A. Kerangka Teori
Teori yang dipergunakan untuk menganalis permasalahan dalam
penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum.
Kepastian Hukum berarti bahwa dengan adanya hukum setiap orang
mengetahui yang mana dan seberapa haknya dan kewajibannya serta teori
“kemanfaatan hukum”, yaitu terciptanya ketertiban dan ketentraman dalam
kehidupan masyarakat, karena adanya hukum tertib (rechtsorde).
Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama
adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan hukum yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
undang-undang melainkan juga adanya konsistensi dalam putusan hakim
antara putusan hakim yang satu dengan putusan hakim lainnya untuk kasus
yang serupa yang telah diputuskan.
Teori kepastian hukum menegaskan bahwa tugas hukum itu menjamin
kepastian hukum dalam hubungan-hubungan pergaulan kemasyarakatan.
Terjadi kepastian yang dicapai “oleh karena hukum”. Dalam tugas itu
tersimpul dua tugas lain yakni hukum harus menjamin keadilan maupun
hukum harus tetap berguna. Akibatnya kadang-kadang yang adil terpaksa
dikorbankan untuk yang berguna. Ada 2 (dua) macam pengertian
“kepastian hukum” yaitu kepastian oleh karena hukum dan kepastian dalam
atau dari hukum.
Kepastian dalam hukum tercapai kalau hukum itu sebanyak-banyaknya
hukum undang-undang dan bahwa dalam undang-undang itu tidak ada
ketentuan- ketentuan yang bertentangan, undang-undang itu dibuat
berdasarkan “rechtswerkelijkheid” (kenyataan hukum) dan dalam undang-
undang tersebut tidak dapat istilah-istilah yang dapat di tafsirkan berlain-
lainan.
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan
menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-
norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang
yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi
individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan
dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat.
Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau
melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang
di depan pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
utility.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian
hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan
hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa
injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras
dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian
kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan
tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian, yaitu
pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui
perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua, berupa
keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena
dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui
apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap
individu. Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-Dogmatik
yang didasarkan pada aliran pemikiran positivistis di dunia hukum, yang
cenderung melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, yang mandiri,
karena bagi penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan
aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain dari sekedar
menjamin terwujudnya kepastian hukum. Kepastian hukum itu diwujudkan
oleh hukum dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum
yang bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan
bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau
kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian.
B. Kerangka Konseptual
1. Tujuan Hukum: Kepastian Hukum, Kemanfaatan dan Keadlian
1
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana, 2009), h. 45.
menyimpang jauh dari usaha-usaha mencapai keadilan yang hakiki demi
kepastian hukum dan kemanfaatan. Undang-undang adalah merupakan
manifestasi kepastian hukum pada dasarnya bertujuan agar terciptanya
predictibility. Hal tersebut dimaksudkan agar, pertama setiap individu
mengetahui perbuatan apa saja yang boleh dilakukan atau tidak boleh
dilakukan, dan kedua berupa kemanfaatan hukum bagi individu agar
terhindar dari kesewenang-wenangan pemerintah karena adanya aturan
yang bersifat umum individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu.2
4
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001), h. 42-43.
Hal menarik yang perlu dicermati apabila terdapat 2 (dua) unsur yang
saling tarik menarik antara Keadilan dan Kepastian Hukum, Roeslan
Saleh mengemukakan:6 “Keadilan dan kepastian hukum merupakan dua
tujuan hukum yang kerap kali tidak sejalan satu sama lain dan sulit
dihindarkan dalam praktik hukum. Suatu peraturan hukum yang lebih
banyak memenuhi tuntutan kepastian hukum, maka semakin besar pada
kemungkinannya aspek keadilan yang terdesak. Ketidaksempurnaan
peraturan hukum ini dalam praktik dapat diatasi dengan jalan memberi
penafsiran atas peraturan hukum tersebut dalam penerapannya pada
kejadian konkrit. Apabila dalam penerapannya dalam kejadian konkrit,
keadilan dan kepastian hukum saling mendesak, maka hakim sejauh
mungkin harus mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum”.
5
Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001), h. 42-43.
6
Bismar Siregar, Kata Hatiku, Tentangmu, (Jakarta : Diandra Press, 2008), h. 121-122.
7
Syaiful Bakhri, Pidana Denda Dan Korupsi, (Yogyakarta : Total Media, 2009), h. 129.
seberapa kerasnya pidana itu tidak boleh melebihi jumlah yang
dibutuhkan untuk mencegah dilakukannya penyerangan-penyerangan
tertentu. Pemidanaan hanya bisa diterima apabila ia memberikan
harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar”.8
2. Penegakan Hukum
Pasal 1 angka 3 Perubahan Keempat UUD 1945 menegaskan bahwa
Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, segala aktivitas
dan tindakan masyarakat maupun penyelenggara negara harus
berlandaskan hukum. Agar dapat berfungsi dengan baik, hukum pun
harus dijalankan melalui penegakan hukum, baik dalam arti sempit
maupun arti luas.
9
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama,
1972), h. 58.
10
A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitutin (terj), (Bandung :
Nusamedia, 2008), h. 262-265.
11
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Rajawali, 1983), h. 14.
agar penegakan hukum atas hukuman mati dapat diterima di tengah
masyarakat.
Berbagai kemungkinan dalam realitas hukum bisa saja terjadi,
misalnya, peraturan perundang-undangan sudah memadai, namun
penegak hukum yang tidak profesional mengakibatkan kegagalan.
Kemungkinan lain adalah undang-undang dan penegak hukum sudah
baik, namun sarana atau kesadaran masyarakat kurang, sehingga
penegakan hukum dilaksanakan secara tidak optimal, demikian
seterusnya. Dari kelima faktor penegakan hukum, ternyata faktor
penegak hukum dianggap paling dominan. Penegak hukumlah yang
menjadi operator pelaksanaan hukum. Hermann Mannheim, dalam
bukunya Criminal Justice and Social Reconstruction mengemukakan,
"Betapapun baiknya perangkat perundang-undangan, jika para
penegaknya berwatak buruk maka hasilnya juga akan buruk."12
3. Teori Pemidanaan
Dijatuhkannya hukuman terhadap pelaku tindak pidana berdasarkan
aturan hukum pidana materil pada dasarnya tidak terlepas dari teori-teori
sistem pemidanaan yang berlaku dalam sistem hukum, terdapat beberapa
teori mengenai sistem pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana yaitu :
a. Teori Absolute atau Vergeldings Theorieen (pembalasan)
Teori ini mengajarkan dasar dari pada pemidanaan harus dicari pada
kejahatan itu sendiri untuk menunjukan kejahatan itu sebagai dasar
hubungan yang dianggap sebagai pembalasan terhadap orang yang
melakukan tindak pidana, oleh karena kejahatan itu maka
menimbulkan penderitaan bagi si korban. Jadi dalam teori ini dapat
disimpulkan sebagai bentuk pembalasan yang diberikan oleh negara
12
Andi Hamzah, "Reformasi Penegakan Hukum", Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, 23 Juli 1998,
Jakarta, hal.5.
yang bertujuan menderitakan pelaku tindak pidana akibat
perbuatannya, dan dapat menimbulkan rasa puas bagi orang yang
dirugikannya. Bahwa teori absolute ini tidak memikirkan bagaimana
pelaku kejahatan, sedangkan pelaku tindak pidana tersebut juga
sebenarnya memiliki hak untuk di bina agar menjadi manusia yang
berguna sesuai harkat dan martabatnya.13
b. Teori Relative atau Doel Theorieen (maksud dan tujuan)
Dalam teori ini yang dianggap sebagai dasar hukum dari
pemidanaan adalah bukan pembalasan, akan tetapi tujuan dari pidana
itu sendiri. Jadi teori ini menyadarkan hukuman pada maksud dan
tujuan pemidanaan itu, artinya teori ini mencari manfaat dari pada
pemidanaan. Teori ini dikenal juga dengan nama teori nisbi yang
menjadikan dasar penjatuhan hukuman pada maksud dan tujuan
hukuman sehingga ditemukan manfaat dari suatu penghukuman.
c. Teori Kombinasi (Gabungan)
Menurut ajaran teori ini dasar hukum dari pemidanaan adalah
terletak pada kejahatan itu sendiri, yaitu pembalasan atau siksaan, akan
tetapi di samping itu diakuinya pula sebagai dasar pemidanaan itu
adalah tujuan dari pada hukum.
Teori gabungan itu dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :
16
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana,
2010), h. 2.
17
Michael J. Allen, Text book on Criminal Law, (London: Blackstone, 1999), h. 2.
penegakan hukum.18
21
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam (Jakarta,Rineka Cipta,
1992) h. 26.
sosial masyarakat di wilayah kejadian jarimah.
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Skripsi yang ditulis oleh Hikari Macca Mas Gumay22
Dalam skripsi ini membahas mengenai analisis yuridis terhadap
penundaan pelaksanaan hukuman mati pada warga negara asing dalam
kasus penyalahgunaan narkotika di Indonesia.
Persamaannya dengan penelitian ini adalah membahas tentang
penundaan eksekusi mati di Indonesia, namun yang membedakan adalah
skripsi ini menjelaskan factor penyebab penundaan eksekusi mati
berdasarkan kasus Mary Jane Fiesta Veloso saja. Sedangkan factor
penyebab penundaan eksekusi mati tidak hanya adanya factor diplomatic.