Anda di halaman 1dari 8

Tugas Teori Hukum

Nama : Muhammad Agil Al Munawwar


NIM : 2022010461019
A. Kerangka Teori
1. Grand Theory
Teori Keadilan
Dalam mewujudkan tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan perlu digunakan
asas prioritas dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena
dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan dan kepastian
hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar tujuan hukum tersebut, pada
saat terjadi benturan, maka mesti ada yang dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang
digunakan oleh Gustav Radbruch harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut:1
1. Keadilan Hukum
Keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu
sendiri dan juga kemanfaatan hukum. Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih
menjadi perdebatan. Namun keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata
antara hak dan kewajiban. Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan
dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan “rechct ist
wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan).
2. Kemanfaatan Hukum
Penganut aliran utilitas menganggap bahwa tujuan hukum semata-mata untuk
memberikan kemanfaatan atau kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak-
banyaknya warga masyarakat. Penanganannya didasarkan pada filsafat sosial, bahwa
setiap warga masyarakat mencari kebahagiaan, dan hukum merupakan salah satu
alatnya.
3. Kepastian Hukum
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multitafsir) dan logis dalam artian ia menjadi

1
Muhammad Erwin, Filsafat Hukum, Raja Grafindo, Jakarta, 2012, Hlm 123.
suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik norma.

Teori Keberlakuan Hukum


Dalam analisis teori perundang-undangan, maka kajiannya bisa dilihat dari sistem
hukum karena berkaitan dengan berlakunya suatu peraturan hukum. Soerjono Soekanto
menguraikan tiga hal yang mempengaruhi tentang berlakunya hukum yang kemudian
disebut gelding theorie yaitu:2
1. Kaidah hukum yang berlaku secara yuridis
Kaidah hukum tersebut berlaku secara yuridis, tetapi berlakunya suatu aturan hukum
secara yuridis yang diistilahkan oleh Hans Kelsen sebagai aturan yang memiliki
keabsahan, bukan berarti aturan tersebut dengan sendirinya sudah berlaku efektif.
Hans Kelsen membagi keberlakuan hukum menjadi dua bagian yaitu keabsahan dan
efektivitas. Keabsahan hanya dilihat dari aspek prosedural sedangkan efektivitas
melihat dari sisi penerapannya.
2. Kaidah hukum yang berlaku secara filosofis
Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan cita-cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.
3. Kaidah hukum yang berlaku secara sosiologis
Kaidah hukum tersebut berlaku secara sosiologis artinya aturan hukum itu diterima oleh
masyarakat dan dapat berlaku secara efektif, meskipun kaidah tersebut dipaksakan
berlakunya oleh penguasa meskipun tidak diterima oleh masyarakat atau tatanan
hukum itu bersifat represif, atau bisa juga kaidah hukum itu berlaku karena diterima
dan diakui oleh masyarakat.
Sedangkan J.J.H Brugink menjabarkan keberlakuan hukum sebagai berikut:3
a. Keberlakuan faktual atau empiris, yaitu perilaku sebenarnya dari para anggota
masyarakat apakah mematuhi atau tidak mematuhi suatu aturan hukum, termasuk

2
Soerjono Soekanto, Penegakan Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, Hlm 29.
3
J.J.H Brugink, alih bahasa oleh Arief Shidarta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1999, Hlm 147.
juga dalam pengertian ini adalah pejabat hukum yang berwenang menerapkan dan
menegakkan atau tidak suatu aturan hukum tersebut.
b. Keberlakuan normatif atau formal, yaitu keberlakuan yang didasarkan pada
eksistensi dari suatu aturan hukum di dalam suatu aturan (hierarki peraturan).
c. Keberlakuan evaluatif, yaitu keberlakuan suatu aturan hukum itu dari segi isinya,
dipandang benar, bernilai ataupun penting terhadap perilaku sosial masyarakat.

Teori Keadilan Perdata


Konsep keadilan atau kesamaan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam
setiap penyelenggaraan peradilan. Keadilan dalam sistem peradilan perdata dapat
dianalogikan dari teori keadilan menurut Aristoteles. Pendapat Aristoteles ini berkaitan
dengan asas hukum yang bersifat universal yaitu asas kesamaan dengan asas kewibawaan. 4
Keadilan dalam hukum merupakan persamaaan hak dan kewajiban di dalam hukum.
Hak dalam hukum dapat disebut dengan suatu wewenang. Setiap orang memiliki hak yang
sama yaitu memperoleh perlindungan terhadap hukum maupun memperoleh pembelaan di
dalam hukum. Setiap manusia memperoleh hak yang harus terpenuhi. Sedangkan
kewajiban setiap orang adalah taat dan tunduk terhadap hukum yang berlaku di Indonesia,
menjalankan peraturan-peraturan yang ada, dan tidak melanggar aturan tersebut. Antara
hak dan kewajiban orang harus terpenuhi dan harus seimbang sehingga dapat terciptanya
suatu keadilan. Keadilan berfungsi sebagai menjaga dan melindungi setiap hak dan
kewajiban manusia, menciptakan suatu keteraturan dan ketertiban sosial, dan kesejahteraan
sosial.5
Tentang isi dari keadilan itu sendiri sukar untuk diberi batasan, Aristoteles
membedakan keadilan menjadi keadilan komutatif (justitia commutativa) dan keadilan
distributif (justitia distributiva). Keadilan komutatif adalah keadilan yang mempersamakan
prestasi dengan kontra prestasi, keadilan komutatif ini sifatnya mutlak karena
memperhatikan kesamaan dengan memberi kepada setiap orang sama banyaknya.
Dikatakan adil apabila setiap orang diperlakukan sama tanpa memandang kedudukan dan

4
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Konsep Keadilan Dalam Sistem Peradilan Perdata, Mimbar
Hukum, Vol. 21, No. 2, Juni 2009, Hlm 365.
5
Kania Dewi Andhika Putri, Ridwan Arifin, Tinjauan Teoritis Keadilan dan Kepastian dalam
Hukum di Indonesia, Vol 2 No. 2 Desember 2018, Hlm 149.
sebagainya. Asas mengadili tanpa membedakan orang pada dasarnya lebih dikenal dalam
hukum acara perdata. Keadilan distributif (justitia distributiva), yaitu keadilan berupa
setiap orang mendapat hak/bagian secara proporsional sesuai dengan kualitasnya. Keadilan
distributif ini sifatnya proporsional karena menuntut agar setiap orang mendapat apa yang
menjadi hak atau bagiannya.6

2. Middle Range Theory


Teori Peran
Peran diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang
berkedudukan dimasyarakat. Kedudukan dalam hal ini diharapkan sebagai posisi tertentu
di dalam masyarakat yang mungkin tinggi. Sedang-sedang saja atau rendah. Kedudukan
adalah suatu wadah yang isinya adalah hak dan kewajiban tertentu.sedangkan hak dan
kewajiban tersebut dapat dikatakan sebagai peran.oleh karena itu, maka seseorang yang
mempunyai kedudukan tertentu dapat dikatakan sebagai pemegang peran (role accupant).
Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan
kewajiban adalah beban atau tugas.7
Menurut Soerjono Soekanto, peran merupakan aspek dinamis kedudukan (status),
apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya,
maka ia menjalankan suatu peranan.8
Jenis-jenis Peran adalah sebagai berikut:9
a. Peran Normatif, merupakan peran yang dilakukan oleh seseorang atau
lembaga yang berdasarkan pada norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat;
b. Peran Ideal, merupakan peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga
yang berdasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang berkedudukan dalam suatu
sistem;

6
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Op.Cit, Hlm 365.
7
R. Sutyatno Bakir, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karisma Publishing Group, Tangerang,
Hlm 348.
8
Soerjono Soekanto, Teori Peranan, Bumi Aksara, Jakarta, 2002, Hlm 243.
9
Ibid, Hlm 243.
c. Peran Faktual, merupakan peran yang dilakukan seseorang atau lembaga yang
berdasarkan pada kenyataan secara konkrit di lapangan atau kehidupan sosial
yang terjadi secara nyata.
Berdasarkan hal-hal diatas, peran yang akan digunakan dalam penulisan tesis ini
hanya menggunakan peran Normatif dan peran faktual dan apabila dihubungkan dengan
peran Debitur dan Kreditur terhadap Fasilitas pembiayaan ini terhadap akad dan Hak
Tanggungan, dikarenakan antara debitur dan kreditur memiliki peran masing masing
terhadap Hak dan Tanggung Jawabnya dalam melaksanakan suatu perjanjian, dan antara
debitur dan kreditur ini juga dibatasi dengan aturan aturan yang tertulis, dan tentunya
disepakatin oleh kedua pihak
Teori Pengawasan
Pengawasan sebagaimana dimaksud oleh Philipus M. Hadjon di dalam praktek
merupakan syarat dimungkinkannya pengenaan sanksi, sekaligus menurut pengalaman dan
pelaksanaan dari pengawasan itu sendiri telah mendukung penegakan hukum. 10 Perbedaan
antara sanksi administrasi dan sanksi pidana dapat dilihat dari tujuan penggunaan sanksi itu
sendiri. Sanksi administrasi ditujukan kepada perbuatan pelanggarannya, sedangkan sanksi
pidana ditujukan kepada si pelanggar dengan memberikan hukuman berupa nestapa. Sanksi
administrasi dilakukan agar perbuatan pelanggaran itu dihentikan. Sifat sanksi adalah
reparatoir, artinya memulihkan pada keadaan semula. Disamping itu perbedaan antara
sanksi pidana dan sanksi administrasi ialah tindakan penegakan hukumnya. Sanksi
administrasi diterapkan oleh Pejabat Tata Usaha Negara tanpa harus melalui proses
peradilan, sedangkan sanksi pidana hanya dapat dijatuhkan oleh hakim pidana melalui
proses peradilan.11

Peraturan OJK Nomor:15/POJK.03/2017 Tentang Penetapan Status dan Tindak


Lanjut Pengawasan Bank Umum, dan Peraturan OJK Nomor: 35/POJK.05/2018
tentang penyelenggaraan Usaha Perusahaan Pembiayaan Bank bagi bank umum, dan
peraturan OJK Nomor:43/POJK.03/2017 tentang Tindak Lanjut Pelaksanaan Pengawasan
Bank, yang menyatakan bahwa bank dalam melaksanakan kegiatan usaha wajib

10
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 2008, Hlm 174
11
Ibid, Hlm 247
berdasarkan pada prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat serta mematuhi
ketentuan peraturan perundang- undangan.

3. Applied Theory
Ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pengikatan Jaminan Hak Tanggungan
dalam pembiayaan
Pengikatan hak tanggungan dalam bank syariah merupakan hubungan hukum
antara nasabah dengan bank syariah. Dalam kaitanya dengan jaminan, bank syariah
mengambil beberapa langkah untuk meyakinkan bahwa modal dan keuntungan yang
akan diperolehnya harus dikembalikan dengan tepat pada waktunya sebagaimana yang
sudah ditetapkan dalam kontrak. Secaraumum hal ini dapat dicapai dengan media garansi
(jaminan) baik dari mudharib atau pihak ketiga. Meskipun hukum Islam tidak
membolehkan memungut jaminan dari mudharib, banksecara umum melakukannya. Rahn
merupakan perjanjian penyerahan barang yang digunakan sebagai agunan untuk
mendapatkan fasilitas pembayaran. Beberapa ulama mendefenisikan rahn sebagai harta
yang oleh pemiliknya digunakan sebagai jaminan utang yang bersifat mengikat. Rahn juga
diartikan sebagai jaminan terhadap utang yang mungkin dijadikan sebagai pembayar
kepada pemberi utang baik seluruhnya atau sebagian apabila pihak yang berutang tidak
mampu melunasinya.
Pada dasarnya pengikatan hak tanggungan pada akan pembiayaan musyarakah di
Bank Syariah tidaklah berbeda dengan pengikatan hak tanggungan pada Bank
Konvensional. Untuk langkah pertama adalah dibuatnya akad / perjanjian induk dimana
dalam hal ini adalah akad pembiayaan musyarakah. Lalu dilanjutkan dengan membuat
Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), setelah dibuatnya APHT maka
selanjutnya APHT tersebut didaftarkan pada Kantor Pertanahan di kabupaten/kota
setempat.

Ketentuan-Ketentuan mengenai Kepastian Hukum Fasilitas Pembiayaan


Musyarakah Dikaitkan Dengan Pengikatan Hak Tanggungan Di Indonesia
Dalam ketentuan Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas
Beserta benda-benda yang berada diatasnya disebutkan bahwa Hak Tanggungan atas
tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak
Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda- benda lain yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor- kreditor lain. Singkatnya hak
tanggungan merupakan hak tambahan yang dibebankan terhadap hak atas tanah yang
dijadikan jaminan utang
Musyarakah merupakan salah satu kontrak yang diterapkan oleh perbankan syariah.
Musyarakah diterapkan melalui mekanisme pembagian keuntungan dan kerugian (profit
loss sharing) diantara para pihak (mitra/syarik) melalui metode profit maupun revenue
sharing. Konsep profit loss sharing)dalam akad musyarakahmerupakan ciri khusus sebagai
pembeda antara aktifitas perbankan syariah dengan perbankan konvensional Dalam hal ini
Bank Syariah dalam Akad pembiayaan musyarakah dan Musyarakah Mutanaqisah
diperbolehkan untuk meminta jaminan kepada nasabah kepada nasabah mitra dalam
menjalankan prinsip kehati- hatiannya.
Buku Standar Produk Musyarakah dan Musyarakah Mutanaqisah angka 17 disebutkan
bahwa jaminan hanya dapat dicairkan apabila pengelola dana terbukti melakukan
pelanggaran atau hal yang telah disepakati bersama. Aturan tersebut menunjukkan bahwa
jaminan atau agunan hanya dapat dicairkan apabila nasabah terbukti melakukan
penyimpangan, pembuktian dapat dilakukan melalui proses di pengadilan bahwa pengelola
dana / nasabah melakukan pelanggaran atas hal yang telah disepakati bersama, namun
apabila gagal bayar yang dilakukan oleh nasabah ternyata disebabkan oleh bisnis nasabah
yang merugi, maka seharusnya bank juga turut menanggung kerugian, melihat dari
konsepdasar musyarakah itu sendiri.
Dengan adanya ketidak pastian akibat pembebanan hak tanggungan terhadap pembiayaan
musyarakah ini menyebabkan nasabah tidak mendapatkan kepastian haknya. Sejatinya
dalam pembiayaan musyarakah nasabah berhak mendapatkan keuntungan maupun kerugian
yang sama- sama dibagi bersama dengan bank. Namun dengan adanya pengikatan hak
tanggungan pada pembiayaan musyarakah ini menyebabkan nasabah tidak mendapatkan
haknya untuk berbagi kerugian dengan bank apabila usaha yang dijalankan oleh nasabah
sedang mengalami kerugian Pembebanan hak tanggungan dalam pembiayaan musyarakah
menyebabkan pembiayaan musyarakah tersebut tidak berkepastian hukum, maka
diperlukannya perubahan terkait dengan peraturan dan perundang-undangan yang terkait
dengan pembiayaan musyarakah dan pembebanan hak tanggungannya. Menurut penulis
perubahan terkait terutama untuk Undang- Undang No 21 Tahun 2008 tentang Bank
Syariah sangatlah diperlukan untuk menjamin kepastian hukum bagi nasabah dari
pembiayaan musyarakah, dimana perlu ditambahkannya aturan mengenai larangan
pembebanan hak tanggungan pada pembiayaan musyarakah, harus ditegaskannya mengenai
jaminan hanya dapat diminta oleh Bank kepada nasabah hanya dalam rangka prinsipkehati-
hatian, dan jaminan hanya dapat cairkan apabila nasabah terbukti melakukan pelanggaran,
bukan dikarenakan nasabah terhambat dalam membayar angsuran, agar dicapainya tujuan
dari konsep awal musyarakah itu sendiri yaitu profit and loss sharing, keuntungan dan
kerugian ditanggung bersama oleh nasabah dan Bank Syariah, dan perubahan ini harus
juga diselaraskan dengan aturan- aturan lain yang terkait dengan

Anda mungkin juga menyukai