijinkan untuk berkarir di ranah publik. Bahkan, terdapat wakil perempuan yang duduk
di jajaran kabinet era Soekarno, yaitu Maria Ulfah Santoso sebagai menteri sosial dan
SK Trimurti sebagai menteri perburuhan. Meskipun pertentangan antara kelompok
feminis dengan Soekarno sempat terjadi ketika beliau memutuskan menikah lagi dengan
Hartini, Soekarno tidak lantas menghentikan semua aktivitas kelompok ini. Selanjutnya
di era Presiden Soeharto, meskipun terdapat kedudukan baru diberikan pada perempuan,
namun kelompok feminis merasa kecewa karena esensi tuntutan kesetaraan gender
belum disentuh. Bahkan, Nunuk P. Murniati (2008: XXVI) menyatakan bahwa
perempuan masa Orde Baru memberikan pencitraan perempuan sebagai kaum ibu
semata yang berada di samping bahkan di belakang lelaki. Menurutnya, keberadaan
Pendidikan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Dharma Perempuan, Dharma Pertiwi, dan
sejenisnya, hanyalah pencitraan Orde Baru yang seolah-olah mendukung gerakan
feminis. Meskipun demikian, pada masa ini stigma tentang ketidakmampuan perempuan
dalam berkarir di ranah publik semakin berkurang. Terbukti semakin banyak tokoh-
tokoh perempuan yang muncul dan berkiprah dalam pembangunan nasional.

C. Rumusan Perjuangan Perempuan Saat Ini


Saat ini, kedudukan perempuan Indonesia sudah jauh lebih baik dibandingkan
periode lalu. Telah banyak regulasi yang mengatur tentang pengakuan atas hak-hak
perempuan, bahkan di bidang politik. Pemerintah memberikan ketentuan kuota untuk
perempuan minimal 30% bagi partai politik yang hendak mengajukan calon anggota
legislatifnya. Ini merupakan angin segar bagi perempuan yang ingin terlibat dalam
pembangunan bangsa. Meskipun demikian, dikotomi laki-laki dan perempuan masih
tetap berlangsung. Masih banyak yang beranggapan bahwa perempuan adalah konco
wingking yang harus selalu menuruti semua kemauan kepala keluarga (surga nunut,
neraka katut), meskipun sebenarnya itu bukan kehendaknya. Dalam urusan pendidikan,
masyarakat masih berpikir bahwa perempuan yang belum menikah tidak boleh
menempuh jenjang pendidikan tinggi dengan alasan akan sulit memperoleh
pendamping hidup. Setelah menikah, masyarakat masih berpikir bahwa perempuan
tidak layak menempuh jenjang pendidikan yang lebih tinggi dari suami. Persepsi
masyarakat ini sangat berbahaya, terutama bagi para perempuan yang ingin
melangkahkan kakinya lebih jauh, karena ia akan berpikir bahwa lembaga perkawinan
hanya akan menjadi penghambat jalannya.
Sejarah telah mengungkap fakta bahwa adat bukanlah penghalang bagi
perempuan untuk menjadi pandai dan memperoleh hak-haknya. Terbukti Kartini masih
dapat belajar membaca dan menulis, meskipun Ia hidup dalam budaya Jawa yang
kental dengan tradisi “ra ilok” (tidak boleh) bagi perempuan. Selain itu, Safiatuddin
juga membuktikan bahwa agama bukan pula alasan dibatasinya perempuan untuk
berkarir di ranah publik. Safiatuddin, Tjut Nyak Dien, dan Tjut Meutia merupakan
perempuan muslim yang mampu menjaga Aceh dari para penjajah. Keberadaan tokoh-
tokoh ini menjadi alasan pentingnya kita melihat lebih jauh tentang alasan perjuangan
perempuan saat ini untuk meraih kesetaraan gender.
Kesetaraan gender merupakan isu yang saat ini digaungkan oleh kalangan
feminis di seluruh dunia. Kelompok feminis mengembangkan isu kesetaraan gender
sebagai lambang pemersatunya. Gender menurut H.T. Wilson dalam Muhammad
Ariffin (2012: 4) mendefinisikan gender sebagai suatu dasar untuk menentukan
perbedaan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang
sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan perempuan. Gerakan kesetaraan gender
tidak mempersoalkan identitas sebagai laki-laki dan perempuan, tetapi mencakup
kesetaraan dalam aspek sosial, ekonomi, politik, budaya, dan bidang kehidupan
lainnya.
Pemahaman gender di Indonesia masih belum sepenuhnya diterima oleh
masyarakat. Bahkan masih ada yang berpikir bahwa gender berkaitan dengan
kedudukan perempuan di arena publik. Menilik sejarahnya, memang awal perjuangan
gender diarahkan untuk mendorong perempuan berani tampil di arena publik dan
bermanfaat bagi bangsa. Hal ini sangatlah wajar, karena posisi perempuan pada saat itu
tidak diijinkan untuk memperoleh hak-hak dasarnya sebagai manusia, misalnya
pendidikan, pekerjaan, dan menyampaikan pendapat. Saat itu, kesetaraan gender adalah
upaya perempuan untuk bisa memperoleh hak-haknya sebagai manusia, tanpa paksaan
dari pihak manapun, serta tanpa pembedaan atau diskriminasi. Namun, saat ini ketika
sudah banyak perempuan memperoleh hak-haknya, seyogyanya persoalan gender
dikembalikan pada makna sebenarnya, yaitu bagaimana lelaki dan perempuan memiliki
akses yang sama untuk berkiprah di seluruh aspek kehidupan. Seharusnya saat ini, tidak
ada lagi anggapan bahwa gender hanyalah area perempuan saja, karena gender
bukanlah jenis kelamin, tetapi hal yang harus diperjuangkan oleh kedua jenis makhluk
tuhan tersebut –lelaki dan perempuan.
Keengganan untuk membicarakan gender, sering dikaitkan dengan persoalan
agama. Memang benar dalam agama Islam –dalam tulisan ini agama yang dijadikan
contoh adalah Islam, karena penulis muslim- perjuangan kesetaraan gender dianggap
sudah tidak perlu lagi, karena agama Islam tidak pernah bertindak seperti orang Eropa
yang menempatkan perempuan seperti “laki-laki yang tidak lengkap” atau perempuan
adalah jelmaan iblis. Islam menempatkan perempuan dengan derajat yang sama dengan
laki-laki. Dalam Al Qur’an Surat Ali’Imron (3): 195 disebutkan bahwa “Sesungguhnya
Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal, baik dari laki-laki maupun
permpuan).” Selanjutnya dalam Qur’an Surat An-Nahl [16]: 97 disebutkan bahwa
“Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia
dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan
yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang
lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” Ini hanyalah segelintir ayat yang
menunjukkan bahwa dalam Islam tidak ada upaya untuk memarginalisasi dan
mensubordinasi perempuan. Bahkan, Yusuf Al-Qardhawi dalam Muhammad Ariffin
(hlm. 7) menggambarkan kehidupan perempuan pada masa Nabi Muhammad SAW:
1. Kaum perempuan masyarakat Islam mempunyai kesempatan luas
mendapatkan pendidikan, pelajaran, dan menghadiri majelis ilmu
2. Kaum perempuan diperbolehkan menghadiri pertemuan umum di masjid
untuk turut memutuskan perkara yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat dan negara
3. Kaum perempuan mempunyai hak dalam ekonomi, sebagaimana Zainab
binti Jahsy mempunyai pekerjaan dan kegiatan ekonomi yang dilakukan
dengan tangannya sendiri sehingga dapat bersedekah dari hasil
pendapatannya sendiri.
4. Ummu Athiyah ikut berperang bersama suaminya sebanyak enam kali,
sedangkan Ummu Haram menginginkan kematian syahid bersama tentara
pasukan laut.
5. Dalam politik, Ummu Hani ikut dalam melindungi pelarian perang, dan
menyelesaikan perkara saudaranya.

Demikianlah, agama Islam tidak pernah memberikan larangan kepada perempuan


untuk berkiprah di berbagai bidang kehidupan. Namun permasalahannya, seringkali
agama dijadikan sebagai alasan untuk membatasi perempuan mencapai cita-cita,
memperoleh haknya, bahkan melegalkan tindakan kekerasan terhadap seorang
perempuan. Padahal, tidak seharusnya agama menjadi tameng untuk melegalkan
tindakan kekerasan, diskriminasi, dan subordinasi pada perempuan. Seyogyanya orang-
orang yang masih beranggapan bahwa perempuan tidak perlu mencapai jenjang
pendidikan tinggi, karena besok ketika menikah menjadi tanggung jawab suami, perlu
mengkaji kembali pernyataannya. Apakah tindakannya ini murni atas dasar agama atau
hanya untuk menjaga harga dirinya sebagai laki-laki?
Perempuan sebagai bagian dari bangsa, sudah sepatutnya berkontribusi dalam
pembangunan. Namun, hal ini tidak akan terwujud apabila stigma atas
ketidakmampuan dan kelemahannya masih tertanam di masyarakat. Dengan kata lain
selama prinsip kesetaraan masih belum menjadi pedoman dalam interaksi antara laki-
laki dan perempuan, maka perempuan tidak akan berkontribusi bagi pembangunan
bangsa dan kemaslahatan umat.
Terkait dengan perjuangan menuju kesetaraan, sebaiknya tidak boleh lagi ada
pengkotak-kotakan dalam perjuangan. Sejarah membuktikan bahwa perjuangan
seorang diri yang dilakukan oleh Kartini, Dewi Sartika, maupun Maria Walanda, tidak
memberikan banyak perubahan pada kondisi perempuan saat itu. Perubahan mulai
tampak sejak terbentuknya organisasi-organisasi yang bekerjasama untuk melindungi
dan meningkatkan kesejahteraan perempuan. Puncaknya adalah ketika terjadi Kongres
Perempuan I di Yogyakarta yang menyatukan program, meskipun peserta Kongres
berbeda ideologi. Untuk itu, bersama dengan pemerintah, sudah seharunya organisasi-
organisasi perempuan –baik lembaga pemerintah, yayasan, maupun individu- bersatu
untuk melindungi, memberdayakan, dan memajukan perempuan Indonesia. Karena
perempuan yang telah melibatkan diri dalam organisasi adalah sosok yang telah sadar
tentang pentingnya peranan mereka dalam pembangunan. Maka sudah selayaknya jika
mereka bersatu dan membagi pengetahuan serta ketrampilan mereka pada perempuan
lain yang masih mengalami ketidakadilan. Majulah perempuan Indonesia! ! ! !

DAFTAR RUJUKAN
Frederick, William H., dan Soeri Soeroto. 2005. Pemahaman Sejarah Indonesia,
Sebelum dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Gouda, Frances. 2007. Dutch Culture Overseas, Praktik Kolonial di Hindia Belanda
1900-1942, a.b. Jugiarie Soegiarto dan Suma Riella Rusdiarti. Jakarta: Serambi.
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah, cet. IV. Yogyakarta: Bentang Budaya
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah, Edisi Kedua. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Nuryanti, Reni.
Ricklefs, M. C. 2007. Sejarah Indonesia Modern, 1200-2004, Cet. III. Jakarta: Serambi.
Suwastini, Ni Komang Arie. “Perkembangan Feminisme Barat dari Abad Kedelapan
Belas hingga Postfeminisme: Sebuah Tinjauan Teoretis”, Jurnal Ilmu Sosial dan
Humaniora. ISSN: 2303-2898 Vol. 2, No. 1, April 2013.
Nunuk P. Murniati. 2008. Getar Gender, Buku Pertama. Yogyakarta: Indonesia Tera.

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3841/1/sosiologi-hadriana3.pdf

http://www.muftiwp.gov.my/v1/doc/GERAKAN_FEMINISME_PERSAMAAN_GEN
DER_DAN_PEMAHAMAN_AGAMA_BHG1.pdf

(http://www.republika.co.id/berita/koran/islamia/14/09/18/nc2z8821-quovadis
kesetaraan-gender)

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai