PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya
filsafat Yunani. Pembicaraan mengenai keadilan memiliki cakupan yang luas,
mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak
orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuasaan
dan kekuatan yang dimiliki. Untuk menjadi adil cukup terlihat mudah. Namun,
tentu saja tidak sama penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari
bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” pada teorinya, Aristoteles ini sendiri
mengemukakan keadilan ialah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu
banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah memberikan sesuatu kepada
setiap orang sesuai dengan memberi apa yang menjadi haknya
Untuk menggambarkan keadilan juga menggunakan kata-kata yang lain
(sinonim) seperti qisth, hukum, dan sebagainya. Menurut M. Quraish Shihab
mengartikan kata adil :
“Akar kata adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan
kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta‟dilu” dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan „adl dalam arti tebusan).”
Demikian pentingnya makna keadilan bagi manusia sehingga
memunculkan konsepsi-konsepsi yang kemudian dipahami sebagai hak yang
melekat pada setiap individu. Dari sinilah kemudian para filsuf dan ahli hukum
tertarik untuk merumuskan makna keadilan yang terus berputar dan tidak pernah
berhenti dengan segala problematikanya.
Keadilan merupakan nilai ideal yang selalu diperjuangkan oleh umat
manusia. Sebagai nilai ideal, cita-cita menggapai keadilan tidak pernah tuntas
dicari, dan tidak pernah selesai dibahas. Keadilan akan menjadi diskursus panjang
dalam sejarah peradaban manusia.
Dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia, upaya untuk mencapai
keadilan tidak bisa diabaikan. Negara hukum tidak boleh apatis terhadap
perjuangan dan setiap upaya untuk menegakkan keadilan. Konsepsi tentang
keadilan sangat penting agar sebuah negara hukum menjadi pijakan semua pihak
baik warga negara maupun pemimpin negara sebagai kepastian dalam
menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Sebuah negara hukum
dituntut sebuah konsep keadilan yang dapat menyentuh dan memulihkan berbagai
persoalan hukum untuk memuaskan rasa keadilan semua pihak. Oleh karena itu,
untuk menegaskan kepastiannya sebagai sarana untuk mencapai keadilan, sebuah
negara hukum harus mampu merumuskan konsep hukumnya dalam suatu afirmasi
yang bersifat konstitusional.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 secara
tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga negara
Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya…”, (seperti dikutip dalam
Dila Candra Kirana, 2012: 30). Selain itu Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”. Afirmasi hukum yang ideal tersebut terkesan utopis
karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan konsisten dalam penegakan
hukum di Indonesia. Hukum seolah-olah menjadi panggung sandiwara bagi aparat
penegak hukum sehingga upaya mencapai keadilan masih jauh dari harapan dan
cita-cita sebuah negara hukum.
Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 17 secara khusus
mengatur mengenai hak memperoleh keadilan. Pasal 17 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 menentukan bahwa: “Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan,
baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.”
Dalam penulisan makalah ini penulis menjelaskan tentang prinsip-prinsip
keadilan menurut beberapa sumber.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan perumusan masalah sebagai
berikut.
a. Bagaimana prinsip keadilan menurut Aristoteles?
b. Bagaimana prinsip keadilan menurut John Rawls?
c. Bagaimana prinsip keadilan berdasarkan Al-Quran maupun ajaran Islam?
d. Bagaimana prinsip keadilan menurut pimpinan islam maupun pimpinan
negara?
e. Bagaimana prinsip keadilan berdasarkan Al Kitab?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan masalah pada
makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan menurut Aristoteles.
b. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan menurut John Rawls.
c. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan berdasarkan Al-Quran
maupun ajaran Islam.
d. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan menurut pimpinan islam
maupun pimpinan negara.
e. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan berdasarkan Al Kitab.
BAB 2
BAHASAN
2. Keadilan Distributif
Pengertian keadilan distributif adalah perlakuan kepada seseorang sesuai
dengan jasa-jasa yang telah dilakukan. Contoh keadilan distributif adalah
seorang pekerja bangunan yang diberi gaji sesuai atas hasil yang telah
dikerjakan seperti :
- Pemberian nilai pada mahasiswa sesuai prestasi yang telah dicapai selama
satu semester
- Seorang karyawan kantor digaji setiap bulannya sesuai apa yang telah ia
kerjakan di dalam perusahaan.
3. Keadilan Kodrat Alam
Pengertian keadilan kodrat alam adalah perlakukan kepada seseorang
yang sesuai dengan hukum alam. Contoh keadilan kodrat alam adalah seseorang
akan membalas dengan baik apabila seseorang tersebut melakukan hal yang baik
pula kepadanya seperti:
- Perbuatan yang baik atau buruk tentu akan mendapat balasan yang setimpal
sesuai perbuatan itu sendiri. Jadi ketika seseorang berbuat baik kepada orang
lain, maka orang lain juga akan berbuat baik kepadanya.
4. Keadilan Konvensional
Pengertian keadilan konvensional adalah keadilan yang terjadi dimana
seseorang telah mematuhi peraturan perundang-undangan. Contoh keadilan
konvensional adalah seluruh warga negara wajib mematuhi segala peraturan
yang berlaku di negara tersebut seperti:
- Warga negara yang baik taat dan tertib menjalankan peraturan lalu lintas.
- Taat membayar pajak.
- Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
5. Keadilan Perbaikan
Pengertian keadilan perbaikan adalah keadilan yang terjadi dimana
seseorang telah mencemarkan nama baik orang lain. Contoh keadilan perbaikan
adalah seseorang meminta maaf kepada media karna telah mencemarkan nama
baik orang lain seperti:
- Misalnya seseorang memiliki status/keadaan terpidana, namun diberikan
keluasan menjadi orang bebas karena terjadi kesalahpahaman atau
kekeliruan dalam perlakuan hukum.
- Seseorang yang bersalah meminta maaf ke masyarakat karena telah
mencemarkan nama baik tanpa adanya bukti otentik (tidak sesuai dengan
fakta yang ada).
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya
dilakukan pembeda antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat
kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim,
dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas
hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampurkan dengan pembedaan
antara hukum postif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum
adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang
terakhir dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada
komunitas tertentu, sedangkan keputusna serupa yang lain kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum
alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.