Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keadilan telah menjadi pokok pembicaraan serius sejak awal munculnya
filsafat Yunani. Pembicaraan mengenai keadilan memiliki cakupan yang luas,
mulai dari yang bersifat etik, filosofis, hukum, sampai pada keadilan sosial. Banyak
orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak adil tergantung pada kekuasaan
dan kekuatan yang dimiliki. Untuk menjadi adil cukup terlihat mudah. Namun,
tentu saja tidak sama penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan” dalam bahasa Inggris adalah “justice” yang berasal dari
bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” pada teorinya, Aristoteles ini sendiri
mengemukakan keadilan ialah tindakan yang terletak diantara memberikan terlalu
banyak dan juga sedikit yang dapat diartikan ialah memberikan sesuatu kepada
setiap orang sesuai dengan memberi apa yang menjadi haknya
Untuk menggambarkan keadilan juga menggunakan kata-kata yang lain
(sinonim) seperti qisth, hukum, dan sebagainya. Menurut M. Quraish Shihab
mengartikan kata adil :
“Akar kata adl dalam berbagai bentuk konjugatifnya bisa saja kehilangan
kaitannya yang langsung dengan sisi keadilan itu (misalnya “ta‟dilu” dalam arti
mempersekutukan Tuhan dan „adl dalam arti tebusan).”
Demikian pentingnya makna keadilan bagi manusia sehingga
memunculkan konsepsi-konsepsi yang kemudian dipahami sebagai hak yang
melekat pada setiap individu. Dari sinilah kemudian para filsuf dan ahli hukum
tertarik untuk merumuskan makna keadilan yang terus berputar dan tidak pernah
berhenti dengan segala problematikanya.
Keadilan merupakan nilai ideal yang selalu diperjuangkan oleh umat
manusia. Sebagai nilai ideal, cita-cita menggapai keadilan tidak pernah tuntas
dicari, dan tidak pernah selesai dibahas. Keadilan akan menjadi diskursus panjang
dalam sejarah peradaban manusia.
Dalam sebuah negara hukum seperti Indonesia, upaya untuk mencapai
keadilan tidak bisa diabaikan. Negara hukum tidak boleh apatis terhadap
perjuangan dan setiap upaya untuk menegakkan keadilan. Konsepsi tentang
keadilan sangat penting agar sebuah negara hukum menjadi pijakan semua pihak
baik warga negara maupun pemimpin negara sebagai kepastian dalam
menyelesaikan berbagai persoalan hukum yang dihadapi. Sebuah negara hukum
dituntut sebuah konsep keadilan yang dapat menyentuh dan memulihkan berbagai
persoalan hukum untuk memuaskan rasa keadilan semua pihak. Oleh karena itu,
untuk menegaskan kepastiannya sebagai sarana untuk mencapai keadilan, sebuah
negara hukum harus mampu merumuskan konsep hukumnya dalam suatu afirmasi
yang bersifat konstitusional.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 secara
tegas mengatur perihal keadilan di hadapan hukum untuk semua warga negara
Indonesia. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan bahwa “Segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahannya…”, (seperti dikutip dalam
Dila Candra Kirana, 2012: 30). Selain itu Pasal 28D Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 juga menegaskan bahwa “setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama di hadapan hukum”. Afirmasi hukum yang ideal tersebut terkesan utopis
karena belum mampu dilaksanakan secara utuh dan konsisten dalam penegakan
hukum di Indonesia. Hukum seolah-olah menjadi panggung sandiwara bagi aparat
penegak hukum sehingga upaya mencapai keadilan masih jauh dari harapan dan
cita-cita sebuah negara hukum.
Berkaitan dengan cita-cita keadilan dalam sebuah negara hukum, Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 17 secara khusus
mengatur mengenai hak memperoleh keadilan. Pasal 17 Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 menentukan bahwa: “Setiap orang tanpa diskiriminasi, berhak untuk
memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan,
baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui
proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang
menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk
memperoleh putusan yang adil dan benar.”
Dalam penulisan makalah ini penulis menjelaskan tentang prinsip-prinsip
keadilan menurut beberapa sumber.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat disimpulkan perumusan masalah sebagai
berikut.
a. Bagaimana prinsip keadilan menurut Aristoteles?
b. Bagaimana prinsip keadilan menurut John Rawls?
c. Bagaimana prinsip keadilan berdasarkan Al-Quran maupun ajaran Islam?
d. Bagaimana prinsip keadilan menurut pimpinan islam maupun pimpinan
negara?
e. Bagaimana prinsip keadilan berdasarkan Al Kitab?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan masalah pada
makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan menurut Aristoteles.
b. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan menurut John Rawls.
c. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan berdasarkan Al-Quran
maupun ajaran Islam.
d. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan menurut pimpinan islam
maupun pimpinan negara.
e. Pembaca dapat mengetahui prinsip keadilan berdasarkan Al Kitab.
BAB 2
BAHASAN

2.1 Prinsip keadilan menurut Aristoteles


Menurut buku nichomachaean ethics, Aristoteles membuat pembedaan
penting yaitu pembedaan numerik dan pembedaan proposional. Dari pembedaan
ini, Aristoteles menimbulkan kontroversi dan perdebatan mengenai hal tersebut.
Lalu, dia kemudian membedaan keadilan menjadi lima jenis keadilan, yaitu.
1. Keadilan Komunikatif
Pengertian keadilan komunikatif adalah perlakuan kepada seseorang tampa
dengan melihat jasa-jasanya. Contohnya keadilan komunikatif adalah seseorang
yang diberikan sanksi akibat pelanggaran yang dibuatnya tampa melihat jasa
dan kedudukannya seperti:
- Siswa memperoleh hak dan tugasnya sebagai pelajar sama seperti pelajar
lain, tanpa membeda-bedakan kepintaran, baik buruknya maupun kaya atau
miskin.
- Seorang koruptor tetap dikenai sanksi tanpa melihat ia memiliki kedudukan
tinggi dalam negara, baik itu Preseiden, Menteri atau DPR akan tetap
dikenai hukuman yang setimpal sesuai mekanisme hukum yang berlaku.

2. Keadilan Distributif
Pengertian keadilan distributif adalah perlakuan kepada seseorang sesuai
dengan jasa-jasa yang telah dilakukan. Contoh keadilan distributif adalah
seorang pekerja bangunan yang diberi gaji sesuai atas hasil yang telah
dikerjakan seperti :
- Pemberian nilai pada mahasiswa sesuai prestasi yang telah dicapai selama
satu semester
- Seorang karyawan kantor digaji setiap bulannya sesuai apa yang telah ia
kerjakan di dalam perusahaan.
3. Keadilan Kodrat Alam
Pengertian keadilan kodrat alam adalah perlakukan kepada seseorang
yang sesuai dengan hukum alam. Contoh keadilan kodrat alam adalah seseorang
akan membalas dengan baik apabila seseorang tersebut melakukan hal yang baik
pula kepadanya seperti:
- Perbuatan yang baik atau buruk tentu akan mendapat balasan yang setimpal
sesuai perbuatan itu sendiri. Jadi ketika seseorang berbuat baik kepada orang
lain, maka orang lain juga akan berbuat baik kepadanya.
4. Keadilan Konvensional
Pengertian keadilan konvensional adalah keadilan yang terjadi dimana
seseorang telah mematuhi peraturan perundang-undangan. Contoh keadilan
konvensional adalah seluruh warga negara wajib mematuhi segala peraturan
yang berlaku di negara tersebut seperti:
- Warga negara yang baik taat dan tertib menjalankan peraturan lalu lintas.
- Taat membayar pajak.
- Memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP).
5. Keadilan Perbaikan
Pengertian keadilan perbaikan adalah keadilan yang terjadi dimana
seseorang telah mencemarkan nama baik orang lain. Contoh keadilan perbaikan
adalah seseorang meminta maaf kepada media karna telah mencemarkan nama
baik orang lain seperti:
- Misalnya seseorang memiliki status/keadaan terpidana, namun diberikan
keluasan menjadi orang bebas karena terjadi kesalahpahaman atau
kekeliruan dalam perlakuan hukum.
- Seseorang yang bersalah meminta maaf ke masyarakat karena telah
mencemarkan nama baik tanpa adanya bukti otentik (tidak sesuai dengan
fakta yang ada).
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya
dilakukan pembeda antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat
kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim,
dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas
hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampurkan dengan pembedaan
antara hukum postif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum
adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang
terakhir dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada
komunitas tertentu, sedangkan keputusna serupa yang lain kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum
alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.

2.2 Prinsip keadilan menurut John Rawls


John Rawl menyatakan prinsil-prinsip keadilan melalui bukunya yang berjudul
“The Principles of Justice” (Prinsip-Prinsip Keadilan). Prinsip Keadilan Rawls
terdiri dari dua hal yaitu:
1. Each person is to have an equal right to the most extensive total system of equal
basic liberties compatible with a similar system of liberty for all.
2. (a) Social and economic inequalities are to be arranged so that they are to the
greatest benefit of the least advantaged and
(b) Are attached to offices and positions open to all under conditions of fair
equality of opportunity.
Prinsip pertama menyatakan bahwa setiap orang atau warga negara harus
mendapatkan hak yang sama dari keseluruhan sistem sosial dalam mendapatkan
kebebasan paling hakiki yang ditawarkan pada manusia. Kebebasan tersebut
tertuang pada seperangkat hak yang melekat pada tiap individu, seperti hak untuk
menyatakan pendapat, hak untuk berasosiasi, hak untuk ikut serta aktif dalam
sistem politik dan sosial, dan hal tersebut harus berlaku secara sama pada setiap
indivdu. Prinsip pertama ini disebut sebagai prinsip mengenai kebebasan dan hak
dasar manusia yang perlu diperoleh dengan setara pada setiap individu.
Prinsip kedua menyatakan bahwa ketimpangan sosial dan ekonomi diatur
sedemikian rupa agar memberikan keuntungan terbesar bagi kalangan yang paling
tidak beruntung dalam masyarakat. Dengan kehadiran prinsip kedua bagian (a),
maka bagian (b) memberikan kesempatan yang fair pada setiap orang untuk
mendapatkan kesempatan yang sama dalam keseluruhan sistem sosial, politik,
ekonomi. Maka tugas pemerintah, masyarakat, dan individu menjadi mutlak untuk
dijalankan demi memenuhi keseluruhan prinsip tersebut.
Pemikiran Rawls adalah upaya membentuk Justice as Fairness pada
awalnya merupakan bagian dari pemikiran melihat realitas sosial yang terjadi di
dalam masyarakat liberal. Ketimpangan selalu hadir dalam setiap masyarakat,
bahkan masyarakat liberal, sosialis, apalagi dalam masyarakat yang hadir dalam
rezim totalitarian. Perbedaan capaian seorang individu dalam masyarakat maupun
dalam hidupnya sendiri, sangat ditentukan oleh tatanan alamiah yang hadir tanpa
pernah sekalipun individu memilihnya. Terlahir dari golongan masyarakat kaya
atau miskin, secara genetis tampan atau cantik atau tidak, terlahir dengan kulit
berwarna gelap atau tidak merupakan tata alamiah yang tidak dapat dipungkiri
kehadirannya. Kehadiran tata alamiah ini menyebabkan ada ketimpangan dalam
kompetisi sosial, ekonomi, dan politik yang didapatkan oleh individu yang
disebabkan oleh kondisi tersebut.
Apakah seorang anak ahli hukum akan mendapatkan kesempatan dan
potensi yang sama untuk menjadi seorang sarjana hukum dibandingkan dengan
seorang anak petani? Individualisme padahal memberi kesempatan pada individu
sejak lahir untuk hadir dalam kompetisi yang memberikan kesempatan pada setiap
orang untuk berkembang dan berkreativitas tanpa batas. Kompetisi merupakan hal
yang mutlak yang ada dalam pandangan liberalisme. Namun Rawls memandang
bahwa ada yang luput dalam menciptakan kondisi dan sistem kompetisi yang
dihadapi oleh individu untuk mencapai keinginan terdalamnya masing-masing.
Dalam sebuah kompetisi sosial, Rawls menganggap pentingya suatu kondisi awal
yang adil dari sebuah kompetisi. Tatanan alamiah memberikan kondisi pada realitas
sosial dimana ia akan selalu berada dalam kondisi yang plural (berbeda-beda secara
radikal).
Rawls menawarkan konsep apa itu yang dianggap adil. Definisi “adil” oleh
Rawls secara sederhana dijelaskan dalam suatu konsep yang disebut Justice as
Fairness. Artinya, keadilan tidak berarti kemerataan absolut dalam sebuah
masyarakat dengan cara diratakan oleh otoritas yang berdaulat secara penuh.
Keadilan bagi Rawls adalah keadilan yang bijak pada setiap individu dalam kondisi
asli manusia ketika berada dalam satu garis permulaan yang sama dalam sebuah
kompetisi. Keadilan yang setara berarti memberikan kesempatan setara pada setiap
individu untuk memberikan kualifikasi terbaiknya dalam masyarakat untuk
menghasilkan capaian yang terbaik dari sebuah kompetisi.

2.3 Prinsip keadilan berdasarkan Al-Quran maupun ajaran Islam


Keadilan dalam agama Islam menempati posisi yang sangat urgen. Bahkan
keadilan dipandang sebagai persoalan utama yang dirasakan dan disadari manusia
semenjak ia mulai berfikir. Ketentraman dalam kehidupan akan bisa dirasakan jika
terdapat rasa keadilan. Sebaliknya, resah gelisah dan tidak aman akan kalau
sekelilingnya diliputi oleh kezaliman. Sedemikian pentingnya keadilan dalam Islam
hingga al-Qur’an menyatakan bahwa setiap rasul diutus untuk membimbing umat
manusia, tugas utamanya adalah menegakkan keadilan dan menyingkirkan segala
bentuk kezaliman. Keadilan juga merupakan nilai moral yang sangat ditekankan
dalam al Quran, sampai-sampai keadilan juga merupakan salah satu icon dari nama
Allah (al-‘Adl).
Islam melihat subtansi keadilan sosial adalah kebenaran bersumber pada
ketuhanan yang mendapat dukungan umat, baik individu maupun negara. Metode
memperolehnya adalah harus adanya kesesuaian dengan kumpulan wahyu sebagai
sumber kebenaran mutlak, syari’ah Islamiyah, kemudian menimbang baik dan
buruk atas dasar rasional, dan perlu adanya kekuatan yang digunakan untuk
menegakkannya. Keadilan harus terus bergerak secara countinue sampai
menciptakan al-falâh (kesejahteraan) baik duniawi maupun ukhrawi.
Islam menilai keadilan mencakup semua sendi kehidupan manusia. Harus
tereaslisasikan dalam kehidupan individu, sosial, hukum, ekonomi, politik dan
budaya. Bahkan menekanannya pada kehidupan pribadi, baik lahir maupun batin
harus terbangun dan menjadi nyata, sampai pada berbangsa dan bernegara
sekalipun. Dalam kerangka itulah, Tuhan memerintahkan untuk berlaku adil dan
berbuat kebajikan, menyantuni kaum kerabat, melarang berbuat keji, kemungkaran
dan permusuhan. Semua apa yang dilakukan manusia akan dipertanggung-
jawabakan, maka berbuat adil merupakan konsekwensi logis dari ajaran tauhid
dalam Islam.
Basis ideologi bagi konsep keadilan sosial Islam yang telah diuraikan di
atas dapat dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an, Hadist dan tindakan para Sahabat
Nabi, sebagai berikut:
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka,
jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu Makan harta
mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan
memakan) itu, adalah dosa yang besar. (QS. Al-Nisa’ 4: 2)
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak
memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan
apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu Berlaku adil, Kendatipun ia adalah
kerabat(mu), dan penuhilah janji Allah. yang demikian itu diperintahkan Allah
kepadamu agar kamu ingat. (QS. al-An’am 6: 152)
Ketahuilah, Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai
rampasan perang, Maka Sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, Kerabat rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada
Allah dan kepada apa[615] yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)
di hari Furqaan, Yaitu di hari bertemunya dua pasukan. dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. (QS. Al-Anfal 8: 41)
Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-
orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. Al- Taubah 9: 60)
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal
rezki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan
rezki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama
(merasakan) rezki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah. (QS. Al-
Nahl 16:71)

2.4 Prinsip keadilan menurut pimpinan islam maupun pimpinan negara


2.5 Prinsip keadilan berdasarkan Al Kitab
Sepuluh perintah Allah merupakan rangkaian perintah moral dan religius
yang diakui sebagai suatu landasan moral dalam beberapa agama Abrahamik,
termasuk Katolisisme. Menurut deskripsi dalam Kitab
Keluaran dan Ulangan di Perjanjian Lama, Perintah Allah ini merupakan bagian
dari perjanjian yang ditawarkan Allah kepada suku Israel untuk membebaskan
mereka dari perbudakan dosa. Menurut Katekismus Gereja Katolik uraian resmi
dari keyakinan Kristiani Gereja Katolik, perintah Allah ini dipandang penting untuk
pertumbuhan dan kesehatan rohani yang baik, serta berfungsi sebagai
dasar keadilan sosial Katolik.
Sepuluh Perintah Allah menginstruksikan semua orang agar menjalin
hubungan dalam kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama sesuai rangkuman
oleh Yesus dalam dua "Perintah yang Utama". Tiga perintah pertama dari Sepuluh
Perintah Allah menuntut penghormatan terhadap nama Allah, peringatan Hari
Tuhan, dan melarang pemujaan allah lain.Perintah lainnya berkaitan dengan
hubungan antar pribadi manusia, misalnya antara orangtua dan anak; perintah-
perintah lain ini termasuk larangan berbohong, mencuri, membunuh, berzina,
dan keinginan akan hal-hal yang dilarang.
Teks lengkap Sepuluh Perintah Allah beserta penjelasannya terdapat
dalam Katekismus Gereja Katolik seksi 2052 - 2552. Buku Puji
Syukur mencantumkan teks dekalog secara ringkas:
1. Akulah Tuhan, Allahmu, Jangan menyembah berhala, berbaktilah kepada-
Ku saja, dan cintailah Aku lebih dari segala sesuatu.
2. Jangan menyebut Nama Tuhan Allahmu dengan tidak hormat.
3. Kuduskanlah hari Tuhan.
4. Hormatilah ibu-bapamu.
5. Jangan membunuh.
6. Jangan berzinah.
7. Jangan mencuri.
8. Jangan bersaksi dusta tentang sesamamu.
9. Jangan mengingini istri sesamamu.
10. Jangan mengingini milik sesamamu secara tidak adil.
Pembahasan keadilan sosial yang dibicarakan berhubungan dengan firman
ke-7, ke-8, dan ke-10 dari 10 Perintah Allah: Jangan mencuri, Jangan bersaksi
dusta terhadap saudaramu, Jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara
tidak adil. Jelaslah bahwa larangan-larangan itu semua berhubungan dengan hal-
hal yang menyangkut hidup sosial. Rumus firman ke-7 memang secara harfiah
sama seperti Kel 20:15 dan Ul 5:19, “Jangan mencuri”. Tetapi yang dimaksud
dalam Kitab Suci barangkali: Jangan mencuri orang. Jangan menculik orang dan
kemudian menjual dia sebagai budak, sebagaimana dengan jelas dikatakan dalam
Kel 21:16, “Yang menculik seorang manusia, entah sudah menjualnya entah masih
memilikinya, harus mati”. Menculik dianggap sama dengan membunuh. Merampas
kebebasan seseorang sama dengan mengambil hidupnya. Kendati perbudakan
cukup umum dalam masyarakat kuno, tradisi Israel mengecamnya.
Firman ke-10 biasanya dihubungkan langsung dengan firman ke-7: “Jangan
mencuri dan jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara tidak adil.” Tetapi,
sebagaimana perintah ke-7 dalam Perjanjian Lama mempunyai arti yang lebih
khusus, begitu juga perintah ke-10. Pertama-tama perintah ini melarang orang
“mengingini” rumah sesama (Kel 20:17), yakni memakai macam-macam siasat
guna memperoleh pusaka sesama, tanahnya, rumah dan segala isinya, termasuk
istrinya! “Menculik” adalah ketidakadilan terhadap pribadi sesama, “mengingini
milik pusakanya” juga merupakan tindakan yang tidak adil karena merongrong
hidup sesama, biarpun secara tidak langsung.
Firman ke-8 dikatakan, “Jangan bersaksi dusta”. sebab semula perintah ini
menyangkut kesaksian di pengadilan. Dengan kesaksian palsu orang dicelakakan,
karena ia dihukum tidak adil (mungkin malah dihukum mati) dan tata keadilan
dijungkirbalikkan. Sebetulnya masalahnya bukan “bohong”, melainkan tidak
adanya lagi kepastian hukum yang dapat diandalkan. Maka, dikatakan dalam Kel
23:1-3.6-8:
“Jangan menyebarkan kabar bohong!
Jangan memihak si jahat dengan memberi kesaksian salah!
Jangan membiarkan diri diseret ke dalam kejahatan oleh massa!
Jangan, kalau memberi kesaksian dalam pengadilan,
bersekongkol dengan orang kebanyakan untuk membelokkan keadilan!
Jangan berat-sebelah terhadap orang kecil dalam pengadilan!
Jangan merampas hak orang miskin di pengadilan!
Jauhilah penipuan!
Jangan membunuh orang baik dan benar! Jangan menerima suap!”

Anda mungkin juga menyukai