Pendahuluan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya lahir dan berkembang sebagai konsekuensi dari
usaha manusia dalam memahami realitas. Realitas yang terkadang menampakkan diri
secara samar menstimulasi manusia untuk berusaha memahami, menjelaskan, serta
mengurainya. Upaya-upaya manusia tersebut pada akhirnya terakumulasi sedemikian
rupa sehingga membentuk bangunan ilmu pengetahuan dengan strukturnya sendiri.
Namun demikian, ilmu pengetahuan bukanlah barang jadi yang mediadakan
kemungkinan terjadinya perkembangan. Struktur ilmu pengetahuan senantiasa berubah
seiring dengan perkembangan manusia itu sendiri. Pada gilirannya, perubahan tersebut
berimplikasi terhadap berbagai perubahan lainnya, terutama hal-hal yang berkaitan
dengan tubuh ilmu pengetahuan itu sendiri. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
ilmu pengetahuan senantiasa dinamis serta kebenaran ilmu pengetahuan sendiri tidaklah
bersifat mutlak, melainkan relatif.
Dalam perkembangannya, laju ilmu pengetahuan sangan dipengaruhi oleh cara
berfikir positivistik yang dipelopori oleh Auguste Comte. Ajaran pokok dari Positivisme
menyebutkan bahwa dalam menyelidiki objek sasarannya didasarkan pada kemampuan
akal, sedang hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal tidak akan dijadikan sasaran
penyelidikan. Dengan demikian, positivisme menempatkan ilmu-ilmu alam sebagai
sentral dalam kehidupan manusia dan menolak metafisika.
Positivisme selanjutnya berkembang menjadi aliran yang lebih dikenal dengan
Positivisme Logis. Mereka memberikan perhatian yang besar terhadap pembahasan
pernyataan yang bermakna (meaningful) dan tidak bermakna (meaningless)
berdasarkan kemungkinan untuk diverifikasi. Alfred Ayer (1910 - 1989) merupakan
tokoh positivisme logis yang berpengaruh. Ayer berpendapat bahwa realitas pada
dasarnya dapat disamakan dengan data-data indrawi. 1 Oleh karenanya, seseorang yang
berbicara mengenai sesuatu yang di luar data indrawi, maka apa yang diucapkannya
tidak bermakna (meaningless).
Ayer mendasarkan pemikirannya pada prinsip verifikasi (the principle of
verification), suatu prinsip yang sebelumnya sudah dirumuskan oleh sekumpulan
pemikir yang dikenal dengan Vienna Circle. 2 Ia menyatakan bahwa sebuah pengetahuan
hanya dapat dibuktikan kebenarannya dengan prinsip verifikasi, dalam arti suatu
proposisi dapat dikatakan verifiable jika kebenarannya dapat dibuktikan dalam
pengalaman yang meyakinkan. 3 Merujuk pada cara berpikir positivisme logis, maka
dapat disimpulkan bahwa pembenaran dapat dibuktikan melalui proses induksi.
Aliran positivisme logis pada perkembangannya ditentang oleh Karl Raimund
Popper (Wina, 1902). Melalui teori falsifikasinya Popper meruntuhkan dominasi aliran
positivisme logis. Ia menentang pembedaan antara ungkapan yang bermakna
(meaningful) dari yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat dan
tidaknya dibenarkan secara empiris. Pembedaan itu digantikan oleh Popper dengan
pembedaan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Pokok pembedaan terletak pada ada
dan tidak adanya dasar empiris bagi ungkapanungkapan bersangkutan. 4 Popper menolak
pembenaran melalui proses induksi. Sebagai ganti asas pembenaran, Popper
menawarkan prinsip falsifibiltas, artinya ciri utama ilmu pengetahuan adalah dapat
dibuktikan salah. Menurutnya, suatu ucapan atau teori tidak bersifat ilmiah karena
sudah dibuktikan (verifikasi), melainkan karena dapat diuji (testable).
Untuk menguji suatu pernyataan, cukuplah mengemukakan satu kasus yang dapat
menyatakan salahnya pernyataan tersebut. Semisal, pernyataan semua logam akan
memuai apabila dipanaskan. Untuk menguji pernyataan tersebut, kita hanya perlu
mengajukan satu jenis logam yang tidak memuai ketika dipanaskan. Apabila pernyataan
semua logam akan memuai apabila dipanaskan dapat dibuktikan salah, maka
pernyataan tersbut harus diganti dengan pernyataan lain yang lebih tepat. Sementara
apabila pernyataan semua logam akan memuai apabila dipanaskan tahan uji, maka hal
tersebut semakin mengukuhkan kebenarannya. Prinsip falsifibiltas yang ditawarkan
Popper berimplikasi bahwa ilmu pengetahuan bersifat evolutif, yakni berevolusi dari
teori/konsep sederhana menuju teori/konsep yang lebih sempurna.
Kemunculan filsafat Karl Popper sekaligus menandai masa transisi ke dalam suatu
era yang kemudian disebut era filsafat ilmu pengetahuan baru yang dipelopori oleh
Thomas Kuhn. Kuhn menolak secara tegas konsep evolusi ilmu pengetahuan. Baginya
kebenaran sains tumbuh menurut revolusi ilmiyah dan alamiyah yakni suatu teori
tentang sains ditemukan pada satu objek akan terus-menerus berubah walaupun kesan
yang muncul lebih identik sebagai improvisasi tapi Kuhn mengidentifikasi itu sebagai
revolusi. Dalam hal ini, Kuhn menawarkan suatu konsep yang disebut dengan
paradigma, yang selanjutnya menjadi pembahasan utama dalam tulisan ini. Namun,
sebelum melangkah lebih jauh membincangkan pemikiran Thomas Kuhn, alangkah
baiknya untuk sejenak menengok latar belakang kehidupannya.
Biografi Singkat Thomas Kuhn
Thomas Samuel Kuhn, dia lahir pada tanggal 18 Juli 1922 di Cincinnati, Ohio,
Amerika. Kuhn adalah putera dari Samuel L Kuhn seorang insinyur industri dan mantan
Annette Stroock. Kuhn mempunyai isteri yang bernama Jehane R Kuhn. Dari
3
Harold H. Titus et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi, Jakarta: Bulan Bintang,
1984. hlm. 365 - 366.
4
Nunu Burhanuddin, Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plato Sampai Gonseth, dalam Jurnal
Intizar, Vol. 21. No. 1. 2015, Palembang: UIN Raden Fatah, 2015. hlm. 139.
pernikahannya dengan Jehane ia dikaruniai dua orang puteri yang bernama Sarah Kuhn
di Framingham, Massachussets, dan Elizabeth Kuhn di Los Angeles, serta seorang
putera yang bernama Nathaniel S Kuhn di Alington, Massachussets. Sebenarnya
sebelum Kuhn menikah dengan Jehane, ia pernah menikah dengan seorang wanita yang
bernama Kathryn Muhs di Princeton, New Jersey.
Thomas Kuhn adalah seorang filosof ilmu pengetahuan, yang pada mulanya ia
adalah seorang mahasiswa yang kuliah pada bidang ilmu fisika teoritik sebelum
konsentrasi pada sejarah ilmu pengetahuan di Universitas Harvard.
Pada tahun 1942 ia memperoleh gelar bachelor dengan predikat summa cum
laude. Gelar Master ia dapatkan pada tahun 1946 dalam bidang fisika di Universitas
Harvard. Kemudian pada tahun 1949 Kuhn menerima gelar Ph.D di universitas dan
dalam bidang yang sama. Semenjak tahun 1948 ia menempati berbagai pos di
almamaternya, dan mencapai posisi assistant professorship dalam pendidikan umum
dan sejarah sains. 5
Pada tahun 1956, Kuhn menjadi Dosen di University of California, Barkeley.
Kemudian pada tahun 1961 ia menjadi Professor penuh dalam bidang sejarah ilmu, dan
pada tahun 1964 mendapat gelar Professor dalam bidang filsafat dan sejarah ilmu di
Universitas Princeton. Pada tahun 1979 ia kembali ke Boston, dan saat itu pula ia
diangkat sebagai Professor Filsafat dan Sejarah Ilmu di Massachussets Institute of
Technology (MIT). Pada tahun 1983, Kuhn kembali dikukuhkan sebagai Professor
dalam bidang filsafat di MIT. Dia diangkat sebagai pemegang rekor pertama dalam
bidang filsafat dan sejarah ilmu, dan pada tahun 1991 dan pensiun dengan tetap
memegang predikat Professor Emeritus.
Thomas Khun memiliki karya yang cukup banyak, namun yang paling terkenal
dan mendapat sambutan dari para filsuf ilmu dan ilmuwan adalah The Structure of
Scientific Revolutions (1962), yang diterbitkan pada tahun 1962 oleh The University of
Chicago Press. Dalam karyanya itu, Khun memakai istilah revolusi untuk
menggambarkan proses invensi dalam sains dan memeberi penekanan serius pada aspek
wacana ilmiah. Para sejarawan Amerika di bidang ilmu pengetahuan mengakui bahwa
karya Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions termasuk salah satu karya sejarah
dan filsafat yang paling berpengaruh pada abad ke-20. Karya tersebut mampu
merevolusi sejarah dan filsafat ilmu, dan konsepnya tentang paradigma digunakan
secara luas dalam segala disiplin ilmu termasuk ilmu politik, ekonomi, dan sosiologi.
Gagasan Kuhn tentang paradigma sekaligus merupakan tanggapan terhadap
pendekatan Popper pada filsafat ilmu pengetahuan. Menurut Kuhn, Popper
menjungkirbalikkan kenyataan dengan terlebih dahulu menguraikan trejadinya ilmu
empiris melalui jalan hipotesis yang disusul dengan upaya falsifikasi.
Kuhn merupakan seorang yang brilian, hal ini dapat dilihat dari prestasi yang
diukirnya, yakni mendapat gelar Guggenheim Fellow pada tahun 1954. Ia juga
mendapatkan penghargaan George Sarton Medal pada tahun 1982 di bidang sejarah
5
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/12/03/29/m1nbia-thomas-kuhn-bapaknyaparadigma
ilmu. Selain itu, ia juga mendapat gelar honorary dari Columbia University, serta
beberapa institusi lainnya seperti Notre Dame, Chicago, Padua, dan Athena. Thomas
Khun menderita penyakit kanker selama beberapa tahun di akhir masa hidupnya, yang
akhirnya meninggal dunia pada hari senin 17 Juni 1996 dalam usia 73 tahun.
Konsep Paradigma Thomas Kuhn
Sebelum membicarakan tentang konsep paradigma menurut Kuhn, terlebih dahulu
perlu dibahas mengenai sains yang normal, sebab dengan mengetahui sains normal,
konsep paradigma Kuhn dapat lebih dipahami. Sains yang normal adalah sebuah riset
yang dengan teguh berdasar atas suatu atau lebih penemuan ilmiah yang lalu, dan oleh
masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi bagi
praktek selanjutnya.
Dapat diajukan sebagai contoh, penemuan-penemuan para ilmuwan yang tertuang
dalam magnum opusnya, semisal Physica karya Aristoteles, Principia dan Opticks
karya Newton, dan lainnya. Semua karya tersebut pada suatu masa digunakan secara
mutlak untuk menetapkan masalah-masalah yang sah sekaligus metode-metode riset
bagi generasi selanjutnya. Menurut Kuhn karya mereka diterima dan menjadi sangat
masyhur karena memiliki dua karakteristik esensial. Pertama, penemuan mereka sama
sekali baru. Kedua, penemuan tersebut bersifat terbuka sehingga seluruh masalah
diserahkan kepada ilmuwan sebagai pengguna metode tersebut untuk dicari
pemecahannya yang lebih baik. 6
Suatu penemuan yang memiliki dua karakteristik di atas, kemudian oleh Kuhn
disebut dengan istilah Paradigma. Paradigma adalah beberapa contoh praktik ilmiah
aktual yang diterima, mencakup hukum, teori, aplikasi, dan instrumen yang memberikan
model-model dan akhirnya menjadi sumber lahirnya tradisi-tradisi tertentu dari riset
ilmiah. Paradigma dapat diibaratkan sebagai rule of game yang menentukan posisi
seorang ilmuwan. Paradigmalah yang berperan menentukan persoalan yang dapat
dianggap relevan dan penting untuk diteliti, sekaligus metode apa yang dianggap sesuai
dalam meneliti persoalan tersebut. Tidak hanya itu, paradigma pulalah yang berperan
dalam menentukan cara pandang seseorang, semisal pada sebuah batu yang tergantung
pada seutas tali, seorang penganut fisika Aristoteles hukum fisika Aristoteles
menyebutkan bahwa benda yang memiliki massa berat akan bergerak secara alamiah
dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah akan melihat suatu benda yang
terhalang untuk jatuh, sedangkan bagi Galileo melihatnya sebagai gerakan pendulum. 7
Kuhn mengakui bahwa akumulasi memang berperan dalam kemajuan ilmu, tetapi
perubahan besar sebenarnya terjadi sebagai akibat revolusi. Kuhn mengemukakan teori
mengenai terjadinya perubahan besar (revolusi) dalam ilmu pengetahuan. Ia melihat
ilmu pada waktu tertentu didominasi oleh paradigma tertentu. Paradigma diartikannya
sebagai citra mendasar tentang apa yang menjadi masalah pokok ilmu di masa tertentu.
6
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions (2nd Edition), Chicago: The University
Of Chicago Press, 1970. hlm. 10.
7
Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific, 118 - 119.
George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan (Jakarta:
Kencana, 2005), hlm. A-12.
9
Paradigms gain their status because they are more successful than their competitors in solving a
few problems that the group of practitioners has come to recognize as acute. Lebih lanjut, lihat Thomas
S. Kuhn, The Structure of Scientific hlm. 23.
10
George Ritzer & Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern.. hlm. A-12.
Dalam hal ini, Yeremias Jena mengilustrasikan dalam tulisannya; Di tengah-tengah persaingan,
salah satu sekolah atau aliran pemikiran muncul dan dapat mengatasi masalah, mampu menggeneralisasi
dan menjanjikan masa depan penelitian yang lebih baik. Awalnya tidak semua komunitas ilmiah segera
menerima paradigma baru. Meskipun demikian, mereka secara diam-diam menerapkan metode-metode,
prinsip-prinsip teoretis, asumsi-asumsi metafisis, dan standarstandar evaluasi yang dibawa oleh
paradigma baru dalam memecahkan masalah. Akhirnya, perlahan-lahan anggota komunitas ilmiah
menerima paradigma baru tersebut. Lihat Yeremias Jena, Thomas Kuhn tentang Perkembangan Sains
dan Kritik Larry Laudan, dalam Jurnal Melintas Vol. 28. No. 2. 2012, Bandung: Universitas Katolik
Parahyangan, 2012. hlm. 170.
11
Daftar Pustaka
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia,
2002.
Bertens, K., Panorama Filsafat Modern, Jakarta: Teraju, 2005.
Burhanuddin, Nunu, Pemikiran Epistemologi Barat: dari Plato Sampai Gonseth,
dalam Jurnal Intizar, Vol. 21. No. 1. 2015, Palembang: UIN Raden Fatah, 2015.
Jena, Yeremias, Thomas Kuhn tentang Perkembangan Sains dan Kritik Larry
Laudan, dalam Jurnal Melintas Vol. 28. No. 2. 2012, Bandung: Universitas Katolik
Parahyangan, 2012.
Ritzer, George, Goodman, Douglas J., Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan
(Jakarta: Kencana, 2005.
S. Kuhn, Thomas The Structure of Scientific Revolutions (2nd Edition), Chicago:
The University Of Chicago Press, 1970.
Titus, Harold H. et.al., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi, Jakarta:
Bulan Bintang, 1984.
http://www.republika.co.id/berita/trendtek/sains/12/03/29/m1nbia-thomas-kuhnbapaknya-paradigma