Anda di halaman 1dari 17

BAB II

PIDANA MATI DALAM PERSPEKTIF TEORITIS

A. Kerangka Teori
Teori yang dipergunakan untuk menganalis permasalahan dalam
penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum.
Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang
mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya serta teori
“kemanfaatan hukum”, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam
kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim
antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus
yang serupa yang telah diputuskan.
Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin
kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan kemasyarakatan.
Terjadi kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”. Dalam tugas itu
tersimpul dua tugas lain yakni hukum harus menjamin keadilan maupun
hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa
dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua) macam pengertian
“kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam
atau dari hukum.
Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya
hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada
ketentuan- ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat
berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-
undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-
lainan.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-
norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang
yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang
di depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
utility.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian
hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan
hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa
injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras
dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian
kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan
tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap
individu. Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik
yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan
aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar
menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum
yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.

B. Kerangka Konseptual
1. Tujuan Hukum: Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadlian

Penegakan hukum dalam teori hukum yang dikemukan Gustav


Radbruch pada dasarnya harus mencapai tiga hal yaitu kepastian hukum,
kemanfaatan dan keadilan.1 Demi mencapai tiga hal tersebut maka
penegakan hukum seharusnya dirumuskan dalam berbagai kaidah, yang
kemudian diformulasikan ke dalam berbagai undang-undang agar tidak

1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), h. 45.
menyimpang jauh dari usaha-usaha mencapai keadilan yang hakiki demi
kepastian hukum dan kemanfaatan. Undang-undang adalah merupakan
manifestasi kepastian hukum pada dasarnya bertujuan agar terciptanya
predictibility. Hal tersebut dimaksudkan agar, pertama setiap individu
mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa kemanfaatan hukum bagi individu agar
terhindar dari kesewenang-wenangan pemerintah karena adanya aturan
yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.2

Undang-undang dibentuk bukan hanya sebagai instrumen untuk


mewujudkan kepastian hukum, melainkan juga mengandung manfaat
dan untuk mencapai tujuan tertentu (keadilan). Undang-undang
dimaknai bukan hanya instrumen kepastian semata melainkan sebuah
instrumen yang difungsikan untuk mencapai keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum.3

Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan


ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa konkrit. Hukum yang
berlaku pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, hal ini dikenal
juga dengan istilah fiat justitia et pereat mundus (meskipun dunia ini
runtuh hukum harus ditegakkan). Itulah yang diinginkan oleh kepastian
hukum.

Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap


tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat
memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.
Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan
2
Ibid., hal. 158.
3
Ahmad Habibi Maftuhkan ed.all, Keadilan, Kemanfaatan dan Kepastian Hukum
Dalam Putusan Batal Demi Hukum Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Jurnal Verstek, Vo. 2
No. 2 Tahun 2014.
adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat.
Sebaliknya masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan
hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan
bagi masyarakat. Hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum itu
bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Barang
siapa mencuri harus dihukum, dimana setiap orang yang mencuri harus
dihukum, tanpa membeda-bedakan siapa yang mencuri. Kepastian
hukum sangat identik dengan pemahaman positivisme hukum.
Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata
penerapan undang-undang pada peristiwa yang konkrit.4

Keadilan adalah harapan yang harus dipenuhi dalam penegakan


hukum. Berdasarkan karakteristiknya, keadilan bersifat subyektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan. Apabila penegak hukum
menitik beratkan kepada nilai keadilan sedangkan nilai kemanfaatan dan
kepastian hukum dikesampingkan, maka hukum itu tidak dapat berjalan
dengan baik. Demikian pula sebaliknya jika menitik beratkan kepada
nilai kemanfaatan sedangkan kepastian hukum dan keadilan
dikesampingkan, maka hukum itu tidak jalan. Idealnya dalam
menegakkan hukum itu nilai- nilai dasar keadilan yang merupakan nilai
dasar filsafat dan nilai-nilai dasar kemanfaatan merupakan suatu
kesatuan berlaku secara sosiologis, serta nilai dasar kepastian hukum
yang merupakan kesatuan yang secara yuridis harus diterapkan secara
seimbang dalam penegakan hukum.5

4
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001), h. 42-43.
Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang
saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan
Saleh mengemukakan:6 “Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua
tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit
dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih
banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada
kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan
peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi
penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada
kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit,
keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh
mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.

Kemanfaatan dalam penegakan hukum merupakan hal yang tidak bisa


dilepaskan dalam mengukur keberhasilan penegakan hukum di
Indonesia. Menurut aliran Utilitarianisme, penegakan hukum
mempunyai tujuan berdasarkan manfaat tertentu (teori manfaat atau teori
tujuan), dan bukan hanya sekedar membalas perbuatan pembuat pidana,
bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-
tujuan tertentu yang bermanfaat.7

Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness).


Hukum yang baik adalah hukum yang memberikan kebahagiaan bagi
banyak orang. Hal ini dikuatkan dengan pendapat Jeremy Bentham,
bahwa: “Pemidanaan itu harus bersifat spesifik untuk tiap kejahatan dan

5
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001), h. 42-43.
6
Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu, (Jakarta : Diandra Press, 2008), h. 121-122.

7
Syaiful Bakhri, Pidana Denda Dan Korupsi, (Yogyakarta : Total Media, 2009), h. 129.
seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang
dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan
tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan
harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.8
2. Penegakan Hukum
Pasal 1 angka 3 Perubahan Keempat UUD 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aktivitas
dan tindakan masyarakat maupun penyelenggara negara harus
berlandaskan hukum. Agar dapat berfungsi dengan baik, hukum pun
harus dijalankan melalui penegakan hukum, baik dalam arti sempit
maupun arti luas.

Bagir Manan mengungkapkan tentang sendi utama negara


berdasarkan atas hukum adalah bahwa hukum merupakan sumber
tertinggi (supremasi hukum) dalam mengatur dan menentukan
mekanisme hubungan hukum antara negara dan masyarakat yang satu
dengan yang lain. Dalam suatu negara hukum, apabila hukum
tersingkirkan, maka negara tersebut tidak lagi dikatakan sebagai negara
hukum, ia bisa berubah menjadi negara otoriter. Dalam konsep negara
hukum kekuasaan negara dibatasi oleh aturan-aturan yang telah
ditetapkan sehingga menghindari terjadinya tindakan kesewenang-
wenangan.

Frederich Julius Stahl ahli hukum dari Eropa kontinental memberikan


ciri-ciri negara hukum (rechsstaat), setidaknya terdapat empat pondasi
yang harus dimiliki oleh sebuah negara hukum, yaitu: adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia (grondrechten), adanya
pembagian kekuasaan (scheiding van machten), pemerintahan yang
berdasarkan undang-undang (wetmatigheid van bestuur), dan adanya
8
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006), h. 275.
peradilan tata usaha negara (administratieve rechspraak).9

Sementara dalam tradisi Anglo Saxon, seperti diungkapkan oleh


A.V. Dicey, suatu negara hukum dalam pengertian the rule of law
setidaknya harus memiliki tiga karakteristik, yaitu: tegaknya supremasi
hukum (supremacy of law), persamaan di depan hukum (equality
before the law), dan adanya jaminan serta mekanisme perlindungan diri
atas hak (due process of law).10
Penegakan hukum merupakan syarat mutlak bagi upaya penciptaan
Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum dapat ditegakkan,
maka keadilan, ketertiban, kepastian hukum, rasa aman, tenteram dan
kehidupan yang rukun akan dapat diwujudkan. Dari Pasal 27 ayat (1)
UUD 1945 tersebut, tersirat pula bahwa penegakan hukum bukan
semata-mata tugas dari aparat penegak hukum saja, tetapi telah menjadi
kewajiban serta komitmen seluruh komponen bangsa. Komitmen ini
dituntut secara konsisten untuk dapat diimplementasikan, lebih-lebih di
saat bangsa Indonesia berupaya bangkit mengatasi krisis
multidimensional, mengingat peran hukum tidak hanya untuk mengatur
kehidupan masyarakat semata, tetapi juga dalam rangka mengamankan
jalannya pembangunan nasional dan hasil-hasilnya.
Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum dipengaruhi beberapa
faktor, yaitu undang-undang, penegak hukum, sarana atau fasilitas
pendukung, masyarakat, dan kebudayaan.11 Dalam kenyataannya, kelima
faktor tersebut saling berpengaruh, berkaitan, dan saling menentukan

9
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1972), h. 58.
10
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj), (Bandung :
Nusamedia, 2008), h. 262-265.
11
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali, 1983), h. 14.
agar penegakan hukum atas hukuman mati dapat diterima di tengah
masyarakat.
Berbagai kemungkinan dalam realitas hukum bisa saja terjadi,
misalnya, peraturan perundang-undangan sudah memadai, namun
penegak hukum yang tidak profesional mengakibatkan kegagalan.
Kemungkinan lain adalah undang-undang dan penegak hukum sudah
baik, namun sarana atau kesadaran masyarakat kurang, sehingga
penegakan hukum dilaksanakan secara tidak optimal, demikian
seterusnya. Dari kelima faktor penegakan hukum, ternyata faktor
penegak hukum dianggap paling dominan. Penegak hukumlah yang
menjadi operator pelaksanaan hukum. Hermann Mannheim, dalam
bukunya Criminal Justice and Social Reconstruction mengemukakan,
"Betapapun baiknya perangkat perundang-undangan, jika para
penegaknya berwatak buruk maka hasilnya juga akan buruk."12

3. Teori Pemidanaan
Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan
aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori
sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem hukum, terdapat beberapa
teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu :
a. Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan)
Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada
kejahatan itu sendiri untuk menunjukan kejahatan itu sebagai dasar
hubungan yang dianggap sebagai pembalasan terhadap orang yang
melakukan tindak pidana, oleh karena kejahatan itu maka
menimbulkan penderitaan bagi si korban. Jadi dalam teori ini dapat
disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara

12
Andi Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum", Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 23 Juli 1998,
Jakarta, hal.5.
yang bertujuan menderitakan pelaku tindak pidana akibat
perbuatannya, dan dapat menimbulkan rasa puas bagi orang yang
dirugikannya. Bahwa teori absolute ini tidak memikirkan bagaimana
pelaku kejahatan, sedangkan pelaku tindak pidana tersebut juga
sebenarnya memiliki hak untuk di bina agar menjadi manusia yang
berguna sesuai harkat dan martabatnya.13
b. Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan)
Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari
pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana
itu sendiri. Jadi teori ini menyadarkan hukuman pada maksud dan
tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat dari pada
pemidanaan. Teori ini dikenal juga dengan nama teori nisbi yang
menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada maksud dan tujuan
hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman.
c. Teori Kombinasi (Gabungan)
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah
terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan
tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu
adalah tujuan dari pada hukum.
Teori gabungan itu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :

1) Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pembalasan


tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu
dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib
masyarakat;
2) Teori-teori menggabungkan yang menitik beratkan pertahanan
tata tertib masyarakat. Pidana tidak boleh lebih berat dari pada
suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya
13
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
Alumni, 1984), h. 10.
perbuatan yang dilakukan oleh terhukum14
Teori ini merupakan suatu bentuk kombinasi dari teori absolut dan
teori relatif yang menggabungkan sudut pembalasan dan pertahanan
tertib hukum masyarakat yang tidak dapat diabaikan antara satu
dengan yang lainnya.
4. Pidana Mati
Hukuman mati ialah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan
pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat
yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.15 Menurut para
pendukung teori retributif pemberian sanksi pidana terhadap orang yang
telah melakukan tindak pidana itu adil karena akan memperbaiki
keseimbangan moral yang telah dirusak oleh kejahatan. Orang baik akan
berbahagia dan orang jahat akan menderita karena perilakunya yang
jahat. Akan terjadi ketidakseimbangan apabila pelaku kejahatan gagal
mendapatkan penderitaan karena perbuatan jahatnya. Keseimbangan
moral akan tercapai apabila pelaku kejahatan diberi sanksi pidana dan
korban mendapatkan kompensasi.

Sementara itu, menurut para penganjur teori teleologis, sanksi pidana


dapat diberikan untuk memperoleh kemanfaatan. Pemberian sanksi
pidana pelaku kejahatan dapat menjadikannya seorang yang lebih baik
dan sekaligus dapat mencegah penjahat yang potensial agar dunia
menjadi tempat yang lebih baik. Kejahatan dianggap sebagai sakit jiwa
dan dapat disembuhkan dengan obat yang tidak menyenangkan, yaitu
sanksi pidana. Para pemikir teori teleologis menyatakan bahwa subyek
moral harus mempunyai pilihan bahwa tindakannya dapat mempunyai
kemanfaatan maksimum. Kemanfaatan suatu tindakan dapat diukur dari
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana (Bandung:
Alumni, 1984), h. 212
15
E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbitan Universitas, 1968), h. 107.
keberhasilannya menciptakan kebahagiaan atau mengurangi penderitaan
bagi setiap orang.
Selanjutnya, menurut para penganjur teori retributif teleologis, tujuan
pemberian sanksi pidana itu jamak karena berkaitan dengan prinsip-
prinsip teleologis dan retributif dalam suatu kesatuan, oleh karena itu
teori ini juga disebut teori integratif. Teori ini menganjurkan
kemungkinan untuk mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus yaitu
fungsi retributif dan fungsi kemanfaatan, misalnya pencegahan dan
rehabilitasi, yang harus dikombinasikan sebagai target yang diterima
melalui perencanaan dalam memberikan sanksi pidana. Sanksi pidana
harus menjadi sarana untuk mengasimilasikan narapidana agar mereka
dapat kembali dan hidup bersama dengan warga lainnya didalam
masyarakat. Berkaitan hal ini dapat dikatakan bahwa pidana merupakan
suatu seni.

Di antara ketiga teori tersebut, teori integratif mengenai tujuan


pemberian sanksi pidana cocok untuk Indonesia karena sekarang ini
pemberian sanksi pidana sangat rumit sebagai akibat dari upaya-upaya
yang mengarahkan perhatian terhadap faktor-faktor yang berkaitan
dengan HAM dan menjadikan sanksi pidana menjadi operasional dan
fungsional. Pilihan teori integratif mengenai tujuan pemberian sanksi
pidana didasarkan pada beberapa alasan, seperti alasan ideologis,
sosiologis dan yuridis.
5. Sistem Peradilan Pidana

Mengenai pengertian sistem peradilan pidana, Remington dan Ohlin


menyatakan bahwa criminal justice system dapat diartikan sebagai
pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi
peradilan pidana, dan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil
interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan
sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu sendiri
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara
rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu dengan
segala keterbatasannya.16
Michael J. Allen dalam Textbook on Criminal Law, menyatakan
bahwa: criminal justice system is a tool of social control representing
the agglomeration of powers, procedures and sanctions which surround
the criminal law”. Selain itu, menurut Allen, hukum pidana memiliki
peranan penting untuk menetapkan ukuran-ukuran (to set parameters)
berjalannya sistem peradilan pidana.17
Norval Morris, sebagaimana dikutip oleh Mardjono Reksodiputro,
menggambarkan sistem peradilan pidana secara singkat, sebagai suatu
sistem yang bertujuan untuk “menanggulangi kejahatan”, salah satu
usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada
dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya.

Muladi menyatakan bahwa sistem peradilan pidana merupakan suatu


jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai
sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan
substansial ini harus dilihat dari kerangka atau konteks sosial. Sifatnya
yang terlalu formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian
hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan
demikian demi apa yang dikatakan sebagai precise justice, maka ukuran-
ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi oleh asas-asas
keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam

16
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2010), h. 2.

17
Michael J. Allen, Text book on Criminal Law, (London: Blackstone, 1999), h. 2.
penegakan hukum.18

C. Pidana Mati dalam Hukum Islam


Dalam pandangan Abdul Qadir Audah, hukuman adalah pembalasan atas
pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan
masyarakat19. Hukuman pokok yang diajarkan dalam sistem hukum pidana
Islam menurut mayoritas ulama adalah Qishash, yaitu hukuman yang
setimpal dengan apa yang telah dilakukan oleh pelakunya. Umpamanya,
perlakuan terhadap si pembunuh harus harus dibunuh juga, sekalipun tidak
mesti dengan alat atau senjata yang sama. Dengan kata lain dia dibunuh
kalau dia membunuh dan dilukai kalau dia melukai atau menghilangkan
anggota badan orang lain.
Hukuman Qishash ini didasarkan pada ayat Alquran dalam surah Al-
Baqaroh: 178 – 179: bahwa seseorang yang melakukan jarimah
pembunuhan harus dijatuhi hukuman qishash, yaitu hukuman yang serupa,
yakni hukuman mati. Hukuman qishash tersebut dilakukan bertujuan adalah
agar tercipta persamaan keadilan antara yang kuat dengan yang lemah dan
golongan yang banyak dengan yang sedikit. Dari ayat itu juga dipahami
bahwa hukuman mati tersebut dapat tidak dilaksanakan apabila wali
(keluarga) yang terbunuh itu memaafkan pihak yang melakukan
pembunuhan. Dalam keadaan yang demikian bagi pembunuh diwajibkan
memberikan ganti rugi (diyat) kepada keluarga yang terbunuh untuk
ketentuan jumlahnya ditetapkan oleh hukum fiqih, inilah dasar hukum
mengenai jarimah pembunuhan, tentunya semua itu dilaksanakan oleh
putusan hakim.20
18
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), h. 4.
19
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’ al-Jinay al-Islamy, (Beirut: Daar al-Kitab, 1968) h.
58
20
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta,Rineka Cipta,
1992) h. 126.
Dengan ungkapan lain, qishash ialah melakukan tindakan
pembalasan yang sama. Kendatipun demikian, manakala yang membunuh
mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh, yaitu dengan membayar
diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik,
umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh
hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-
nangguhkannya.21
Islam menentukan cara untuk melindungi masyarakat dari kejahatan
pembunuhan, kemudian telah mempertimbang- kan hal-hal yang akan
terjadi dalam kelompok masyarakat. Untuk mengatasi hal-hal yang terjadi
itu, maka ditetapkanlah hukum sebagai sanksinya.
Dalam hukum Islam, ada tiga bentuk pembunuhan. yaitu: Pertama,
Pembunuhan disengaja yaitu seseorang dengan direncanakan
menghilangkan nyawa orang lain. Terhadap jarimah semacam ini, maka
pelaku pembunuhan wajib dibunuh pula. Apabila keluarga korban
memaafkan maka hukuman tidak bisa dijatuhkan, maka kepada
pembunuhnya dikenakan diyat. Kedua, pembunuhan Seperti disengaja yaitu
seseorang dengan maksud bergurau melempar temannya dengan kerikil,
tidak diduga bahwa perbuatannya itu akan mematikan orang lain. Terhadap
jarimah ini tidak diwajibkan qishash tapi wajib membayar denda. Ketiga,
Tidak disengaja membunuh, umpamanya seseorang menembak buruannya
tetapi sasarannya kena kepada manusia . Terhadap jarimah tersebut tidak
wajib qishash tetapi membayar diyat kepada wali korban.
Hukum Islam secara tegas menindak segala bentuk jarimah, siapapun
pelakunya, tetapi di balik itu bahwa syari’at Islam tidak terlepas dari
moralitasnya, yaitu selalu memperhatikan aspek lain di samping prosedur
yang telah ditetapkan, seperti aspek moral, prikemanusiaan dan kehidupan

21
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta,Rineka Cipta,
1992) h. 26.
sosial masyarakat di wilayah kejadian jarimah.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi yang ditulis oleh Hikari Macca Mas Gumay22
Dalam skripsi ini membahas mengenai analisis yuridis terhadap
penundaan pelaksanaan hukuman mati pada warga negara asing dalam
kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang
penundaan eksekusi mati di Indonesia, namun yang membedakan adalah
skripsi ini menjelaskan factor penyebab penundaan eksekusi mati
berdasarkan kasus Mary Jane Fiesta Veloso saja. Sedangkan factor
penyebab penundaan eksekusi mati tidak hanya adanya factor diplomatic.

2. Artikel yang ditulis oleh Inten Kuspitasari, Purwoto dan Umi


Rozah23
Dalam artikel ini membahas tentang peran kejaksaan sebagai eksekutor
pidana mati di Indonesia
Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang praktik
pelaksanaan peranan dan kewenangan jaksa sebagai eksekutor pidana
mati di Indonesia dan alasan dalam praktik tersebut terdapat beberapa
kendala yang menyebabkan terjadinya penundaan eksekusi pidana mati.
Namun yang membedakan adalah jurnal ini hanya membahas tentang
peran kejaksaan sebagai eksekutor.

3. Skripsi yang ditulis oleh Edy Lestari24


22
Hikari Macca Mas Gumay, Analisis Yuridis Terhadap Penundaan Pelaksanaan
Hukuman Mati Pada Warga Negara Asing dalam Kasus Penyalahgunaan Narkotika di
Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Lampung, 2017.
23
Inten Kuspitasari, Purwoto dan Umi Rozah, Peran Kejaksaan Sebagai Eksekutor
Pidana Mati di Indonesia, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana Bali, 2019.
24
Edy Lestari, Penundaan Eksekusi Pidana Mati Warga Negara Asing yang
Melakukan Tindak Pidana Narkotika di Wilayah Hukum di Indonesia, Skripsi Fakultas
Hukum, Universitas Internasional Batam, 2018.
Dalam Skripsi ini membahas tentang penundaan eksekusi terpidana
mati warga negara asing yang melakukan tindak pidana narkotika di
wilayah hukum Indonesia.
Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang
penyebab penundaan eksekusi terpidana mati di Indonesia. Namun, yang
membedakan adalah mengetahui dan memahami korelasi antara
penundaan eksekusi terpidana mati berkewarganegaraan asing dengan
kepentingan negara yang lebih besar dalam hubungan dengan dunia
internasional.

Anda mungkin juga menyukai