Anda di halaman 1dari 3

REVIEW STEVE SMITH: POSITIVISME AND BEYOND

Dosen Pengampu Mata Kuliah Teori Hubungan Internasional II:


Ahmad AlFajri, MA.
Disusun oleh:
Syarah Shabrina
NIM. 11201130000029
Kelas HI-4A
Dalam teori ilmu hubungan internasional, tentu tidak asing dengan berbagai macam
kontroversi dan perspektif yang ditujukan untuk menjelaskan sebuah cara pandang terkait
fenomena-fenomena yang terjadi dalam ilmu hubungan internasional. Kontroversi dan perspektif
ini membuat para pengamat dapat menjelaskan dan mendalami mengapa keberadaannya sangat
berpengaruh dalam hubungan internasional ini. Tidak hanya itu, berbagai kontroversi dan
perspektif ini juga dapat memudahkan para pengamat dalam memberi penilaian yang merupakan
hasil dari beberapa aliran maupun kepercayaan yang dianut oleh berbagai macam persepektif.
Dalam tulisan Steve Smith yaitu Positivism and Beyond, dinyatakan bahwa positivisme
merupakan awal mula perspektif yang dimana didalamnya berupa komitmen untuk memandang
ilmu pengetahuan yang mengangkat metodologi ilmu-ilmu alam dalam menjelaskan dunia sosial.
Positivisme merupakan pandangan metodologis yang menggabungkan naturalisme yang
menyangkut pada epistemologi empiris yang ketat serta berkomitmen dengan objektivisme
terkait hubungan antara teori dan bukti. Steve Smith beranggapan bahwa perspektif ini
mengalami perdebatan akibat terlalu menitikberatkan kepada metodologi dalam HI yang
disimbolkan pada pendekatan klasikal dan saintifik. Selain itu, tulisan ini juga menyatakan
bahwasannya positivisme percaya akan suatu fenomena nyata dan hanya diyakini dengan dasar
empiris atau yang dirasakan oleh indera manusia atau dapat dirasakan oleh masyarakat lainnya.
Dari dasar empiris ini, maka jika ingin menganalisis harus terdapat unsur atau sifat yang objektif
dan dapat diprediksi serta kejadian keberulangan dalam fenomena tersebut untuk memunculkan
kesan yang statis.
Menurut penulis, sebenarnya sifat empiris ini merupakan pengalaman sensorik manusia,
yang dimana hal tersebut adalah pengetahuan secara faktual. Dinyatakan dalam tulisan Steve
Smith bahwa penerapan empiris ini dilakukan oleh kaum behavioralis yang mengutamakan
pengumpulan data empiris untuk melakukan klasifikasi, generalisasi, dan pengesahan hipotesis
serta merumuskan pola perilaku yang secara ilmiah. Oleh karena itu, penerapan yang dilakukan
kaum behavioral inilah yang telah menempatkan dasar hubungan internasional menggunakan
analisis ilmiah atau positivisme dengan diyakini bahwa ilmu hubungan internasional merupakan
penelitian objektif yang berdasarkan fakta dan dapat diuji dengan teknik penelitian ilmiah yang
valid.
Steve Smith dalam bukunya mengatakan bahwa hubungan internasional telah didominasi
oleh positivisme selama kurang lebih 40 tahun. Maka, positivisme telah diartikan sebagai
pendekatan epistemologi, dimana dapat membuat generalisasi terhadap dunia sosial dan sangat
penting bagi praktik politik, termasuk pada hubungan internasional yang dapat diuji. Hal ini,
telah di klaim dalam tulisan Steve Smith bahwa dalam positivisme, epistemologi empirisnya
telah menentukan hal-hal yang terkait dalam hubungan internasional. Selain itu, Steve Smith
sangat setuju bahwa ia sangat mempertahankan epistemologi karena berfungsi untuk menentukan
apa yang didapatkan dalam pengetahuan sekaligus tidak bisa menghilangkan dan meremehkan
pentingnya berargumen seperti para filsuf pasca modernis dan para filosofis realis. Para kaum
positivisme juga percaya bahwa adanya proposisi empiris telah berdasarkan data yang aktual
dengan objek penelitian dalam bentuk fisik atau nyata serta dapat ditinjau dan diuji dari hasil
observasi. Maka, kaum positivis sangat pro bahwa setiap kajian ilmu di dalamnya harus
memenuhi syarat-syarat empiris agar berkembang sebagai studi yang baik dan empirik. Dalam
tulisan ini dinyatakan lebih lanjut bahwa jika dilihat dalam teori internasional, positivisme
memang memiliki istilah tersendiri dalam 3 pandangan, yaitu: (1) Pada dasarnya perlakuan
empirisme sama dengan positivisme yang keduanya dipandang sebagai epistemologi, dimana
berguna untuk mengetahui sesuatu tentang dunia. (2) Penggunaan positivisme secara
metodologis memiliki arti bahwa seperangkat aturan untuk praktik sains dan studi-studi yang
sebenarnya. (3) Dalam sisi behavioralisme, positivisme mengabaikan sesuatu yang terjadi di
dalam kepada aktor yang bertujuan sebagai dasar klaim pengetahuan.
Namun, secara tidak langsung Steve Smith beranggapan bahwa untuk sekarang ini
positivisme dianggap kurang terdefinisikan dalam teori HI, karena positivisme secara empirisme
esensinya terlihat sama yang melihat secara keseluruhan sebagai sebuah epistemologi. Selain itu,
akibat terlalu menitikberatkan metodologi, perspektif ini menjadi salah satu perdebatan besar HI,
yaitu disamakan dengan behavioralisme dan memiliki bebas nilai yang berbeda sedikit dari
pendekatan saintifik. Dibuktikan bahwa peran positivisme ini sangat mendukung dan memiliki
kriteria untuk menilai antar teori. Tidak hanya itu, akibat empirisme yang ketat membuat sedikit
dan sangat terbatas pengetahuannya terkait realita yang ada. Oleh karena itu, positivisme sangat
dimaknai sebagai sebuah sistem filosofi yang didasari pada pemikiran pengalaman dan
pengetahuan empiris atas fenomena yang nyata dan telah dialami sehingga menolak seluruh yang
berkaitan dengan teologi dan metafisika.
Dari uraian diatas, timbul kenyataan bahwasannya setiap fenomena yang terdapat dalam
HI tidak selalu dianalisis dalam perspektif positivisme. Hal ini membuat para pemikir selain
positivisme menolak, dimana memunculkan perspektif baru yang faktanya sangat bertolak
belakang dengan positivisme, yaitu dikenal dengan post-positivisme. Post-positivisme
mempercayai bahwa semua fenomena yang terjadi tidak empiris karena mereka beranggapan
bahwa sebuah realita dalam suatu fenomena yang terjadi adalah keunikan. Dalam post-
positivisme terdapat unsur atau sifat kedinamisan dalam suatu fenomena sehingga tidak dapat
diprediksi. Inilah yang terus menekankan bahwasannya perspektif ini tidak berlaku sebuah
kebebasan dalam penilaian.

Anda mungkin juga menyukai