Pendahuluan
Pembicaraan tentang hukum hampir tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan mengenai keadilan. Keadilan selalu dijadikan sebuah nilai
ideal dalam pembuatan maupun pelaksanaan hukum, meskipun sebagai
konsep yang abstrak keadilan seringkali dipahami tanpa batasan yang
jelas. Perkembangan pemikiran hukum Islam pun tidak dapat dilepaskan
dari konsepsi keadilan.
Ibnu Qayyim merumuskan sebuah gagasan menarik, yaitu bahwa
syariah adalah keadilan dan keadilan adalah syariah. Qayyim menolak
sebuah pemilahan wilayah antara syariah dan siyasah. Pemilahan wilayah
tersebut ia pandang tidak tepat karena syariah dan siyasah adalah dua
entitas yang tidak bisa dipisahkan secara hitam-putih. Qayyim menyetujui
sebuah pemilahan antara keadilan dan kezaliman. Keadilan adalah bagian
atau bahkan syariah itu sendiri, sedangkan kezaliman bukan termasuk
bagian syariah.1 Qayyim tidak sendiri dalam cara pandang itu, karena
keadilan disepakati para ahli hukum Islam sebagai sebuah nilai ideal.
Sejalan dengan gagasan keadilan di bidang hukum, keadilan dalam
bidang politik dan keilmuan2 dalam Islam pun dijadikan nilai ideal. Salah
satu kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi politik Islam adalah
yang adil. Pada kondisi yang darurat, kriteria keadilan itu bisa diterapkan
lebih luas. Keadilan mendapatkan tempat yang besar dalam ajaran Islam
sehingga dipandang sebagai idiom khas agama Islam, sebagaimana kasih
sayang dalam ajaran Nasrani.3
Diskursus mengenai keadilan dapat dilacak pada sumber-sumber
hukum Islam sendiri, yaitu Alquran dan hadits. Alquran dalam berbagai
kesempatan memerintahkan umat Islam untuk berbuat adil. Surat alNisa ayat 58 menyatakan bahwa dalam mengadili dua orang yang
bersengketa harus dilakukan secara adil. Surat al-Nisa ayat 03
menyatakan bahwa syarat monogami dianjurkan apabila laki-laki khawatir
tidak mampu berbuat adil. Surat al-Maidah ayat 6 memerintahkan orangorang mukmin berbuat adil karena adil lebih dekat pada ketaqwaan.
Data-data di atas cukup meyakinkan bahwa keadilan menjadi sebuah
nilai yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Pemikiran mengenai
keadilan dapat dilacak dalam Alquran itu sendiri. Meskipun demikian,
pemahaman mengenai keadilan adalah sebuah persoalan tersendiri bagi
para pemikir muslim. Sebagian pemikir muslim mendefinisikan keadilan
dalam kerangka filsafat Aristotelian. Keadilan dipahami sebagai
pengejawantahan keutamaan yang tertinggi. Keadilan adalah keutamaan
yang ada dalam jiwa manusia setelah kualitas-kualitas utama lain, yaitu
kebijaksanaan (hikmah), iffah (kesucian diri), dan syajaah (keberanian),
terpenuhi. Kualitas-kualitas hikmah, iffah, dan syajaah terwujud melalui
penyeimbangan dua titik ekstrim kualitas manusia. Syajaah, misalnya,
adalah jalan tengah dari kualitas pengecut dan kemarahan yang tidak
terkendali.4
Upaya menjabarkan makna keadilan yang dilakukan Maskawaih
menunjukkan betapa nilai ideal keadilan yang ada dalam Alquran masih
sangat umum sehingga memungkinkan berbagai upaya penjabaran praktis.
Maskawaih mencoba mendefinisikan keadilan dalam kerangka filsafat
etika Aristotelian. Barangkali juag, ulama-ulama lain akan mendefisikan
keadilan dalam kerangka yang lain.
Makalah ini adalah berbagai upaya untuk mendefiskan keadilan dalam
kerangka hukum, khususnya hukum Islam. Perumusan jabaran keadilan
dalam kerangka hukum santa diperlukan karena keadilan dalam hukum
seringkali dipahami dalam kerangka kepentingan. Orang yang kalah di
pengadilan akan berpikir bahwa keputusan hakim salah atau meragukan,
sementara pihak yang menang akan memandang bahwa putusan hakim
sangatlah adil. Jebakan kepentingan sering mengaburkan arti keadilan.
Orang yang selalu ditimpa musibah akan berpikir bahwa Tuhan tidak
bersiap adil kepadanya, tetapi ketika ia mendapatkan pertolongan baru
ia berpikir bahwa Tuhan benar-benar adil. Dengan demikian, pemaknaan
keadilan sangat rawan dari kepentingan pribadi. Wajar ketika sebagian
ahli hukum berpendapat bahwa hukumlah, dan bukan keadilan, yang
MaknaKeadilan
Keadilan adalah sebuah istilah abstrak. Pengertian kata benda abstrak
dibentuk melalui pembentukan konsep yang akan mengisi istilah tersebut.
Pemberian pengertian konsep keadilan bukan upaya yang mudah sehingga
John Dewey berpendapat bahwa keadilan tidak dapat digambarkan dalam
pengertian yang pasti. Ia berpendapat bahwa keadilan umumnya
dipandang sebagai kebajikan yang tidak berubah, akan tetapi persaingan
yang merugikan adalah tidak adil dan tidak fair.6
Upaya pemaknaan terhadap istilah keadilan telah dilakukan orang
semenjak lama.7 Plato memaknai keadilan sebagai kebajikan tertinggi
yang tidak dapat dijelaskan melalui alasan rasional, melainkan terdiri
atas pelaksanaan individu masing-masing terhadap tugas yang bebankan
kepada mereka. Keadilan versi Plato adalah keadilan yang dilekatkan
kepada status dan kelas di masyarakat. Individu harus melaksanakan
tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh posisi dia dalam konteks sosial.
Keadilan Plato menekankan kepada moralitas yang mendukung status
quo.8
Sebaliknya, Aristoteles memberikan definisi keadilan dalam perspektif
yang berbeda. Aristoteles menekankan kepada arti penting hukum.
Aristoteles melihat keadilan dari sudut pandang hukum dan keperluan
terhadap prinsip kebaikan. Konsepsi keadilan Aristotels berkaitan dengan
konsepsinya mengenai manusia sebagai zoon politicon (makhluk polis).
Manusia sebagai zoon piliticon harus aktif dalam kegiatan-kegiatan
politik. Ketaatan tertinggi manusia sebagai anggota polis adalah ketaatan
terhadap hukum polis. Keutamaan itulah yang disebut Aristoteles sebagai
keadilan. Keadilan hukum dalam pandangan Aristoteles terkait dengan
keadilan umum.9
Keadilan menentukan hubungan yang baik antara satu orang dengan
orang lain. Upaya meraih keuntungan sejauh mungkin dilakukan dengan
menciptakan keseimbangan antara kedua belah pihak. Aristoteles
memandang bahwa keadilan merupakan sebuah makna, baik tentang
apa yang sah menurut hukum atau apa yang fair dan sama. Ia melangkah
lebih lanjut dengan membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan
distributif and remedial/korektif. Keadilan distributif berkaitan dengan
distribusi kehormatan dan kekayaan di antara warga negara menurut
tempatnya dalam masyarakat dan memberikan perlakuan hukum yang
sama terhadap orang-orang yang sama di hadapan hukum. Keadilan
HukumdanKeadilan
Keadilan dan hukum ibarat dua sisi dari satu mata uang. Masyarakat
selalu menilai hukum sebagai adil atau tidak adil, dan sebaliknya selalu
melihat keadilan dalam perspektif tertib (order). Hubungan antara
hukum dan keadilan itulah yang kemudian menjadi obyek perbincangan
para ahli hukum. Sebagian ahli hukum mendefinisikan hukum dalam
perspektif keadilan sehingga hukum yang tidak adil tidak ada. Pandangan
demikian bermasalah karena dalam kenyataannya ada hukum-hukum
yang tidak adil namun tetap berjalan. Para ahli hukum alam meletakkan
penekanan pada hukum dan melihat keadilan hanya semata dekorasi
hukum. Pendapat itu didasarkan pertimbangan bahwa hukum tidak
mungkin tidak adil karena istilah adil hanya dapat didefinisikan berkaitan
dengan hukum.15
Keadilan dalam hukum bermain dalam logika benar dan salah, bukan
baik dan buruk sehingga moralitas keadilan berbeda dengan moralitas
lain. Hart memberikan ilustrasi menarik untuk melihat karakteristik moral
dalam konsep keadilan. Ia mencontohkan orang tua yang berbuat kasar
kepada anaknya. Orang tua demikian akan dinilai telah berbuat salah
atau buruk dan mengabaikan tugasnya terhadap anak, tetapi bukan dinilai
tidak adil. Perbedaan dari penilaian adil dan tidak adil dengan penilaian
baik-buruk terletak pada titik berbeda sehingga nilai moral keadilan lebih
spesifik dibandingkan nilai-nilai moral lain.16 Kata tidak adil lebih sesuai
diterapkan bilamana orang tua memberikan hukuman yang berbeda
kepada dua orang anak yang seusia dan dengan kesalahan yang sama.
Hal yang membedakan keadilan dengan klaim moral lain terletak
pada situasi sosialnya. Kata adil dapat disamakan dengan fair atau equal
(sama). Sesuatu yang fair umumnya relevan dalam dua situasi kehidupan
sosial. Pertama, ketika kita tidak hanya berurusan dengan satu individu
saja, melainkan kepada beberapa individu atau kelas individu, seperti
dalam distribusi beban atau keuntungan di antara individu-kelas atau
kelas-kelas individu itu. Penilaian fair atau tidak fair dalam konteks
demikian berpijak pada pembagian (share). Kedua, kata fair relevan pada
kasus penganiayaan dan penuntutan ganti rugi.17
Hart menegaskan prinsip umum yang tersembunyi dalam penerapan
ide keadilan bahwa para individu berhak di antara mereka posisi kesamaan
(equality) dan ketidaksamaan (inequality) secara bersamaan. Keadilan
secara tradisional dipahami sebagai pemeliharaan atau perbaikan
keseimbangan atau perbaikan keseimbangan dan proporsi. Aturan
mengenai keadilan dalam konteks hukum sering dirumuskan dengan
proposisi perlakukan kasus yang sama dengan cara yang sama dan
perlakukan kasus berbeda dengan cara berbeda.18
Allott melihat hubungan hukum dengan keadilan sebagai bagian dari
hubungan antara hukum dengan moralitas. Menurutnya selalu ada
konfrontasi antara hukum dan moral pada setiap masyarakat yang sistem
hukumnya tidak terpusat pada keyakinan dan praktek moral karena
moralitas adalah elemen esensial dalam agama. Allott lebih cenderung
memberikan pengertian sistem hukum tanpa referensi terhadap keadilan
atau moralitas. Norma hukum, menurutnya, didefinisikan oleh masyarakat
tempat norma tersebut berlaku, otoritas yang memancarkannya, dan sifat
proses yang diharapkan dari penegakannya. Semua itu tidak memiliki
tujuan moral atau keadilan.19
Jika ada pernyataan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum,
berarti ada penilaian bahwa keadilan hukum menjadi bagian esensial
definisi dan validitas hukum. Penyataan demikian menurut Allott akan
memunculkan pertanyaan mengenai apakah yang disebut adil dan tidak
adil dan siapa yang akan mengadili bahwa hukum tertentu adil atau
tidak adil. Mungkin kita bisa merujuk kepada otoritas yang lebih tinggi,
yaitu Tuhan, wahyu, atau keyakinan yang tumbuh dari kesadaran batin
untuk memberikan definisi mengenai keadilan untuk menegaskan sifat
esensial keadilan dalam hukum.
Persoalannya, menurut Allott, hal demikian akan menyita waktu
banyak dalam upaya mempersuasi orang-orang yang menjalankan hukum
dan anggota masyarakat yang diatur oleh hukum. Perlu upaya
memahamkan definisi keadilan tertentu secara benar dan memadai untuk
diterapkan kepada hukum buatan manusia yang tidak kebal kritik.
Kalaupun anggota masyarakat atau para penguasa dapat dipersuasi atau
dapat menerima pandangan tersebut maka efektivitasnya masih diragukan
karena definisi keadilan yang dipahami bersama oleh masyarakat menjadi
bagian dari norma-norma mereka, bagian dari bahasa sosial yang telah
GagasanKeadilandalamIslam
Gagasan keadilan dalam Islam dapat dijumpai dalam Alquran dan
sunnah. Alquran mengandung beberapa istilah yang dekat dengan istilah
keadilan, yaitu al-qisth, al-adl, dan mizan. Quraish Shihab memberikan
penjelasan bahwa kata al-adl23 berarti mendudukkan dua belah pihak
dalam posisi yang sama. Kata al-qisth artinya bagian yang patut dan wajar
dan memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan al-adl.
Kata mizan berarti timbangan dan juga digunakan untuk menyebut
keadilan.24
Kata adl merujuk kepada keadilan dalam pengertian balasan atau
retribusi yang sama. Jika ada orang yang tidak melaksanakan puasa, maka
ia harus mengganti pada hari lain. Semantara itu, kata qisth merujuk
kepada kesamaan (equity) dalam pengertian pemberlakuan aturan kepada
orang-orang yang bukan warga negara. Pengertian keadilan dalam kata
qisth mengandung konflik kepentingan, sementara adl mengandung
keseimbangan antara kepentingan antar kelompok. Mizan dalam Alquran
merujuk kepada pengertian keseimbangan (balance).25
Muhammad Thahir Azary menjabarkan pengertian keadilan dalam
Alquran dalam ranah politik. Penjelasannya mengenai ayat-ayat keadilan
dalam Alquran didasarkan kerangka bahwa keadilan menjadi prinsip
ketiga dalam nomokrasi.26 Keadilan dalam Islam menurut Azhary identik
dengan kebenaran. Kebenaran dalam konteks ajaran Islam dihubungkan
dengan Allah sebagai sumber kebenaran, yang dalam Alquran disebut
dengan al-haqq. Kata adl dalam Alquran menurut Azhary secara bahasa
berarti sama. Kata adl menunjukan keseimbangan atau posisi tengah.27
Keadilan dalam nomokrasi Islam menurut Azhary terkait dengan fungsi
kekuasaan negara. Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
memiliki tiga kewajiban pokok. Pertama kewajiban menerapkan kekuasaan
negara dengan adil, jujur, dan bijaksana. Kedua, kewajiban menerapkan
kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya Ketiga, kewajiban
penyelenggara negara untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera di bawah kerudhaan Allah. Keadilan dalam
perspektif Azhary bersifat transenden dan menegaskan kembali posisi
manusia sebagai makhluk. Keadilan Islam bersifat teosentrik karena
bertumpu kepada Tuhan.28
Konsep keadilan dalam Islam sebenarnya ditentukan oleh
perkembangan pemahaman para pakar-pakarnya. Bukan berarti istilah
KeadilanDalamHukumIslam
Keadilan dalam hukum Islam secara selalu dikaitkan dengan aspek
Ketuhanan, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dan
antara manusia dengan manusia dalam perspektif wahyu. Penekanan
terhadap konsep keadilan dalam hukum Islam tampak dalam tulisantulisan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Ibnu Qayyim membicarakan keadilan
dalam konteks politik hukum (siyasah syariyyah). Konteks itu menjadi
perhatian di kalangan ulama Islam dengan adanya kesadaran bahwa
penguasa dalam taraf tertentu memiliki wewenang penjabaran dan
penambahan aturan hukum Islam sepanjang sesuai dengan jiwa syariah.32
Qayyim membagi keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan oleh
kekuasaan politik (siyasah) menjadi dua, yaitu adil dan zalim. Keputusan
Penutup
Kajian keadilan menarik minat banyak ahli karena manusia selalu
melihat dirinya dalam kacamata perbandingan dengan orang lain.
Keadilan sebagai sebuah nilai moral memiliki ciri khas karena watak
tuntutan moralnya yang berbeda dengan tuntutan moral lain. Moralitas
keadilan selalu terkait dengan manusia satu dengan manusia lain
berdasarkan ukuran perbandingan dalam pemberian perlakuan oleh
otoritas publik.
Dalam tataran filosofis, orang kemudian mempertanyakan dari mana
sumber keadilan, atas dasar apa klaim kebenaran diterima, dan
bagaimana bentuk keadilan yang sebenarnya. Para filosuf dan ahli hukum
mencurahkan upaya untuk menemukan jawaban atas pertanyaanpertanyaan di atas. Ada berbagai variasi jawaban yang muncul yang tidak
lepas dari asumsi-asumsi dan pemahaman mengenai hakekat manusia.
Perjalanan manusia menemukan makna keadilan melahirkan berbagai
teori keadilan semenjak Sokrates sampai masa sekarang.
Para ahli hukum Islam pun tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan
untuk memberikan definisi keadilan. Tekanan Islam yang besar kepada
aspek kebenaran dan keadilan menjadikan keadilan dan kebenaran
memiliki arti khusus. Tuhan adalah Maha Benar dan manusia dituntut
di dunia untuk selalu berbuat benar. Definisi keadilan dalam hukum
Islam akhirnya tidak dapat dilepaskan dari moralitas dan kepercayaan
transendental karena dalam Islam ketiga aspek tersebut bertumpang
tindih dan saling bergantung.
Konsepsi keadilan akan terus berkembang sejalan dengan
perkembangan sosial. Keadilan adalah sebuah konsep abstrak yang harus
selalu dimaknai. Pemaknaan terhadap keadilan menjadi bagian dari arus
budaya dan dinamika sosial sehingga pemaknaan itu akan selalu baharu,
dengan tanpa meninggalkan pencapaian-pencapaian yang telah
dihasilkan oleh para generasi terdahulu.[]
Catatan Akhir:
*Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
1
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Badai al-Fawaid. Juz II. Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1994. h. 121.
2
Kriteria adil dalam bidang keilmuan dapat dijumpai dalam periwayatan
hadits. Kriteria perawi hadits adalah adil dan dlabith. Adil menujukkan
kepada kualitas-kualitas moral yang harus dimiliki oleh seorang perawi.
Kualitas-kualitas moral tersebut mencakup menjaga ketakwaan
(menjauhi perbuatan-perbuatan tercela) dan muruah (keperwiraan).
Adapun dlabith menyangkut kredibilitas yang bersifat praktis. Perawi harus
kuat ingatannya agar apa yang ia sampaikan memiliki validitas yang
akurat. Lihat dalam al-Tahanawi. Qawaid fi Ulum al-Hadits. Beirut:
Maktabah al-Matbuat al-Islamiyyah. 1972. h. 33-34.
3
Lawrence Rosen. The Justice of Islam: Comparative Perspective On
Islamic Law and Society. Oxford: Oxford University Press. 2000. h. 155
4
Ibnu Maskawaih. Kitab Tahdhib al-Akhlaq wa tathhir al-Araq. Mesir:
Matbaah Husayniyyah. 1329H. h. 10-24. Ajaran jalan tengah semacam
itu menjadi inti dari pemikiran etika Aristoteles. Setiap keutamaan adalah
suatu pertengahan antara dua sisi ekstrim yang masing-masing buruk.
Keberanian adalah pertengahan antara sikap pengecut dan sikap ngawur,
kebebasana adalah sikap antara sifat boros dan kikr, harga diri adalah
sikap antara kesombongan dan rendah diri, kejujuran adalah sifat antara
kesombongan dan kesederhanaan semu. Lihat uraian lebih lanjut dalam
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi SosioPolitik Zaman Kuno hingga Sekarang. Diindonesiakan oleh Sigit Jatmiko
dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. h. 235. Untuk mengetahui
pemikiran keadilan Aristoteles, lihat dalam buku kelima Etika Aristoteles
(Aristoteles. The Ethics of Aristotle. New York: Carlton House. tth. h.
95-121.
5
W. Paton, A Text-book of Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press.
1955. h. 79. Dalam tulisan ini, hukum dan aturan akan digunakan dalam
pengertian yang tumpang tindih karena sulitnya mendefinisikan hukum
secara memadai. Ada banyak pengertian hukum yang dicatat oleh Satjipto
Rahardjo. Hukum mencakup dimensi yang sangat luas sesuai dengan
aspek apa yang menjadi titik tekan pembahasan. Dengan demikian, setiap
pengertian hukum dalam tulisan ini pun akan sangat longgar. Lihat
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. 1986. h. 3-4.
6
Muhammad Muslehuddin. The Philosophy of Islamic Law and
Orientalist. Delhi: Markaz Maktaba Islamy. 1985. h. 99.
7
Gagasan keadilan pada masa Yunani klasik berkaitan dengan
kosmologi. Anaximender mengungkapkan bahwa api, air, dan tanah
sebagai unsur-unsur dunia berupaya memperluas kekuasaannya, tetapi
ada hukum alam yang senantiasi mengembalikan kepada keseimbangan.
Keadilan sebagai keniscayaan alam tidak dapat ditolak, sekalipun oleh
para Dewa. Lihat dalam Bertrand Russel. Sejarah. 2004. h. 35.
8
Muslehuddin. h. 105. Keadilan menurut Plato akan terwujud apabila
setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing dan tidak suka bikin
onar. Suatu negeri dikatakan adil apabila para pedagang, pembantu dan
para pemimpin melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa mencampuri
kelompok lain. Dengan demikian keadilan dalam pandangan Plato
hanyalah menjaga keseimbangan sosial dan pelaksanaan tugas sesuai
dengan posisi sosial yang dimiliki masing-masing individu. Bertrand Russel.
Sejarah, h. 35. Untuk mengetahui secara langsung diskursus keadilan
yang dikemukakan oleh Plato, lihat dalam Plato. Republic. London:
Penguin Books. 2003. h. 40-54 dan 130-156.
9
Theo Huijbers. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:
Kanisius. 1988. h. 28-29.
10
G.W. Paton. A Text-Book of Jurisprudence. Oxford: Clarendon
Press. 1955. 79.
11
Ibid. h. 79
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: dar al-Qalam. 1978.
Aidit bin Hj. Ghazali (ed.). Islam and Justice. Kuala Lumpur: Institut
Kefahaman Islam. 1993.
Antony Allott. The Limits of Law. London: Butterworths. 1980.
Aristoteles. The Ethics of Aristotle. New York: Carlton House. tth.
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi SosioPolitik Zaman Kuno hingga Sekarang. Diindonesiakan oleh Sigit
Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
G.W. Paton. A Text-Book of Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press.
1955.
H.L.A. Hart. The Concept of Law. Oxford: The Clarendon Press.
1984.
Ibnu Maskawaih. Kitab Tahdhib al-Akhlaq wa tathhir al-Araq. Mesir:
Matbaah Husayniyyah. 1329H.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Badai al-Fawaid. Juz II. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1994. h.
Ibnu Qayyim. Al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syariyyah. Kairo:
al-Muassasah al-Arabiyyah li al-Thabaah wa al-Nashr Imran
Sulayman. 1961.
John Rawls. Justice as Fairness: A Restatment. Cambridge, Harvard,
London: Harvard University Press. 2001.
Lawrence Rosen. The Justice of Islam: Comparative Perspective on Islamic
Law and Society. Oxford: Oxford University Press. 2000.
Majid Khaddouri. The Islamic Conception of Justice. Maryland: The
Johns Hopkins University Press. 1984.
Manzoor Ahmad. Morality and Law. Karachi: Asia Printers and Publishers.
1986
Muhammad Khalid Masud. Shatibis Philoshopy of Islamic Law. Delhi:
Adam Publisher and and Distributors. 1997
Muhammad Muslehuddin. The Philosophy of Islamic Law and Orientalist.
Delhi: Markaz Maktaba Islamy. 1985.
Noel J. Coulson. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence. Chicago:
the University of Chicago Press. 1969