Anda di halaman 1dari 6

MENCARI KEADILAN DALAM HUKUM

Muhammad Alwi Khoiri Ramdani


NIM. 1143050106
Ilmu Hukum 7C - Kelompok 9

A. Pendahuluan
Hukum selalu melekat pada kehidupan manusia sebagai individu maupun
masyarakat; dalam istilah lain disebut ubi societas ibi ius. Keberadaan hukum
dalam kehidupan manusia bukan sekedar kumpulan norma yang mengatur dan
menertibkan tingkah laku manusia (social control), menyelesaikan sengketa
(dispute settlement), atau sekedar alat rekayasa sosial (social engginering)1
melainkan jauh lebih besar daripada itu, yakni untuk menjamin terwujudnya suatu
keadilan di masyarakat.
Keadilan wajib ditegakan. Tanpa keadilan, manusia sebagai x yang
berakal akan kembali kepada genus (jenis) umumnya yaitu hewan2 yang bersikap
buas. Maka siapa yang kuat dialah yang menang. Pada praktik sehari-hari istilah
keadilan selalu dipertentangkan dengan ketidakadilan. Sebagai contoh dalam
putusan hakim, keadilan selalu dianggap hadir bagi kubu yang menang dalam
perkara dan kubu yang kalah merasa mendapatkan ketidakadilan meskipun pada
kepala putusan bertuliskan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”. Meskipun melahirkan keadilan yang multiprespektif, tetap saja
putusan demikian dianggap adil karena telah menggali dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Keadilan berasal dari kata adil yang berarti sama berat, tidak berat sebelah,
tidak memihak, sepatutnya, tidak sewenang-wenang.3 Pengertian lain
menyebutkan bahwa keadilan adalah kebenaran atau sikap dan karakter yang
memenuhi/ mematuhi hukum (law-abiding)4. Berdasarkan pengertian diatas,

1
Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, Bandung, Pustaka Setia, 2012, hlm. 55.
2
Mundiri, Logika, Semarang, Raja Grafindo Persada, 2017, hlm. 29
3
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta,
2008, hlm. 12
4
Inge Dwisvimiar, Keadilan dalam Prespektif Filsafat Ilmu Hukum, Makalah, Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa, hlm. 2.

1
dipahami bahwa penerapan keadilan merupakan suatu upaya pembagian atau
distribusi sumber daya segala sesuatu; baik berwujud maupun tidak berwujud
pada objek-objek tertentu sesuai dengan ketentuan norma.
Pembagian sumber daya (mencari keadilan) dalam praktiknya selalu
mengandung suatu kompleksitas, karena didalamnya terjadi pergulatan
kepentingan dan perbedaan prespektif dalam memaknai keadilan itu sendiri. Guna
mempersempit ruang kontradiksi penilaian keadilan dengan ketidakadilan, maka
hukum dengan berbagai fungsinya harus menelaah konsepsi keadilan secara jelas
dan utuh.

B. Konsepsi Keadilan dalam Hukum


Keadilan menjadi hal yang utama dalam pemikiran Hukum Kodrat pada
masa Yunani Kuno, dengan peletaknya yaitu Aristoteles. Hal ini dikarenakan pada
saat itu, sudah terdapat gagasan umum tentang apa yang adil menurut kodratnya
dan apa yang adil itu harus sesuai atau menurut keberlakuan hukumnya.5
Proses pembagian sumber daya (upaya mencari keadilan) menurut
Aristoteles dapat dilakukan melalui dua jalan yaitu: Pertama, membagi setiap
orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan (keadilan
komutatif). Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan (equality) bagi
seluruh subjek dalam memperoleh sumber daya tanpa memperhitungkan
jasa/aktifitas subjek. Kedua, membagi setiap orang jatah menurut jasa/aktifitas
subjek (keadilan distributif). Artinya hukum tidak menuntut adanya suatu
persamaan (equality) dalam memperoleh sumber daya. Melainkan kesebandingan
berdasarkan jasa/aktifitas subjek (proporsional).6
Selain itu, Aristoteles membedakan antara keadilan menurut hukum dan
keadilan menurut alam, atau antara hukum positif dengan hukum alam. Keadilan
yang pertama mendapat kekuasaannya dari apa yang ditetapkan sebagai hukum,

5
Made Subawa, Pemikiran Filsafat Hukum Dalam Membentuk Hukum, Sarathi : Kajian
Teori Dan Masalah Sosial Politik, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Denpasar, Vol. 14 (3), 2007,
hlm. 244-245.
6
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, edisi ketiga, Bogor, Ghalia Indonesia, 2011, hlm.
85

2
apakah adil atau tidak; keadilan yang kedua mendapat kekuasaannya dari apa
yang menjadi sifat dasar manusia, yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.7
Berdasarkan bentuknya, keadilan dibagi menjadi keadilan abstrak dan
kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan memerlukan banyak paksaan
dalam penerapannya terhadap masalah individu. Sedangkan kepatutan
mengurangi dan menguji paksaan tersebut, dengan mempertimbangkan hak yang
bersifat individual. Semua pembahasan masalah mengenai kepatutan, ketepatan
interpretasi terhadap undang-undang atau preseden, bermula dari pernyataan
terhadap masalah yang fundamental.8
Pada Abad Modern muncul John Borden Rawls. Ia berpendapat bahwa
keadilan berupa setiap orang hendaknya memiliki hak yang sama untuk
mendapatkan kebebasan dasar (basic liberties); dan perbedaan sosial dan ekonomi
hendaknya dibagi sedemikian rupa sehingga memberi manfaat yang besar bagi
mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung. Sedangkan dalam pengisian
jabatan atau kedudukan, harus dilakukan secara terbuka bagi semua orang
berdasarkan persamaan kesempatan yang layak. Paparan diatas menunjukan
bahwa Rawls memandang keadilan sebagai fairness.9
Teori Keadilan Rawls didasarkan atas dua prinsip yaitu melihat tentang
Equal Right dan Economic Equality.10 Equal Right akan bekerja jika basic right
tidak ada yang dicabut (tidak ada pelanggaran hak asasi manusia) dan
meningkatkan ekspektasi mereka yang kurang beruntung. Teori ini menekankan
pada pemenuhan hak dasar semua orang sehingga prinsip ketidaksetaraan dapat
dijalankan, dengan kata lain ketidaksetaraan secara ekonomi akan valid jika tidak
merampas hak dasar manusia.
Dalam hubungannya dengan filsafat hukum, keadilan diwujudkan melalui
hukum sehingga dapat disimpulkan bahwa hukum yang mewujudkan keadilan itu
mutlak perlu dalam kehidupan manusia. Tanpa hukum kehidupan manusia

7
Inge Dwisvimiar, Op.Cit, hlm. 6
8
Ibid.
9
Ibid, hlm. 7
10
Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, melalui (http://www. file://localhost/D:/Filsafat
Manusia), diakses tanggal 29 Oktober 2010.

3
menjadi kacau dan akan kehilangan kemungkinan untuk berkembang secara
manusiawi.11
Hukum dipandang sebagai pusat kajian yang merupakan suatu kepastian dan
ketetapan. Keadilan masih identik dengan perintah dan kewenangan. berdasarkan
uraian di atas jelaslah bahwa untuk dapat melihat adanya gambaran keadilan
terdapat ukuran tersendiri yang dapat mengukurnya. Bersandar pada gambaran
itulah maka penulis mengambil kesimpulan bahwa keadilan dalam hukum terbagi
pada 2 (dua) hal yakni keadilan menurut perundang-undangan (legal justice) atau
keadilan dalam praktek (practical justice).
Memaknai keadilan dalam hukum, maka harus merujuk pada tujuan hukum
itu sendiri yang antara lain mengarahkan pada kemanfaatan dan kepastian hukum.
Keadilan memang tidak secara tersurat tertulis dalam teks tersebut tetapi pembuat
undang-undang telah memandang dalam pembuatan produk perundang-
undangannya didasarkan pada keadilan yang merupakan bagian dari tujuan
hukum itu sendiri, seperti ada dalam teori etis bahwa tujuan hukum semata-mata
untuk mewujudkan keadilan (justice).
Pada realisasinya, makna keadilan acapkali menjadi tidak sama karena
mempunyai perspektif yang berbeda. Kendati demikian, dipahami bahwa keadilan
diwujudkan melalui hukum yang pasti dan tetap. Maka harus ada ukuran terhadap
pemaknaan keadilan itu sendiri. Yaitu:12
1. Keadilan dimaknai sebagai kehendak (will) dari negara yang dituangkan
dalam suatu norma hukum.
2. Keadilan dimaknai suatu sintesis antara kebebasan individu (liberty)
dengan persamaan (equality).

C. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat dipahami bahwa hukum merupakan sarana
untuk mewujudkan keadilan di masyarakat. Membicarakan keadilan sama halnya

11
Sewu, P. Lindawaty S, Kegunaan Filsafat Hukum Dalam Mengupas Tuntas
Permasalahan Hukum Kontekstual, Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Langlangbuana, Vol. 5 (1), 2006, hlm. 25-38.
12
Efran Helmi Juni, Op.Cit, hlm. 402.

4
dengan membicarakan upaya pembagian atau distribusi sumber daya yang
dilakukan sesuai aturan hukum. Perbedaan konsepsi pembagian sumber daya
inilah yang acapkali melahirkan perdebatan tentang keadilan dengan ketidakadilan
di masyarakat. Demi menjamin persamaan persepsi tentang keadilan, maka
hukum harus memberikan kejelasan dan ketetapan tentang konsepsi keadilan itu
sendiri.
Hukum menjamin terwujudnya keadilan komutatif yang membagi setiap
orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan (keadilan).
Artinya hukum menuntut adanya suatu persamaan (equality) bagi seluruh subjek
dalam memperoleh sumber daya, tanpa memperhitungkan jasa/aktifitas subjek
dalam hal kesempatan, hak dan kewajiban setiap orang. Baik seorang lelaki
maupun perempuan, tua maupun muda, berasal dari suku, agama, ras, dan
golongan apapun memiliki kesempatan yang sama untuk mencari penghidupan
dan pekerjaan. Memiliki hak yang sama untuk hidup, tidak disiksa, beragama dan
berkeluarga. Memiliki kewajiban yang sama untuk menegakan hukum, membayar
pajak dan membela negara.
Serta dalam perolehan hasil dan nilai, hukum menjamin terwujudnya
keadilan distributif. Sehingga membagi setiap orang jatah menurut jasa/aktifitas
subjek. Artinya hukum menuntut adanya pembagian sumber daya berdasarkan
kesebandingan sesuai jasa/aktifitas subjek (proporsional).

D. Daftar Pusataka
Efran Helmi Juni, Filsafat Hukum, Bandung, Pustaka Setia, 2012.
Inge Dwisvimiar, Keadilan dalam Prespektif Filsafat Ilmu Hukum, Makalah,
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Made Subawa, Pemikiran Filsafat Hukum Dalam Membentuk Hukum, Sarathi :
Kajian Teori Dan Masalah Sosial Politik, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia
Denpasar, Vol. 14 (3), 2007.
Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, edisi ketiga, Bogor, Ghalia Indonesia,
2011, hlm. 85
Mundiri, Logika, Semarang, Raja Grafindo Persada, 2017.
Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan Nasional,
Jakarta, 2008.

5
Sewu, P. Lindawaty S, Kegunaan Filsafat Hukum Dalam Mengupas Tuntas
Permasalahan Hukum Kontekstual, Wacana Paramarta: Jurnal Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Langlangbuana, Vol. 5 (1), 2006.
Wibowo, Teori Keadilan John Rawls, melalui (http://www.
file://localhost/D:/Filsafat Manusia), diakses tanggal 29 Oktober 2010.

Anda mungkin juga menyukai