Anda di halaman 1dari 15

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG EKSEKUSI MATI DI INDONESIA

A. Eksekusi Pidana Mati di Indonesia

Berdasarkan ketentuan Pasal 270 KUHAP dapat diketahui bahwa pelaksanaan


putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa,
yang untuk itu panitera mengirimkan salinan surat putusan kepadanya. Dalam
pengertian yuridis, putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap berarti, a) apabila terdakwa atau penuntut umum menerima putusan yang
dijatuhkan oleh pengadilan negeri; b) apabila batas waktu untuk mengajukan banding
telah lewat; c) apabila permohonan ban- ding dicabut, dan d) apabila terpidana tidak
mengajukan permohonan grasi kepada Presiden (dalam jangka waktu yang sama
seperti pengajuan permohonan banding).

Pasal 11 KUHP menentukan bahwa eksekusi pidana mati, yang dijatuhkan oleh
pengadilan di lingkungan peradilan umum atau peradilan militer, dilakukan dengan
ditembak sampai mati, menurut ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Pnps Tahun
1964. Di dalam penjelasan R. Sugandhi, Pasal 11 KUHP dinyatakan bahwa sebelum
adanya ketentuan-ketentuan dalam UU No. 2 Pnps Tahun 1964, pidana mati
dilaksanakan oleh algojo di tempat penggantungan menggunakan sebuah jerat di
leher terpidana mati dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan serta
menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Tetapi, karena ketentuan ini tidak
sesuai lagi dengan perkembangan serta jiwa revolusi Indonesia maka pelaksanaan
pidana mati itu dilakukan dengan ditembak sampai mati di suatu tempat dalam daerah
hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama.1

Penjelasan R. Sugandhi di atas perlu dilengkapi dengan penjelasan Andi


Hamzah, bahwa cara pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dalam Pasal
11 KUHP, yaitu dengan menggantung terpidana oleh seorang algojo namun dewasa
ini tidak dilaksanakan lagi sebenarnya merupakan suatu sejarah tersendiri.
Pelaksanaan pidana mati dengan menggantung terpidana menurut ketentuan Pasal
11 KUHP itu berlangsung sampai tanggal 8 Maret 1942 ketika Pemerintah Hindia
1
R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981), h. 14
Belanda menyerah kepada Jepang.2

Jepang mengeluarkan suatu peraturan, yaitu Osamu Gunrei No. 1 Tahun 1942,
yang menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan jalan menembak mati
terpidana. Pada waktu pendudukan Belanda sesudah Perang Dunia II usai, berlaku Stb.
No. 123, yang menyatakan pelaksanaan pidana mati dengan ditembak mati. Setelah
Indonesia merdeka dengan UU No. 1 Tahun 1946 yang dikeluarkan oleh RI Yogyakarta,
maka dinyatakan berlaku ialah KUHP. Jadi, dengan sendirinya berlaku Pasal 11 KUHP
tersebut yang menyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan cara digantung.

Berdasarkan UU No. 73 Tahun 1958, UU No. 1 Tahun 1946 dinyatakan berlaku


untuk seluruh wilayah Indonesia. Jadi, sejak 29 September 1958 pidana mati
seharusnya dilaksanakan dengan cara digantung menurut Pasal 11 KUHP. Tetapi
sejak saat pelaksanaan pidana mati terhadap pelaku peristiwa Cikini tahun 1958,
pidana mati dijalankan dengan cara ditembak. Begitu pula terhadap Kartosuwirjo
dan Dr. Soumokil. Baru pada tahun 1964 dengan Penetapan Presiden No. 2 Tahun
1964, dikeluarkan peraturan tentang tata cara pelaksanaan pidana mati yang
dijatuhkan di lingkungan peradilan umum dan militer yang dilakukan dengan
ditembak mati. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai
Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang, Penetapan
Presiden No. 2 Tahun 1964 dinyatakan menjadi UU No. 2 Pnps Tahun 1964.

Pasal 271 KUHAP menentukan bahwa dalam hal pidana mati pelaksanaannya
dilakukan tidak di muka umum dan menurut ketentuan Undang- Undang. Bertolak
dari ketentuan Pasal 271 KUHAP tersebut, Leden Marpaung menjelaskan bahwa adanya
berita pidana mati pada surat kabar atau warta berita yang dibaca/diketahui
masyarakat tetapi kelanjutan berita tersebut mengenai pelaksanaannya kadang- kadang
setelah bertahun-tahun.3 Hal tersebut bukan disebabkan kemauan aparat atau bukan
karena aparat pelaksana mengalami hambatan tetapi semata- mata karena
prosedur/tata cara pelaksanaan pidana mati harus ditempuh berdasarkan UU
No. 2 Pnps Tahun 1964 dan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi
sebagaimana telah diganti dengan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Permohonan Grasi.
2
Andi Hamzah, KUHP & KUHAP, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 312
3
Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksanaan dan Pengadilan Negeri Upaya
Hukum dan Eksekusi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 217.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1950 tentang Permohonan Grasi, jika
terpidana mati tidak mengajukan grasi maka hakim atau ketua pengadilan negeri,
jaksa atau kepala kejaksaan negeri harus mengajukan permohonan grasi karena
jabatan sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut. Dengan
demikian, meskipun terpidana mati tidak mengajukan grasi, berdasarkan Pasal 13
UU No. 22 Tahun 2002 eksekusi pidana mati belum dapat dilaksanakan sebelum
Keputusan Presiden tentang Penolakan Grasi diterima oleh terpidana mati.

Prosedur eksekusi pidana mati baik yang dijatuhkan oleh pengadilan umum
maupun pengadilan militer harus dilaksanakan sesuai ketentuan UU No. 2 Pnps
Tahun 1964, yaitu eksekusi pidana mati dilaksanakan oleh 12 orang terdiri atas satu
orang perwira, satu orang bintara, dan 10 orang tamtama, di bawah komando seorang
perwira. Jarak antara regu penembak dengan terpidana mati antara lima sampai 10
meter. Hanya satu senapan diisi peluru. Setelah eksekusi seorang dokter melakukan
pemeriksaan untuk memastikan bahwa terdakwa sudah meninggal dan penuntut
umum wajib membuat laporan mengenai eksekusi pidana mati tersebut.

Menurut Lilik Mulyadi, berdasarkan ketentuan Pasal 2 s.d. 16 UU No. 2 Pnps


Tahun 1964 prosedur eksekusi pidana mati adalah sebagai berikut:4
1. Dalam jangka waktu tiga kali 24 empat jam saat pidana mati dilaksanakan
jaksa tinggi/ jaksa yang bersangkutan harus memberita- hukan kepada
terpidana tentang akan dilaksanakan pidana mati tersebut dan apabila
terpidana hendak mengemukakan sesuatu, keterangannya, atau pesannya itu
diterima oleh jaksa tinggi atau jaksa tersebut (Pasal 6 ayat 1 dan 2 UU No. 2
Pnps Tahun 1964).
2. Apabila terpidana sedang hamil, eksekusi pidana mati baru dapat
dilaksanakan empat puluh hari setelah anaknya dilahirkan (Pasal 7 UU No. 2
Pnps Tahun 1964).
3. Tempat pelaksanaan pidana mati ditentukan oleh menteri kehakiman yaitu di
suatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan
dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1UU No. 2 Pnps Tahun 1964).

4
Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana: Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan
Permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), h. 289
4. Kepala kepolisian dari daerah yang bersangkutan bertanggung jawab
mengenai pelaksanaan pidana mati tersebut setelah mendengar nasihat dari
jaksa tinggi/jaksa yang telah melakukan penuntutan pidana mati pada peradilan
tingkat pertama (Pasal 3 dan 4 UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
5. Pelaksanaan pidana mati dilakukan oleh regu penembak yang terdiri atas seorang
bintara, 10 orang tamtama, di bawah pimpinan seorang perwira yang semuanya
dari Brigade Mobile (Pasal 10 ayat 1 UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
6. Kepala Polisi dari daerah yang bersangkutan (atau perwira yang ditunjuk)
dan jaksa tinggi/ jaksa yang bertanggung jawab harus menghadiri
pelaksanaan pidana mati tersebut (Pasal 4 UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
7. Sebelum pelaksanaan pidana mati, maka terpidana dapat disertai rohaniawan
(Pasal 11 ayat 1 UU No.2 Pnps Tahun 1964), kemudian terpidana dapat
menjalani pidana mati secara berdiri, duduk atau berlutut (Pasal 12 ayat 1 UU
No. 2 Tahun 1964) dan eksekusi pidana mati dilaksanakan tidak di muka
umum dan dengan cara sesederhana mungkin kecuali ditetapkan lain oleh
Presiden (Pasal 9 UU No. 2 Pnps Tahun 1964).
8. Penguburan jenazah terpidana diserahkan kepada keluarganya atau sahabat
terpidana kecuali berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang
bersangkutan dapat menentukan lain (Pasal 15 ayat 1 UU No. 2 Pnps Tahun
1964); dan
9. Kemudian setelah eksekusi pidana mati dilaksanakan, jaksa tinggi/jaksa
yang bersangkutan harus membuat berita acara mengenai pelaksanaan pidana
mati dan isi dari berita acara tersebut kemudian harus dicantumkan di
dalam surat keputusan dari pengadilan yang bersangkutan (Pasal 16 ayat 1 dan
2 UU No. 2 Pnps Tahun 1964).

B. Penentuan Masa Tunggu Eksekusi Pada Narapidana Yang Dijatuhi Hukuman


Mati
Eksekusi pidana mati yang dilakukan oleh kejaksaan adalah merupakan
kewenangan yang diberikan oleh negara. Pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan
dalam melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap harus
memperthatikan norma-norma keagamaan, kesusilaan, kesopanan, serta wajib
menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat dan menjaga
kehormatan serta martabat profesinya (Pasal 8 ayat 4 UU Kejaksaan).
Dalam melaksanakan eksekusi pidana mati kejaksaan harus melaksanakannya
dengan prinsip penuh kehati-hatian, ketelitian, dan kecermatan, karena eksekusi pidana
mati mempunyai karakteristik yang berbeda dengan eksekusi putusan pidana penjara
atau seumur hidup, adapun ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai eksekusi
pidana mati yang harus diperhatikan secara cermat dan teliti oleh kejaksaan, yaitu:5
1. Undang-undang No.2/Penpres/1964 yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan
pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum dan
militer, yang dilakukan ditembak sampai mati.
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2010 yang merupakan perubahan atas UU Nomor
22 Tahun 2002 tentang Grasi. UU Grasi ini menjadi pedoman yang harus
diperhatikan oleh kejaksaan sebelum melaksanakan eksekusi pidana mati, karena
adanya hak yang diberikan oleh UU Grasi kepada terpidana mati untuk mengajukan
permohonan grasi kepada presiden.
3. Surat Edaran Jampidum Nomor:B-235/E/3/1994 mengatur mengenai eksekusi
pidana mati yang dijalankan setelah lewat 30 (tiga puluh) hari, terhitung mulai hari
berikutnya keputusan tidak dapat diubah lagi dan Keputusan Presiden tentang
penolakan grasi sudah diterima oleh Kepala Kejaksaan Negeri.
Namun ketentuan-ketentuan mengenai pelaksanaan pidana mati diatas, pada
prinsipnya tidak mengatur secara spesifik mengenai masa tunggu eksekusi pidana
mati khususnya mengenai jangka waktu pelaksanaannya.
Masa tunggu eksekusi pidana mati yang belum diatur secara tegas dan pasti
mengenai jangka waktunya baik pada fase pemenuhan hak-hak terpidana mati maupun
pada fase pasca penolakan grasi oleh Presiden, mencerminkan tidak adanya
kepastian hukum dalam proses penegakan hukum pidana. Jan M. Otto sebagaimana
dikutip oleh Shidarta menyatakan bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu

5
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati Dalam
Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta :Pustaka Reka Cipta,
2018), h. 231.
mensyaratkan:6

1. Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah
diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara.

2. Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintah) menerapkan aturan-aturan hukum


secara konsisten dan juga tunduk serta taat kepadanya.

3. Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu
menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan tersebut.

4. Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan


aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu menyelesaikan sengketa
hukum.

5. Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.


Kelima syarat kepastian hukum yang telah dikemukakan oleh Jan M. Otto
tersebut, menunjukan bahwa kepastian hukum tidak hanya mencakup persoalan yang
berkaitan dengan subtansi hukum saja, melainkan juga termasuk pada pelaksanaan
hukum oleh instansi-instansi negara serta lembaga peradilan.
Berdasarkan pada uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa dengan tidak
adanya pengaturan yang tegas dan pasti mengenai masa tunggu eksekusi pidana mati
khususnya mengenai jangka waktu pelaksanaannya, baik jangka waktu pada fase
pemenuhan hak terpidana mati selama masa tunggu di Lapas, serta pada fase pasca
penolakan grasi oleh Presiden, maka dengan demikian akan mencerminkan tidak
terwujudnya kepastian hukum dalam proses penanganan perkara pidana.
Oleh karena itu, kondisi yang demikian akan mengakibatkan terpidana mati selalu
mengalami tekanan psikis, terlebih pada saat adanya pemberitaan mengenai eksekusi
pidana mati, meskipun hanya pada saat pemberitaan saja.

C. Faktor Penghambat Dalam Melaksanakan Eksekusi Pidana Mati


1. Faktor Hak-Hak Hukum Terpidana Mati
Terpidana mati mempunyai hak yang dilindungi oleh undang- undang untuk
6
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati Dalam
Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta :Pustaka Reka Cipta,
2018), h. 243.
mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dan atau hak mengajukan
permohonan grasi, yang mana dengan adanya dua hal tersebut (peninjauan kembali
dan grasi), menjadi faktor yang menghambat kejaksaan untuk segera melaksanakan
eksekusi hukuman mati.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membatalkan
Pasal 268 ayat (3) KUHAP mengenai pembatasan pengajuan peninjauan kembali
hanya satu kali serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 yang
membatalkan Pasal 7 ayat (2) UU Grasi mengenai pembatasan jangka waktu
mengajukan permohonan grasi paling lama 1 (satu) tahun, akan semakin
menghambat kejaksaan untuk dapat segera mengeksekusi terpidana mati karena
tidak adaya jangka waktu yang pasti untuk mengajukan peninjauan kembali dan atau
grasi.7
2. Faktor Anggaran
Kejaksaan dalam melaksanakan pelaksanaan pidana mati membutuhkan
anggaran yang lumayan besar, yakni 1 (satu) terpidana mati membutuhkan anggaran
kurang lebih Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) jika dilaksanakan di nusa
kambangan cilacap. Anggaran itu nantinya akan dialokasikan untuk biaya
pengamanan selama proses eksekusi yang berkoordinasi dengan pihak kepolisian
setempat, biaya untuk mengahdirkan rohaniawan yang akan memberikan bimbingan
rohani kepada terpidana mati, biaya untuk menyewa ambulan yang nantinya akan
membawa jenazah terpidana mati yang telah di eksekusi, biaya untuk menghadirkan
dokter yang nantinya akan memastikan kematian terpidana mati, biaya pemandian
dan pemakaman jenazah terpidana mati jika disenggelarakan oleh negara, serta
biaya-biaya lainnya yang berkaitan dengan proses eksekusi pidana mati.
Kejaksaan melalui jampidum telah menyusun draf Standar Operasional Prosedur
(S.O.P) Pelaksanaan Pidana Mati yang memang belum diberlakukan secara resmi,
namun S.O.P ini telah dijadikan sebagai pedoman dalam pelaksanaan eksekusi
pidana mati jilid I, II, dan III. Penyusunan S.O.P pelaksanaan pidana mati
ditujukan untuk mengantisipasi faktor-faktor yang menghambat eksekusi pidana

7
Djernih Sitanggang, Kepastian Hukum Masa Tunggu Eksekusi Pidana Mati Dalam
Mewujudkan Rasa Keadilan Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, (Jakarta :Pustaka Reka Cipta,
2018), h. 252.
mati.
S.O.P pelaksanaan pidana mati ini sebagai komitmen kejaksaan untuk segera
menyelesaikan persoalan pelaksanaan eksekusi pidana mati yang ditunjukan dengan
proaktif menginventarisasi kelengkapan administrasi perkara dan mempelajari berkas
perkara, proaktif menemui terpidana mati di Lapas untuk menanyakan apakah yang
bersangkutan/keluarga/penasihat hukum akan menggunakan haknya untuk
mengajukan upaya hukum luar biasa peninjauan kembali dan atau permohonan grasi,
serta memonitor proses upaya hukum luar biasa dan atau grasi yang diajukan oleh
terpidana mati.
S.O.P Pelaksanaan pidana mati menurut penulis, tidak dapat secara efektif
menyelesaikan persoalan mengenai jangka waktu pelaksanaan pidana mati.
Wewenang kejaksaan dalam S.O.P pelaksanaan pidana mati , hanya sebatas
menanyakan kepada terpidana mati untuk menggunakan hak mengajukan upaya
hukum luar biasa dan atau grasi.
S.O.P pelaksaan pidana mati baru efektif manakala terpidana mati tidak
menggunakan hak-haknya, maka kejaksaan baru dapat mengeksekusi. Terpidana mati
yang menggunakan haknya untuk mengajukan upaya hukum luar biasa dan grasi,
maka kejaksaan harus menunda eksekusi sampai adanya putusan penolakan
peninjauan kembali dan atau keputusan mengenai penolakan grasi.
D. Data Kasus Penundaan Eksekusi Mati
Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM
mengeluarkan data rekapitulasi terpidana mati per 9 Oktober 2019 yang memuat 274
orang. 8

8
Napitupulu, Laporan Situasi Kebijakan Hukuman Mati di Indonesia 2019:Mempermainkan Takdir, (Jakarta: ICJR,
2019), h. 12
Adapun dengan data hasil olahan Rekapitulasi Ditjen Permasyarakatan dan
Database ICJR, persebaran usia terpidana mati dari Grafik 3.1. menunjukkan bahwa
secara umum, komposisi mayoritas dari terpidana mati masuk di dalam usia produktif
atau angkatan kerja. Namun, tidak juga sedikit kelompok lansia yang ditemukan
berada dalam masa tunggu eksekusi. Ada 88 terpidana mati berusia berada di dalam
kisaran usia 41-50 tahun, kemudian ada 63 terpidana mati yang berusia diatas 50
tahun.
Fenomena terpidana mati yang berada dalam deret tunggu eksekusi dalam
ketidakpastian merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia lanjutan bagi
terpidana mati. Dalam masa-masa tersebut, tidak jarang ditemukan kisah terpidana
mati yang mengalami trauma psikis yang mengakibatkan penurunan kualitas kesehatan
baik secara fisik maupun kejiwaan. Waktu tunggu yang begitu lama, di satu sisi
menunjukkan bahwa para terpidana sesungguhnya telah mendapatkan penghukuman
yang berat, dengan begitu, terpidana mendapatkan dua kali hukuman yaitu penjara dan
pidana mati.9

9
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di Indonesia,
(Jakarta: ICJR, 2020), h. 22.
Dari Grafik 3.2. dapat terlihat data terpidana mati per April 2020 yang berada
dalam ketidakpastian menunggu eksekusi selama lebih dari 10 tahun mencapai total 60
orang. Bahkan 4 orang diantaranya telah berada dalam tahanan selama lebih dari 20
tahun, kesemuanya berasal dari tindak pidana pembunuhan, bahkan 1 orang
diantaranya telah meninggal dunia pada Agustus 2020.10

10
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di
Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 23.
Dari data Grafik 3.3. bisa dilihat juga perbandingan antara jenis kelamin terpidana
mati berdasarkan jenis kejahatan, dengan catatan 104 terpidana mati Laki-laki dan 1
terpidana mati perempuan tidak dicantumkan di dalam data rekapitulasi jenis kejahatan
apa yang dilakukan. Untuk jenis kelamin perempuan sendiri hanya masuk di dalam
kategori jenis pidana Narkotika dan Pembunuhan. Data perbandingan jenis kejahatan
untuk tindak pidana Narkotika adalah 80 terpidana mati Laki-laki dan 3 terpidana mati
perempuan. Sedangkan untuk perbandingan data pembunuhan adalah 61 terpidana
mati Laki-laki dan 3 terpidana mati perempuan.11
E. Eksekusi Mati Menurut Hukum Pidana Islam
Dalam pandangan Abdul Qadir Audah, hukuman adalah pembalasan atas
pelanggaran perintah syara’ yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat12.
Hukuman pokok yang diajarkan dalam sistem hukum pidana Islam menurut mayoritas
ulama adalah Qishash, yaitu hukuman yang setimpal dengan apa yang telah dilakukan
11
Adhigama Andre Budiman dan Maidina Rahmawati, Fenomena Deret Tunggu Terpidana Mati di
Indonesia, (Jakarta: ICJR, 2020), h. 24.
12
Audah Abdul Qadir, at-Tasyrie’al-Jinaaie al-Islamie, (Beirut: Daar al-kutuub,1968), h. 59
oleh pelakunya. Umpamanya, perlakuan terhadap si pembunuh harus harus dibunuh
juga, sekalipun tidak mesti dengan alat atau senjata yang sama13. Dengan kata lain dia
dibunuh kalau dia membunuh dan dilukai kalau dia melukai atau menghilangkan
anggota badan orang lain.
Hukuman Qishash ini didasarkan pada ayat Alquran dalam surah Al-Baqaroh:
178 – 179: bahwa seseorang yang melakukan jarimah pembunuhan harus dijatuhi
hukuman qishash, yaitu hukuman yang serupa, yakni hukuman mati. Hukuman qishash
tersebut dilakukan bertujuan adalah agar tercipta persamaan keadilan antara yang kuat
dengan yang lemah dan golongan yang banyak dengan yang sedikit. Dari ayat itu juga
dipahami bahwa hukuman mati tersebut dapat tidak dilaksanakan apabila wali
(keluarga) yang terbunuh itu memaafkan pihak yang melakukan pembunuhan. Dalam
keadaan yang demikian bagi pembunuh diwajibkan memberikan ganti rugi (diyat)
kepada keluarga yang terbunuh untuk ketentuan jumlahnya ditetapkan oleh hukum
fiqih, inilah dasar hukum mengenai jarimah pembunuhan, tentunya semua itu
dilaksanakan oleh putusan hakim14.
Dengan ungkapan lain, qishash ialah melakukan tindakan pembalasan yang sama.
Kendatipun demikian, manakala yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris
yang terbunuh, yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat
diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang
membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-
nangguhkannya.15
Islam menentukan cara untuk melindungi masyarakat dari kejahatan pembunuhan,
kemudian telah mempertimbang- kan hal-hal yang akan terjadi dalam kelompok
masyarakat.
Untuk mengatasi hal-hal yang terjadi itu, maka ditetapkanlah hukum sebagai
sanksinya. Dalam hukum Islam, ada tiga bentuk pembunuhan. yaitu: Pertama,
Pembunuhan disengaja yaitu seseorang dengan direncanakan menghilangkan
nyawa orang lain 16. Terhadap jarimah semacam ini, maka pelaku pembunuhan

13
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 24
14
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 126
15
Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam, ( Jakarta : Rineka Cipta, 1992), h. 26
16
Abdurahman al-Jaziri, Fiqh al-Madzahib al-‘Arba’ah, (Beirut : Dar al Fikr, 1964), h. 439
wajib dibunuh pula. Apabila keluarga korban memaafkan maka hukuman tidak bisa
dijatuhkan, maka kepada pembunuhnya dikenakan diyat. Kedua, pembunuhan Seperti
disengaja yaitu seseorang dengan maksud bergurau melempar temannya dengan
kerikil, tidak diduga bahwa perbuatannya itu akan mematikan orang lain 17 .
Terhadap jarimah ini tidak diwajibkan qishash tapi wajib membayar denda. Ketiga,
Tidak disengaja membunuh, umpamanya seseorang menembak buruannya tetapi
sasarannya kena kepada manusia. Terhadap jarimah tersebut tidak wajib qishash tetapi
membayar diyat kepada wali korban.
Hukum Islam secara tegas menindak segala bentuk jarimah, siapapun pelakunya,
tetapi di balik itu bahwa syari’at Islam tidak terlepas dari moralitasnya, yaitu selalu
memperhatikan aspek lain di samping prosedur yang telah ditetapkan, seperti aspek
moral, prikemanusiaan dan kehidupan sosial masyarakat di wilayah kejadian jarimah.
Adapun bentuk jarimah yang dapat dikenakan hukuman mati, adalah sebagai
berikut: Pertama, pembunuhan disengaja. Kedua, Pezina Muhson . Ketiga, Muharib.
Terhadap pelaku jarimah ini dikenakan empat hukuman yaitu hukuman mati biasa,
hukuman mati di salib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang dan diasingkan.
Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah dalam Al-Qur’an (QS. 5 Al-Maidah:
33). Keempat, Murtad. Terhadap pelaku jarimah ini diancam hukuman mati sebagai
hukuman pokok kemudian dirampas harta bendanya sebagai hukuman tambahan.
Firman Allah SWT dalam surah Al- Baqaroh ayat 217.
Hukum Islam menetapkan sanksi hukum mati terhadap pelaku jarimah murtad,
karena perbuatan itu mengarah kepada pencemaran suatu ideologi Islam. Manakala
tidak tegas sanksi hukum terhadap jarimah ini, akan mengakibatkan goyahnya ideologi
di atas. Karena itu pelakunya telah ditetapkan dengan hukuman yang maksimal yaitu
hukuman mati.
Hukuman qishash ini berlaku untuk jarimah pembunuhan sengaja dan
penganiayaan sengaja. Baik dalam pembunuhan maupun penganiayaan korban atau
walinya diberi wewenang untuk memberikan pengampunan terhadap pelaku. Apabila
ada pengampunan maka hukuman qishash menjadi gugur dan diganti dengan hukuman
diat. Qishash adalah hukuman pokok bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran)

17
Abdurahman al-Jaziri, Fiqh al-Madzahib al-‘Arba’ah, (Beirut : Dar al Fikr, 1964), h. 426
jiwa atau anggota badan yang dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai,
menghilangkan anggota badan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai,
menghilangkan anggota badan dengan sengaja. Oleh karena itu, bentuk jarimah ini
ada dua, yaitu pembunuhan sengaja dan penganiayaan sengaja.
Hukuman pokok pada jarimah pembunuhan sengaja adalah qishash, yaitu dibunuh
kembali. Sebagai hukuman pokok, qishash mempunyai hukuman pengganti, yaitu
apabila keluarga korban menghapuskan hukuman pokok ini, qishash pun tidak dapat
dijatuhkan dan digantikan dengan hukuman diat. Diat pun seandainya dimaafkan dapat
dihapuskan dan sebagai penggantinya, hakim dapat menjatuhkan hukuman ta’zir. Jadi
qishash sebagai hukuman pokok mempunyai dua hukuman pengganti, yaitu diat dan
ta’zir.
Terlepas dari itu semua, bahwa baik dalam hukum pidana Indonesia maupun
hukum Islam, hukuman mati itu telah diatur. Kalau hukum pidana Indonesia diatur
dalam berbagai perundang-undangan, maka dalam hukum Islam diatur melalui
Alquran dan hadits, serta ijma dan dipahami melalui berbagai metode. Adapun
mengenai teknis pelaksanaan qishash terjadi perselisihan pendapat ulama. Menurut
Hanafiyah dan pendapat yang shahih dari kelompok Hanabilah, qishash pada jiwa
harus dilaksanakan dengan menggunakan pedang, baik tindak pidana pembunuhannya
dilakukan dengan pedang maupun dengan alat yang lainnya, dan bagaimana cara
bentuk perbuatannya. Hal ini sesuai dengan Sabda Rasullah SAW, yang berbunyi
sebagai berikut: “Tidak ada qishash kecuali dengan pedang”. Kendatipun dalam Islam
pelaku pembunuhan diberi sanksi qishash, namun hukuman qishash dapat gugur
karena beberapa alasan sebagai berikut:
1. Pertama, hilangnya objek qishash. Objek qishash dalam tindak pidana
pembunuhan adalah jiwa (nyawa) pelaku (pembunuh). Apabila objek qishash
tidak ada, karena pelaku meninggal dunia, dengan sendirinya hukuman qishash
menjadi gugur.
2. Kedua, adanya Pengampunan. Pengampunan terhadap qishash dibolehkan
menurut kesepakatan para fuqaha, bahkan lebih utama dibandingkan dengan
pelaksanaannya. Hal ini didasarkan kepada Firman Allah dalam Surah Al-
Baqarah ayat 178.
3. Ketiga, Shulh (Perdamaian). Shulh dalam arti bahasa adalah memutuskan
perselisihan. Dalam istilah syara’, seperti dikemukakan oleh Sayid Sabiq, shulh
adalah sebagai berikut: “Suatu akad (perjanjian) yang menyelesaikan
persengketaan antara dua orang yang bersengketa”. Apabila pengertian tersebut
dikaitkan dengan qishash, shulh berarti perjanjian atau perdamaian antara pihak
wali korban dengan pihak pembunuh untuk membebaskan hukuman qishash
dengan imbalan. Para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya shulh dalam
qishash, sehingga dengan demikian qishash menjadi gugur. Shulh dalam
qishash ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih besar daripada diat, sama
dengan diat, atau lebih kecil daripada diat. Juga boleh dengan cara tunai atau
utang (angsuran), dengan jenis diat atau selain jenis diat, dengan syarat
disetujui (diterima) oleh pelaku.

Anda mungkin juga menyukai