Anda di halaman 1dari 19

Keadilan adalah sebuah konsep abstrak yang memiliki

kekuatan besar dalam membentuk cara pandang.


Keadilan memiliki cakupan makna yang luas dan
memasuki berbagai bidang: ekonomi, politik, hukum,
dan teologi. Islam pun sangat peduli dengan masalah
keadilan. Tetapi, makna keadilan dalam tataran yang
praktis dan jelas masih harus dicari dan dirumuskan
oleh ulama-ulama Islam. Pemaknaan tersebut tidak
jarang harus meminjam dari Barat, seperti Aristoteles
dan Plato. Hukum Islam pun perlu untuk merumuskan
secara jelas bagaimana istilah keadilan digunakan.
Tulisan ini adalah upaya memetakan dan menjabarkan
pemaknaan kadilan dalam hukum Islam berdasarkan
pemahaman mengenai pemaknaan istilah keadilan
dalam lingkup yang lebnih luas.

Gagasan Keadilan dalam Islam


Oleh Ahwan Fanani*

Kata kunci: Syariah, keadilan substantif, keadilan prosedural, moralitas,


hukum

Pendahuluan
Pembicaraan tentang hukum hampir tidak dapat dilepaskan dari
pembicaraan mengenai keadilan. Keadilan selalu dijadikan sebuah nilai
ideal dalam pembuatan maupun pelaksanaan hukum, meskipun sebagai
konsep yang abstrak keadilan seringkali dipahami tanpa batasan yang
jelas. Perkembangan pemikiran hukum Islam pun tidak dapat dilepaskan
dari konsepsi keadilan.
Ibnu Qayyim merumuskan sebuah gagasan menarik, yaitu bahwa
syariah adalah keadilan dan keadilan adalah syariah. Qayyim menolak
sebuah pemilahan wilayah antara syariah dan siyasah. Pemilahan wilayah
tersebut ia pandang tidak tepat karena syariah dan siyasah adalah dua
entitas yang tidak bisa dipisahkan secara hitam-putih. Qayyim menyetujui
sebuah pemilahan antara keadilan dan kezaliman. Keadilan adalah bagian
atau bahkan syariah itu sendiri, sedangkan kezaliman bukan termasuk
bagian syariah.1 Qayyim tidak sendiri dalam cara pandang itu, karena
keadilan disepakati para ahli hukum Islam sebagai sebuah nilai ideal.
Sejalan dengan gagasan keadilan di bidang hukum, keadilan dalam
bidang politik dan keilmuan2 dalam Islam pun dijadikan nilai ideal. Salah
satu kriteria pemimpin yang ideal dalam konsepsi politik Islam adalah

yang adil. Pada kondisi yang darurat, kriteria keadilan itu bisa diterapkan
lebih luas. Keadilan mendapatkan tempat yang besar dalam ajaran Islam
sehingga dipandang sebagai idiom khas agama Islam, sebagaimana kasih
sayang dalam ajaran Nasrani.3
Diskursus mengenai keadilan dapat dilacak pada sumber-sumber
hukum Islam sendiri, yaitu Alquran dan hadits. Alquran dalam berbagai
kesempatan memerintahkan umat Islam untuk berbuat adil. Surat alNisa ayat 58 menyatakan bahwa dalam mengadili dua orang yang
bersengketa harus dilakukan secara adil. Surat al-Nisa ayat 03
menyatakan bahwa syarat monogami dianjurkan apabila laki-laki khawatir
tidak mampu berbuat adil. Surat al-Maidah ayat 6 memerintahkan orangorang mukmin berbuat adil karena adil lebih dekat pada ketaqwaan.
Data-data di atas cukup meyakinkan bahwa keadilan menjadi sebuah
nilai yang dijunjung tinggi dalam ajaran Islam. Pemikiran mengenai
keadilan dapat dilacak dalam Alquran itu sendiri. Meskipun demikian,
pemahaman mengenai keadilan adalah sebuah persoalan tersendiri bagi
para pemikir muslim. Sebagian pemikir muslim mendefinisikan keadilan
dalam kerangka filsafat Aristotelian. Keadilan dipahami sebagai
pengejawantahan keutamaan yang tertinggi. Keadilan adalah keutamaan
yang ada dalam jiwa manusia setelah kualitas-kualitas utama lain, yaitu
kebijaksanaan (hikmah), iffah (kesucian diri), dan syajaah (keberanian),
terpenuhi. Kualitas-kualitas hikmah, iffah, dan syajaah terwujud melalui
penyeimbangan dua titik ekstrim kualitas manusia. Syajaah, misalnya,
adalah jalan tengah dari kualitas pengecut dan kemarahan yang tidak
terkendali.4
Upaya menjabarkan makna keadilan yang dilakukan Maskawaih
menunjukkan betapa nilai ideal keadilan yang ada dalam Alquran masih
sangat umum sehingga memungkinkan berbagai upaya penjabaran praktis.
Maskawaih mencoba mendefinisikan keadilan dalam kerangka filsafat
etika Aristotelian. Barangkali juag, ulama-ulama lain akan mendefisikan
keadilan dalam kerangka yang lain.
Makalah ini adalah berbagai upaya untuk mendefiskan keadilan dalam
kerangka hukum, khususnya hukum Islam. Perumusan jabaran keadilan
dalam kerangka hukum santa diperlukan karena keadilan dalam hukum
seringkali dipahami dalam kerangka kepentingan. Orang yang kalah di
pengadilan akan berpikir bahwa keputusan hakim salah atau meragukan,
sementara pihak yang menang akan memandang bahwa putusan hakim
sangatlah adil. Jebakan kepentingan sering mengaburkan arti keadilan.
Orang yang selalu ditimpa musibah akan berpikir bahwa Tuhan tidak
bersiap adil kepadanya, tetapi ketika ia mendapatkan pertolongan baru
ia berpikir bahwa Tuhan benar-benar adil. Dengan demikian, pemaknaan
keadilan sangat rawan dari kepentingan pribadi. Wajar ketika sebagian
ahli hukum berpendapat bahwa hukumlah, dan bukan keadilan, yang

patut diperhitungkan karena konsepsi keadilan hanya mungkin


didefinisikan dalam kerangka hukum. Pendapat demikian cukup realistis,
meskipun kenyataannya banyak aturan yang dipandang tidak adil sehingga
rasa keadilan justru mengoreksi hukum.5

MaknaKeadilan
Keadilan adalah sebuah istilah abstrak. Pengertian kata benda abstrak
dibentuk melalui pembentukan konsep yang akan mengisi istilah tersebut.
Pemberian pengertian konsep keadilan bukan upaya yang mudah sehingga
John Dewey berpendapat bahwa keadilan tidak dapat digambarkan dalam
pengertian yang pasti. Ia berpendapat bahwa keadilan umumnya
dipandang sebagai kebajikan yang tidak berubah, akan tetapi persaingan
yang merugikan adalah tidak adil dan tidak fair.6
Upaya pemaknaan terhadap istilah keadilan telah dilakukan orang
semenjak lama.7 Plato memaknai keadilan sebagai kebajikan tertinggi
yang tidak dapat dijelaskan melalui alasan rasional, melainkan terdiri
atas pelaksanaan individu masing-masing terhadap tugas yang bebankan
kepada mereka. Keadilan versi Plato adalah keadilan yang dilekatkan
kepada status dan kelas di masyarakat. Individu harus melaksanakan
tugas dan kewajiban yang dibebankan oleh posisi dia dalam konteks sosial.
Keadilan Plato menekankan kepada moralitas yang mendukung status
quo.8
Sebaliknya, Aristoteles memberikan definisi keadilan dalam perspektif
yang berbeda. Aristoteles menekankan kepada arti penting hukum.
Aristoteles melihat keadilan dari sudut pandang hukum dan keperluan
terhadap prinsip kebaikan. Konsepsi keadilan Aristotels berkaitan dengan
konsepsinya mengenai manusia sebagai zoon politicon (makhluk polis).
Manusia sebagai zoon piliticon harus aktif dalam kegiatan-kegiatan
politik. Ketaatan tertinggi manusia sebagai anggota polis adalah ketaatan
terhadap hukum polis. Keutamaan itulah yang disebut Aristoteles sebagai
keadilan. Keadilan hukum dalam pandangan Aristoteles terkait dengan
keadilan umum.9
Keadilan menentukan hubungan yang baik antara satu orang dengan
orang lain. Upaya meraih keuntungan sejauh mungkin dilakukan dengan
menciptakan keseimbangan antara kedua belah pihak. Aristoteles
memandang bahwa keadilan merupakan sebuah makna, baik tentang
apa yang sah menurut hukum atau apa yang fair dan sama. Ia melangkah
lebih lanjut dengan membagi keadilan menjadi dua, yaitu keadilan
distributif and remedial/korektif. Keadilan distributif berkaitan dengan
distribusi kehormatan dan kekayaan di antara warga negara menurut
tempatnya dalam masyarakat dan memberikan perlakuan hukum yang
sama terhadap orang-orang yang sama di hadapan hukum. Keadilan

remedial berkaitan dengan hukum administratif, hukuman terhadap


pelaku kesalahan dan kejahatan. Hukum dalam keadilan remedial
mencari asal mula sebelum terjadinya luka atau kesalahan dan berusaha
mengembalikan keseimbangan sebagaimana sebelum terjadinya
kesalahan.10
Keadilan versi Aristoteles tidak selalu bermakna kesetaraan (equality).
Keadilan bagi Aristoteles adalah pembagian hak yang tidak selalu berarti
kesetaraan. Keadilan majikan atau ayah berbeda dengan keadilan warga
negara. Karena anak dan budak adalah harta milik sehingga tidak maka
tidak ada ketidakadilan terhadap harta milik tersebut.
Menurut Paton, keadilan dan hukum harus dipisahkan karena
keduanya konsepsi yang berbeda. Hukumlah yang benar-benar memiliki
kekuatan, sedangkan keadilan adalah ideal yang terdiri atas sifat alami
moral manusia. Konsep keadilan berkembang sejalan dengan proses
perkembangan manusia, tetapi konsep tersebut tidak terbatas pada apa
yang terjadi di dunia nyata. Keadilan implisit dalam hukum dan
menyediakan test eksternal untuk menilai hukum. Hukum merupakan
sarana untuk mencapai keadilan.11
John Rawls memberikan definisi keadilan sebagai fairness. Definisi
keadilan versi Rawls menekankan kepada keadilan dalam ranah politik,
khususnya hak-hak sipil. Asas-asas fairness dalam konsepsi keadilan Rawls
adalah bahwa orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak
untuk mengembangkan kepentingan-kepentingannya hendaknya
memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya.
Hal itu menjadi syarat mendasar untuk memasuki perhimpunan yang
mereka kehendaki. Anggota masyarakat ketika berperan menjadi warga
negara harus melepaskan semua ikatan kecuali ikatan sebagai warga
negara sehingga semuanya memiliki kedudukan yang sama sebagai warga
negara. Asas fairness menjadi titik pijak dalam memberikan kesempatan
kepada semua individu untuk dapat berperan secara adil dalam ranah
publik.12
Rawls mengajukan dua prinsip keadilan. Prinsip pertama setiap orang
mempunyai klaim yang tidak dapat dipertahankan terhadap skema
kebebasan dasar yang sejajar yang sepenuhnya sesuai, yaitu skema yang
sesuai dengan skema kebebasan untuk semua. Prinsip kedua,
ketidaksamaan sosial dan ekonomi dimaksudkan untuk memenuhi dua
keadaan: pertama, ketidaksamaan sosial dan ekonomi ditempatkan di
kantor-kanbtor dan posisi-posisi yang terbuka bagi semua dengan syarat
kesamaan untuk mendapatkan kesempatan yang fair. Kedua
ketidaksamaan tersebut dimaksudkan untuk memberikan manfaat bagi
anggota masyarakat yang paling tidak beruntung.13
Berbagai pembacaan terhadap pengertian keadilan menunjukkan
bahwa ada tiga cara pandang terhadap keadilan:

1. Pandangan yang menekankan kepada kemerdekaan manusia sebagai


bagian mutlak kehidupan manusia. Kemerdekaan dipandang sebagai
milik manusia yang paling berharga. Tidak menghargai kemerdekaan
manusia sama dengan tidak menghargai kemanusiaan. Dengan
demikian keadilan adalah suasana yang memberikan kesempatan bagi
kemerdekaan manusia untuk berkembang secara seksama.
2. Pandangan yang menekankan keadilan sebagai keadaan jiwa atau
sikap. Menurut pandangan tersebut orang hanya bisa bertindak adil
manakala ia memiliki suatu sikap atau mental tertentu. Keadilan
bukanlah sebuah argumentasi yang perlu dinalar lebih jauh dengan
logika, melainkan representasi keseluruhan jiwa manusia.
3. Pandangan yang mengaitkan keadilan dengan kebenaran. Bertindak
adil adalah bertindak secara benar. Mencari keadilan sama dengan
mencari kebenaran.
Jadi, konsepsi keadilan tidak dapat dilepaskan dari konsepsi dasar
mengenai manusia yang menjadi titik tolaknya.14

HukumdanKeadilan
Keadilan dan hukum ibarat dua sisi dari satu mata uang. Masyarakat
selalu menilai hukum sebagai adil atau tidak adil, dan sebaliknya selalu
melihat keadilan dalam perspektif tertib (order). Hubungan antara
hukum dan keadilan itulah yang kemudian menjadi obyek perbincangan
para ahli hukum. Sebagian ahli hukum mendefinisikan hukum dalam
perspektif keadilan sehingga hukum yang tidak adil tidak ada. Pandangan
demikian bermasalah karena dalam kenyataannya ada hukum-hukum
yang tidak adil namun tetap berjalan. Para ahli hukum alam meletakkan
penekanan pada hukum dan melihat keadilan hanya semata dekorasi
hukum. Pendapat itu didasarkan pertimbangan bahwa hukum tidak
mungkin tidak adil karena istilah adil hanya dapat didefinisikan berkaitan
dengan hukum.15
Keadilan dalam hukum bermain dalam logika benar dan salah, bukan
baik dan buruk sehingga moralitas keadilan berbeda dengan moralitas
lain. Hart memberikan ilustrasi menarik untuk melihat karakteristik moral
dalam konsep keadilan. Ia mencontohkan orang tua yang berbuat kasar
kepada anaknya. Orang tua demikian akan dinilai telah berbuat salah
atau buruk dan mengabaikan tugasnya terhadap anak, tetapi bukan dinilai
tidak adil. Perbedaan dari penilaian adil dan tidak adil dengan penilaian
baik-buruk terletak pada titik berbeda sehingga nilai moral keadilan lebih
spesifik dibandingkan nilai-nilai moral lain.16 Kata tidak adil lebih sesuai
diterapkan bilamana orang tua memberikan hukuman yang berbeda
kepada dua orang anak yang seusia dan dengan kesalahan yang sama.
Hal yang membedakan keadilan dengan klaim moral lain terletak
pada situasi sosialnya. Kata adil dapat disamakan dengan fair atau equal
(sama). Sesuatu yang fair umumnya relevan dalam dua situasi kehidupan

sosial. Pertama, ketika kita tidak hanya berurusan dengan satu individu
saja, melainkan kepada beberapa individu atau kelas individu, seperti
dalam distribusi beban atau keuntungan di antara individu-kelas atau
kelas-kelas individu itu. Penilaian fair atau tidak fair dalam konteks
demikian berpijak pada pembagian (share). Kedua, kata fair relevan pada
kasus penganiayaan dan penuntutan ganti rugi.17
Hart menegaskan prinsip umum yang tersembunyi dalam penerapan
ide keadilan bahwa para individu berhak di antara mereka posisi kesamaan
(equality) dan ketidaksamaan (inequality) secara bersamaan. Keadilan
secara tradisional dipahami sebagai pemeliharaan atau perbaikan
keseimbangan atau perbaikan keseimbangan dan proporsi. Aturan
mengenai keadilan dalam konteks hukum sering dirumuskan dengan
proposisi perlakukan kasus yang sama dengan cara yang sama dan
perlakukan kasus berbeda dengan cara berbeda.18
Allott melihat hubungan hukum dengan keadilan sebagai bagian dari
hubungan antara hukum dengan moralitas. Menurutnya selalu ada
konfrontasi antara hukum dan moral pada setiap masyarakat yang sistem
hukumnya tidak terpusat pada keyakinan dan praktek moral karena
moralitas adalah elemen esensial dalam agama. Allott lebih cenderung
memberikan pengertian sistem hukum tanpa referensi terhadap keadilan
atau moralitas. Norma hukum, menurutnya, didefinisikan oleh masyarakat
tempat norma tersebut berlaku, otoritas yang memancarkannya, dan sifat
proses yang diharapkan dari penegakannya. Semua itu tidak memiliki
tujuan moral atau keadilan.19
Jika ada pernyataan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum,
berarti ada penilaian bahwa keadilan hukum menjadi bagian esensial
definisi dan validitas hukum. Penyataan demikian menurut Allott akan
memunculkan pertanyaan mengenai apakah yang disebut adil dan tidak
adil dan siapa yang akan mengadili bahwa hukum tertentu adil atau
tidak adil. Mungkin kita bisa merujuk kepada otoritas yang lebih tinggi,
yaitu Tuhan, wahyu, atau keyakinan yang tumbuh dari kesadaran batin
untuk memberikan definisi mengenai keadilan untuk menegaskan sifat
esensial keadilan dalam hukum.
Persoalannya, menurut Allott, hal demikian akan menyita waktu
banyak dalam upaya mempersuasi orang-orang yang menjalankan hukum
dan anggota masyarakat yang diatur oleh hukum. Perlu upaya
memahamkan definisi keadilan tertentu secara benar dan memadai untuk
diterapkan kepada hukum buatan manusia yang tidak kebal kritik.
Kalaupun anggota masyarakat atau para penguasa dapat dipersuasi atau
dapat menerima pandangan tersebut maka efektivitasnya masih diragukan
karena definisi keadilan yang dipahami bersama oleh masyarakat menjadi
bagian dari norma-norma mereka, bagian dari bahasa sosial yang telah

digunakan oleh para penguasa dalam hukum-hukum mereka. Akhirnya,


antitesis antara hukum dan keadilan tidak ada artinya lagi.20
Akhirnya, hubungan antara hukum dan keadilan bukanlah hal yang
mudah didefinisikan. Masyarakat selalu menggunakan keadilan sebagai
alat untuk menilai, mengkritik, atau menerima sebuah hukum.
Persoalannya, keadilan adalah istilah yang abstrak yang definisinya antara
satu orang dengan orang lain berbeda-beda. Karena itu, para ahli hukum
seperti Allott kurang begitu melihat arti penting pembahasan keadilan
dalam ranah hukum, terlebih jika fakta menunjukkan bahwa norma
masyarakatlah yang memberikan ukuran mengenai adil atau tidak adil.
Logikanya akan berputar, yaitu hukum dinilai dengan keadilan,
sedangkan keadilan dinilai berdasarkan hukum.
Hart lebih melihat persoalan keadilan dalam hukum sebagai bagian
dari perlakuan otoritas, utamanya di pengadilan, terhadap subyek hukum.
Keadilan adalah bagaimana orang diperlakukan secara sama di depan
hukum. Hart kurang memberikan perhatian mengenai hubungan keadilan
dan hukum dalam konteks isi hukum, melainkan lebih menekankan
bagaimana hukum diterapkan secara fair kepada semua orang.
Kedua pandangan di atas mewakili dua cara pandang terhadap
keadilan, yaitu keadilan dalam tataran substantif dan keadilan dalam
tataran prosedural.21 Kajian-kajian filosofis mengenai keadilan dan
hubungan antara hukum dengan keadilan pada dasarnya melihat hukum
dalam sudut pandangan substantif, yaitu melihat keadilan yang
terkandung di dalam hukum. Kajian mengenai perlakuan yang sama di
pengadilan adalah pengkajian keadilan dalam sudut pandang prosedural.
Dalam sudut pandang keadilan substantif, Theo Huijbers menegaskan
kembali tentang arti penting keadilan dalam hukum. Huijbers
berkeyakinan bahwa keadilan merupakan salah satu arti hukum dan
hukum hanya akan diakui sebagai hukum oleh masyarakat apabila hukum
tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Rasa keadilanlah yang
membuat hukum berkembang karena boleh jadi hukum yang pada
mulanya dipandang adil, lama kelamaan akan dirasakan lagi tidak adil
akibat terjadinya perubahan sosial. Kalau suatu saat peraturan dirasa
tidak adil, tetapi masih tetap berlaku, maka peraturan tersebut tidak
layak lagi disebut sebagai hukum. Peraturan yang tidak adil mungkin
masih ditaati, tetapi peraturan itu tidak memiliki kekuatan hukum lagi.
Ketaatan yang ditunjukkan oleh subyek hukum tidak melegitimasi
peraturan tidak adil sebagai hukum, melainkan hanya sebuah perwujudan
dari ketaatan kepada penguasa.22
Pemikiran Huijbers semakin mendapatkan arti dalam negara yang
demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Setiap aturan
hukum akan selalu dikoreksi oleh masyarakat. Apabila sebuah peraturan
dirasa tidak sesuai lagi dengan rasa keadilan masyarakat, maka peraturan

tersebut akan mudah kehilangan legitimasi dan kemudian digantikan


dengan peraturan yang baru. Hal itu menunjukkan bahwa keadilan secara
substantif tidak dapat dilepaskan dari hukum. Hukum hanya efektif dan
mempunyai legitimasi apabila mengandung nilai-nilai keadilan, minimal
bagi mayoritas masyarakat.

GagasanKeadilandalamIslam
Gagasan keadilan dalam Islam dapat dijumpai dalam Alquran dan
sunnah. Alquran mengandung beberapa istilah yang dekat dengan istilah
keadilan, yaitu al-qisth, al-adl, dan mizan. Quraish Shihab memberikan
penjelasan bahwa kata al-adl23 berarti mendudukkan dua belah pihak
dalam posisi yang sama. Kata al-qisth artinya bagian yang patut dan wajar
dan memiliki pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan al-adl.
Kata mizan berarti timbangan dan juga digunakan untuk menyebut
keadilan.24
Kata adl merujuk kepada keadilan dalam pengertian balasan atau
retribusi yang sama. Jika ada orang yang tidak melaksanakan puasa, maka
ia harus mengganti pada hari lain. Semantara itu, kata qisth merujuk
kepada kesamaan (equity) dalam pengertian pemberlakuan aturan kepada
orang-orang yang bukan warga negara. Pengertian keadilan dalam kata
qisth mengandung konflik kepentingan, sementara adl mengandung
keseimbangan antara kepentingan antar kelompok. Mizan dalam Alquran
merujuk kepada pengertian keseimbangan (balance).25
Muhammad Thahir Azary menjabarkan pengertian keadilan dalam
Alquran dalam ranah politik. Penjelasannya mengenai ayat-ayat keadilan
dalam Alquran didasarkan kerangka bahwa keadilan menjadi prinsip
ketiga dalam nomokrasi.26 Keadilan dalam Islam menurut Azhary identik
dengan kebenaran. Kebenaran dalam konteks ajaran Islam dihubungkan
dengan Allah sebagai sumber kebenaran, yang dalam Alquran disebut
dengan al-haqq. Kata adl dalam Alquran menurut Azhary secara bahasa
berarti sama. Kata adl menunjukan keseimbangan atau posisi tengah.27
Keadilan dalam nomokrasi Islam menurut Azhary terkait dengan fungsi
kekuasaan negara. Negara atau pemerintah sebagai pemegang kekuasaan
memiliki tiga kewajiban pokok. Pertama kewajiban menerapkan kekuasaan
negara dengan adil, jujur, dan bijaksana. Kedua, kewajiban menerapkan
kekuasaan kehakiman dengan seadil-adilnya Ketiga, kewajiban
penyelenggara negara untuk mewujudkan tujuan masyarakat yang adil,
makmur, dan sejahtera di bawah kerudhaan Allah. Keadilan dalam
perspektif Azhary bersifat transenden dan menegaskan kembali posisi
manusia sebagai makhluk. Keadilan Islam bersifat teosentrik karena
bertumpu kepada Tuhan.28
Konsep keadilan dalam Islam sebenarnya ditentukan oleh
perkembangan pemahaman para pakar-pakarnya. Bukan berarti istilah

keadilan tidak memiliki pengertian dalam ajaran Islam, melainkan bahwa


pemberian pengertian tersebut mengalami evolusi. Mahathir Muhammad
mendefinisikan keadilan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya
yang benar. Definisi tersebut mengandung tiga aspek penting, yaitu:
pertama, menempatkan seseorang pada pos atau fungsi yang sesuatu
dengan kemampuannya. Kedua, membuat keputusan yang sesuai dengan
keputusan atau orang yang menerima keputusan tersebut. Ketiga,
menempatkan kekayaan atau harta milik kepada orang-orang yang layak
mendapatkannya.29
Menurut Mahathir, Islam mengharuskan agar pemilihan orang dalam
menduduki pos-pos penting ditentukan berdasarkan kualifikasinya.
Pemilihan orang tanpa memperhatikan kelayakan dan kualifikasi akan
mengakibatkan dua ketidakadilan. Ketidakadilan pertama adalah
terhadap orang dipilih karena orang yang dipilih tanpa kemampuan yang
memadai menyebabkan ia tidak mampu melaksanakan tugas akhirnya
akan kehilangan minat kerja. Kedua, ketidakadilan terhadap masyarakat
yang seharusnya dilayani oleh pejabat yang ditunjuk karena pejabat atau
petugas tersebut tidak mampu melayani dengan baik.30
Quraish mencoba memetakan kembali pengertian keadilan yang
dipahami oleh para ulama. Quraisy menemukan empat pengertian keadilan
yang dipahami oleh para pakar muslim. Pertama, keadilan yang berarti
sama yang didasarkan atas surat al-Nisa ayat 4. Kata adil dalam keadilan
dalam pengertian pertama tersebut berkenaan dengan sikap hakim dalam
proses pengambilan keputusan. Kedua keadilan berarti seimbang, yang
identik dengan proporsional dalam segala hal. Ketiga, adil juga berarti
memberikan perhatian kepada hak-hak individu dan memberikan hakhak kepada pemiliknya. Keadilan dalam pengertian ketiga itu berkaitan
dengan konteks sosial. Adil dalam pengertian keempat dinisbatkan
kepada Allah. Keadilan dalam pengertian keempat berarti memelihara
kewajaran dan kelangsungan eksistensi.31

KeadilanDalamHukumIslam
Keadilan dalam hukum Islam secara selalu dikaitkan dengan aspek
Ketuhanan, yaitu dalam hubungan antara manusia dengan Tuhan dan
antara manusia dengan manusia dalam perspektif wahyu. Penekanan
terhadap konsep keadilan dalam hukum Islam tampak dalam tulisantulisan Ibnu Qayyim al-Jawziyyah. Ibnu Qayyim membicarakan keadilan
dalam konteks politik hukum (siyasah syariyyah). Konteks itu menjadi
perhatian di kalangan ulama Islam dengan adanya kesadaran bahwa
penguasa dalam taraf tertentu memiliki wewenang penjabaran dan
penambahan aturan hukum Islam sepanjang sesuai dengan jiwa syariah.32
Qayyim membagi keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan oleh
kekuasaan politik (siyasah) menjadi dua, yaitu adil dan zalim. Keputusan

yang adil adalah syariah. Qayyim menolak pembedaan antara siyasah


dan syariah, melainkan mengajukan cara pembedaan lain, yaitu adil dan
zalim. Adil adalah syariah, sedangkan zhalim adalah antitesis terhadap
syariah. Pandangan Ibnu Qayyim dapat dipahami dalam latar belakang
jurisprudensi Islam.33
Jurisprudensi Islam menghasilkan satu konsep besar hukum yang
memayungi dan memberi pengertian terhadap pola kerja hukum Islam.
Konsep tersebut adalah maslahah. Istilah maslahah dalam kajian hukum
Islam dipakai dalam dua pengertian, yaitu maslahah mursalah dan
maslahah sebagai al-maqasid al-syariyyah. Maslahah menurut pengertian
pertama (maslahah mursalah) adalah salah satu upaya menggali hukum
dengan didasarkan kepada pertimbangan kebaikan umum. Maslahah
mursalah sebagai sebuah metode penggalian hukum mula-mula
diasosiasikan dengan madhhab Maliki, tetapi pada perkembangannya
metode maslahah digunakan secara luas untuk memecahkan masalahmasalah yang tidak ada petunjuk ekplisitnya dari Alquran dan sunnah.
Pengertian maslahah sebagai al-maqasid al-syariyyah dikembangkan
oleh al-Juwayni34 yang kemudian dielaborasi lebih lanjut oleh al-Ghazali
dan mencapi puncaknya dalam pemikiran al-Syatibi. Maslahah dalam
pengertian al-maqasid al-syariyyah menekankan kepada tujuan-tujuan
esensial yang ingin dicapai oleh hukum Islam. Tujuan-tujuan esensial
syariah tersebut diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu memelihara
kepentingan manusia yang bersifat mendasar (dlarury), sekunder (hajjy),
dan suplementer (tahsiny). Kepentingan manusia yang bersifat mendasar
tercakup dalam al-kulliyah al-khamsah, yaitu memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara keturunan/kehormatan, memelihara akal,
dan memelihara jiwa. Rumusan di atas dipandang berasal dari perasan
ajaran-ajaran hukum Islam.35
Hubungan antara maslahah dan keadilan memang tidak mudah
dipahami apabila aspek tidak dihubungankan melalui aspek teologis yang
membangun paradigma hukum Islam. Kalangan Mutazilah mengajukan
kebaikan umum sebagai inti ajaran hukum Islam, yang di dalamnya
mengandung nilai keadilan dan maslahah sekaligus.36 Akan tetapi,
meskipun diakui sebagai sesuatu yang dikandung hukum Islam, keadilan
sebagai sebuah pembahasan hukum akan sulit dijumpai kitab-kitab ushul
fiqh. Ushul fiqh (yurisprudensi Islam) memberikan petunjuk mengenai
hubungan Tuhan dengan manusia, posisi Tuhan sebagai pemberi hukum
dan berbagai kaedah yang menjabarkan bagaimana kehendak Tuhan
dalam Alquran dan penjelasan Nabi dipahami.
Keadilan dalam penjelasan di atas termasuk dalam kategori
hukum substantif. Keadilan dalam hukum Islam tidak bisa dilepaskan
dari hukum dan kebenaran. Keadilan didefinisikan dalam sudut pandang
teologis, dimana hubungan Tuhan dengan manusia bersifat vertikal, yaitu

sebagaimana hubungan antara hamba dengan Tuan/majikan. Kekuasaan


hukum mutlak di tangan Tuhan karena satu-satunya hakim (pembuat
hukum) yang diakui dalam hukum Islam hanyalah Allah. Allah sebagai
Maha Adil dan Maha Benar lebih mengetahui kebenaran dan keadilan
hakiki. Manusia harus selalu menemukan keadilan dan kebenaran yang
dianugerahkan Tuhan melalui proses ijtihad. Ijtihad melibatkan upaya
analogi terhadap ukuran-ukuran kebenaran yang ditetapkan oleh Tuhan.
Qiyas adalah bentuk ijtihad yang menggunakan prinsip kesamaan untuk
mencari kebenaran dan keadilan Tuhan tersebut. Prinsip keadilan
meniscayakan penggunaan rasio untuk membuat perbandingan antara
satu kasus yang tidak diterangkan oleh Firman Tuhan atau sabda Nabi
dengan kasus lain yang telah memiliki legitimasi hukum. Dengan cara
itu, hukum Islam berkembang dan menjangkau kasus-kasus hukum yang
lebih luas berdasarkan prinsip persamaan.
Teori-teori hukum Islam memang tidak memilah secara tegas antara
hukum positif dan moralitas.37 Kepercayaan kepada Tuhan mengandung
unsur hukum, berupa perintah dan larangan yang terejawantah dalam
al-ahkam al-khamsah.38 Keadilan dapat diketahui melalui kehendak
Tuhan karena Tuhanlah sumber kebenaran. Gagasan keadilan dalam
hukum Islam merepresentasikan pandangan yang mengaitkan keadilan
dengan kebenaran. Bertindak adil adalah bertindak secara benar.
Mencari keadilan sama dengan mencari kebenaran.39 Kebenaran adalah
representasi dari kehendak Tuhan kepada manusia yang dijabarkan
melalui al-ahkam al-khamsah, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh, dan
haram. Keadilan substansif dalam hukum Islam selalu dikaitkan dengan
kehendak pembuat syara (Allah) terhadap manusia, baik kehendak
tersebut dipahami melalui deduksi logis (kaedah lughawiyyah), deduksi
analogis (qiyas), atau deduksi dari kaedah-kaedah umum syariah (almaqhashid al-syariyyah).
Ibnu Qayyim menegaskan kembali secara teoritis tumpang tindih
kebenaran hukum dengan keadilan. Ia menyamakan antara syariat
dengan keadilan. Keputusan otoritas politik (siyasah) ia pandang memiliki
legitimasi sebagaimana syariah apabila mengandung nilai-nilai keadilan
karena syariah adalah representasi keadailan. Di sisi lain, keadilan yang
digagas Ibnu Qayyim mengacu pula kepada upaya hakim untuk
menemukan kebenaran dan memberikan hukum bilamana ada
pelanggaran yang tidak ada aturan tegasnya secara formal. Ia
menekankan agar hakim mampu menangkap kebenaran, meskipun dalam
kondisi minim bukti dan minim aturan formal.40
Upaya hakim dalam menemukan kebenaran dalam tataran praktis
adalah bentuk dari keadilan prosedural. Keadilan prosedural adalah aspek
ekternal hukum, tempat keadilan substantif direalisasikan. Tanpa adanya
keadilan secara prosedural, keadilan substantif hanya akan menjadi teori-

teori yang tidak menyentuh realitas masyarakat.41 Peran individu dan


lembaga menjadi sangat menentukan dalam upaya realisasi keadilan
tersebut. Individu mencakup orang-orang yang memiliki otoritas untuk
melaksanakan hukum. Dalam sejarah Islam, individu tersebut meliputi
para hakim dan penguasa.42
Keadilan dalam konteks pelaksana hukum meniscayakan adanya
kualifikasi untuk menjamin kapasitas dan legitimasi sosial bagi hakim,
penguasa, atau pemberi saksi di pengadilan. Keadilan dalam konteks
pelaku (orang) menekankan kredibilitas dan kepercayaan orang untuk
dapat melakukan tugas-tugas hakim, penguasa, dan persaksian di atas.
Orang yang adil adalah orang yang jauh dari dosa-dosa besar dan tidak
membiasakan melakukan dosa-dosa kecil, menjaga keperwiraan
(muruah), dan menjaga kesucian diri. Untuk terlibat dalam dunia
keadilan, pelaku terlebih dahulu harus memiliki kualifikasi moral dan
kepribadian tertentu. Kualifikasi tersebut berangkat dari stabilitas mental
dan kemampuan menampilakan diri sebagai sosok yang kredibel.43
Penjelasan Rosen terhadap keadilan dalam hukum Islam adalah
penjelasan terbaik terhadap keadilan dalam praktek hukum Islam. Hasil
penelitian Rosen di Maroko dan kajiannya terhadap literatur-literatur
hukum Islam membuatnya menyimpulkan bahwa keadilan dalam
masyarakat muslim dipahami dalam tiga pengertian. Pertama, hubungan
antara Tuhan dan manusia bersifat resiprok, keadilan ada ketika
hubungan timbal balik membimbing semua interaksi. Kedua, keadilan
merupakan proses dan hasil dari penyamaan entitas-entitas yang sama.
Keadilan sebagai penyamaan mengisyaratkan pemahaman bahwa nalar
dan pengalaman harus digunakan untuk mengkalkulasi persamaanpersamaan. Proses semacam itu tampak dalam qiyas.44 Ketiga, karena
hubungan-hubungan manusia bersifat kompleks, keadilan harus dipahami
melalui undang-undangnya yang beragam, bukan sebagai sebuah prinsip
yang abstrak.45

Penutup
Kajian keadilan menarik minat banyak ahli karena manusia selalu
melihat dirinya dalam kacamata perbandingan dengan orang lain.
Keadilan sebagai sebuah nilai moral memiliki ciri khas karena watak
tuntutan moralnya yang berbeda dengan tuntutan moral lain. Moralitas
keadilan selalu terkait dengan manusia satu dengan manusia lain
berdasarkan ukuran perbandingan dalam pemberian perlakuan oleh
otoritas publik.
Dalam tataran filosofis, orang kemudian mempertanyakan dari mana
sumber keadilan, atas dasar apa klaim kebenaran diterima, dan
bagaimana bentuk keadilan yang sebenarnya. Para filosuf dan ahli hukum

mencurahkan upaya untuk menemukan jawaban atas pertanyaanpertanyaan di atas. Ada berbagai variasi jawaban yang muncul yang tidak
lepas dari asumsi-asumsi dan pemahaman mengenai hakekat manusia.
Perjalanan manusia menemukan makna keadilan melahirkan berbagai
teori keadilan semenjak Sokrates sampai masa sekarang.
Para ahli hukum Islam pun tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan
untuk memberikan definisi keadilan. Tekanan Islam yang besar kepada
aspek kebenaran dan keadilan menjadikan keadilan dan kebenaran
memiliki arti khusus. Tuhan adalah Maha Benar dan manusia dituntut
di dunia untuk selalu berbuat benar. Definisi keadilan dalam hukum
Islam akhirnya tidak dapat dilepaskan dari moralitas dan kepercayaan
transendental karena dalam Islam ketiga aspek tersebut bertumpang
tindih dan saling bergantung.
Konsepsi keadilan akan terus berkembang sejalan dengan
perkembangan sosial. Keadilan adalah sebuah konsep abstrak yang harus
selalu dimaknai. Pemaknaan terhadap keadilan menjadi bagian dari arus
budaya dan dinamika sosial sehingga pemaknaan itu akan selalu baharu,
dengan tanpa meninggalkan pencapaian-pencapaian yang telah
dihasilkan oleh para generasi terdahulu.[]

Catatan Akhir:
*Penulis adalah Staf Pengajar Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
1
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Badai al-Fawaid. Juz II. Beirut: Dar alKutub al-Ilmiyyah, 1994. h. 121.
2
Kriteria adil dalam bidang keilmuan dapat dijumpai dalam periwayatan
hadits. Kriteria perawi hadits adalah adil dan dlabith. Adil menujukkan
kepada kualitas-kualitas moral yang harus dimiliki oleh seorang perawi.
Kualitas-kualitas moral tersebut mencakup menjaga ketakwaan
(menjauhi perbuatan-perbuatan tercela) dan muruah (keperwiraan).
Adapun dlabith menyangkut kredibilitas yang bersifat praktis. Perawi harus
kuat ingatannya agar apa yang ia sampaikan memiliki validitas yang
akurat. Lihat dalam al-Tahanawi. Qawaid fi Ulum al-Hadits. Beirut:
Maktabah al-Matbuat al-Islamiyyah. 1972. h. 33-34.
3
Lawrence Rosen. The Justice of Islam: Comparative Perspective On
Islamic Law and Society. Oxford: Oxford University Press. 2000. h. 155
4
Ibnu Maskawaih. Kitab Tahdhib al-Akhlaq wa tathhir al-Araq. Mesir:
Matbaah Husayniyyah. 1329H. h. 10-24. Ajaran jalan tengah semacam

itu menjadi inti dari pemikiran etika Aristoteles. Setiap keutamaan adalah
suatu pertengahan antara dua sisi ekstrim yang masing-masing buruk.
Keberanian adalah pertengahan antara sikap pengecut dan sikap ngawur,
kebebasana adalah sikap antara sifat boros dan kikr, harga diri adalah
sikap antara kesombongan dan rendah diri, kejujuran adalah sifat antara
kesombongan dan kesederhanaan semu. Lihat uraian lebih lanjut dalam
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi SosioPolitik Zaman Kuno hingga Sekarang. Diindonesiakan oleh Sigit Jatmiko
dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. h. 235. Untuk mengetahui
pemikiran keadilan Aristoteles, lihat dalam buku kelima Etika Aristoteles
(Aristoteles. The Ethics of Aristotle. New York: Carlton House. tth. h.
95-121.
5
W. Paton, A Text-book of Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press.
1955. h. 79. Dalam tulisan ini, hukum dan aturan akan digunakan dalam
pengertian yang tumpang tindih karena sulitnya mendefinisikan hukum
secara memadai. Ada banyak pengertian hukum yang dicatat oleh Satjipto
Rahardjo. Hukum mencakup dimensi yang sangat luas sesuai dengan
aspek apa yang menjadi titik tekan pembahasan. Dengan demikian, setiap
pengertian hukum dalam tulisan ini pun akan sangat longgar. Lihat
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. 1986. h. 3-4.
6
Muhammad Muslehuddin. The Philosophy of Islamic Law and
Orientalist. Delhi: Markaz Maktaba Islamy. 1985. h. 99.
7
Gagasan keadilan pada masa Yunani klasik berkaitan dengan
kosmologi. Anaximender mengungkapkan bahwa api, air, dan tanah
sebagai unsur-unsur dunia berupaya memperluas kekuasaannya, tetapi
ada hukum alam yang senantiasi mengembalikan kepada keseimbangan.
Keadilan sebagai keniscayaan alam tidak dapat ditolak, sekalipun oleh
para Dewa. Lihat dalam Bertrand Russel. Sejarah. 2004. h. 35.
8
Muslehuddin. h. 105. Keadilan menurut Plato akan terwujud apabila
setiap orang menjalankan tugasnya masing-masing dan tidak suka bikin
onar. Suatu negeri dikatakan adil apabila para pedagang, pembantu dan
para pemimpin melaksanakan tugasnya masing-masing tanpa mencampuri
kelompok lain. Dengan demikian keadilan dalam pandangan Plato
hanyalah menjaga keseimbangan sosial dan pelaksanaan tugas sesuai
dengan posisi sosial yang dimiliki masing-masing individu. Bertrand Russel.
Sejarah, h. 35. Untuk mengetahui secara langsung diskursus keadilan
yang dikemukakan oleh Plato, lihat dalam Plato. Republic. London:
Penguin Books. 2003. h. 40-54 dan 130-156.
9
Theo Huijbers. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:
Kanisius. 1988. h. 28-29.
10
G.W. Paton. A Text-Book of Jurisprudence. Oxford: Clarendon
Press. 1955. 79.
11
Ibid. h. 79

John Rawls. Justice as Fairness: A Restatment. Cambridge, Harvard,


London: Harvard University Press. 2001. h. 41-43. Buku Justice As Fairness
tersebut adalah revisi atas buku Rawls yang pertama, yaitu The Theory
of Justice. Buku Justice As Fairness memuat ide-ide akhir Rawls karena
ditulis pada usia Rawls yang telah lanjut. Semangat yang dibawa Rawls
adalah semangat keadilan dalam masyarakat yang liberal.
13
Ibid. 42-43.
14
Satjipto Rahardjo. Ilmu h. 551-52.
15
Paton, h. 69-70.
16
H.L.A. Hart. The Concept of Law. Oxford: The Clarendon Press.
1984. h. 154.
17
Ibid. h. 154
18
Ibid. h. 155.
19
Antony Allott. The Limits of Law. London: Butterworths. 1980. h.
148
20
Ibid. h. 159.
21
Pembagian mengenai keadilan substantif dan prosedural tersebut
dapat dilihat dalam Majid Khaddouri. The Islamic Conception of Justice.
Maryland: The Johns Hopkins University Press. 1984. h. 135-136.
22
Theo Huijbers. Filsafat Hukumh. 274-275.
23
Kata adl berasal dari kata kerja adala yang memiliki tiga pengertian.
Pertama adalah berarti meluruskan atau membuat jadi baik. Kedua adl
berarti melarikan diri atau menyimpang dari jalan yang lurus menuju
jalan yang benar. Ketiga adl berarti sama atau sepadan. Keempat adl,
berarti keseimbangan atau berimbang, atau dalam kondisi equilibrium.
Kelima adl secara tidak langsung bisa diartikan sebagai contoh atau
serupa. Lihat Majid Khaddouri. The Islamic Conception. h. 6.
24
Quraish Shihab. Wawasan Alquran, Tafsir Maudlui atas berbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan. 1996. 111-112.
25
Manzoor Ahmad. Morality and Law. Karachi: Asia Printers and
Publshers. 1986. h. 119.
26
Nomokrasi adalah istilah yang digunakan oleh Azahary untuk
menyebutkan pemerintahan Islam. Istilah tersebut dikemukakan oleh
Majid Khadduri. Istilah tersebut diajukan karena ketidakmadaian istilahistilah politik yang ada untuk menggambarkan pemerintahan Islam.
Pemerintahan Islam bukan teokratis karena prinsip teokrasi adalah
pemerintahan yang diperintah oleh Tuhan melalui para otoritas
keagamaan (misalnya Paus). Pemerintahan Islam adalah pemerintahan
yang didasarkan kode hukum dalam suatu masyarakat. Nomokrasi adalah
pemerintahan yang didasarkan atas asas-asas dan kaidah-kaidah hukum
Islam. Lihat Muhammad Tahir Azhary. Negara Hukum: Suatu Studi
tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam,
12

Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini. Jakarta:


Bulan Bintang. 1992. h. 65-66.
27
Azhary membahas arti jalan tengah tersebut dikaitkan dengan
ummatan wasathan yang disebutkan dalam surat.Penjelasan Azhary
tersebut menginagtkan kembali kepada tafsir ummatan wasathan dalam
tafsir al-Alusi, sekaligus mengemukakan kembali kebajikan utama dalam
pemikiran Aristoteles dan Ibnu maskawaih.
28
Muhammad Tahir Azhary. Negara Hukum..h. 89-90.
29
Aidit bin Hj. Ghazali (ed.). Islam and Justice. Kuala Lumpur: Institut
Kefahaman Islam. 1993. h. 4.
30
Ibid. h. 4. Keadilan menurut versi Mahathir itu lebih menekankan
kepada upaya membangun organisasi pemerintahan yang baik dan bersih.
Kalaupun konsepsi keadilan versi Mahathir dibawa ke ranah hukum,
maka konsepsi tersebut hanya akn berbicara pengenai penempatan
personel pengadilan sesuai dengan kapasitasnya.
31
Quraish Shihab. Wawasan. h. 114-116.
32
Kewenangan penguasa tersebut dalam teori hukum Islam dilegitimasi
dengan teori siyasah syariyyah. Siyasah syariyyah berarti politik yang
bersifat syari, yaitu kebijakan-kebijakan penguasa yang sejalan dengan
semangat syariah. Penguasa diizinkan mengambil kebijakan-kebijakan
administratif untuk kepentingan umum sejauh tidak ada prinsip syariah
yang dilanggar. Noel J. Coulson. A History of Islamic Law. Edinburgh:
The University Press. 1991. h. 129.
33
Lihat kembali Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Badai...Juz II. Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994. h. 121.
34
Al-Juwayni membagi maslahah menjadi lima tingkatan. Pertama
dlarurui, yaitu kebutuhan-kebutuhan mendasar bagi manusia. Kedua alhajat al-ammah (kebutuhan umum), yang sebenanya hapir sama dengan
dlaruri tetapi dari tingkat kebutuhan manish di bawah dlaruri. Ketiga,
mukarromah, yaitu hal-hal yang terkait dengan keutamaan, seperti
kebersihan. Keempat, hampir sama dengan yang ketiga dengan prioritas
lebih rendah dari yang ketiga. Tingkatan keempat mencakup hal-hal
yang patut dipuji/dihargai, seperti mencatat kontrakdan pembebasan
budak. Kelima, tingkatan yang sebenarnya kurang jelas dan hanya
didefinisikan sebagai hal-hal yang tidak termasuk dalam empat tingkatan
sebelumnya. Contohnya adalah ibadah fisik murni. Lihat dalam
Muhammad Khalid Masud. Shatibis Philoshopy of Islamic Law. Delhi:
Adam Publisher and Distributors. 1997. h. 137-138.
35
Ibid. h. 151-152.
36
Ibid. h. 131.
37
Lihat hubungan antara hukum Islam dan moralitas dalam Manzoor
Ahmad. Morality ....h. 79-94. Interdependensi antara hukum dan
moralitas, dan agama yang tampa dalam hukum Islam sering mengesankan

bahwa hukum Islam tidak memiliki pengertian hukum sebagai huum


positif. Itulah salah satu titik penting kritik sarjana Barat, seperti Coulson
terhadap hukum Islam. Coulson melihat bahwa hukum Islam jauh dari
hukum positif dalam pengertian modern. Lihat dalam Noel J. Coulson. A
History...bab Pendahuluan.
38
Al-ahkam al-khamsah adalah lima kriteria hukum yang menjadi
ukuran bagi tindakan manusia, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh,
dan haram. Al-ahkam al-khamsah membentuk ukuran hukum dan moral
bagi umat Islam. Penjelasan lebih lanjut baca dalam Abdul Wahhab
Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: dar al-Qalam. 1978. h. 105-112.
39
Lihat kembali dalam Satjipto Rahardjo. Ilmuh. 51-52
40
Gagasan Ibnu Qayyim tersebut merepresentasikan dua wajah
keadilan di atas, yaitu keadilan substantif dan keadilan prosedural.
Keadilan substantif keadilan dapat dibaca dalam buku Ibnu Qayyim,
Badai... Juz II. H. Sedangkan gagasan keadilan yang lebih bersifat
prosedural dalam dibaca dalam al-Thuruq al-Hukmiyyah. Lihat Ibnu
Qayyim. Al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syariyyah. Kairo: alMuassasah al-Arabiyyah li al-Thabaah wa al-Nashr Imran Sulayman. 1961.
41
Majid Khaddouri. The Islamic Conception..h. 144.
42
Penguasa masuk dalam jajaran penegak keadilan karena dengan
niat baik dan atas wewenang mereka institusi keadilan dapat dijalankan.
Penguasa juga turut terlibat dalam dalam pengadilan dalam kasus-kasus
yang menyangkut para penyelanggara negara. Keterlibatan penguasa
dalam dunia peradilan, yaitu dalam pengadilan khusus dan banding
disebut dengan nadhar fi al-mazhalim. Wilayah fi al-madhalim adalah
jabatan yang bertugas menangani perkara-perkara yang menyangkut
penolakan pengadilan, kesulitan melakukan eksekusi, dan kesalahankesalahan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkuasa. Tidak jarang
para khalifah terjun langsung dalam pengadilan madhalim. Lihat Noel J.
Coulson. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence. Chicago: the
University of Chicago Press. 1969. h. 51.
43
Lawrence Rosen. The Justice... h. 155-157.
44
Qiyas adalah menganalogikan hukum suatu peristiwa yang tidak
ada petunjuknya dari nass kepada hukum peristiwa lain yang telah ada
petunjuk hukumnya dari nass berdasarkan kesamaan alasan hukum
(illat). Ihat Abdul Wahhab Khallaf. Ilmuh. 52.
45
Kesimpulannya adalah bahwa keadilan yang dipahami umat Islam
dapat disimpulkan dalam tiga hal: hubungan timbal balik yang telah diatur,
keadilan sebagai kesamaan, dan keadilan sebagai hubungan yang bersifat
relasional dan kontekstual. Baca keterangan lebih lanjut berdasarkan
penelitian Lawrence Rosen di Maroko dalam Lawrence Rosen. The Justice
h. 155.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh. Beirut: dar al-Qalam. 1978.
Aidit bin Hj. Ghazali (ed.). Islam and Justice. Kuala Lumpur: Institut
Kefahaman Islam. 1993.
Antony Allott. The Limits of Law. London: Butterworths. 1980.
Aristoteles. The Ethics of Aristotle. New York: Carlton House. tth.
Bertrand Russel. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi SosioPolitik Zaman Kuno hingga Sekarang. Diindonesiakan oleh Sigit
Jatmiko dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
G.W. Paton. A Text-Book of Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press.
1955.
H.L.A. Hart. The Concept of Law. Oxford: The Clarendon Press.
1984.
Ibnu Maskawaih. Kitab Tahdhib al-Akhlaq wa tathhir al-Araq. Mesir:
Matbaah Husayniyyah. 1329H.
Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Badai al-Fawaid. Juz II. Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyyah, 1994. h.
Ibnu Qayyim. Al-Thuruq al-Hukmiyyah fi al-Siyasah al-Syariyyah. Kairo:
al-Muassasah al-Arabiyyah li al-Thabaah wa al-Nashr Imran
Sulayman. 1961.
John Rawls. Justice as Fairness: A Restatment. Cambridge, Harvard,
London: Harvard University Press. 2001.
Lawrence Rosen. The Justice of Islam: Comparative Perspective on Islamic
Law and Society. Oxford: Oxford University Press. 2000.
Majid Khaddouri. The Islamic Conception of Justice. Maryland: The
Johns Hopkins University Press. 1984.
Manzoor Ahmad. Morality and Law. Karachi: Asia Printers and Publishers.
1986
Muhammad Khalid Masud. Shatibis Philoshopy of Islamic Law. Delhi:
Adam Publisher and and Distributors. 1997
Muhammad Muslehuddin. The Philosophy of Islamic Law and Orientalist.
Delhi: Markaz Maktaba Islamy. 1985.
Noel J. Coulson. Conflict and Tension in Islamic Jurisprudence. Chicago:
the University of Chicago Press. 1969

Noel J. Coulson. A History of Islamic Law. Edinburgh: The University


Press. 1991.
Plato. Republic. London: Penguin Books. 2003.
Quraish Shihab. Wawasan Alquran, Tafsir Maudlui atas berbagai
Persoalan Umat. Bandung: Mizan. 1996.
Satjipto Rahardjo. Ilmu Hukum. Bandung: Alumni. 1986.
Theo Huijbers. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta:
Kanisius. 1988.
W. Paton, A Text-book of Jurisprudence. Oxford: Clarendon Press. 1955.

Anda mungkin juga menyukai