Anda di halaman 1dari 3

Feminism (Is Gender a Variable-Cynthia Weber)

Pada awalnya para sarjana ilmu hubungan internasional mengalami sebuah


permasalahan dengan pertanyaan apa yang harus dilakukan para sarjana tersebut dengan
aliran feminism? Walaupun perdebatan feminism telah berhasil mengajak masyarakat sosial
dan politik, para sarjana hubungan internasional tersebut berusaha untuk tidak melihat
relevansi antara perdebatan feminism dengan perdebatan mereka. Namun, para feminism
tidak menyerah begitu saja dan kembali memikirkan kunci konsep dari hubungan
internasional yang mereka sebut sebagai power through feminism yang seringkali diabaikan
oleh para sarjana hubungan internasional yang kebanyakan dari kaum laki-laki. Lalu pada
akhir 1980an, para pejuang-pejuang hak wanita berhasil mendorong pemikiran mereka masuk
ke dalam buku-buku, jurnal-jurnal, dan seminar-seminar bertemakan hubungan internasional,
dan dari sinilah tiba-tiba saja feminism menjadi menarik bagi para sarjana hubungan
internasional. Namun, hubungan antara feminism dengan para sarjana hubungan internasional
tersebut tidak selalu berjalan dengan baik. Walaupun para sarjana tersebut yang memang
lebih banyak dari kaum laki-laki telah menyambut baik kaum feminis dalam ruang lingkup
mereka, dan walaupun adapula diantara mereka (para sarjana HI) yang memproklamasikan
diri mereka sebagai feminis, tetap saja mereka tidak merasa puas dengan hubungan ini.
Disinilah terjadi perdebatan antara para sarjana HI dengan para kaum feminis, karena feminis
menginginkan kesangsian-kesangsian mereka tidak hanya ditambahkan dan dicampurkan ke
dalam pertanyaan mengenak hubungan internasional, tetapi disiplin inti dari hubungan
internasional tidak dirubah, sedangkan para sarjana hubungan internasional tersebut merasa
takut kalau kesangsian dari feminis tersebut dapat merubah pendekatan, pengertian dan
pembelajaran tentang studi hubungan internasional. Dalam hal ini juga feminism meresahkan
para sarjana hubungan internasional karena mereka bergerak terlalu jauh dan menuntut
banyak hal.

Dalam sebuah essay yang ditulis oleh Adam Jones yang berjudul “Does ‘Gender’
Make the World Go Round?” bertujuan untuk membangun hubungan antara hubungan
internasional dengan kaum feminis, di mana mereka mengatakan bahwa wanita secara
stereotype merupakan makhluk yang tidak logis, tidak sehat atau terganggu pikirannya, dan
membutuhkan bimbingan dari seorang pria. Disamping itu, para feminis mengancam untuk
menghancurkan keterkaitan hubungan internasional dengan pria, negara, dan perang.
Bagi Jones, Feminisme dibagi menjadi 3 bagian, yang pertama subjek untuk feminism
adalah para wanita sebagai aktor sejarah dan politik, yang kedua epistimologi feminism, yaitu
mendasarkan pada pengalaman wanita di dunia, dan yang ketiga adalah dibagi menjadi dua,
yaitu yang pertama adalah mencari sebuah perubahan dunia kearah persamaan yang lebih
besar untuk wanita karena menurut sejarah mereka adalah kaum yang kurang mampu,
termarjinalkan, dan tidak dihargai. Sedangkan yang kedua adalah Persamaan untuk wanita
harus diatasi dengan cara bagaimana agar wanita tidak lagi ditindas oleh pria.

Feminisme juga mengkritik realisme karena:

1. Feminis menentang konsep dualism dari realis. Konsep dualism itu sendiri adalah
struktur hak-hak istimewa yang diberikan hanya untuk kaum pria dan wanita tidak
diberikan hak-hak tersebut. Feminisme menginginkan bahwa stuktur tersebut
dilengkapi agar wanita juga dapat memperoleh peluang lebih.

2. Asumsi realis mengenai negara. Karena para feminis radikal berasumsi bahwa negara
itu hanya bagian dari kaum pria, sedangkan para feminis liberal menganggap pribadi
itu sendiri adalah politik.

3. Model aktor rasional. Label rasionalitas bergaya Barat adalah sebuah fenomena yang
mencerminkan khusus untuk kaum pria dan kekuatan yang abadi.

4. Gambaran kaum realis mengenai kekuatan dan keamanan. Feminis menganggap


realism memperluas jangkauan hubungan kekuasaan dan mendefinisikan kembali
sebuah kekuasaan.

Di masa depan para feminis dan non-feminis menggambarkan masalah public dan
fenomena mengenai kaum pria sebagai berikut:

1. Kaum pria akan menjadi pengungsi perang.

2. Mereka akan menjadi korban pembunuhan dan bunuh diri.

3. Mereka akan menjadi korban dari kekerasan negara, meliputi siksaan dan penahanan
dalam penjara.

4. Pria menjadi korban politik karena konflik antar etnis.


5. Pria mengambil jalan berbahaya untuk menyediakan nafkah untuk keluarga.

Lalu Jones pun berpendapat bahwa sebelum menempatkan feminisme dalam


Hubungan Internasional, harus ada keseimbangan, karena feminisme terlalu memfokuskan
pada wanita dan cenderung mengabaikan kaum pria.

Anda mungkin juga menyukai