Anda di halaman 1dari 8

Konsep Paradigma Thomas Kuhn

Pendahuluan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari
usaha manusia dalam memahami realitas. Realitas yang terkadang menampakkan diri
secara samar menstimulasi manusia untuk berusaha memahami, menjelaskan, serta
mengurainya. Upaya-upaya manusia tersebut pada akhirnya terakumulasi sedemikian
rupa sehingga membentuk bangunan ilmu pengetahuan dengan strukturnya sendiri.
Namun demikian, ilmu pengetahuan bukanlah barang jadi yang mediadakan
kemungkinan terjadinya perkembangan. Struktur ilmu pengetahuan senantiasa berubah
seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri. Pada gilirannya, perubahan tersebut
berimplikasi terhadap berbagai perubahan lainnya, terutama hal-hal yang berkaitan
dengan tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
ilmu pengetahuan senantiasa dinamis serta kebenaran ilmu pengetahuan sendiri tidaklah
bersifat mutlak, melainkan relatif.
Dalam perkembangannya, laju ilmu pengetahuan sangan dipengaruhi oleh cara
berfikir positivistik yang dipelopori oleh Auguste Comte. Ajaran pokok dari Positivisme
menyebutkan bahwa dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada kemampuan
akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan sasaran
penyelidikan. Dengan demikian, positivisme menempatkan ilmu-ilmu alam sebagai
sentral dalam kehidupan manusia dan menolak metafisika.
Positivisme selanjutnya berkembang menjadi aliran yang lebih dikenal dengan
Positivisme Logis. Mereka memberikan perhatian yang besar terhadap pembahasan
pernyataan yang bermakna (meaningful) dan tidak bermakna (meaningless)
berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Alfred Ayer (1910 - 1989) merupakan
tokoh positivisme logis yang berpengaruh. Ayer berpendapat bahwa realitas pada
dasarnya dapat disamakan dengan data-data indrawi. 1 Oleh karenanya, seseorang yang
berbicara mengenai sesuatu yang di luar data indrawi, maka apa yang diucapkannya
tidak bermakna (meaningless).
Ayer mendasarkan pemikirannya pada prinsip verifikasi (the principle of
verification), suatu prinsip yang sebelumnya sudah dirumuskan oleh sekumpulan
pemikir yang dikenal dengan Vienna Circle. 2 Ia menyatakan bahwa sebuah pengetahuan
hanya dapat dibuktikan kebenarannya dengan prinsip verifikasi, dalam arti suatu
proposisi dapat dikatakan verifiable jika kebenarannya dapat dibuktikan dalam

K. Bertens, Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Teraju, 2005. hlm. 179


Prinsip verifikasi membedakan tiga jenis ucapan. Pertama, ucapan yang disebut tautologi, yakni
suatu pernyataan yang secara logis bersifat mesti benar. Pernyataan tautologi dapat ditemui dalam logika
dan matematika, semisal pernyataan segitiga adalah gambar yang dibentuk oleh tiga garis lurus yang
saling memotong. Pernyataan tersebut bersifat a priori dan tidak tergantung dari data empiris apapun.
Kedua, pernyataan yang dapat diverifikasi berdasarkan data-data indrawi. Jenis pernyataan ini adalah
memiliki makna. Ketiga, pernyataan yang tidak bermakna. Semua ucapan yang bersifat metafisis dinilai
tidak bermakna sebab dalam hal ini prinsip verifikasi tidak mungkin dipakai. Lebih lanjut, lihat K.
Bertens, Panorama Filsafat.., hlm. 179 - 182.
2

pengalaman yang meyakinkan. 3 Merujuk pada cara berpikir positivisme logis, maka
dapat disimpulkan bahwa pembenaran dapat dibuktikan melalui proses induksi.
Aliran positivisme logis pada perkembangannya ditentang oleh Karl Raimund
Popper (Wina, 1902). Melalui teori falsifikasinya Popper meruntuhkan dominasi aliran
positivisme logis. Ia menentang pembedaan antara ungkapan yang bermakna
(meaningful) dari yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat dan
tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan itu digantikan oleh Popper dengan
pembedaan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Pokok pembedaan terletak pada ada
dan tidak adanya dasar empiris bagi ungkapanungkapan bersangkutan. 4 Popper menolak
pembenaran melalui proses induksi. Sebagai ganti asas pembenaran, Popper
menawarkan prinsip falsifibiltas, artinya ciri utama ilmu pengetahuan adalah dapat
dibuktikan salah. Menurutnya, suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena
sudah dibuktikan (verifikasi), melainkan karena dapat diuji (testable).
Untuk menguji suatu pernyataan, cukuplah mengemukakan satu kasus yang dapat
menyatakan salahnya pernyataan tersebut. Semisal, pernyataan semua logam akan
memuai apabila dipanaskan. Untuk menguji pernyataan tersebut, kita hanya perlu
mengajukan satu jenis logam yang tidak memuai ketika dipanaskan. Apabila pernyataan
semua logam akan memuai apabila dipanaskan dapat dibuktikan salah, maka
pernyataan tersbut harus diganti dengan pernyataan lain yang lebih tepat. Sementara
apabila pernyataan semua logam akan memuai apabila dipanaskan tahan uji, maka hal
tersebut semakin mengukuhkan kebenarannya. Prinsip falsifibiltas yang ditawarkan
Popper berimplikasi bahwa ilmu pengetahuan bersifat evolutif, yakni berevolusi dari
teori/konsep sederhana menuju teori/konsep yang lebih sempurna.
Kemunculan filsafat Karl Popper sekaligus menandai masa transisi ke dalam suatu
era yang kemudian disebut era filsafat ilmu pengetahuan baru yang dipelopori oleh
Thomas Kuhn. Kuhn menolak secara tegas konsep evolusi ilmu pengetahuan. Baginya
kebenaran sains tumbuh menurut revolusi ilmiyah dan alamiyah yakni suatu teori
tentang sains ditemukan pada satu objek akan terus-menerus berubah walaupun kesan
yang muncul lebih identik sebagai improvisasi tapi Kuhn mengidentifikasi itu sebagai
revolusi. Dalam hal ini, Kuhn menawarkan suatu konsep yang disebut dengan
paradigma, yang selanjutnya menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini. Namun,
sebelum melangkah lebih jauh membincangkan pemikiran Thomas Kuhn, alangkah
baiknya untuk sejenak menengok latar belakang kehidupannya.
Biografi Singkat Thomas Kuhn
Thomas Samuel Kuhn, dia lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio,
Amerika. Kuhn adalah putera dari Samuel L Kuhn seorang insinyur industri dan mantan
Annette Stroock. Kuhn mempunyai isteri yang bernama Jehane R Kuhn. Dari
3

Harold H. Titus et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang,
1984. hlm. 365 - 366.
4
Nunu Burhanuddin, Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plato Sampai Gonseth, dalam Jurnal
Intizar, Vol. 21. No. 1. 2015, Palembang: UIN Raden Fatah, 2015. hlm. 139.

pernikahannya dengan Jehane ia dikaruniai dua orang puteri yang bernama Sarah Kuhn
di Framingham, Massachussets, dan Elizabeth Kuhn di Los Angeles, serta seorang
putera yang bernama Nathaniel S Kuhn di Alington, Massachussets. Sebenarnya
sebelum Kuhn menikah dengan Jehane, ia pernah menikah dengan seorang wanita yang
bernama Kathryn Muhs di Princeton, New Jersey.
Thomas Kuhn adalah seorang filosof ilmu pengetahuan, yang pada mulanya ia
adalah seorang mahasiswa yang kuliah pada bidang ilmu fisika teoritik sebelum
konsentrasi pada sejarah ilmu pengetahuan di Universitas Harvard.
Pada tahun 1942 ia memperoleh gelar bachelor dengan predikat summa cum
laude. Gelar Master ia dapatkan pada tahun 1946 dalam bidang fisika di Universitas
Harvard. Kemudian pada tahun 1949 Kuhn menerima gelar Ph.D di universitas dan
dalam bidang yang sama. Semenjak tahun 1948 ia menempati berbagai pos di
almamaternya, dan mencapai posisi assistant professorship dalam pendidikan umum
dan sejarah sains. 5
Pada tahun 1956, Kuhn menjadi Dosen di University of California, Barkeley.
Kemudian pada tahun 1961 ia menjadi Professor penuh dalam bidang sejarah ilmu, dan
pada tahun 1964 mendapat gelar Professor dalam bidang filsafat dan sejarah ilmu di
Universitas Princeton. Pada tahun 1979 ia kembali ke Boston, dan saat itu pula ia
diangkat sebagai Professor Filsafat dan Sejarah Ilmu di Massachussets Institute of
Technology (MIT). Pada tahun 1983, Kuhn kembali dikukuhkan sebagai Professor
dalam bidang filsafat di MIT. Dia diangkat sebagai pemegang rekor pertama dalam
bidang filsafat dan sejarah ilmu, dan pada tahun 1991 dan pensiun dengan tetap
memegang predikat Professor Emeritus.
Thomas Khun memiliki karya yang cukup banyak, namun yang paling terkenal
dan mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuwan adalah The Structure of
Scientific Revolutions (1962), yang diterbitkan pada tahun 1962 oleh The University of
Chicago Press. Dalam karyanya itu, Khun memakai istilah revolusi untuk
menggambarkan proses invensi dalam sains dan memeberi penekanan serius pada aspek
wacana ilmiah. Para sejarawan Amerika di bidang ilmu pengetahuan mengakui bahwa
karya Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions termasuk salah satu karya sejarah
dan filsafat yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Karya tersebut mampu
merevolusi sejarah dan filsafat ilmu, dan konsepnya tentang paradigma digunakan
secara luas dalam segala disiplin ilmu termasuk ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi.
Gagasan Kuhn tentang paradigma sekaligus merupakan tanggapan terhadap
pendekatan Popper pada filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper
menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan trejadinya ilmu
empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi.
Kuhn merupakan seorang yang brilian, hal ini dapat dilihat dari prestasi yang
diukirnya, yakni mendapat gelar Guggenheim Fellow pada tahun 1954. Ia juga
mendapatkan penghargaan George Sarton Medal pada tahun 1982 di bidang sejarah
5

http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/12/03/29/m1nbia-thomas-kuhn-bapaknyaparadigma

ilmu. Selain itu, ia juga mendapat gelar honorary dari Columbia University, serta
beberapa institusi lainnya seperti Notre Dame, Chicago, Padua, dan Athena. Thomas
Khun menderita penyakit kanker selama beberapa tahun di akhir masa hidupnya, yang
akhirnya meninggal dunia pada hari senin 17 Juni 1996 dalam usia 73 tahun.
Konsep Paradigma Thomas Kuhn
Sebelum membicarakan tentang konsep paradigma menurut Kuhn, terlebih dahulu
perlu dibahas mengenai sains yang normal, sebab dengan mengetahui sains normal,
konsep paradigma Kuhn dapat lebih dipahami. Sains yang normal adalah sebuah riset
yang dengan teguh berdasar atas suatu atau lebih penemuan ilmiah yang lalu, dan oleh
masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi
praktek selanjutnya.
Dapat diajukan sebagai contoh, penemuan-penemuan para ilmuwan yang tertuang
dalam magnum opusnya, semisal Physica karya Aristoteles, Principia dan Opticks
karya Newton, dan lainnya. Semua karya tersebut pada suatu masa digunakan secara
mutlak untuk menetapkan masalah-masalah yang sah sekaligus metode-metode riset
bagi generasi selanjutnya. Menurut Kuhn karya mereka diterima dan menjadi sangat
masyhur karena memiliki dua karakteristik esensial. Pertama, penemuan mereka sama
sekali baru. Kedua, penemuan tersebut bersifat terbuka sehingga seluruh masalah
diserahkan kepada ilmuwan sebagai pengguna metode tersebut untuk dicari
pemecahannya yang lebih baik. 6
Suatu penemuan yang memiliki dua karakteristik di atas, kemudian oleh Kuhn
disebut dengan istilah Paradigma. Paradigma adalah beberapa contoh praktik ilmiah
aktual yang diterima, mencakup hukum, teori, aplikasi, dan instrumen yang memberikan
model-model dan akhirnya menjadi sumber lahirnya tradisi-tradisi tertentu dari riset
ilmiah. Paradigma dapat diibaratkan sebagai rule of game yang menentukan posisi
seorang ilmuwan. Paradigmalah yang berperan menentukan persoalan yang dapat
dianggap relevan dan penting untuk diteliti, sekaligus metode apa yang dianggap sesuai
dalam meneliti persoalan tersebut. Tidak hanya itu, paradigma pulalah yang berperan
dalam menentukan cara pandang seseorang, semisal pada sebuah batu yang tergantung
pada seutas tali, seorang penganut fisika Aristoteles hukum fisika Aristoteles
menyebutkan bahwa benda yang memiliki massa berat akan bergerak secara alamiah
dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah akan melihat suatu benda yang
terhalang untuk jatuh, sedangkan bagi Galileo melihatnya sebagai gerakan pendulum. 7
Kuhn mengakui bahwa akumulasi memang berperan dalam kemajuan ilmu, tetapi
perubahan besar sebenarnya terjadi sebagai akibat revolusi. Kuhn mengemukakan teori
mengenai terjadinya perubahan besar (revolusi) dalam ilmu pengetahuan. Ia melihat
ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh paradigma tertentu. Paradigma diartikannya
sebagai citra mendasar tentang apa yang menjadi masalah pokok ilmu di masa tertentu.
6

Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (2nd Edition), Chicago: The University
Of Chicago Press, 1970. hlm. 10.
7
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific, 118 - 119.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, sains normal sebagai periode akumulasi


ilmu pengetahuan di mana ilmuwan berkarya untuk mengembangkan paradigma yang
dominan. Karya ilmiah demikian, tanpa terelakkan menimbulkan anomali atau temuantemuan yang tak dapat dijelaskan oleh paradigma yang dominan itu. Tahap krisis akan
terjadi bila anomali kian meningkat dan krisis ini akan berakhir dalam bentuk revolusi
ilmu. Paradigma dominan digulingkan ketika paradigma baru merebut posisinya di
pusat ilmu. Paradigma dominan baru, muncul dan tahap kemajuan seterusnya melingkar
akan terulang dengan sendirinya. 8 Berikut akan dijelaskan struktur perkembangan sains
menurut Thomas Kuhn.
Paradigma I Ilmu Normal Anomali Krisis Revolusi Paradigma II
Paradigma I - Normal Science
Sebelum masuk pada pembahasan fase paradigma I - normal science, kiranya
perlu terlebih dahulu untuk membahas tentang fase pra-paradigma. Fase praparadigma merupakan sebuah periode yang memakan waktu lama. Di sini penelitianpenelitian keilmuan mengenai hal-hal tertentu dilakukan tanpa arah dan tujuan
tertentu. Pada periode ini juga muncul berbagai macam aliran pemikiran yang saling
bersaing dan meniadakan satu sama lain, memiliki konsepsi-konsepsi yang berbeda
mengenai masalah-masalah dasar disiplin ilmu dan kriteria apa yang harus digunakan
untuk mengevaluasi teori-teori.
Dari antara berbagai sains yang berkembang pada fase pra-paradigma,
muncullah salah satu aliran pemikiran atau teori yang kemudian mendominasi
disiplin-disiplin teori atau ilmu lainnya. Aliran pemikiran lainnya berkiblat serta
mengakui keunggulan dari aliran pemikiran yang dominan tersebut. Disebut bersifat
dominan, karena ia menjanjikan pemecahan masalah yang lebih akurat dan masa
depan penelitian yang lebih maju. Inilah yang kemudian disebut oleh Kuhn sebagai
Paradigma (Paradigma I). 9
Paradigma tersebut kemudian masuk pada fase normal science atau ilmu
normal di mana situasi ketika sebuah paradigma menjadi sedemikian dominan
sehingga ia digunakan sebagai tolok ukur utama dan umum sampai seolah tak lagi
perlu mempertanyakan ulang prinsip-prinsip pertamanya. Ilmu normal memberi
isyarat kegiatan penelitian yang secara teguh berdasarkan satu atau lebih pencapaian
ilmiah dimasa lalu, yakni pencapaian-pencapaian yang komunitas atau masyarakat
ilmiah bidang tertentu pada suatu masa dinyatakan sebagai pemberi inspirasi. Sains
telah membentuk suatu cara pandang yang bahkan telah menjadi kesepakatan
umum. Sebagai contoh, misalnya fisika Newton tentang hukum gerak yang
kemudian membentuk paradigma Newtonian. Sebelum teori relativitas Einstein
8

George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. A-12.
9
Paradigms gain their status because they are more successful than their competitors in solving a
few problems that the group of practitioners has come to recognize as acute. Lebih lanjut, lihat Thomas
S. Kuhn, The Structure of Scientific hlm. 23.

menumbangkannya, teori fisika Newton pada masanya telah menjadi suatu


paradigma dan ilmu normal yang mendominasi dan menjadi acuan utama. Namun
demikian, apa akan terjadi persoalan apabila paradigma dominan tersebut menjumpai
suatu fenomena baru yang tidak dapat diuraikan?
Fase Anomali Krisis Revolusi
Dalam hal ini, Kuhn menyebutnya sebagai fase anomali, yakni fase ketika
paradigma dominan sebagai ilmu normal tidak mampu menjelaskan fenomena baru
atau memecahkan persoalan baru yang dijumpainya. Anomali ini terjadi ketika ilmu
normal selalu gagal memberikan jawaban terhadap persoalan baru yang timbul.
Apabila semakin banyak fenomena-fenomena yang tidak dapat dijawab oleh
paradigma anomali muncul secara terus menerus dan secara mendasar
menyudutkan paradigma dominan, maka ini akan mendatangkan apa yang disebut
oleh Kuhn sebagai krisis.
Krisis adalah sebuah fenomena di mana normal science perlahan-lahan mulai
ditinggalkan sebab diyakini tidak mampu lagi memecahkan permasalahn. Dalam
kondisi tersebut, paradigma dominan ditinjau dan dipertanyakan kembali. Situasi
krisis yang menjadi tersebut kemudian berujung pada pergeseran paradigma atau
revolusi. Dalam tahap revolusi inilah perubahan besar ilmu terjadi. 10 Dikatakan
sebagai terjadinya perubahan besar dalam ilmu, sebab revolusi inilah yang
mengantarkan kemunculan suatu paradigma baru yang dianggap mampu
menyelesaikan masalah yang dihadapi persoalan paradigma sebelumnya.
Munculnya Paradigma Baru
Sebelumnya dikatakan bahwa dalam tahap revolusi inilah perubahan besar
ilmu terjadi. Dikatakan sebagai terjadinya perubahan besar dalam ilmu, sebab
revolusi inilah yang mengantarkan kemunculan suatu calon paradigma baru yang
dianggap mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi persoalan paradigma
sebelumnya. Namun demikian calon paradigma baru tersebut tidak serta-merta
begitu saja diterima oleh kalangan ilmiah dan menjadi suatu paradigma baru.
Menurut Kuhn, calon paradigma baru terlebih dahulu harus berjuang untuk diterima
sebagai paradigma baru yang menggantikan paradigma lama. Fase inilah yang oleh
Kuhn disebut sebagai revolusi sains. 11

10

George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern.. hlm. A-12.
Dalam hal ini, Yeremias Jena mengilustrasikan dalam tulisannya; Di tengah-tengah persaingan,
salah satu sekolah atau aliran pemikiran muncul dan dapat mengatasi masalah, mampu menggeneralisasi
dan menjanjikan masa depan penelitian yang lebih baik. Awalnya tidak semua komunitas ilmiah segera
menerima paradigma baru. Meskipun demikian, mereka secara diam-diam menerapkan metode-metode,
prinsip-prinsip teoretis, asumsi-asumsi metafisis, dan standarstandar evaluasi yang dibawa oleh
paradigma baru dalam memecahkan masalah. Akhirnya, perlahan-lahan anggota komunitas ilmiah
menerima paradigma baru tersebut. Lihat Yeremias Jena, Thomas Kuhn tentang Perkembangan Sains
dan Kritik Larry Laudan, dalam Jurnal Melintas Vol. 28. No. 2. 2012, Bandung: Universitas Katolik
Parahyangan, 2012. hlm. 170.
11

Setelah uraian singkat mengenai struktur perkembangan sains menurut Thomas


Kuhn, dari sini dapat dilihat dengan lebih jelas tawaran Kuhn dengan konsep
paradigmanya sebagai respon atas pemikiran Karl Popper. Sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya, Kuhn menolak secara konsep evolusi ilmu pengetahuan. Kuhn
menolak pendapat bahwa ilmu pengetahuan bersifat evolutif, yakni berevolusi dari
teori/konsep sederhana menuju teori/konsep yang lebih sempurna. Kuhn berpendapat
bahwa perubahan sebuah teori bukan hanya sekedar peningkatan atau evolusi dari teori
yang lama, melainkan perubahan tersebut telah menyentuh wilayah struktural.
Penutup
Sebagaimana telah dijelaskan, bagi Thomas Kuhn, kebenaran sains tumbuh
menurut revolusi ilmiyah dan alamiyah yakni suatu teori tentang sains ditemukan pada
satu objek akan terus-menerus berubah walaupun kesan yang muncul lebih identik
sebagai improvisasi tapi Kuhn mengidentifikasi itu sebagai revolusi.
Suatu paradigma akan ditinjau, dikaji, dan dipertanyakan ulang apabila seorang
ilmuan dalam penelitiannya menjumpai gejala-gejala yang tidak bisa dijelaskan melalui
teori atau paradigma dominan. Pada saat itulah ilmuwan dapat mengembangkan
paradigma tandingan yang dapat memberikan solusi dan memecahkan persoalanpersoalan yang dihadapi, serta membimbing penelitian berikutnya. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa teori paradigma yang ditawarkan Kuhn mengimplikasikan
bahwa ilmu tidak berkembang secara evolutif, melainkan ilmu pengetahuan
berkembang secara revolusi (revolusi sains).

Daftar Pustaka
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia,
2002.
Bertens, K., Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Teraju, 2005.
Burhanuddin, Nunu, Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plato Sampai Gonseth,
dalam Jurnal Intizar, Vol. 21. No. 1. 2015, Palembang: UIN Raden Fatah, 2015.
Jena, Yeremias, Thomas Kuhn tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry
Laudan, dalam Jurnal Melintas Vol. 28. No. 2. 2012, Bandung: Universitas Katolik
Parahyangan, 2012.
Ritzer, George, Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan
(Jakarta: Kencana, 2005.
S. Kuhn, Thomas The Structure of Scientific Revolutions (2nd Edition), Chicago:
The University Of Chicago Press, 1970.
Titus, Harold H. et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/12/03/29/m1nbia-thomas-kuhnbapaknya-paradigma

Anda mungkin juga menyukai