Anda di halaman 1dari 10

Hegel dan Dialektika

Posted on Agustus 16, 2009 by Reza A.A Wattimena

Metode di dalam Filsafat Hegel

Pada bab sebelumnya saya sudah menjabarkan garis besar proyek filsafat kritis Immanuel Kant.
Inti dari metode berpikir yang diajarkan Kant adalah pencarian kondisi-kondisi kemungkinan
dari pengetahuan manusia, dan pencarian dasar rasional dari fenomena yang hendak diteliti.
Filsafat Kant sangat mempengaruhi para filsuf setelahnya. Salah satu filsuf yang sangat
dipengaruhi oleh Kant, namun juga melakukan kritik tajam terhadap Kant, adalah Hegel. Pada
bab ini saya ingin mengajak anda mencecap sedikit gaya berpikir Hegel, terutama yang terkait
dengan metodenya untuk memahami realitas. Sebagai pendasaran saya menggunakan teks
tulisan Larry Krasnoff yang berjudul Hegel’s Phenomenology of Spirit.[1] Pertanyaan pertama
yang layak diajukan adalah, apa sebenarnya latar belakang filsafat Hegel?

Latar Belakang
Dunia kita sekarang ini sangat dipengaruhi oleh peradaban Eropa utara yang berkembang sejak
4 abad yang lalu. Pada tahun-tahun itu, Eropa telah berubah dari sebuah peradaban yang
sangat bernuansa religius menjadi peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan, militer,
dan filsafat. Tiga hal itu mendorong terciptanya sebuah peradaban terbesar sepanjang sejarah
manusia, yang kini pengaruhnya bisa dirasakan di seluruh dunia. Para filsuf menamakan gejala
perkembangan pesat itu sebagai modernitas (modernity). Mengapa modernitas bisa terjadi,
dan bagaimana prosesnya?

Sampai sekarang para filsuf dan sejarahwan masih mencari jawaban yang paling tepat atas
pertanyaan itu. Namun menurut penelitian Krasnoff, penelitian para ahli biasanya terpusat
pada peristiwa-peristiwa khusus tertentu, seperti Reformasi Protestan, perkembangan fisika
modern melalui penemuan Galileo dan Newton, penemuan dan penaklukan benua Amerika,
perdagangan bebas, kapitalisme, serta Revolusi Amerika dan Perancis. Apa sebenarnya dampak
langsung dari peristiwa-peristiwa itu, sehingga pada akhirnya bisa mendorong terjadinya proses
modernisasi?

Menurut Krasnoff jawaban atas pertanyaan itu terletak pada perubahan paradigma (paradigm
change) di dalam memandang realitas. Alam dipandang sebagai alam obyektif yang bisa
dipelajari dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan manusia. Agama dipandang bukan lagi
sebagai urusan bersama, tetapi sebagai urusan privat. Agama dipisahkan dari urusan negara,
dan didorong ke pinggir kehidupan politik.

Politik pun tidak lagi didefinisikan sebagai upaya meraih kekuasaan sebesar mungkin untuk
memperkaya diri, melainkan sebagai alat untuk menjaga dan mengembangkan hak-hak asasi
manusia serta hak politik untuk memilih siapa yang berkuasa secara demokratis. Tiga
pandangan itu kini sudah menyebar ke seluruh dunia, dan menjadi paradigma yang dominan.
Namun sekarang ini banyak pemikir yang mempertanyakan, apakah modernitas adalah satu-
satunya paradigma kehidupan yang bisa digunakan? Apakah tidak ada alternatif?[2]

Ada beberapa alternatif yang kiranya mungkin terjadi, seperti pemerintahan totaliter, baik atas
nama agama ataupun ras dominan, masyarakat mistik yang menghormati alam namun lupa
memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, serta masyarakat tertutup yang menutup
kesamaan mutlak, tanpa menghormati perbedaan maupun hak-hak asasi manusia sedikitpun.
Dalam arti ini seperti yang pernah ditulis Magnis-Suseno, demokrasi, yang merupakan esensi
politik modernitas, adalah pilihan terbaik di antara semua alternatif yang ada. Tidak hanya itu
menurut Winston Churchill, perdana menteri Inggris pada saat perang dunia kedua, demokrasi
adalah bentuk politik terbaik dibanding bentuk-bentuk politik lainnya yang pernah dicoba di
dalam sejarah manusia.
Apakah modernitas adalah sesuatu yang baik secara moral? Bagi Krasnoff pertanyaan itu
tidaklah relevan. Itu seperti bertanya apakah oksigen itu baik untuk manusia atau tidak? Tentu
saja setiap orang membutuhkannya. Dan orang tidak memiliki kemungkinan untuk memilih
yang lain. Tidak hanya itu menurut Krasnoff, pertanyaan tentang apakah modernitas baik secara
moral adalah pertanyaan yang problematis, karena modernitas telah merasuki sendi-sendi
kehidupan masyarakat jaman sekarang sebegitu mendalam dan meluas. Setiap orang
terpengaruh dengan caranya masing-masing. Setiap orang juga memaknainya dengan caranya
sendiri-sendiri. Efek dari modernitas tidak bisa direduksi hanya dalam satu hal saja.[3]

Lalu apakah modernitas memiliki sisi buruk? Menurut Krasnoff sisi negatif dari modernitas
terletak pada sisi ekonomi dan teknologinya. Yang pertama adalah kecenderungan modernitas
untuk menerapkan paham kapitalisme secara berlebihan. Akibatnya adalah manusia
dikorbankan dan dieksploitasi atas nama pengumpulan keuntungan dan modal yang lebih tinggi
lagi. Teknologi membuat manusia menjadi tidak manusiawi. Hubungan manusia tidak lagi
dilandasi ketulusan, melainkan melulu hubungan kebutuhan yang sifatnya instrumental,
material, dan dangkal. Teknologi juga menghasilkan limbah yang pada akhirnya merusak
ekosistem. Krisis global warming yang kita alami secara global sekarang ini adalah hasil dari
penggunaan teknologi yang kelewat batas, dan akhirnya menghancurkan alam. Secara kultural
modernitas juga seringkali meremehkan budaya-budaya lokal partikular yang memiliki cara
berpikir berbeda. Hal ini tampak jelas di dalam arogansi negara-negara Eropa dan Amerika,
ketika berhadapan dengan negara-negara Asia dan Afrika.

Lalu apa sisi positif dari modernitas? Menurut Krasnoff sisi positif modernitas paling tampak
pada aspek moral dan politik. Secara khusus modernitas mengedepankan dan mengembangkan
kebebasan manusia sebagai individu. Pada masa sebelumnya cara berpikir dan pilihan manusia
dibatasi oleh kelas sosial, tradisi, dan agama. Namun dengan berkembangnya modernitas,
manusia mulai menemukan dan berani mengedepankan kebebasannya. Dalam soal agama
setiap orang berhak memutuskan agama apa yang mereka peluk. Tidak hanya itu setiap orang
juga berhak mengekspresikan keyakinan agamanya, sejauh itu tidak melanggar kebebasan
orang lain. Dalam hal politik setiap orang bebas untuk memilih penguasa manakah yang layak
memerintah di sebuah negara. Dalam hal ekonomi setiap orang bebas untuk mengumpulkan
harta kekayaan, sejauh dalam batas-batas hukum. Dan dalam hal budaya, setiap orang berhak
hidup dengan caranya masing-masing, sejauh itu masih berada dalam batas-batas hukum dan
tidak melanggar kebebasan orang lain.[4]

Apakah sisi-sisi positif tersebut sungguh terwujud nyata di dalam realitas? Tentu saja di dalam
kenyataan, tidak ada satupun dari cita-cita ideal tersebut terwujud secara sempurna.
Kebebasan manusia masih saja dikungkung oleh kekuatan-kekuatan budaya, ekonomi, dan
politik yang tak terbendung oleh aspirasinya terhadap kebebasan. Namun seperti yang berulang
kali ditulis oleh B. Herry Priyono di dalam berbagai tulisannya, cita-cita tidak akan lenyap hanya
karena belum terwujud di dalam realitas, begitu pula cita-cita modernitas tentang kebebasan
harus menjadi tujuan utama dari semua praktek politik, ekonomi, agama, dan budaya sekarang
ini.

Lalu apa arti pembicaraan tentang modernitas tersebut dengan Hegel, tokoh kita pada bab ini?
Pada hemat Krasnoff cita-cita modernitas tentang kebebasan terasa paling kental merasuk di
dalam seluruh tubuh filsafat Hegel.[5] Tulisan-tulisan Hegel menggambarkan bagaimana roh
absolut bergerak di dalam sejarah untuk sampai pada kebebasan. Namun mengapa Hegel
menjadikan tema kebebasan, yang merupakan esensi modernitas, di dalam filsafatnya?
Menurut penelitian yang dilakukan Krasnoff, Hegel memilih kebebasan sebagai tema utama
filsafatnya, karena ia pertama-tama terpesona oleh revolusi Perancis. Sebagai seorang pemuda
yang lahir pada 1770, ia terpana oleh gelora kebebasan yang mewujud secara nyata di dalam
revolusi Perancis.

Mengapa ia begitu terpesona dengan cita-cita kebebasan? Untuk menjawab ini kita perlu
sedikit mengetahui latar belakang historis Hegel sebagai seorang pribadi. Ia adalah seorang
anak pegawai negeri sipil rendahan dari Stuttgart. Walaupun miskin namun Hegel sangat
cerdas. Pada 1788 ia masuk seminari (sekolah pendidikan calon imam di dalam Agama Katolik)
di Universitas Tuebingen. Di sana ia bertemu dengan Friedrich Schelling (juga seorang filsuf
Idealis Jerman yang cukup ternama) dan menjalin persahabatan dengannya. Schelling dan
Hegel kini dikenal sebagai para filsuf Idealisme Jerman. Secara singkat Idealisme Jerman adala
paham filsafat yang berpendapat, bahwa realitas bukanlah material secara hakiki, melainkan
bentukan dari konsep-konsep rasional yang terletak di dalam pikiran manusia. Konsep-konsep
tersebut seperti aku murni, roh absolut, non-aku, dan sebagainya. Idealisme Jerman
berkembang pada abad ke-18 di Jerman, namun pengaruhnya masih sangat terasa hingga
sekarang ini.

Masa Hegel hidup adalah masa yang penuh dengan tantangan. Revolusi Perancis dengan cita-
cita kebebasan, persamaan, dan persaudaraan mengguncang tatanan monarki feodal
sebelumnya. Walaupun pada masa itu Perancis adalah tempat yang penuh dengan gejolak,
namun Jerman, tempat Hegel lahir dan tumbuh, tetap stabil seolah tidak terjadi apa-apa.
Universitas Tübingen seolah tetap steril, jauh dari gejolak yang ditimbulkan oleh Revolusi
Perancis dan gerakan filsafat Pencerahan. Memang pada waktu itu, Tübingen adalah universitas
yang konservatif. Teks-teks filsafat Pencerahan yang kental dengan ide otonomi dan kebebasan
individu dilarang untuk disebarkan. Tentu saja Hegel tidak mematuhi aturan yang aneh itu.
Masalah yang langsung dihadapinya adalah, bagaimana menerapkan cara berpikir modern yang
ditimbanya dari para filsuf Pencerahan di Jerman, yang pada masa itu relatif masih merupakan
masyarakat tradisional?
Pada masa yang sama, Inggris dan Perancis sudah menjelma menjadi negara modern. Di
negara-negara itu, kebebasan sudah mulai menjadi bagian dari kehidupan individu dan
kehidupan sosial. Sebaliknya di Jerman orang berkumpul untuk berdiskusi soal filsafat
Pencerahan pun kerap kali harus berbenturan dengan otoritas pemerintah. Dengan kata lain
dapatlah dikatakan, bahwa pada masa itu, Jerman masih merupakan negara terbelakang.
Namun Hegel akibat membaca secara intensif tulisan-tulisan Rousseau dan Kant berhasil
menerobos keterbelakangan itu, dan akhirnya merumuskan filsafatnya sendiri secara kreatif.[6]

Menurut Krasnoff prinsip utama di dalam filsafat Hegel adalah subyektivitas (subjectivity). Hal
ini menjadi jelas, jika orang berusaha membaca karya magnum opus Hegel yang
berjudulPhenomenology of Spirit. Hegel sendiri mengatakan tujuan filsafatnya adalah untuk
menggengam (grasp) dan mengekspresikan (express) subyektivitas.[7] Artinya adalah tujuan
dari suatu refleksi filosofis adalah untuk memahami karakter dasariah dari subyektivitas
manusia. Tidak hanya itu filsafat pun sebenarnya adalah ekspresi dari subyektivitas manusia itu
sendiri. Namun bentuk ekspresi yang bagaimana? Apa sebenarnya hakekat (nature) dari
subyektivitas, dan bagaimana filsafat bisa mengekspresikannya?[8]

Subyektivitas di dalam Filsafat Hegel

Di dalam filsafat tema subyektivitas adalah tema yang sudah berumur ratusan tahun, jauh
sebelum masa hidup Hegel. Para filsuf modern seperti Kant dan Descartes merefleksikannya
secara sistematis dan mendalam. Namun menurut Hegel refleksi filsafat tentang subyektivitas
di dalam filsafat Kant maupun Descartes masih terjebak pada kesalahpahaman dan inkoherensi.
Seperti yang ditulis oleh Krasnoff, bagi Descartes, subyektivitas adalah konsep yang bersifat
kontemplatif. Fungsi konsep itu sendiri semata-mata hanya sebagai titik awal (starting point)
untuk memberikan kepastian metodologis (methodological certainty). Tidak ada kepastian
apakah pikiranku memiliki hubungan langsung dengan realitas. Yang pasti adalah bahwa aku
sedang berpikir (I am thinking), dan pikiran itu selalu mengarah pada sesuatu. Aku tidak pernah
berpikir kosong, karena aku selalu berpikir tentang sesuatu.

Namun menurut Krasnoff jika pikiran adalah soal individu subyektif semata, maka tidak ada
kemungkinan untuk menilai, apakah pikiran itu tepat atau tidak. Jika argumen ini benar, lalu
bagaimana hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia fisik eksternal? Ini adalah pertanyaan
yang langsung menjatuhkan seluruh sistem Cartesian. Bagi Descartes hubungan pikiran dengan
dunia luar terletak pada fakta, bahwa Tuhan itu ada, dan Ia tidak mungkin menipu kita. Tentu
saja argumen ini sama sekali tidak kuat, dan bahkan terkesan sangat dogmatis. Yang ingin
dicapai Descartes adalah keketatan berpikir metodis di dalam filsafat. Namun kekuatan
pendekatan Descartes ternyata juga mencerminkan kelemahannya. Filsafatnya tidak
memberikan argumen yang cukup memadai tentang hubungan antara pikiran dan realitas fisik
di luarnya.
Seperti sudah disinggung pada bab sebelumnya tentang metode skeptisisme, Hume adalah
filsuf yang dengan keras mengajukan kritik kepada Descartes. Hume menolak mengakui adanya
relasi sebab akibat yang nyata di dalam realitas. Ia juga menolak argumen, bahwa kita bisa
sungguh sampai pada pengetahuan yang benar tentang realitas. Kant kemudian mencoba
mengajukan kritik terhadap Hume dengan berargumen, bahwa pengetahuan yang tepat
tentang dunia fisik itu mungkin, karena struktur akal budi internal manusia memungkinkan itu
terjadi. Struktur akal budi internal itu disebut juga sebagai subyektivitas (subjectivity).
Walaupun begitu Kant tidak menjadikan subyektivitas hanya sebagai titik awal yang sifatnya
kontemplatif, seperti pada filsafat Descartes. Sebaliknya pada Kant konsep subyektivitas lebih
bersifat aktif di dalam membentuk pengetahuan tentang dunia luar. Dalam arti ini tidaklah
berlebihan jika dikatakan, bahwa dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia
tidak ada dunia.[9]

Inilah yang disebut Krasnoff sebagai konsep subyektivitas yang bersifat idealistik (idealist
conception of subjectivity). Konsep subyek di dalam Kant melampaui konsep subyek di dalam
filsafat Descartes, yang cenderung bersifat kontemplatif dan pasif semata. Dalam arti ini konsep
subyek Kant dapat juga disebut konsep subyek yang aktif (active subject), terutama jika
diperlawankan dengan konsep subyek di dalam filsafat Descartes yang cenderung pasif. Bagi
Kant akal budi adalah fakultas di dalam diri manusia yang berfungsi untuk membentuk ide. Ide
itu sendiri berasal sekaligus melampaui pengalaman inderawi.

Salah satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the idea of freedom). Ide kebebasan
tidak pernah bisa dipahami secara empiris. Oleh karena itu pengetahuan manusia tentang
kebebasan memiliki bentuk yang berbeda, jika dibandingkan dengan pengetahuan manusia
mengetahui benda-benda fisik, seperti meja, kursi, mobil, dan sebagainya. “Akan tetapi dengan
alasan ini,” demikian Krasnoff, “kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak
mempunyai kenyataan..”[10] Artinya adalah walaupun tidak memiliki dasar empiris-fisik, dan
tidak bisa menjadi obyek pengetahuan langsung manusia, ide kebebasan tetap dapat dipahami
oleh manusia, walaupun dengan cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu diandaikan di
dalam tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika tidak diandaikan maka
tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara faktanya tindakan moral, seperti berbuat
baik, itu mungkin, maka kebebasan pun tidak bisa dibantah keberadaannya.

Filsafat Hegel dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk melampaui konsep subyek di dalam
filsafat Kant maupun Descartes. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Hegel sangat
mengagumi Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan dari momen bersejarah
tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan kebebasan dari subyek untuk melawan
semua bentuk kekuatan yang mengekangnya.
Tentu saja banyak filsuf berharap supaya kekuatan kebebasan ini dapat diarahkan pada sesuatu
yang sifatnya positif, seperti untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan moralitas misalnya.
Akan tetapi seperti ditegaskan oleh Krasnoff, subyek yang bebas berarti ia tidak bisa ditentukan
tindakan ataupun pilihannya ke depan. Jika ia bisa ditentukan, maka ia tidaklah bebas. Konsep
subyek pada filsafat Descartes terjebak pada dirinya sendiri. Subyek menjadi koheren secara
konseptual, namun tidak bisa diterapkan dalam konteks kehidupan nyata. Sementara subyek
moral Kantian, yang menempatkan kebebasan sebagai pengandaian, tidak bisa dipastikan akan
melulu bertindak secara moral.

Hegel sendiri sebenarnya banyak sependapat dengan Kant. Namun begitu Hegel ingin
menyelamatkan konsep subyek dari isolasi, seperti yang dialami konsep subyek di dalam filsafat
Descartes. Hegel setuju bahwa subyektivitas manusia itu sifatnya aktif dan kreatif, serta mampu
menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek melampaui semua kekangan yang
menghambatnya, ia kemudian menjadi sadar diri (self-conscious), yakni sadar akan kesalahan
dari tindakan ataupun pilihannya. Di dalam proses menyadari dirinya sendiri ini, subyek
kemudian semakin mengetahui dan memahami dirinya sendiri (self-knowledge).

Proses subyek untuk mengenali dirinya sendiri ini, menurut Hegel, mirip seperti pertarungan
melawan dan bersama kematian itu sendiri (struggle with and against death). Kebebasan
manusia sebagai subyek paling tampak di dalam kebebasannya menghadapi kematian. Selain
itu kebebasan subyek paling tampak di dalam penegasan dirinya menghadapi tekanan sosial
(social pressure). Namun begitu pernyataan terakhir tampak mengandung setitik kontradiksi.
Bukankah lingkungan sosial yang memberikan arti dan makna bagi kehidupan seseorang? Dan
bukankah seperti yang dikatakan oleh Heidegger dengan lugas, bahwa kematianlah yang
memberikan makna bagi kehidupan manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam
tegangan untuk menjadi bebas di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas
sosialnya.[11] Ia juga selalu berada dalam tegangan antara dorongan untuk memaknai hidup
yang ada, dan kecemasan di dalam menghadapi kematian. Di dalam tegangan itulah subyek
menyadari dirinya sendiri (self-realizing).

Hegel dan Dialektika[12]

Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni membangun
suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu pernyataan argumentatif
yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni upaya untuk mendamaikan tegangan
antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat
Hegel, walaupun Hegel sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui
konsep tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan, bahwa ia
mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode dialektik memang nantinya
menjadi sangat populer di tangan para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran
Hegel.

Di dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung menggunakan konsep tesis-
antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan logika yang kurang lebih sama di dalam tulisan-
tulisannya. Ia kerap kali menggunakan konsep abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-
concrete) untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas. Beberapa kali ia
menggunakan kata langsung-tidak langsung-konkret (immediate-mediated-conrete). Hegel
memang menggunakan kata-kata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis
yang digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal ini secara lebih
mendalam.

Di dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti secara logis mengapa tesis
terkait dengan antitesis. Yang dikatakan oleh para komentator Hegel hanyalah di dalam tesis
sudah langsung termuat antitesis. Namun apa sesungguhnya arti dari argumen itu? Coba kita
lihat rumusan Hegel abstrak-negatif-konkret. Di dalam rumusan itu sudah diandaikan, bahwa
tesis, yakni abstrak, memiliki kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam realitas. Konsep
abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di dalam kerasnya realitas. Di
dalam tahap negatif, yang merupakan level antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam
realitas, dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru
setelah itu abstrak dan negatif mengelami sintesis, dan menjadi konkret. Level konkret baru
bisa dicapai, jika level negatif dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi dari metode dialektis
yang dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel.

Untuk menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak itu, Hegel menggunakan
konsep Aufhebung, yang berarti ‘melampaui’ (overcoming). Secara kasar konsep melampaui itu
bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk menerjang batas-batas konsep yang ada sebelumnya,
sambil tetap mengambil sisi positifnya yang tertinggal. Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu
Logika (Science of Logic), Hegel mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami
keberadaan manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being). Namun ada-
murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan dengan ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang
keberadaanya bersifat murni, yakni tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara logis
dapat disamakan dengan tidak ada. Di dalam proses ada-murni, yang juga berarti ketiadaan,
akan melampaui batas-batasnya sendiri, dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming).
Di dalam kosa kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah antitesis
dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari ada-murni dan ketiadaan.

Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat. Baginya setiap tahap
perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis, muncul dari kontradiksi yang
kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia adalah sejarah dialektika dan
kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan monarki absolut
dengan menjadikan satu raja sebagai acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan
pada dua asumsi, yakni legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah,
dan asumsi bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat
keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena jika asumsi itu
terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini bentuk pemerintahan ideal
adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara yang bebas dan cerdas.

Dari contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari luar tesis,
melainkan justru dari dalamnya. Di dalam konsep monarki absolut sebagai acuan filsafat politik,
sudah ada ‘anti’ dari monarki absolut itu sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung di dalam
tesis. Dan sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis. Dalam bahasa Hegel di
dalam Ilmu Logika, di dalam Ada dan Ketiadaan sudah selalu terkandung ‘menjadi’. Lalu apa
sebenarnya tujuan dari metode dialektika ini?

Tujuan dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas pada dirinya sendiri, seturut
geraknya sendiri, dan untuk memahami itu semua dalam terang akal budi. Konsep inti di dalam
metode dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation of the negation), atau yang ia
sebut juga sebagai Aufhebung. Konsep ini diawali dengan sebuah premis sederhana, bahwa
segala sesuatu menjadi apa adanya, karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya,
yang bukan sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada segala sesuatu
yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya
sendiri.

Hegel mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses tersebut
melewati tahap-tahap tertentu yang kelihatannya penuh dengan negativitas. Namun
negativitas itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan ‘melampaui’ tesis dan
antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel bergerak dengan pola itu. Dan pada akhir
sejarah, realitas akan mengalami sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh
proses ini disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu adalah kontradiksi
dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki unsur negativitas yang kuat, namun diperlukan
untuk perkembangan realitas menuju sintesis absolut.***
[1] Pada bab ini saya mengacu pada Larry Krasnoff, Hegel’s Phenomenology of Spirit,
Cambridge, Cambridge University Press, 2008.

[2] Bdk, ibid, hal. 1.

[3] Lihat, ibid.

[4] Bdk, ibid, hal. 2.

[5] Lihat, ibid, hal. 3.

[6] Lihat, ibid, hal. 4.

[7] Seperti dikutip Krasnoff, ibid, hal. 62.

[8] Lihat, ibid.

[9] Bdk, ibid, hal. 63.

[10] Ibid, hal. 64.

[11] Lihat, ibid, hal. 66.

[12] Untuk berikutnya saya mengacu pada


http://en.wikipedia.org/wiki/Dialectic#Hegelian_dialectic

Anda mungkin juga menyukai