Anda di halaman 1dari 62

HUKUM ACARA PIDANA MILITER

By Mayor Chk Ahmad Makbul, S.Ag, S.H., M.H.

Referensi.

1. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia.


2. UU Nomor : 16/Pnps/1963 tentang Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa.
3. UU Nomor : 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
4. UU Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
5. UU Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor : 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatur :

1. Kekuasaan Peradilan Militer.


2. Kekuasaan Oditurat Militer.
3. Hukum Acara Pidana Militer.
4. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Militer (sekarang dirubah dengan UU
No.35 Tahun 1999).

Pengertian.

Hukum Acara Pidana Militer adalah semua ketentuan yang digunakan atau dijadikan dasar
oleh aparat penegak hukum untuk melaksanakan tugasnya di lingkungan peradilan militer.

Sejarah Peradilan Militer dan Hukum Acara Pidana Militer.

1. Zaman Hindia-Belanda.

Pada zaman Hindia-Belanda sudah ada Peradilan Militer dan yang memiliki hanya
Angkatan Darat dan Angkatan Laut saja. Peradilan Militer pada waktu itu dibagi
dalam dua tingkat, yaitu :

a. Untuk Angkatan Darat.

1) Pengadilan Tingkat I dinamakan Krijgsraad (Krijgs artinya tentara,


sedangkan Raad artinya pengadilan).

2). Pengadilan Tingkat II dinamakan Hoog Militair Gerechtshof


(Pengadilan Banding).

b. Untuk Angkatan Laut.

1) Pengadilan Tingkat I dinamakan Zee Krijgsraad.


2) Pengadilan Tingkat II dinamakan Hoog Militair Gerechtshof.

Kedua lembaga peradilan tersebut masih menggunakan HIR sebagai hukum acara.
2

2. Perkembangan setelah Indonesia Merdeka (17 Agustus 1945).

Setelah Indonesia merdeka kedua lembaga peradilan yang ada pada zaman
Hindia-Belanda tidak berlaku lagi bagi TNI, karena TNI lahir pada tanggal 5
Oktober 1945. Namun ketentuan-ketentuan hukum acara yang ada yaitu HIR
sebagian masih berlaku. Yang menjadi permasalahan mengapa sebagian ketentuan-
ketentuan yang ada dalam HIR masih berlaku ? Karena setelah Indonesia merdeka
masih menghadapi revolusi fisik terhadap Belanda yang akan kembali menguasai
Indonesia, sehingga Bangsa Indonesia belum sempat untuk merumuskan hukum
acara sebagai pengganti HIR dan lebih konsentrasi menghadapi revolusi fisik.
Bagaimana jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh para prajurit ? Jika ada
pelanggaran cukup diselesaikan dengan dijatuhi Hukuman Disiplin. Pada tahun
1946 dikeluarkan dua undang-undang yaitu :

a. UU Nomor : 7 Tahun 1946 tentang Kekuasaan Peradilan Ketentaraan.


b. UU Nomor : 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara Peradilan Ketentaraan.

Kedua undang-undang tersebut berpedoman kepada UUD 1945.

3. Perkembangan tahun 1946-1949. Tidak ada perubahan.

4. Perkembangan tahun 1950 hingga sekarang.

Pada tahun 1950 dikeluarkan UU Nomor : 5 tentang Susunan dan


Kekuasaan Peradilan/Kejaksaan dakam Lingkungan Peradilan Ketentaraan dan
UU Nomor : 6 tentang Hukum Acara /Pidana pada Pengadilan Ketentaraan.
Kedua undang-undang tersebut dibentuk berdasarkan UUDS/Konstitusi Sementara
karena pada waktu itu Negara Indonesia berbentuk Republik Indonesia Serikat dan
sebagai hukum acaranya digunakan kembali HIR. Dalam perkembangannya kedua
undang-undang tersebut tidak dapat digunakan sebagaimana mestinya sehingga
para pejabat peradilan yaitu hakim, oditur, dan panitera diambilkan dari pejabat
peradilan umum. Karena UU Nomor : 6 Tahun 1950 tersebut tidak dapat digunakan
maka diganti dengan UU Nomor : 1 Drt. 1963 tentang Pemeriksaan Permulaan.
Dalam undang-undang tersebut Komandan diberikan kewenangan sebagai
penyidik, menahan, dan menyerahkan perkara. Namun dalam hal-hal tertentu
sebagian masih berpedoman kepada HIR.
Dengan munculnya UU Nomor : 6 Tahun 1950 jo. UU Nomor : 1 Drt. 1958
polisi berintegrasi terhadap undang-undang tersebut. Setelah diundangkannya UU
Nomor : 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer maka semua undang-undang
yang ada sebelumnya tidak berlaku lagi. (Selengkapnya mengenai sejarah peradilan
militer di Indonesia baca Buku 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di
Negara Republik Indonesia, Penulis Brigjen TNI Soegiri, S.H.).

Perlunya dibentuk Peradilan Militer.

Perlunya membentuk Peradilan Militer karena tugas militer berbeda dengan tugas
warganegara lainnya, yaitu mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
3

Indonesia dan keselamatan bangsa, atau dalam arti lain adalah berperang atau bertempur.
Untuk mendukung tugas tersebut TNI harus disiapkan agar dapat melaksanakan tugasnya
dengan baik. Oleh karena itu perlu diatur melalui ketentuan-ketentuan hukum yang keras
baginya yaitu Hukum Militer maupun Hukum Disiplin Militer. Hukum Disiplin Militer
mengatur tentang tata kehidupan militer agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik
sehingga selalu siap siaga. (Selengkapnya baca Buku 30 Tahun Perkembangan Peradilan
Militer di Nergara Republik Indonesia, Penulis BrigejanTNI Soegiri, S.H.).

Dasar Pembentukan Peradilan Militer.

1. Pasal 15 KUHPM.

Hak yang dimaksudkan pada pasal 14 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana


hanya digunakan apabila tidak bertentangan dengan kepentingan militer.

Pasal 14 a KUHP.

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara paling lama satu tahun atau
pidana kurungan, tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam
putusannya hakim dapat memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah
dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada putusan hakim yang menentukan
lain, disebabkan karena terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut di atas habis, atau
karena terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus
yang mungkin ditentukan dalam perintah ini.

(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-
perkara mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuihkan
pidana denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau
perampasan yang mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan
terpidana dalam menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu
hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap
kejahatan dan pelanggaran itu dihentikan bahwa dalam hal dijatuhi pidana
denda, dan syarat-syarat ketentuan pasal 30 ayat 2.

(3) Jika hakim tidak menentukan lain,maka perintah mengenai pidana pokok
juga mengenai pidana tambahan.

(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat
berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk
dipenuhinya syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak
pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.

(5) Perintah tersebut dalam ayat 1 harus disertai hal-hal atau keadaan-
keadaan yang menjadi alasan perintah itu.
4

2. Pasal 26 KUHPM.

(1) Pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa pencabutan hak untuk
memasuki Angkatan Bersenjata, selain daripada yang ditentukan dalam
pasal 39, dapat dijatuhkan oleh hakim berbarengan dengan setiap putusan
penjatuhan pidana mati atau pidana penjara kepada seorang militer yang
berdasarkan kejahatan yang dilakukan dipandangnya tidak layak lagi tetap
dalam kalangan militer.

(2) Pemecatan tersebut menurut hukum berakibat hilangnya semua hak-hak


yang diperolehnya dari Angkatan Bersenjata selama dinasnya yang dahulu,
dengan pengecualian bahwa hak pensiun hanya akan hilang dalam hal-hal
yang disebutkan dalam peraturan pensiun yang berlaku bagi terpidana.

(3) Apabila pemecatan tersebut berbarengan dengan pencabutan hak untuk


memasuki Angkatan Bersenjata, menurut hukum juga berakibat hilangnya
hak untuk memiliki dan memakai bintang-bintang, tanda-tanda kehormatan,
medali-medali atau tanda-tanda pengenalan, sepanjang kedua-duanya yang
disebut terakhir diperolehnya berkenaan dengan dinasnya yang dahulu.

Pasal 26 tersebut berkaitan dengan pasal 39 KUHPM yang menyatakan,


“Berbarengan dengan putusan penjatuhan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, kecuali pidana-pidana yang ditentukan dalam pasal 67 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, tidak boleh dijatuhkan pidana lainnya, selain
dari pada pemecatan dari dinas militer dengan pencabutan hak untuk memasuki
Angkatan Bersenjata.”

Selanjutnya dalam pasal 67 KUHP menyatakan, “Jika orang dijatuhi


pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, disamping itu tidak boleh
dijatuhkan pidana lain lagi kecuali, pencabutan hak-hak tertentu, perampasan
barang-barang yang telah disita sebelumnya, dan pengumuman putusan hakim.”

Penjelasan.

1. Bahwa yang dimaksud dengan kepentingan militer sebagaimana yang


tercantum pada pasal 15 KUHPM hanya militer sendiri yang mengetahui, lembaga
di luar militer tidak akan mengetahuinya. Hal ini merupakan penyimpangan dari
pasal 14 a KUHP dimana pada ayat 1 disebutkan apabila hakim menjatuhkan
pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan maka hakim dapat
memerintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani. Apabila hal ini
diterapakan maka setiap prajurit yang melanggar atau melakukan tindak pidana
tidak akan dipidana. Ini tentunya akan merusak tata kehidupan militer, dimana
militer yang melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana penjara satu tahun harus
diikuti dengan pidana tambahan berupa pemecatan dari dinas militer. Contoh yang
lain adalah maslah disersi sebagaimana dijelaskan dalam pasal 85 KUHPM. Bahwa
disersi dalam waktu damai minimal satu hari dan tidak lebih lama dari tigapuluh
hari, pidana maksimumnya adalah sembilan bulan penjara. Apabila ketentuan
dalam pasal 14 a
5

KUHP diterapkan terhadap pasal 85 KUHPM, maka setiap militer yang melakukan
disersi tidak perlu menjalani pidana penjara karena hakim menjatuhkan pidana
kurang dari satu tahun. Apabila hal ini diikuti tentunya akan merusak disiplin
dan tata kehidupan militer. Dengan demikian penyimpangan pasal 15 KUHPM
terhadap pasal 14 a KUHP semata-mata hanya untuk kepentingan militer agar dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik.

2. Bahwa dalam pasal 26 ayat (1) KUHPM yang dimaksud dengan tidak layak ukuran
atau kriterianya hingga kini belum ada yang pasti. Namun ketidaklayakan tersebut
tentunnya berhubungan dengan hal-hal yang bertentangan dan merugikan
kepentingan militer, bangsa dan negara. Apabila militer sudah tidak layak lagi
untuk dipertahankan dalam dinasnya maka yang bersangkutan dapat dijatuhi
pidana berupa pemecatan dari dinas militer dengan atau tanpa hak untuk memasuki
Angkatan Bersenjata. Hal ini tentunnya menyimpang dari ketentuan pasal 67
KUHP yang menyatakan bahwa penjatuhan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana yang lain lagi. Penyimpangan tersebut
sebenarnya dilakukan karena militer adalah orang-orang yang disiapkan untuk
berperang dan apabila nyata-nyata sudah tidak layak lagi sudah sepantasnya harus
diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas kemiliteran demi tegaknya disiplin
dan tata kehidupan prajurit.

Kesimpulan.

Dengan didasari pasal-pasal tersebut di atas jelaslah bahwa pembentukan Peradilan Militer
semata-mata untuk kepentingan militer, bangsa, dan negara.

Apa saja yang menjadi dasar Hukum Acara Pidana Militer ?

Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia yang berlaku hingga sekarang


berdasarkan kepada UU Nomor : 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer dan UU
Nomor : 16 Pnps 1963 tentang Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub)
yang diserahi tugas untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir
perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden Republik Indonesia.

Asas-asas Hukum Acara Pidana Militer.

1. Praduga tak bersalah.


2. Ganti kerugian dan rehabilitasi.
3. Penggabungan pidana dan ganti rugi.
4. Unifikasi.
5. Peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.
Kelima asas tersebut sama dengan asas yang ada dalam Hukum Acara Pidana Umum.
Selanjutnya dalam Hukum Acara Pidana Militer ditambah dengan asas-asas sebagai
berikut :
6

1. Peradilan Militer tidak mengenal praperadilan, karena akan mengganggu


kepentingan komandan dan pemeliharaan disiplin. Jika dalam praperadilan menang
berujung kepada ganti rugi dan hal ini tidak berlaku dalam kehidupan militer.

2. Kewenangan menahan ada pada Komandan dan Papera. Kewenangan


Komandan menahan selama 20 hari sedangkan kewenangan Papera untuk
memperpanjang penahanan adalah 6 kali dan setiap perpanjangan selama 30 hari.
Dengan demikian jumlah keseluruhan lamanya penahanan adalah 200 hari.
Lamanya waktu penahanan tersebut adalah untuk proses penyidikan dalam mencari
bukti yang sah dan meyakinkan. Apabila dalam waktu tersebut proses penyidikan
belum selesai maka tersangka dapat dibebaskan. Adapun alasan penahanan tersebut
adalah :

a. Dikhawatirkan tersangka melarikan diri.


b. Dikhawatirkan tersangka menghilangkan barang bukti.
c. Dikhawatirkan tersangka mengulangi perbuatannya.
d. Dikhawatirkan tersangka membuat keonaran.

3. Kewenangan menutup perkara (Tupra) demi kepentingan hukum ada pada


Papera sedangkan terhadap kepentingan hukum dan/atau kepentingan militer
ada pada Papera Tertinggi (Panglima TNI).

a. Demi Kepentingan Militer. Seorang prajurit terlibat atau melakukan suatu


tindak pidana, padahal prajurit tersebut memiliki keahlian yang sangat
diperlukan oleh TNI dan diperlukan di medan operasi. Maka demi
kepentingan militer perkara tersebut harus ditutup.

b. Demi Kepentingan Hukum.

1) Nebis in idem, berdasarkan pasal 76 KUHP.


2) Tersangka meninggal dunia, berdasarkan pasal 77 KUHP.
3) Kadaluwarsa, berdasarkan pasal 78 KUHP.

4. Kewenangan penyelesaian perkara pidana secara Hukum Disiplin Militer ada


pada Papera. Berdasarkan pasal 5 ayat (3) UU Nomor : 26 Tahun 1997 tentang
Hukum Disiplin Prajurit ABRI disebutkan bahwa, “Pelanggaran hukum disiplin
tidak murni merupakan setiap perbuatan yang merupakan tindak pidana yang
sedemikian ringan sifatnya sehingga dapat diselesaikan secara hukum disiplin
prajurit.” Yang dimaksud dengan sedemikian ringan sifatnya adalah :
a. Tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
bulan atau kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling tinggi
Rp. 6.000.000,00 (enam juta rupiah);
7

b. Perkara sederhana dan mudah pembuktiannya; dan

c. Tindak pidana yang terjadi tidak akan mengakibatkan terganggunya


kepentingan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan/atau kepentingan
umum.

Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa untuk dapat menjatuhkan


hukuman disiplin kepada seorang prajurit yang melakukan pelanggaran disiplin
tidak murni ketiga persyaratan di atas harus terpenuhi. Hal ini terjadi karena
dalam penjelasan pasal 5 ayat (3) UU Nomor : 26 Tahun 1997 ditulis dengan tanda
baca titik koma ( ; ) serta tanda gabung dan yang berarti ketiga point tersebut
merupakan satu rangkaian kalimat yang berkaitan dan tidak dipisahkan. Apabila
ketiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka prajurit yang melanggar tidak dapat
dijatuhi hukuman disiplin.

5. Kewenangan penyerahan perkara ke pengadilan militer ada pada Papera.


Penuntut umum tidak boleh menyerahkan perkara tersebut.

6. Hakim berwenang mengembalikan perkara kepada Ankum untuk


diselesaikan secara disiplin walaupun perkara tersebut diputus bebas.
Kewenangan tersebut didasari pasal 293 KUHP yang berbunyi sebagai berikut :

a. Ayat (1).

Barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,


menyalahgunakan perbawa yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan
penyesatan sengaja menggerakan seorang belum dewasa dan baik tingkah lakunya
untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul tersebut dengan dia,
padahal tentang belum kedewasaannya, diketahui atau selayaknya harus diduganya,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

b. Ayat (2).

Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan orang yang terhadap dirinya dilakukan
kejahatan itu.

c. Ayat (3).

Tenggang waktu tersebut dalam pasal 74 bagi pengaduan ini adalah masing-masing
sembilan bulan dan dua belas bulan.

Makna yang terkandung dalam asas tersebut berdasarkan pasal 293 KUHP
adalah sebagai berikut :
Jika seorang prajurit melakukan persetubuhan berdasarkan suka sama suka dengan
seorang gadis yang sebenarnya belum cukup umur, namun dalam penuntutan yang
bersangkutan menyatakan bahwa sebenarnya gadis tersebut sudah dewasa maka
8

hakim dapat menuntut bebas terhadap prajurit tersebut. Karena yang melakukan
adalah prajurit maka hakim juga mempunyai kewenangan untuk menyerahkan
perkara tersebut kepada Ankum untuk diselesaikan secara disiplin.

7. Bantuan hukum di lingkungan peradilan militer dibebankan kepada


Komandan. Maksudnya adalah apabila seorang prajurit melakukan tindak pidana
maka dalam proses penyelesaian perkaranya mulai dari penyidikan, penuntutan,
penjatuhan pidana, dan pelaksanaan pidana seorang komandan berkewajiban untuk
memberikan bantuan hukum kepada prajurit bawahannya dengan memohon kepada
instansi yang terkait.

Instansi mana saja yang berhak memberikan bantuan hukum ?

a. Untuk anggota TNI-AD bantuan hukum diberikan oleh Direktorat


Hukum TNI-AD.
b. Untuk anggota TNI-AL bantuan hukum diberikan oleh Dinas Hukum TNI-
AL.
c. Untuk anggota TNI-AU bantuan hukum diberikan oleh Dinas Hukum TNI-
AU.

8. Nara pidana militer yang tidak dipecat dari dinas militer pelaksanaan pidana
di Pemasyarakatan Militer (Masmil). Tujuannya adalah karena prajurit yang
tidak dipecat dari dinas militer nantinya akan dikembalikan ke kesatuannya,
sehingga perlu dibina dan dididik kembali agar menjadi prajurit yang baik dan siap
untuk mengabdi kepada negara dan bangsa.

Pihak-pihak yang terlibat dalam Hukum Acara Pidana Militer.

1. Tersangka, Terdakwa, dan Terpidana.

Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan


bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Dalam arti lain adalah
seorang yang sedang menjalani proses pemeriksaan atau penyidikan.

Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang
pengadilan. Artinya orang tersebut sedang dalam proses persidangan sampai
dengan ada putusan yang berkekuatan hukum tetap.

Terpidana adalah seorang yang telah dijatuhi hukuman pidana yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap dan tidak ada upaya hukum lagi dalam waktu 7
hari setelah diputuskan oleh pengadilan TK-I atau dalam waktu 14 hari setelah
diputuskan oleh pengadilan TK-II (banding) atau pada Tingkat Kasasi sejak saat itu
juga setelah diputuskan tidak ada upaya hukum lagi. Batas waktu untuk
melakukan upaya hukum tersebut termasuk hari libur (Hari Minggu atau Hari Libur
Nasional).
9

2. Penyidik. Dalam KUHAPMIL pejabat penyidik terdiri dari :

a. Atasan yang berhak menghukum (Ankum).

Ankum sebagai penyidik hanya statusnya saja, dalam pelaksanaannya


Ankum tidak boleh melaksanakan penyidikan ataupun memerintahkan
bawahannya untuk melakukan penyidikan, hal ini memang penegasan dari
undang-undang. Tugas komandan bukanlah mengurusi perkara pidana yang
dilakukan oleh prajurit bawahannya tetapi tugas komandan yang lebih
penting dari daripada menghadapi perkara pidana masih sangat banyak.
Tugas-tugas komandan yang lain dan lebih penting adalah pembinaan
personel, pembinaan satuan, pembinaan administrasi dll. Jika tugas-tugas
tersebut ditinggalkan sementara lebih mementingkan mengurusi perkara
pidana prajurit bawahannya, maka tugas pokok komandan akan
terbengkalai.

b. Polisi Militer (POM).

Berdasarkan UU Nomor : 31 Tahun 1997, POM yang dimaksud di sini


adalah POM TNI dalam hal ini Puspom. Mengapa Puspom diberikan
kewenangan sebagai penyidik yang seluruh personelnya merupakan
prajurit TNI-AD ? Puspom memiliki kewenangan untuk menyidik semua
prajurit TNI berdasarkan Keputusan Panglima ABRI Nomor :
Kep/04/P/II/1983 tanggal 4 Februari 1983 tentang Penyelenggaraan Fungsi
Kepolisian Militer di Lingkungan ABRI. Dalam Keputusan tersebut
ditegaskan bahwa untuk tugas penyidikan dalam lingkungan ABRI
dilaksanakan oleh POM dalam satu kecabangan TNI-AD yang dibina oleh
Kasad. Dengan berpedoman kepada Keputusan Pangab tersebut maka tugas
penyidikan dilaksanakan oleh Puspomad. Sejalan dengan perkembangan
zaman maka berdasarkan Keputusan Panglima TNI Nomor :
Kep/06/II/2002 tanggal 5 Februari 2002 tentang Pokok-pokok Organisasi
dan Prosedur POM TNI, dibentuklah POM TNI dan POM Angkatan. POM
TNI hingga sekarang belum terbentuk namun POM Angkatan sudah
terbentuk. Berdasarkan Keputusan Panglima TNI tersebut maka tiap-tiap
angkatan memiliki POM tersendiri. POMAL merupakan perubahan dari
Disprov TNI-AL, POMAU merupakan perubahan dari Disprov TNI-AU.
Dengan adanya POMAL dan POMAU maka di dalam organisasi TNI-AL
dan TNI-AU tidak memiliki Disprov atau provoost satuan, namun
kenyataannya masih terdapat provoost pada kedua angkatan tersebut.

Bagaimana kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh POMAL dan


POMAU ?
Bila kita lihat sejarah pembentukannya POMAL dan POMAU dibentuk
sebagai tindak lanjut Keputusan Panglima TNI Nomor : Kep/06/II/2002
yang ditindak lanjuti dengan Keputusan Kasal dan Kasau. Sebenarnya bila
kita mendalami UU No.31 Tahun 1997, keberadaan kedua POM tersebut
10

sangat bertentangan karena keduanya tidak disebutkan dalam undang-


undang. Dengan demikian Keputusan Panglima TNI juga bertentangan
dengan UU No. 31 Tahun 1997. Keberadaan POMAL dan POMAU diakui
setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor :
Skep/306/IV/2002 tentang Pengesahan Prosedur dan Mekanisme Kerja
POM TNI, namun dalam hal penyidikan terhadap anggota TNI masih
menjadi kewenangan Puspom. Kewenangan melakukan penyidikan oleh
POMAL dan POMAU setelah dikeluarkannya Surat Keputusan Panglima
TNI Nomor : Skep/1/III/2004 tentang Penyelenggaraan Fungsi Kepolisian
Militer di Lingkungan TNI. Sebenarnya bila kita kaji, Surat Keputusan
Panglima TNI Nomor : Skep/ 1 /III/2004 juga cacat hukum. Mengapa
demikian ? Karena keputusan bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi yaitu UU Nomor : 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara yang
menjelaskan bahwa Susunan Organisasi dan Tugas TNI lebih lanjut diatur
dengan undang-undang. Namun hingga sekarang Undang-Undang TNI
maupun Peraturan Pemerintah belum ada. Selanjutnya dalam masalah
penyidikan terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI
sebelum dikeluarkannya Surat Keputusan Panglima TNI Nomor : Skep/ 1
/III/2004 berkas perkara yang sah dan diakui apabila penyidikan tersebut
dilakukan oleh Puspom.

c. Oditur (Oditur Militer/Oditur Militer Tinggi).

Oditur melakukan penyidikan dari awal apabila ada perintah dari Oditur
Jenderal TNI (Orjen TNI). Yang menjadi masalah adalah bahwa setiap
melakukan penyidikan harus berdasarkan Surat Perintah dari Orjen TNI.
Dengan demikian tugas dari Orjen TNI hanyalah membuat Surat Perintah
untuk melakukan penyidikan. Hal ini tentunya tidak benar, karena tugas
Orjen TNI bukanlah membuat Surat Perintah setiap hari. Oleh karena itu
tugas penyidikan tidak dilakukan oleh oditur tetapi dilakukan oleh POM.

3. Penyidik Pembantu.

Mengapa dinamakan penyidik pembantu bukan pembantu penyidik ? Pada awalnya


POM merupakan pembantu penyidik dari oditur, karena yang bertugas sebagai
penyidik adalah oditur sedangkan POM hanyalah sebagai pembantu. Dari perkataan
tersebut kemudian muncul anggapan bahwa yang dinamakan pembantu adalah
seseorang yang bekerja pada orang lain dan lebih diutamakan pada pekerjaan di
dapur sebagai tukang masak. Pemikiran tersebut akhirnya berubah agar tidak
menimbulkan anggapan bahwa tugas pembantu tidak lain hanyalah sebagai tukang
masak. Dari peristilahan tersebut akhirnya perkataan pembantu penyidik dirubah
menjadi penyidik pembantu. Penyidik pembantu pada awalnya dijabat oleh Bintara,
yang sebenarnya tugas tersebut harus dijabat oleh Perwira. Dengan demikian tugas
penyidik pembantu pada masing-masing angkatan dialakukan oleh provoost dengan
tujuan untuk menjaga keseimbangan.
11

Siapa saja yang termasuk penyidik pembantu dalam KUHAPMIL ?

a. Provoost TNI-AD.
b. Provoost TNI-AL.
c. Provoost TNI-AU.

4. Saksi. Yang dimaksud saksi disini adalah orang yang mengalami sendiri, melihat
sendiri, atau mendengar sendiri adanya suatu tindak pidana.

5. Ahli. Ahli yang dimaksud adalah ahli yang sesuai dengan kemampuan dalam
bidangnya. Kehadiran ahli jika diperlukan.

6. Penuntut Umum, Yaitu Oditur militer dan Oditur militer tinggi.

7. Penasehat Hukum. Menurut UU No. 31 Tahun 1997 penasehat hukum


disediakan oleh satuan (baca kembali uraian diatas). Berdasarkan UU Advokasi
yang dapat menjadi advokat adalah orang-orang yang memenuhi syarat sebagai
advokat, salah satunya adalah Bukan Pegawai Negeri.

8. Hakim. Terdiri dari Hakim militer, Hakim militer tinggi, dan Hakim Tetap.Hakim
bertugas mengadili yaitu memeriksa dan memutuskan perkara.

9. Panitera. Panitera bertugas membantu hakim dalam melaksanakan tugasnya di


dalam persidangan yaitu mencatat segala kejadian dalam sidang. Artinya panitera
diberi wewenang oleh undang-undang terhadap apa yang terjadi di dalam sidang
untuk dicatat, sehingga apabila ada banding hakim tinggal menerima catatan
selama sidang dari panitera dalam bentuk berita acara.

10. Ankum. Dalam perkara pidana Ankum diberi wewenang untuk menahan selama 20
hari.

11. Papera. Di dalam KUHAPMIL papera diberi wewenang :

a. Memperpanjang penahanan tersangka untuk kepentingan penyidikan.


Papera memiliki wewenang untuk memperpanjang penahanan selama 30
hari setiap kali masa penahanan dan dapat memperpanjang masa penahanan
sebanyak 6 kali. Jadi Papera dapat menahan tersangka selama 180 hari.
Dengan demikian jumlah maksimum tersangka dapat ditahan mulai dari
Ankum sampai dengan Papera adalah 200 hari.

b. Menyerahkan perkara ke pengadilan dengan Skep Papera (Skeppera).


c. Menutup perkara demi hukum dan/atau kepentingan umum, dan/atau
kepentingan militer.

d. Mengembalikan perkara kepada Ankum untuk diselesaikan menurut hukum


disiplin.
12

Kekuasaan Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Militer.

1. Mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh :

a. Militer atau prajurit.


b. Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan prajurit.
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang dipersamakan
atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan undang-undang.
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b, dan huruf c
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman dan
HAM harus diadili oleh suatu pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer.

2. Mengadili sengketa Tata Usaha Militer.


3. Mengadili penggabungan gugatan dan ganti rugi dalam perkara pidana.
4. Mengadili tindak pidana :
a. Yang terjadi dalam daerah hukumnya.
b. Kesatuan terdakwa dalam daerah hukumnya.

Catatan : Syarat a lebih kuat daripada syarat b, artinya kita harus melihat terlebih
dahulu tindak pidana tersebut terjadi di daerah hukum mana.

Contoh : Prajurit A dari kesatuan wilayah Kodam III/Slw yang merupakan daerah
hukum Pengadilan Militer II-09/ Bandung, melakukan tindak pidana di
daerah hukum Kodam Jaya yang merupakan daerah hukum Pengadilan
Militer II-08/Jakarta. Maka dalam perkara ini yang berhak menyidik
adalah Pomdam Jaya karena locus delicti terjadi di daerah hukum
Pomdam Jaya. Dalam perkara ini Pengadilan Militer II-08/Jakarta lebih
diutamakan/lebih kuat untuk mengadili perkara tersebut karena terjadinya
tindak pidana di daerah hukumnya. Namun dalam hal tertentu karena
faktor biaya prajurit A tidak dapat hadir dalam sidang di Pengadilan
Militer II-08/Jakarta, maka dalam hal ini perkaranya dapat dilimpahkan
kepada Pengadilan Militer II-09/Bandung yang merupakan daerah hukum
dari kesatuan prajurit tersebut untuk diselesaikannya.

Bagaimana jika militer/prajurit (Indonesia) melakukan tindak pidana di luar


negeri ?

Apabila terjadi hal yang demikian maka yang diterapkan adalah Hukum Pidana
Militer Indonesia. Hal ini berkaitan dengan asas personalitas milter sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4 KUHPM, yang pada dasarnya menyatakan bahwa
kemanapun militer pergi, selalu membawa hukumnya. Tidak dipandang apakah
yang dilakukan berupa kejahatan atau pelanggaran yang jelas bagi militer itu
semua merupakan suatu tindak pidana. Ini sangat berbeda dengan asas personalitas
bagi sipil sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 KUHP. Selanjutnya mengenai
tempat untuk mengadili prajurit tersebut adalah kesatuan terdakwa dalam daerah
hukumnya.
13

Daerah Hukum Pengadilan Militer.

Daerah hukum Pengadilan Militer di Indonesia disesuaikan dengan dislokasi


pasukan atau keberadaan satuan-satuan militer. Daerah yang jumlah dislokasi pasukannya
lebih besar/banyak tentunya akan diikuti oleh jumlah Pengadilan Militer yang banyak juga.
Di Indonesia jumlah Pengadilan Militer ada 19, yaitu :

1. Pengadilan Militer I-01/Banda Aceh, daerah hukumnya meliputi Provinsi NAD.


2. Pengadilan Militer I-02/Medan, daerah hukumnya meliputi Provinsi Sumatera
Utara.
3. Pengadilan Militer I-03/Padang, daerah hukumnya meliputi Provinsi Sumatera
Barat dan Riau. (Ada rencana dipindahkan ke Pekan Baru karena jumlah pasukan
lebih banyak).
4. Pengadilan Militer I-04/Palembang, daerah hukumnya meliputi Provinsi Sumatera
Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Jambi.
5. Pengadilan Militer I-05/Pontianak, daerah hukumnya meliputi Provinsi
Kalimantan Barat.
6. Pengadilan Militer I-06/Banjarmasin, daerah hukumnya meliputi Provinsi
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
7. Pengadilan Militer I-07/Balikpapan, daerah hukumnya meliputi Provinsi
Kalimantan Timur.
8. Pengadilan Militer II-08/Jakarta, daerah hukumnya meliputi Provinsi DKI Jakarta,
Kota Tangerang, dan Kota Bekasi.
9. Pengadilan Militer II-09/Bandung, daerah hukumnya meliputi Provinsi Jawa Barat
(minus Kota Bekasi) dan Provinsi Banten (minus Kota Tangerang).
10. Pengadilan Militer II-10/Semarang, daerah hukumnya meliputi Provinsi Jawa
Tengah.
11. Pengadilan Militer II-11/Yogyakarta, daerah hukumnya meliputi Provinsi DIY.
12. Pengadilan Militer III-12/Surabaya, daerah hukumnya meliputi Provinsi Jawa
Timur (minus Kab.Blitar, Kab.Madiun, Kab.Kediri, Kab. Ngawi, Kab. Jombang).
13. Pengadilan Militer III-13/Madiun, daerah hukumnya meliputi Kab.Madiun,
Kab.Blitar, Kab.Kadiri, Kab. Ngawi, Kab. Jombang.
14. Pengadilan Militer III-14/Denpasar, daerah hukumnya meliputi Provinsi Bali dan
NTB.
15. Pengadilan Militer III-15/Kupang, daerah hukumnya meliputi Provinsi NTT.
16. Pengadilan Militer III-16/Makasar, daerah hukumnya meliputi Provinsi Sulawesi
Selatan dan Sulawesi Tenggara.
17. Pengadilan Militer III-17/Manado, daerah hukumnya meliputi Provinsi Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah.
18. Pengadilan Militer III-18/Ambon, daerah hukumnya meliputi Provinsi Maluku dan
Maluku Utara.
19. Pengadilan Militer III-19/Jayapura, daerah hukumnya meliputi Provinsi Papua,
Irian Jaya Barat, dan Irian Jaya Tengah.

Selain itu masih ada Pengadilan Militer Tinggi, yaitu :


1. Pengadilan Militer Tinggi I/Medan, daerah hukumnya meliputi Pengadilan Militer
I-01 sampai dengan I-07.
14

2. Pengadilan Militer Tinggi II/Jakarta, daerah hukumnya meliputi Pengadilan militer


II-08 sampai dengan II-11.
2. Pengadilan Militer Tinggi III/Surabaya, daerah hukumnya meliputi
Pengadilan Militer III-12 sampai dengan III-19.

Catatan : Dalam setiap daerah hukum Pengadilan Militer juga terdapat Oditurat Militer
(Otmil) demikian juga dalam setiap daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi
juga terdapat Oditurat Militer Tinggi (Otmilti).

Untuk Pengadilan Militer Utama, daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah Negara
Republik Indonesia berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia/Jakarta (sama
dengan MA).

Susunan Pengadilan.

Berdasarkan UU No : 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, susunan pengadilan dalam


lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :

1. Pengadilan Militer.
2. Pengadilan Militer Tinggi.
3. Pengadilan Militer Utama.
4. Pengadilan Militer Pertempuran.

Karena UU No : 16/Pnps/1963 tentang Mahmillub masih ada maka jumlah pengadilan


dalam lingkungan Peradilan Militer ada lima. Pengadilan Militer Pertempuran dan
Mahmillub merupakan pengadilan kerangka dan organisasinya tidak dibentuk.
Pembentukan kedua badan pengadilan tersebut berdasarkan situasi (dalam keadaan perang
dan keadaan luar biasa).

Kewenangan/Kekuasaan Pengadilan.

1. Pengadilan Militer. Mengadili pada tingkat pertama perkara pidana yang


dilakukan oleh militer/prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah.
2. Pengadilan Militer Tinggi.

a. Mengadili pada tingkat pertama perkara pidana yang dilakukan oleh


militer/prajurit berpangkat Mayor ke atas.

b. Mengadili pada tingkat pertama dalam perkara sengketa Tata Usaha Militer.
c. Mengadili pada tingkat banding perkara pidana yang telah diputus oleh
Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.

d. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir tentang sengketa kewenangan


mengadili antara Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya.
15

Dengan demikian dalam Peradilan Militer untuk Tingkat I dibedakan menjadi 2


yaitu Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi. Tujuannya adalah untuk
menjaga hirarchi kepangkatan dan bukan suatu keistimewaan bagi prajurit
berpangkat Mayor ke atas. Sehubungan dengan hirarchi kepangkatan maka
Pengadilan Militer dibagi menjadi 2 tipe, yaitu :

a. Tipe A dengan kepala pengadilan dijabat oleh Pamen berpangkat Kolonel


dan berada di wilayah Kodam.

b. Tipe B dengan kepala pengadilan dijabat oleh Pamen berpangkat Letnan


Kolonel.

3. Pengadilan Militer Utama.

a. Mengadili pada tingkat banding perkara pidana yang diputus oleh


Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama yang dimintakan banding.

b. Mengadili pada tingkat banding perkara sengketa Tata Usaha Militer yang
diputus oleh Pengadilan Militer Tinggi pada tingkat pertama yang
dimintakan banding.

c. Memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa tentang kewenangan


mengadili antara Pengadilan Militer Tinggi .

d. Memutus pada tingkat pertama dan terakhir sengketa tentang kewenangan


mengadili antara Pengadilan Militer dengan Pengadilan Militer Tinggi atau
antara Pengadilan Militer yang tidak sedaerah hukum.

e. Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir perselisihan/perbedaan


pendapat antara Papera dengan Oditur (Ormil/Ormilti) tentang diajukan atau
tidaknya suatu perkara kepada pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Militer atau dalam lingkungan Peradilan Umum.

Selain kewenangan tersebut di atas, Pengadilan Militer Utama juga mempunyai


tugas mengawasi tingkah laku para penegak hukum dalam lingkungan Peradilan
Militer dan masalah yustisiabel.

Contoh : Sebenarnya Panitera tidak mempunyai kewenangan memanggil terdakwa


di luar atau sebelum acara sidang dimulai tetapi kenyataannya masih
ditemukan hal-hal yang semestinya tidak dilakukan oleh panitera yang
bukan kewenangannya.
4. Pengadilan Militer Pertempuran.

Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang terjadi di medan
pertempuran. Maksud dari tingkat pertama dan terakhir adalah bahwa dalam
perkara tersebut tidak ada upaya hukum banding dan hanya ada kasasi ke MA.
16

Pengadilan Militer Pertempuran dibentuk apabila diperlukan dan sifatnya


mobil/bergerak/mengikuti jalannya pertempuran sehingga dilaksanakan secara
cepat.Pengadilan Militer Pertempuran dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah
(hingga sekarang belum ada).

5. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub).

Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang ditentukan oleh
Presiden. Dalam hal ini tidak ditentukan subyek dari tindak pidana tersebut, apakah
itu militer atau sipil namun ditentukan langsung oleh Presiden. Pelaksanaan
Mahmillub melalui Keputusan Presiden (Keppres). Adapun fungsi dari Mahmillub
adalah untuk mempercepat proses peradilan.

Susunan Persidangan.

1. Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan
memutus perkara pidana pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang hakim ketua
dan 2 (dua) orang hakim anggota yang dihadiri 1 (satu) orang Oditur Militer/Oditur
Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang panitera.

2. Pengadilan Militer Tinggi bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara


sengketa Tata Usaha Militer pada tingkat pertama dengan 1 (satu) orang hakim
ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota yang dibantu 1 (satu) orang panitera.

3. Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama bersidang untuk


memeriksa dan memutus perkara pidana pada tingkat banding dengan 1 (satu)
orang hakim ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota yang dibantu 1 (satu) orang
panitera.

4. Pengadilan Militer Utama bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara


sengketa Tata Usaha Militer pada tingkat banding dengan 1 (satu) orang hakim
ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota yang dibantu 1 (satu) orang panitera.

5. Hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer paling rendah berpangkat


Mayor, sedangkan Hakim anggota dan Oditur Militer paling rendah berpangkat
Kapten.
6. Hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Tinggi paling rendah
berpangkat Kolonel, sedangkan hakim anggota dan Oditur Militer Tinggi paling
rendah berpangkat Letnan Kolonel.

7. Hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Utama paling rendah


berpangkat Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/Marsekal Pertama, sedangkan
hakim anggota paling rendah berpangkat Kolonel.
17

8. Hakim anggota dan oditur sebagaimana dimaksud pada poin 5 dan poin 6, dan
hakim anggota sebagaimana dimaksud pada poin 7 paling rendah berpangkat
setingkat lebih tinggi daripada pangkat terdakwa yang diadili.

9. Dalam hal terdakwanya berpangkat Kolonel, hakim anggota, dan oditur


sebagaimana dimaksud pada poin 6 paling rendah berpangkat setingkat dengan
pangkat terdakwa dan dalam hal terdakwanya perwira tinggi hakim ketua, hakim
anggota dan oditur sebagaimana dimaksud pada poin 6 paling rendah berpangkat
setingkat dengan pangkat terdakwa.

10. Kepangkatan Panitera dalam persidangan :

a. Pengadilan Militer paling rendah berpangkat Pembantu Letnan Dua dan


paling tinggi berpangkat Kapten, pendidikan paling rendah SMA.

b. Pengadilan Militer Tinggi paling rendah berpangkat Kapten dan paling


tinggi berpangkat Mayor, pendidikan paling rendah Sarjana Hukum.

c. Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Mayor dan paling


tinggi berpangkat Kolonel, pendidikan paling rendah Sarjana Hukum.

11. Pengadilan Militer Pertempuran bersidang untuk memeriksa dan memutus suatu
perkara pidana dengan 1 (satu) orang hakim ketua dengan beberapa hakim anggota
yang keseluruhannya selalu berjumlah ganjil, yang dihadiri 1 (satu) orang Oditur
Militer/Oditur Militer Tinggi dan dibantu 1 (satu) orang Panitera.

12. Hakim ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Pertempuran paling rendah
berpangkat Letnan Kolonel, sedangkan hakim anggota dan oditur paling rendah
berpangkat Mayor.

13. Dalam hal terdakwanya berpangkat Letnan Kolonel, hakim anggota dan oditur
sebagaimana dimaksud pada poin 12 paling rendah berpangkat setingkat dengan
pangkat terdakwa yang diadili.

14. Dalam hal terdakwanya berpangkat Kolonel dan/atau perwira tinggi, hakim ketua,
hakim anggota, dan oditur sebagaimana dimaksud pada poin 12 paling rendah
berpangkat setingkat dengan pangkat terdakwa yang diadili.

Kewenangan Oditurat.
Oditurat berwenang menangani masalah/perkara pidana saja dan tidak dilibatkan dalam
perkara sengketa TUM. Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 susunan Oditurat terdiri dari :

1. Oditurat Militer Otmil).


2. Oditurat Militer Tinggi (Otmilti).
3. Oditurat Jenderal TNI (Otjen TNI).
4. Oditurat Militer Pertempuran Otmilpur).
18

Selanjutnya berdasarkan UU No. 16/Pnps/1963 ditambah dengan Oditurat Militer Luar


Biasa.

1. Kewenangan Oditurat Militer.

a. Melakukan penuntutan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh militer


atau prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah.
b. Melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan.
c. Melakukan pemeriksaan tambahan.
d. Melakukan penyidikan mulai dari awal atas perintah Orjen TNI.

2. Kewenangan Oditurat Militer Tinggi.

a. Melakukan penuntutan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh militer


atau prajurit yang berpangkat Mayor ke atas.
b. s/d c sama dengan kewenangan Oditurat Militer.

3. Kewenangan Oditurat Jenderal TNI.

a. Membina, mengendalikan, dan mengawasi pelaksanaan tugas dan


wewenang Otmil dan Otmilti.
b. Melakukan kajian terhadap kejahatan-kejahatan tertentu untuk kepentingan
kebijakan penuntutan.
c. Melaksanakan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan
penyidikan dan penuntutan.
d. Menyampaikan pertimbangan dalam hal ada permohonan grasi.
e. Menyampaikan pendapat terhadap perselisihan antara oditur dengan Papera.

4. Kewenangan Oditurat Militer Pertempuran.

a. Melakukan penuntutan terhadap perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit


di daerah pertempuran.
b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan hakim.
c. Melaksanakan penyidikan dari awal tanpa perintah Orjen TNI tetapi atas
perintah langsung Panglima TNI atau Komandan Operasi Militer.

5. Kewenangan Oditurat Militer Luar Biasa.

a. Melakukan penuntutan terhadap perkara pidana yang ditentukan oleh


Presiden.
b. Melaksanakan penetapan dan putusan hakim.

Catatan : Oditurat merupakan satu kesatuan dan tidak terpisahkan. Arti dari kata
satu kesatuan dan tidak terpisahkan adalah bahwa penuntutan yang
dilakukan oleh oditur dikendalikan oleh Orjen TNI. Hal ini berbeda
dengan Pengadilan yang mandiri, bebas, dan merdeka.

19

Perbedaan antara Oditur dengan Jaksa.

a. Oditur, bersidang sesuai dengan lembaga pengadilannya.


Contoh : Oditur Militer bersidang di Pengadilan Militer.
Oditur Militer Tinggi bersidang di Pengadilan Militer Tinggi, dst.

b. Jaksa (Jaksa PN, Jaksa PT, Jaksa Agung) semuanya bersidang di Pengadilan
Negeri.

Penyidikan.

Berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer pejabat penyidik di


lingkungan TNI terdiri dari :

1. Ankum.

Menurut UU No. 26 Tahun 1997 tentang Hukum Disiplin Prajurit ABRI, Atasan
yang Berhak Menghukum yang selanjutnya disingkat Ankum adalah atasan yang
oleh atau atas dasar undang-undang ini ( UU No. 26 Tahun 1997) diberi
kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap prajurit ABRI yang
berada di bawah wewenang komandonya. Arti dari kata wewenang komandonya
adalah komando pembinaan maupun komando operasional. Ankum terdiri dari :

a. Ankum berwenang penuh, yaitu Ankum yang mempunyai wewenang untuk


menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin kepada setiap prajurit yang
berada di bawah wewenang komandonya. Ankum berwenang penuh adalah
setingkat Komandan Batalyon ke atas.

b. Ankum berwenang terbatas, yaitu Ankum yang mempunyai


wewenang untuk menjatuhkan semua jenis hukuman disiplin kepada setiap
prajurit yang berada di bawah wewenang komandonya, kecuali penahanan
berat terhadap Perwira. Ankum berwenang terbatas adalah setingakt
Komandan Kompi yang terpisah jauh dan terpencil dari Markas Batalyon
(rumusan sementara).

c. Ankum berwenang sangat terbatas, yaitu Ankum yang mempunyai


wewenang untuk menjatuhkan hukuman disiplin teguran dan penahanan
ringan terhadap setiap Bintara dan Tamtama yang berada di bawah
wewenang komandonya. Ankum berwenang sangat terbatas adalah
setingkat Komandan Peleton yang terpisah jauh dan terpencil dari Markas
Kompi (rumusan sementara).

Mengenai kewenangan Ankum dalam hal menyidik baca kembali uraian di atas
(dahulu).

2. Polisi Militer (POM). Baca uraian di atas (dahulu).


3. Oditur. Baca uraian di atas (dahulu).
20

Kewenangan Penyidik (POM).

1. Menerima laporan dan/atau pengaduan. Mengenai laporan dan pengaduan baca


kembali dalam KUHAP dan Buku Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia (S.R.
Sianturi, S.H.) termasuk masalah delik aduan dan delik jabatan.
2. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian.
3. Mencari keterangan dan barang bukti yaitu hal-hal yang dapat diperoleh dari :
a. Saksi yang mengalami sendiri.
b. Saksi korban.
c. Saksi yang melihat sendiri.
d. Saksi yang mendengar sendiri.

4. Menyuruh berhenti seseorang.


5. Melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat.
6. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang.
7. Memanggil seseorang untuk didengar atau diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
8. Meminta bantuan memeriksa seorang ahli atau mendatangkan seorang ahli untuk
didengar keterangannya sesuai dengan bidangnya.
9. Melaksanakan perintah Ankum untuk melaksanakan penahanan.
10. Melaporkan hasil pelaksanaan penyidikan kepada Ankum.
11. Melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Kewenangan Penyidik Pembantu.

Pada prinsipnya kewenangan Penyidik Pembantu adalah sama dengan kewenangan


Penyidik, dengan pembatasan sebagai berikut :

1. Tindak pidana yang terjadi adalah tindak pidana yang locus delictinya adalah dalam
lingkungan satuan.
2. Penyidik Pembantu tidak boleh memberkas perkara.
3. Penyidik Pembantu tidak boleh menyerahkan berkas perkara kepada Oditurat.

Penangkapan dan Penahanan.

1. Di lingkungan militer/TNI yang berwenang menangkap adalah penyidik (POM)


atas perintah Ankum, kecuali dalam hal tertangkap tangan.

2. Penangkapan dapat dilakukan selama 1 X 24 jam. Apabila untuk kepentingan


penyidikan perlu untuk dilakukan penahanan, maka penyidik dapat mengajukan
permohonan kepada Ankum untuk mengeluarkan Skep Penahanan. Apabila POM
menahan tersangka tanpa Skep Penahanan dari Ankum maka penahanan tersebut
tidak sah dan cacat hukum.

3. Penahanan yang dilakukan oleh Ankum paling lama 20 hari. Apabila penyidikan
belum selesai maka dapat diperpanjang oleh Papera sebanyak 6 kali dan setiap kali
perpanjangan selama 30 hari. Jadi jumlah keseluruhan lamanya penahanan dalah
200 hari.
21

Syarat-syarat Penahanan.

1. Tindak pidana yang diduga dilakukan oleh tersangka diancam pidana penjara 3
bulan atau lebih. (Syarat mutlak).

2. Tersangka dikawatirkan akan mengulangi perbuatannya atau dikawatirkan


melarikan diri atau dikawatirkan merusak/menghilangkan barang bukti atau
dikawatirkan menimbulkan keonaran.

3. Tempat melaksanakan penahanan adalah di Rumah Tahanan Militer (RTM) atau


tempat lain yang ditentukan oleh Panglima yaitu Staltuntibmil (Instalasi Tuna
Tertib Militer) bertempat POM. Penunjukan Staltuntibmil sebagai Rumah Tahanan
Militer didasari oleh Skep Panglima ABRI, Nomor : Skep/711/ / tentang
Penyelesaian Perkara Pidana di lingkungan ABRI. Dalam Skep tersebut dijelaskan
bahwa tempat penahanan adalah Rumah Tahanan Militer (RTM).

Penggeledahan.

Untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan terhadap :

1. Benda/Barang.

Benda/barang yang digeledah adalah rumah dengan ketentuan harus ada perintah
dari komandan atau kepala penyidik yang melaksanakan penyidikan.

Caranya :

a. Apabila pemilik rumah ada dan disetujui untuk dimasuki, harus ada 2 orang
saksi. Tetapi apabila pemilik rumah tidak setuju dimasuki maka harus
disaksikan oleh Lurah, Kepala Desa, Kepala Lingkungan.

b. Dalam rangka pelaksanaan penggeledahan harus dibuat berita acara yang


ditandatangani oleh penyidik, saksi-saksi, Lurah, Kepala Desa, Kepala
Lingkungan, dan tersangka. Jika tersangka tidak mau menandatangani
berita acara tersebut, maka harus dicatat beserta alasannya. Berita acara
harus diberikan kepada komandan yang memerintahkan, tersangka, dan
saksi.
c. Penggeledahan dikecualikan dalam hal tertangkap tangan, penyidik dilarang
memasuki :

1) Ruangan yang di dalamnya sedang berlangsung sidang MPR, DPR,


DPRD baik Tingkat I maupun Tingkat II.
2) Tempat yang di dalamnya sedang berlangsung ibadah atau upacara
keagamaan.
3) Ruang yang di dalamnya sedang berlangsung sidang pengadilan.
22

4) Tempat di lingkungan Angkatan Bersenjata yang berdasarkan


kepentingan pertahanan keamanan negara tidak bebas dimasuki.

2. Badan.

Penggeledahan badan dilakukan pada saat menangkap tersangka hanya oleh


penyidik. Penggeledahan dilakukan dengan tetap memperhatikan sopan santun,
etika, dan kesusilaan.

3. Pakaian. (Sama dengan penggeledahan badan).

Penyitaan.

Penyitaan adalah tindakan menyita barang sesuatu dari pemiliknya dalam rangka
pembuktian tindak pidana yang diduga dilakukan oleh prajurit atau militer.

Yang dapat disita :

1. Barang-barang milik tersangka atau tagihan tersangka yang diduga dipergunakan


atau diperoleh dari tindak pidana. Barang yang diduga dipergunakan untuk
melakukan tindak pidana misalnya senjata tajam. Sedangkan barang yang diduga
diperoleh dari tindak pidana misalnya surat palsu atau uang palsu.

2. Barang lain yang digunakan untuk menghalang-halangi dalam penyidikan yaitu


barang yang ada hubungannya dengan tindak pidana.

3. Barang-barang dari sitaan tersebut harus disimpan di rumah sitaan barang.

4. Barang sitaan tidak boleh dipinjamkan atau dipakai.

5. Dalam rangka penyitaan harus dibuat berita acara penyitaan yang ditandatangani
oleh penyidik, saksi-saksi, Lurah/ Kepala Desa, Kepala Lingkungan, dan tersangka.
Berita acara tersebut harus diberikan kepada komandan yang memerintahkan,
tersangka, dan saksi.

Pemanggilan.

Yang dipanggil adalah orang, dalam rangka sebagai tersangka atau saksi.
1. Apabila tersangka atau saksi adalah militer maka pemanggilan ditujukan
kepada komandan satuan. Komandan satuan wajib memerintahkan tersangka atau
saksi untuk menghadirkannya kepada penyidik.
2. Apabila yang dipanggil berstatus sipil maka pemanggilan ditujukan kepada instansi
atau dialamatkan ke rumahnya.
3. Apabila yang dipanggil sedang ditahan maka pemanggilan ditujukan ke tempat
penahanan.
23

Catatan :

1. Kewajiban Komandan Satuan menghadirkan prajurit/militer bawahannya


merupakan suatu bukti bahwa Ankum tidak boleh melakukan penyidikan sendiri
terhadap prajurit/militer bawahannya. Ankum hanya boleh melakukan penyelidikan
saja terhadap kemungkinan adanya tindak pidana yang dilakukan oleh
prajurit/militer bawahannya.

2. Dalam melakukan pemanggilan penyidik harus memperhatikan tenggang waktu


yang wajar, sesuai dengan jauh dekatnya tempat saksi/tersangka.

3. Pemeriksaan harus dilaksanakan dengan tepat waktu sesuai yang tercantum dalam
surat pemanggilan.

Contoh : Apabila dalam surat pemanggilan tercantum waktu pemeriksaan pukul


09.00 WIB, maka penyidik hendaknya melaksanakan pemeriksaan
tepat pukul 09.00 WIB.

Pelaksanaan Penyidikan.

1. Dimulai dari adanya laporan (laporan polisi).

2. Jika tindak pidana tersebut merupakan delik aduan, maka harus ada pengaduan dari
yang berhak mengadu. Masalah yang berhak mengadu baca kembali Buku Asas-
Asas Hukum Pidana Di Indonesia (S.R. Sianturi, S.H.).

2. Yang menerima laporan adalah penyidik, dalam hal ini adalah POM. Isi dari
laporan tersebut adalah hal-hal yang terjadi, dilihat, diketahui, dan dialami sendiri
oleh pelapor.

4. Laporan polisi ditandatangani oleh pelapor dan yang menerima laporan/penyidik.


Sebagai tanda bukti laporan, pelapor menerima 1 lembar laporan polisi.

5. Penyidik yang menerima laporan tadi harus segera melaksanakan penyidikan.


Apabila yang menerima laporan tadi adalah Ankum, maka Ankum segera
menyerahkan kepada POM/oditur. Hal ini juga merupakan suatu bukti bahwa
Ankum tidak boleh menyidik.
6. Apabila penyidik itu sendiri yang mengetahui tindak pidana , tetap melaporkan
kepada penyidik yang lain dan dibuat laporan polisi.

7. Dalam hal tertangkap tangan, maka dia (yang menangkap) yang melaporkan tindak
pidana tersebut. Penyidik segera mendatangi TKP dan melarang orang lain yang
berada di TKP untuk meninggalkan tempat tersebut.

8. Dalam pemanggilan apabila yang dipanggil sudah datang maka penyidik


segera melakukan pemeriksaan dan dibuatkan Berita Acara baik sebagai
saksi/tersangka.
24

Yang dimuat dalam berita acara adalah berupa tanya jawab tentang kronologis
kejadian yang mengarah kepada adanya tindak pidana/unsur-unsur tindak pidana
yang diduga dilakukan oleh tersangka. Demikian juga terhadap saksi
dipertanyakan hal-hal yang diketahuinya yang berhubungan dengan perbuatan
tersangka.

9. Dalam pemeriksaan tidak boleh ada tekanan/intimidasi terhadap saksi/tersangka.


Pemeriksaan harus dilaksanakan dalam keadaan yang bebas. Apabila ada tekanan
dalam pemeriksaan maka apa yang diharapkan oleh penyidik tidak akan tercapai
dan dalam persidangan akan menyulitkan karena berkas perkara pemeriksaan tidak
sesuai dengan keterangan dalam persidangan.

10. Bagi tersangka mempunyai hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.

11. Terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit/militer yang diancam
dengan pidana penjara lebih dari 15 tahun atau pidana mati, Papera atau perwira
yang ditunjuk wajib menyediakan penasehat hukum. Apabila dalam persidangan
tidak disediakan penasehat hukum, maka persidangan tersebut harus ditunda.

12. Terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara kurang dari 15
tahun, maka dalam pemeriksaan/penyidikan penyidik perlu mempertanyakan
kepada tersangka apakah perlu didampingi penasehat hukum atau tidak.

13. Apabila dalam hal tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
15 tahun atau mati, tersangka tidak mau didampingi penasehat hukum maka harus
dibuat Berita Acara dan dalam persidangan hasil penyidikan tersebut tetap sah.
Berita acara tersebut ditandatangani oleh penyidik, tersangka, dan penasehat
hukum yang sudah disediakan tetapi ditolak bila perlu ditambah 2 orang saksi.
Dengan demikian berita acara tersebut kuat. Dengan tidak diperlukannya penasehat
hukum maka penasehat hukum tidak wajib hadir pada saat penyidikan.

14. Pemeriksaan yang didampingi oleh penasehat hukum, boleh dilihat dan didengar
oleh penasehat hukum kecuali terhadap perkara yang berhubungan dengan
keamanan negara, boleh dilihat tetapi tidak boleh didengar oleh penasehat hukum.

15. Jika dalam perkara tersebut diperlukan ahli maka dipanggil ahli sesuai dengan
bidangnya.
16. Ahli yang akan dihadirkan dalam pemeriksaan harus disumpah terlebih dahulu.

17. Saksi bisa tidak harus disumpah, tetapi apabila dikhawatirkan tidak bisa hadir
dalam persidangan maka saksi tersebut harus disumpah.

18. Keterangan tersangka, saksi, dan ahli yang sudah dibuat berita acara (baik
penyidikan, penahanan, penangkapan, penyitaan dll) dihimpun menjadi satu dan
selanjutnya dibuatkan Berita Acara Pendapat/Resume yang ditandatangani oleh

25

penyidik. Resume tersebut berisikan kesimpulan atau menerangkan tindak pidana


yang dilakukan oleh tersangka.

19. Setelah disimpulkan selanjutnya dihimpun menjadi satu yang disebur Berkas
Perkara atau DPP (Daftar Perkara Permulaan). DPP ini dijahit dan dilak oleh
penyidik.

20. Hasil penyidikan atau berkas perkara tersebut dikirimkan kepada Papera, Ankum,
dan oditur. Namun dalam prakteknya hasil penyidikan tersebut juga dikirimkan
kepada Penasehat Hukum.

21. Berkas perkara yang dikirim ke oditur dibuat 2 rangkap yaitu asli dan tembusan.
Mengapa berkas perkara yang asli dikirim ke oditur dan bukan kepada Papera ?
Karena berkas perkara yang asli akan digunakan untuk bahan pemeriksaan di
persidangan secara terus-menerus.

22. Berkas perkara yang asli tersebut selanjutnya diteliti. Penelitian dilakukan dalam
hal-hal sebagai berikut :
a. Apakah tersangka pantas dituntut atau tidak.
b. Apakah tersangka masih hidup atau sudah meninggal.
c. Apakah perkara tersebut sudah kadaluwarsa atau belum.
d. Apakah ada pengaduan atau tidak.
e. Apakah perkara tersebut nebis in idem atau tidak.
f. Apakah penyidikan termasuk dalam kewenangannya (daerah hukumnya)
atau tidak. Dll.
Selain itu dipelajari juga tentang berita acara pemeriksaan saksi/tersangka dan
keterangan ahli.

Surat pengaduan tidak selalu disatukan dalam berkas perkara. Surat laporan yang
isinya tentang tuntutan dapat befungsi sebagai laporan dan sebagai pengaduan.

23. Penyidikan dapat dihentikan oleh Papera atas usul dari oditur, apabila
perbuatan tersangka tidak cukup bukti atau bukan merupakan tindak pidana atau
dihentikan demi kepentingan hukum dalam hal nebis in idem, kadaluwarsa, dan
tersangka meninggal. Hal ini berbeda dengan penyidikan dalam Hukum Acara
Pidana Umum, dimana penyidikan dapat dihentikan langsung oleh penyidik itu
sendiri.
24. Dalam hal berkas perkara dianggap belum lengkap/kurang oditur dapat melakukan
tindakan sebagai berikut :

a. Mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik dengan


memberikan petunjuk tentang kekurangannya. Ini merupakan syarat formal.
b. Kemungkinan yang lain oditur melakukan pemeriksaan tambahan dengan
memanggil tersangka/saksi. Pemeriksaan tambahan dibuat juga berita
acaranya, selanjutnya berita acara tersebut disatukan dan dilak dengan
berkas perkara dari penyidik. Dalam pemeriksaan tambahan oditur juga
memberitahukan kepada penyidik.
26

25. Dalam hal berkas perkara dari penyidik sudah lengkap, maka oditur mengolah
perkara tersebut dengan membuat berita acara pendapat yang disebut BAPAT ,
isinya :

a. BAPAT yang berupa keterangan saksi, keterangan tersangka, keterangan


ahli, keterangan tentang barang bukti, dll.

b. Oditur kemudian berpendapat, yaitu :


1) Kemungkinan pertama, bahwa perkara tersebut diserahkan ke
pengadilan.
2) Kemungkinan kedua, bahwa perkara tersebut cukup diselesaikan
menurut Hukum Disiplin Prajurit, karena sedemikian ringan
sifatnya.
3) Kemungkinan ketiga, bahwa perkara tersebut perlu ditutup demi
hukum, kepentingan umum dan/atau militer.

26. Jika perkara tersebut harus diserahkan ke pengadilan maka harus ada surat yang
ditujukan kepada Papera dari oditur melalui Kaotmil/Kaotmilti berupa Saran
Pendapat Hukum (SPH) selanjutnya Papera mengeluarkan Surat Keputusan
Penyerahan Perkara (Skeppera).

27. Dalam hal oditur berpendapat bahwa perkara tersebut harus diselesaikan melalui
saluran hukum disiplin, maka atas dasar Saran Pendapat Hukum (SPH) dari Ka
Otmil tersebut, maka Papera harus menyelesaikan secara hukum disiplin dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Hukuman Disiplin (Skep Kumplin).

28. Dalam hal perkara tersebut harus ditutup demi hukum, kepentingan umum dan/atau
militer, maka Saran Pendapat Hukum (SPH) ditujukan kepada Papera/Papera
tertinggi untuk mengeluarkan Surat Keputusan Penutupan Perkara (Skep Tupra).

29. Dalam hal pendapat dari oditur tidak disetujui oleh Papera dan oditur juga tetap
pada pendiriannya (terjadi perbedaan pendapat) maka oditur dapat melanjutkan
kepada Orjen TNI. Apabila Orjen TNI menyatakan perkara tersebut harus
diselesaikan sesuai dengan SPH dari oditur/menguatkan saran oditur, maka mau
tidak mau Papera harus melaksanakannya dengan menandatagani Skeppera tersebut
yang diajukan oleh oditur.
Catatan :

a. Penutupan perkara demi hukum dapat dilakukan oleh setiap Papera.


Sedangkan penutupan perkara demi kepentingan umum dan/atau militer
hanya dapat dilakukan oleh Papera tertinggi yaitu Panglima TNI.
b. Jika Skeppera sudah ditandatangani oleh Papera/disetujui maka oditur
membuat Surat Dakwaan dan bersama-sama dengan berkas perkara
diserahkan ke pengadilan.
c. Jika perkara tersebut diselesaikan secara hukum disiplin, maka perkara
tersebut diserahkan kepada Ankum untuk dijatuhi hukuman disiplin.
27

Yang menjadi masalah adalah jika perkara tersebut sudah dijatuhi hukuman
disiplin sebelumnya, maka Ankum tidak boleh lagi menjatuhkan hukuman
disiplin dan Ankum harus menunjukan Skep Kumplin yang pernah
dikeluarkan.
d. Jika penutupan perkara sesuai dengan usul oditur, maka Oditurat harus
memberitahukan kepada Ankum tentang penutupan perkara tersebut.

Perwira Penyerah Perkara (Papera).

1. Papera menurut UU No.31 Tahun 1997 adalah Panglima TNI selaku Papera
tertinggi dan Kepala Staf Angkatan.

2. Penunjukan Papera di lingkungan ABRI sebelum dikeluarkannya UU No.31 Tahun


1997 diatur dengan Keputusan Panglima ABRI, Nomor : Kep/02/III/1987 tanggal
21 Maret 1987. Dalam Keputusan tersebut disebutkan sebagai berikut :

a. Panglima ABRI bertindak sebagai Papera terhadap Kepala Staf Angkatan


dan beberapa pejabat di lingkungan TNI.
b. Kepala Staf Angkatan menunjuk Papera dalam lingkungannya dengan
ketentuan serendah-rendahnya sebagai berikut :

1) Untuk TNI-AD adalah Komandan Korem/setingkat.


2) Untuk TNI-AL adalah Danlanal.
3) Untuk TNI-AU adalah Danlanud Tipe C.

3. Penunjukan Papera di lingkungan angkatan adalah sebagai berikut :

a. Untuk TNI-AD berdasarkan Keputusan Kasad Nomor : Kep/6/VI/1987


tanggal 3 Juni 1987.
b. Untuk TNI-AL berdasarkan Surat Keputusan Kasal Nomor : Skep /2548/
IX/1986 tanggal 2 September 1986 jo Nomor : Skep/2548a/IX/1986 tanggal
15 Agustus 1987 jo Nomor : Skep/2548 b/IX/1986 tanggal 31 Agustus
1988.
c. Untuk TNI-AU berdasarkan Keputusan Kasau Nomor : Kep/03/I/1987
tanggal 10 Januari 1987.
Kewenangan Papera.

1. Memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan.


2. Menerima laporan hasil penyidikan dari penyidik.
3. Memerintahkan pelaksanaan upaya paksa (penangkapan).
4. Memperpanjang penahanan.
5. Menyerahkan perkara ke pengadilan.
6. Menentukan perkara diselesaikan secara hukum disiplin.
7. Menutup perkara demi hukum, kepentingan umum dan/atau kepentingan militer.
8. Meminta atau menerima pendapat hukum dari oditur.
28

Surat Dakwaan.

1. Peranan Surat Dakwaan.

a. Bagi pengadilan merupakan dasar dalam memeriksa perkara tersebut.


b. Bagi oditur merupakan dasar untuk menuntut perkara tersebut di depan
pengadilan.
c. Bagi terdakwa merupakan dasar untuk menyiapkan bahan-bahan untuk
pembelaan dirinya.
d. Bagi hakim merupakan dasar pembatasan dalam mengadili perkara tersebut.

2. Syarat-syarat Surat Dakwaan.

a. Syarat Formil.

1) Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh yang


membuat dakwaan/oditur.
2) Memuat identitas secara lengkap, yaitu Nama lengkap, Pangkat,
NRP, Jabatan, Kesatuan, Tempat tanggal lahir/umur, Agama, Jenis
kelamin, Kewarganegaraan, Alamat tempat tinggal.

b. Syarat Materiil.

1) Surat dakwaan disusun secara cermat, jelas, dan lengkap.


Cermat artinya dakwaan harus sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Karena banyaknya UU yang ada
maka dalam membuat surat dakwaan harus benar-benar berpedoman
kepada UU yang tepat. Jangan sampai UU yang sudah tidak berlaku
lagi, masih juga digunakan atau juga perkara tersebut Nebis in idem,
kadaluwarsa atau si tersangka meninggal dunia dll. Intinya harus
benar-benar cermat dan teliti.

Jelas artinya unsur-unsur dalam tindak pidana tersebut sesuai


dengan fakta-fakta yang ada.
Contoh : Mengambil barang (pasal 362 KUHP). Barang yang
dimaksud harus jelas bentuknya /fisiknya seperti apa.

Lengkap artinya di dalam uraian dakwaan semua unsur-unsur tindak


pidana (S,K,B,T,WTK) itu harus ada dan didukung oleh fakta yang
ada.

2) Waktu dan tempat tindak pidana dilakukan. Menjelaskan tentang Si-


A-Bi-Di-Ba-Me.
Waktu, berhubungan dengan kadaluwarsa atau tidaknya perkara
tersebut.

29

Tempat, berhubungan dengan kewenangan pengadilan


(kompetensinya).

Apabila syarat materiil tidak dipenuhi maka surat dakwaan tersebut


batal demi hukum. Dengan demikian apabila syarat materiil belum
lengkap oditur dapat melakukan pemeriksaan tambahan sesuai
dengan kewenangannya.

Bentuk-bentuk Surat Dakwaan.

1. Tunggal, yaitu bahwa terhadap terdakwa hanya didakwakan satu tindak pidana saja.

Contoh : Pencurian (pasal 362 KUHP).

2. Kumulasi, yaitu bahwa terhadap terdakwa didakwakan lebih dari satu tindak
pidana.

Contoh : Pencurian (pasal 362 KUHP); Penganiayaan (pasal 351 atau 352 KUHP);
dan pemerkosaan (pasal 385 KUHP).

3. Alternatif, yaitu si pembuat dakwaan/oditur yakin bahwa terdakwa harus didakwa


salah satu pasal (kalau tidak pasal ini pasti pasal itu).

Contoh : Penggelapan (pasal 372 KUHP) atau Penipuan (pasal 378 KUHP).

4. Primair-Subsidair, yaitu untuk primair didakwakan yang lebih berat sedangkan


subsidair didakwakan yang lebih ringan. Dalam hal ini harus dibuktikan yang
primair terlebih dahulu dan apabila primair tidak terbukti baru subsidair. Namun
apabila yang primair sudah terbukti maka yang subsidair tidak perlu dibuktikan.
Inti dari primair-subsidair adalah untuk menjerat agar terdakwa tidak lepas dari
pemidanaan.
5. Kombinasi, gabungan antara beberapa dakwaan baik tunggal, kumulasi, alternatif,
maupun primair-subsidair.

Contoh : Dakwaan kesatu adalah : Bentuk tunggal, yaitu pencurian (pasal 362
KUHP).

Dakwaan kedua adalah : Primair-subsidair.


Primair, yaitu pembunuhan yang direncanakan (pasal 340 KUHP).
Subsidair, yaitu pembunuhan yang tidak direncanakan (pasal 338 KUHP).

Dakwaan ketiga adalah : Bentuk alternatif, yaitu penggelapan (pasal 372


KUHP) atau penipuan (pasal 378 KUHP).
30

Catatan :

Dalam surat dakwaan sering kita temukan istilah jungto (jo). Apa maksud dari
istilah tersebut ? Jo. Pada dasarnya berkaitan dengan ketentuan umum.

Contoh : Kasus pembunuhan yang direncanakan oleh beberapa orang. Dalam kasus
ini, tindak pidana pembunuhan yang direncanakan dikenakan pasal 340
KUHP. Sedangkan tindak pidana tersebut dilakukan oleh beberapa orang,
maka dalam hal ini terjadi penyertaan dan dikenakan pasal 55 KUHP.
Karena tindak pidana tersebut berkaitan dengan penyertaan maka dalam
surat dakwaan ditulis pasal 340 KUHP jo pasal 55 ayat (?) ke- ? (sesuai
dengan perannya).

Dalam pasal 55 KUHP dinyatakan sebagai berikut :

Ayat (1) Dipidana sebagai pelaku tindak pidana :

ke-1. mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta
melakukan perbuatan.

ke-2. mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan


menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman
atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau
keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan
perbuatan.

Bila kita teliti dalam pasal 55 ayat (1) ke-1 terdapat 3 syarat, dan salah satu syarat
tersebut adalah yang menyuruh melakukan. Sedangkan dalam ayat (1) ke-2 syarat
tersebut adalah menganjurkan. Apakah syarat yang ada pada pasal 55 ayat (1) ke-1
dengan ayat (1) ke-2 memiliki arti yang sama ? Jawabnya adalah tidak. Syarat
yang terdapat pada ayat (1) ke-1 yaitu yang menyuruh melakukan mempunyai arti
bahwa orang yang disuruh tersebut tidak dipertanggungpidanakan atau tidak
dipidana, karena merupakan perintah jabatan. Sedangkan syarat dalam ayat (1) ke-2
yaitu menyuruh melakukan mempunyai arti sebagai penggerak yang dapat
dipertanggungpidanakan atau dapat dipidana, karena menggerakan secara limitatif
sudah diatur syarat-syaratnya dalam ayat tersebut yaitu memberi kesempatan,
sarana, dan informasi/keterangan.

Perubahan Surat Dakwaan.

1. Surat dakwaan yang sudah dibuat oleh oditur dapat dirubah sekurang-kurangnya 7
(tujuh) hari sebelum sidang. Artinya apabila dilakukan perubahan kurang dari 7
(tujuh) hari, maka dakwaan tersebut tidak sah karena tidak sesuai dengan ketentuan
UU/ Hukum Acara Pidana Militer.

2. Surat dakwaan tersebut wajib diberitahukan kepada terdakwa dan Papera.


31

3. Perubahan surat dakwaan tidak boleh dirubah menjadi tindak pidana lain.
Perubahan hanya bersifat menyempurnakan terhadap perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh terdakwa. Hal ini didasari oleh yurisprudensi MA No.15/K/Kr/1969
tanggal 19 Februari 1971 yang berbunyi sebagai berikut :

“Surat dakwaan tidak boleh dirubah menjadi tindak pidana yang lain”.

4. Dalam UU tidak ditentukan sejauh mana batasan untuk dapat merubah surat
dakwaan, sehingga banyak menimbulkan penafsiran dari oditur. Pada zaman
sekarang dalam merubah surat dakwaan harus memperhatikan masalah HAM.

5. Perubahan surat dakwaan hanya dilakukan sekali saja.

Penggabungan Perkara.

1. Apabila oditur menerima beberapa berkas perkara yang sama yang dilakukan oleh
prajurit, maka oditur dapat membuat surat dakwaan dalam satu dakwaan.

2. Jika oditur menerima beberapa berkas perkara yang ada sangkut pautnya dengan
perkara lain maka surat dakwan tersebut dapat digabungkan menjadi satu.

Contoh : Prajurit A melakukan disersi, kemudian pada saat disersi tersebut ia


melakukan pencurian dan penganiayaan. Dalam perkara ini oditur dapat
menggabungkan ketiga perkara tersebut (disersi, pencurian, dan
penganiayaan) menjadi satu dakwaan dalam surat dakwaan.

Pemisahan Penuntutan.

Jika oditur menerima satu berkas perkara yang memuat beberapa tindak pidana
yang dilakukan oleh beberapa tersangka, maka oditur dapat membuat surat dakwaan secara
terpisah/menuntut secara terpisah dan tersangka yang lain dapat sebagai saksi. Hal ini
dilakukan apabila alat bukti hanya ada satu yaitu keterangan terdakwa saja. Padahal sesuai
ketentuan UU penuntutan dapat dilakukan berdasarkan sekurang-kurangnya 2 alat bukti
ditambah keyakinan hakim. Perlu diketahui bahwa keterangan terdakwa hanya digunakan
oleh terdakwa itu sendiri.
Contoh : Kasus penganiayaan yang berakibat matinya seseorang yang dilakukan oleh 3
orang. Pasal yang dapat menjerat para tersangka adalah pasal 351 ayat (3)
KUHP. Dalam kasus ini tidak ditemukan alat bukti yang lain selain keterangan
terdakwa. Apabila hanya ada satu alat bukti saja maka si terdakwa dipastikan
akan bebas dari segala tuntutan. Hal ini tentunya tidak akan mewujudkan rasa
keadilan bagi pencari keadilan dan masyarakat. Untuk itu oditur harus
melakukan pemeriksaan tambahan untuk menemukan bukti yang lain dengan
cara melakukan pemisahan penuntutan. Pemisahan penuntutan dilakukan dengan
cara sebagai berikut :
Pertama : Orang pertama dijadikan sebagai terdakwa, kemudian orang kedua
dan ketiga sebagai saksi, yaitu saksi 1 dan 2.
32

Kedua : Orang kedua dijadikan sebagai terdakwa, kemudian orang pertama dan
ketiga sebagai saksi, yaitu saksi 1 dan 2.

Ketiga : Orang ketiga dijadikan sebagai terdakwa, kemudian orang pertama dan
kedua sebagai saksi, yaitu saksi 1 dan 2.

Dengan cara demikian maka dapat ditemukan dua alat bukti yaitu keterangan
terdakwa dan keterangan saksi. Jika sudah ditemukan sekurang-kurangnya dua
alat bukti dan hakim berkeyakinan bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa
dapat dipidana.

PEMERIKSAAN DI PERSIDANGAN

1. Persiapan Persidangan.

a. Sebelum sidang dimulai, setelah berkas perkara diterima maka


dilaksanakan persiapan persidangan/sidang yaitu melakukan penelitian
berkas perkara.

Apa saja yang diteliti ? Yang diteliti adalah :

1) Apakah pengadilan berwenang mengadili perkara tersebut setelah


meneliti berkas perkara.

2) Jika pengadilan tersebut tidak berwenang mengadili maka Kepala


Pengadilan mengeluarkan penetapan yang memuat alasan bahwa
pengadilan yang dipimpinnya tidak berwenang mengadili perkara
tersebut. Selanjutnya berkas perkara segera dikembalikan kepada
Oditurat yang bersangkutan untuk dilimpahkan kepada pengadilan
lain yang berwenang.

3) Dalam hal Oditurat berkeberatan terhadap penetapan pengadilan , ia


dapat mengajukan perlawanan ke tingkat banding dalam waktu 7
(tujuh) hari sesudah penetapan diterima.
4) Jika pengadilan tingkat banding menyetujui terhadap perlawanan
oditur maka pengadilan tersebut wajib melaksanakan sidang.

5) Jika pengadilan tingkat pertama menguatkan/berwenang mengadili,


maka perkara tersebut dapat disidangkan.

b. Kepala Oditurat menyerahkan perkara tersebut kepada Kepala Pengadilan


yang berwenang mengadili perkara tersebut sesuai wilayah hukumnya.

c. Dalam hal pengadilan berpendapat bahwa suatu perkara termasuk


wewenangnya, Kepala Pengadilan tersebut menunjuk majelis hakim yang
akan menyidangkan perkara yang tersebut.
33

d. Hakim ketua yang ditunjuk mempelajari berkas perkara tersebut. Sesudah


mempelajari berkas perkara kemudian menetapkan hari sidang (Tapsid) dan
memerintahkan supaya oditur memanggil terdakwa dan saksi.

2. Penahanan.

a. Perlu diperhatikan juga masalah penahanan, terutama syarat-syarat


penahanan yaitu jika tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara
3 bulan atau lebih yang bersangkutan harus ditahan. Syarat yang lain adalah

1) Dikhawatirkan terdakwa melarikan diri.


2) Dikhawatirkan terdakwa menghilangkan barang bukti.
3) Dikhawatirkan terdakwa mengulangi perbuatannya.
4) Dikhawatirkan terdakwa menimbulkan keonaran.

b. Penetapan penahanan (Taphan) oleh Hakim Ketua selama 30 hari dan dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan paling lama 60 hari.

c. Sesudah waktu 90 hari, walaupun perkara tersebut belum diputus, terdakwa


harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum. Selain itu sebelum berakhirnya
waktu penahanan, apabila kepentingan pemeriksaan sudah terpenuhi maka
terdakwa dapat dikeluarkan dari tahanan.

d. Dikecualikan dari waktu penahanan sebagaimana tersebut di atas, guna


kepentingan pemeriksaan, penahanan terhadap terdakwa dapat diperpanjang
berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena :

1) Terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang


dibuktikan dengan surat keterangan dokter; atau

2) perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9


(sembilan tahun atau lebih).
e. Apabila perkara tersebut ada pada Pengadilan Militer Tinggi/Utama
perpanjangan penahanan dilakukan oleh MA.

3. Pemanggilan.

a. Berdasarkan penetapan hari sidang, oditur mengeluarkan surat panggilan


kepada terdakwa dan saksi yang menurut hari, tanggal, waktu, tempat
sidang, dan untuk perkara apa mereka dipanggil.

b. Surat panggilan harus sudah diterima oleh terdakwa atau saksi


paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang.

c. Pemanggilan untuk datang ke sidang pengadilan dimaksud, dilakukan


secara sah apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada :
34

1) Terdakwa dan/atau saksi prajurit pemanggilan melalui Ankum atau


atasan langsungnya yang selanjutnya ia wajib memerintahkan
terdakwa dan/atau saksi untuk menghadap ke sidang pengadilan.

2) Terdakwa dan/atau saksi prajurit yang berada dalam tahanan karena


perkara lain pemanggilan melalui pejabat yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan penahanan tersebut.

3) Terdakwa dan/atau saksi sipil pemanggilan langsung kepada yang


bersangkutan di tempat tinggalnya atau tempat kediaman terakhir
atau apabila terdakwa dan/atau saksi sedang tidak ada di tempat
tinggalnya atau tempat kediaman terakhir melalui instansi kepolisian
setempat atau Kepala Desa/Lurah atau ketua lingkungan.

4) Terdakwa dan/atau saksi orang sipil yang berada dalam tahanan


karena perkara lain, pemanggilan melalui instansi yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan penahanan dan/ atau harus mendapat izin
dari pejabat yang memerintahkan penahanan tersebut.

b. Apabila terdakwa dan/atau saksi berada di luar negeri, pemanggilan


dilakukan melalui perwakilan Republik Indonesia dimana terdakwa
dan/atau saksi berdiam.

c. Penerimaan surat panggilan oleh terdakwa, saksi, atau orang lain, dilakukan
dengan surat tanda terima.

d. Ankum atau atasan langsung terdakwa dan/atau saksi atau pejabat


sebagaimana dimaksud di atas, sesudah menerima surat panggilan wajib
memerintahkan terdakwa dan/atau saksi untuk menghadap ke sidang
pengadilan.

Acara Pemeriksaan di Persidangan.


Sebelum membahas acara pemeriksaan di persidangan, perlu diketahui bahwa
pada dasarnya acara pemeriksaan di persidangan antara Hukum Acara Pidana Umum
(KUHAP) dengan Hukum Acara Pidana Militer (UU No.31/1997) hampir sama. Untuk
lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut :

Acara pemeriksaan dalam KUHAP.

1. Acara pemeriksaan biasa.


2. Acara pemeriksaan singkat.
3. Acara pemeriksaan cepat, terdiri dari :

a. Acara pemeriksaan tindak pidana ringan (tipiring).


b. Acara pemeriksaan lalu lintas.
35

Acara pemeriksaan dalam UU No.31/1997.

1. Acara pemeriksaan biasa.


2. Acara pemeriksaan koneksitas.
3. Acara pemeriksaan khusus.
4. Acara pemeriksaan cepat, yaitu masalah lalu lintas.

ACARA PEMERIKSAAN BIASA

1. Pemeriksaan dan Pembuktian.

a. Pertama-tama adalah pembukaan sidang. Sidang dibuka oleh hakim ketua


dan dinyatakan terbuka untuk umum.

b. Dalam perkara-perkara tertentu, sidang dapat dinyatakan tertutup untuk


umum, yaitu dalam perkara susila dan perkara yang menyangkut rahasia
negara/militer.

c. Sidang dipimpin oleh hakim ketua secara lisan dan dengan Bahasa
Indonesia yang mudah dimengerti oleh terdakwa.

d. Setelah sidang tersebut dibuka, hakim ketua memerintahkan kepada oditur


untuk menghadapkan terdakwa, kecuali dalam perkara desersi yang
terdakwanya sudah tidak ditemukan lagi selama 6 bulan berturut-turut dan
dalam sidang yang sudah dijadwalkan 3 kali tidak hadir (inabsensia).

e. Jika terdakwa ada, maka oditur memerintahkan petugas untuk


menghadapakan terdakwa ke ruang sidang.

f. Jika hakim ketua sudah memerintahkan oditur untuk menghadirkan


terdakwa, namun oditur tidak menghadirkan karena terdakwa sudah
dipanggil secara sah tidak juga hadir dan telah dipanggil sekali lagi juga
tidak hadir, serta sudah dilakukan upaya paksa juga tidak hadir, maka
karena ketidakhadiran terdakwa sidang harus ditunda.

g. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh lebih dari 1 orang, maka tanpa
harus menunggu semua terdakwa hadir dalam persidangan, sidang tetap
dapat dilaksanakan.

h. Jika terdakwa sudah dihadirkan maka yang pertama-tama


ditanyakan kepada terdakwa adalah identitasnya yang meliputi nama
lengkap, pangkat, NRP, jabatan, kesatuan, tempat dan tanggal lahir, jenis
kelamin, kewarganegaraan, agama, alamat tempat tinggal. Perlu juga
ditanyakan apakah dalam perkara ini terdakwa didampingi oleh penasehat
hukum (advokat) atau tidak. Jika didampingi dan penasehat hukum sudah
ada di tempat/ruang sidang, maka harus ditanyakan mana orangnya,
apakah sudah
36

ada surat perintah dari Papera/Perwira yang ditunjuk (dari Ditkumad,


Diskumal, Diskumau, atau Kum Kotama) atau tidak, dan apakah sudah
diberi surat kuasa khusus atau belum. Jika semua surat-surat sebagaimana
yang ditanyakan kepada penasehat hukum sudah ada, maka surat-surat
tersebut harus diserahkan kepada panitera.

i. Selanjutnya hakim ketua memperingatkan kepada terdakwa mengenai


segala sesuatu yang terjadi dalam sidang.

j. Hakim ketua memerintahkan oditur agar membacakan surat dakwaan.

k. Setelah oditur selesai membacakan surat dakwaan, hakim ketua


menanyakan kepada terdakwa apakah terdakwa mengerti isi surat dakwaan
tersebut.

l. Apabila terdakwa tidak mengerti, maka hakim ketua memerintahkan oditur


supaya menjelaskan sekali lagi.

m. Apabila terdakwa tidak bisa berbicara dengan menggunakan


Bahasa Indonesia atau tidak mengerti Bahasa Indonesia, maka harus ada
juru bahasa/penerjemah dan juru bahasa/penerjemah sebelum melaksanakan
tugasnya harus disumpah.

n. Apabila terdakwa bisu/tuli, maka pemeriksaan dilakukan dengan cara


tertulis dan harus dibacakan lagi oleh hakim setelah terdakwai selesai
menulis.

o. Seseorang dilarang menjadi penerjemah apabila ada hubungan keluarga


sedarah/semenda sampai dengan derajat ketiga atau terikat dalam hubungan
suami/istri, walaupun sudah bercerai dengan salah seorang
hakim/oditur/panitera/terdakwa/penasehat hukum.
p. Hakim ketua wajib tidak melakukan/menanyakan kepada terdakwa
pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyebabkan terdakwa memberikan
jawaban tidak bebas.

q. Apabila terdakwa sudah mengerti, ditanyakan juga apakah


terdakwa/penasehat hukum akan mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap
surat dakwaan tersebut.

r. Keberatan dapat diajukan oleh terdakwa/penasehat hukum hanya dalam hal

1). Masalah kewenangan pengadilan.


2). Surat dakwaan tidak dapat diterima karena tidak diberi tanggal atau
identitas tidak lengkap.
3). Surat dakwaan harus dibatalkan karena tidak disusun secara cermat,
jelas, dan lengkap serta tidak menyebutkan waktu dan tempatnya.
37

4) Pada saat dilakukan penyidikan terdakwa tidak didampingi oleh


penasehat hukum, padahal sudah disiapkan.
5) Hakim yang menyidangkan belum diangkat sebagai hakim oleh
Presiden.
6) Hakim mempunyai kepentingan tersendiri. Misalnya pada waktu
sebelumnya ia sebagai oditur kemudian sekarang ia sebagai hakim.
7) Organisasinya belum diatur menurut undang-undang.
8) Paniteranya belum diangkat oleh pejabat yang berwenang sebagai
panitera, dll.

s. Setelah eksepsi diajukan maka hakim ketua memerintahkan oditur untuk


menanggapinya.

t. Setelah oditur mengemukakan pendapat terhadap eksepsi tersebut, maka


majelis hakim bermusyawarah, apakah eksepsi diterima atau ditolak. Dalam
musyawarah ini diikuti oleh majelis hakim (hakim ketua, 2 hakim anggota)
dan panitera. Tugas panitera adalah mencatat hasil musyawarah dan
merahasiakannya.

u. Sistem musyawarah dimulai dari hakim anggota yang paling muda/yunior


untuk mengemukakan pendapatnya, selanjutnya hakim anggota yang lebih
tua/senior dan terakhir adalah hakim ketua. Tujuan mengapa hakim yang
paling muda didahulukan dalam musyawarah adalah agar memperoleh
obyektifitas yang seadil-adilnya.

v. Jika dalam musyawarah terjadi perbedaan pendapat diantara majelis


hakim, maka hakim ketua berusaha mencari jawaban yang sama secara
mufakat.

w. Jika dalam musyawarah yang menang dua hakim, maka pendapat


dua hakim tersebut yang digunakan.
q. Jika ketiga hakim (hakim ketua dan anggota) semuanya berbeda pendapat,
maka yang dipakai adalah pendapat yang paling menguntungkan bagi
terdakwa. Keputusan ini dinamakan putusan sela.

y. Jika musyawarah menentukan sependapat/menerima eksepsi tersebut, maka


sidang tidak dapat dilanjutkan atau berhenti. Tetapi apabila musyawarah
menentukan bahwa eksepsi ditolak, maka sidang dilanjutkan.

z. Pengajuan perlawanan/eksepsi, diajukan oleh Pengadilan Tingkat Pertama


ke Tingkat Banding paling lama 7 hari setelah diterimanya putusan tersebut.

aa. Sedangkan Pengadilan Tingkat Banding paling lama 14 hari setelah


menerima perlawanan tersebut harus menyidangkan.

ab. Putusan dari Pengadilan Tingkat Banding dalam perkara tersebut harus
diterima dan tidak dapat diajukan lagi tingkat berikutnya.
38

ac. Putusan dari Pengadilan Tingkat Banding dapat berupa penolakan atau
menerima perlawanan tersebut.

ad. Jika Pengadilan Tingkat Banding menyatakan sependapat bahwa putusan


Pengadilan Tingkat Pertama sudah benar, maka putusan Pengadilan Tingkat
Banding adalah menguatkan.

ae. Jika Pengadilan Tingkat Banding menerima perlawanan dari oditur, maka
putusan sela dibatalkan dan memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama
melanjutkan sidang dalam perkara tersebut.

af. Jika putusan sela menolak eksepsi, maka sidang dilanjutkan dan
terdakwa/penasehat hukum dapat mengajukan eksepsi secara bersama-sama
dengan permohonan banding.

ag. Perlawanan/eksepsi yang diajukan oleh terdakwa/penasehat hukum secara


bersama-sama dengan permohonan banding, dalam waktu 14 hari sejak
diterimanya eksepsi dan permohonan banding tersebut harus disidangkan.

ah. Apabila perlawanan/eksepsi tersebut tidak diterima oleh Pengadilan Tingkat


Banding, maka Pengadilan Tingkat Banding harus membatalkan putusan
tersebut termasuk permohonan kasasi dan menunjuk pengadilan lain untuk
menyidangkan, jika yang dipersoalkan mengenai masalah kewenangan.

ai. Jika yang dipermasalahkan mengenai masalah surat dakwaan, maka yang
dibatalkan adalah putusan sela dan banding, selanjutnya menunjuk
pengadilan lain untuk menyempurnakan surat dakwaan dan kepada oditur
supaya melengkapi surat dakwaan tersebut.
aj. Jika perlawanan yang diajukan bersama-sama dengan permohonan banding
tersebut ditolak, maka putusan Pengadilan Tingkat Pertama harus
dikuatkan.

ak. Di dalam sidang ada kalanya terdakwa/penasehat hukum tidak mengajukan


perlawanan/eksepsi terutama mengenai kewenangan mengadili, maka
hakim ketua karena jabatannya setelah menerima pendapat dari oditur dapat
memutuskan bahwa pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang
mengadili perkara tersebut.

Contoh : Pengadilan Militer II-08/Jakarta menerima berkas perkara dari


Pomdam Jaya. Setelah diteliti ternyata bahwa tindak pidana yang
terjadi adalah di Bogor. Seharusnya berkas perkara tersebut
masuk ke Pengadilan Militer II-09/Bandung. Karena
terdakwa/penasehat hukum tidak mengajukan eksepsi terhadap
perkara tersebut, maka hakim berdasarkan jabatannya dapat
memutuskan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili
perkara tersebut.
39

al. Dalam masalah tersebut di atas (huruf q) terdapat dua pendapat, yaitu :

1). Pendapat pertama mengatakan bahwa masalah tersebut merupakan


putusan sela, dengan syarat jika ada eksepsi.

2). Pendapat kedua mengatakan bahwa masalah tersebut merupakan


NO yaitu putusan yang tidak menerima dakwaan Oditur. NO
merupakan sinkatan dari N adalah Niet yang artinya tidak,
sedangkan O adalah Onvangkelijk yang artinya diterima. Jadi Niet
Onvangkelijk (NO) artinya tidak diterima.

am. Dalam hal eksepsi ditolak, maka sidang dilanjutkan. Pertama-tama dimulai
dari pemeriksaan terdakwa atau saksi. Hal ini dapat dilakukan dengan
memeriksa terdakwa terlebih dahulu baru memeriksa saksi atau sebaliknya
tergantung kepada hakim ketua. Berbeda dengan ketentuan KUHAP, bahwa
dalam persidangan pertama-tama harus dimulai dengan pemeriksaan
tersangka.

2. Pemeriksaan Saksi.

a. Saksi dihadapkan ke ruang sidang dengan pengawalan dan dalam keadaan


bebas (tidak diborgol dsb).

b. Saksi dihadapkan seorang demi seorang.

c. Sebelum diperiksa saksi tidak boleh berhubungan dengan saksi yang lain,
tujuannya adalah agar saksi dapat memberikan keterangan yang obyektif.
Jika para saksi sebelum pemeriksaan sudah berhubungan antara yang satu
dengan yang lain, ada kemungkinan para saksi saling mempengaruhi
sehingga jawaban yang diberikan tidak obyektif.

d. Pada saat saksi menghadap ke sidang, yang pertama-tama ditanyakan adalah


masalah identitas saksi (hal-hal yang ditanyakan sama dengan identitas
terdakwa).

e. Selain identitas ditanyakan pula hal-hal sbb :

1) Apakah saksi kenal dengan terdakwa sebelum perkara


tersebut terjadi.

2) Apakah ada hubungan keluarga sedarah atau semenda atau


hubungan sebagai suami/istri walaupun sudah bercerai.

Hal-hal tersebut di atas perlu ditanyakan berhubungan dengan orang-orang


yang tidak boleh menjadi saksi dan untuk mencegah tidak obyektifnya saksi
dalam memberikan keterangan.
40

f. Ditanyakan pula mengenai hubungan pekerjaan antara terdakwa dengan


saksi.

g. Apabila ada hubungan keluarga sedarah/semenda atau ada hubungan


sebagai suami isteri atau pernah sebagai suami isteri, maka orang-orang
tersebut dapat mengundurkan diri sebagai saksi.

h. Ditanyakan pula tentang kesehatannya.

i. Sebelum memberikan keterangan saksi harus disumpah/berjanji sesuai


dengan agamanya.

j. Saksi yang tidak perlu disumpah adalah :

1) Anak yang usiannya 15 tahun kebawah.


2) Orang yang menderita gangguan mental, namun sewaktu-waktu
sehat kembali.

k. Saksi yang tidak mau mengucapkan sumpah/janji tanpa alasan yang sah
dapat disandera selama 14 hari.

l. Untuk menyandera terhadap saksi, hakim harus mengeluarkan penetapan


dan tempat untuk penyanderaan adalah di staltuntibmil (POM).

m. Sesuai dengan ketentuan UU jika oditur atau penasehat hukum atau


terdakwa atau hakim anggota akan bertanya harus melalui hakim ketua.

n. Pertanyaan yang tidak boleh ditanyakan adalah pertanyaan yang menjerat


atau keterangan yang menyinggung kehormatan prajurit. Pertanyaan yang
menjerat yaitu pertanyaan yang jawabannya dikehendaki oleh hakim
walaupun tidak sesuai dengan apa yang dialami, dilihat, dan didengar
sendiri oleh saksi.

o. Apabila keterangan saksi berbeda antara di persdiangan dengan BAP


penyidik, maka keterangan tersebut harus diteliti kembali secara benar
dengan mendatangkan penyidik.

p. Apabila keterangan yang benar adalah keterangan pada saat di persidangan,


maka keterangan tersebut yang harus dipedomani oleh hakim.

q. Apabila keterangan yang diberikan oleh saksi pada BAP penyidikan


ternyata tidak tidak benar, maka keterangan tersebut adalah palsu. Dalam
hal ini saksi dapat ditahan berdasarkan perintah hakim.

r. Apabila saksi tersebut adalah prajurit, maka penahanan harus ada


surat perintah dari Ankum dan apabila saksi tersebut adalah sipil maka
penahanan harus ada surat perintah dari hakim. Dalam hal ini panitera juga
41

harus membuat kutipan dari Berita Acara Sidang (BAS) yang berhubungan
dengan keterangan palsu maupun keterangan yang benar.

s. Apabila saksi sudah diperiksa dan tidak ada lagi keterangan yang
lain, maka ia dapat/dipersilahkan untuk duduk pada tempat yang telah
disiapkan dan tidak boleh meninggalkan ruang sidang tanpa ada perintah
dari hakim.Tujuannya adalah untuk mengkonfrontasikan apabila ada
keterangan yang berbeda.

t. Kepada terdakwa diberikan kesempatan untuk menanyakan /menanggapi


keterangan setiap saksi yang sudah diperiksa .

u. Setelah semua saksi diperiksa selanjutnya dilakukan dengan pemeriksaan


terdakwa.

3. Pemeriksaan Terdakwa.

a. Terdakwa dapat diperiksa seorang demi seorang atau sekaligus. Tujuannya


adalah karena keterangan terdakwa itu hanya digunakan untuk dirinya
sendiri, sehingga perlu diperiksa sekaligus agar keterkaitannya dapat
diketahui.

b. Tata cara pemeriksaan terdakwa sama dengan pemeriksaan saksi.


Pemeriksaan dimulai dari hakim ketua, kemudian hakim anggota, oditur,
dan penasehat hukum.
c. Apabila terdakwa tidak mau memberikan keterangan, maka hakim ketua
berupaya untuk mendapatkan keterangan dari terdakwa atau berupaya
mencari keterangan lain diluar sidang.

d. Menurut ketentuan UU bahwa keterangan terdakwa diluar sidang dapat


digunakan oleh hakim untuk menguatkan keyakinannya apabila didukung
oleh alat bukti yang lain. Keterangan terdakwa diluar sidang yaitu BAP dari
penyidik.

e. Setelah terdakwa selesai diperiksa maka dilajutkan dengan pemeriksaan


barang bukti.

4. Pemeriksaan Barang Bukti (BB).

a. Barang bukti harus ditunjukan kepada terdakwa maupun saksi. Hal ini
damaksudkan untuk mengetahui sejauh mana barang bukti tersebut ada
hubungannya dengan terdakwa maupun saksi, yaitu digunakan untuk apa
dan milik siapa. Keterangan saksi/terdakwa tersebut merupakan petunjuk
bagi hakim.
42

b. Masalah milik perlu ditanyakan, karena berhubungan dengan kepemilikan


barang bukti tersebut. Apabila barang bukti tersebut merupakan milik dari
terdakwa maka harus dirampas untuk negara atau dimusnahkan, dan apabila
barang bukti tersebut bukan miliknya atau merupakan barang yang dipinjam
dari orang lain maka harus dikembalikan kepada pemiliknya. Mengenai
barang milik, pelajari ketentuan pasal 39 KUHP.

c. Yang termasuk barang bukti surat adalah surat yang dibuat oleh pejabat
yang berwenang, misalnya visum et repertum (VER).

d. Setelah pemeriksaan barang bukti selesai dan tidak ada saksi yang diajukan
lagi, maka oditur ditanya oleh hakim apakah sudah siap dengan
tuntutannya.

5. Penuntutan dan Pembelaan.

a. Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai, oditur mengajukan tuntutan


pidana.

b. Terhadap tuntutan tersebut bagi terdakwa dan/atau penasehat hukum dapat


mengajukan pembelaannya (pledoi) dan selanjutnya dapat dijawab oleh
oditur (replik), dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasehat hukum
selalu mendapat giliran terakhir.
c. Tuntutan, pembelaan, dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis
dan sesudah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua untuk
selanjutnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan.

Catatan :

Pledoi : Pembelaan dari terdakwa/penasehat hukum.


Replik : Tanggapan dari oditur.
Duplik : Tanggapan dari terdakwa/penasehat hukum terhadap replik.

d. Dalam hal perkara yang mudah pembuktiannya, pembelaan dan jawaban


atas pembelaan tersebut dapat dilakukan secara lisan, dan panitera harus
mencatatnya dalam berita acara persidangan.

e. Tuntutan oditur didasarkan kepada hasil pemeriksaan di persidangan,


apakah dakwaannya terbukti atau tidak.

f. Apabila dakwaan tidak terbukti, maka oditur dapat menuntut bebas kepada
terdakwa yang sebelumnya harus melaporkan terlebih dahulu kepada
Kaotmil dan Orjen TNI untuk mendapatkan persetujuan. Tujuannya adalah
agar tuntutan tersebut obyektif.
43

g. Apabila oditur berpendapat bahwa dakwaan tersebut terbukti, maka harus


dituntut dengan pidana.

h. Demikian juga dengan status barang bukti, apakah harus disita untuk negara
atau dimusnahkan atau dikembalikan kepada pemiliknya.

6. Musyawarah dan Putusan.

a. Sesudah pemeriksaan dinyatakan selesai maka hakim menutup sidang


tersebut dan mengadakan musyawarah secara tertutup dan rahasia.

b. Sidang dapat dibuka kembali apabila ada hal-hal yang perlu. Misalnya saksi
ahli belum diperiksa.

c. Musyawarah sebagaimana dimaksud diatas harus didasarkan pada surat


dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam persidangan.

d. Majelis hakim bermusyawarah sesuai dengan prosedur, yaitu pertanyaan


dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan
yang terakhir mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua dan semua
pendapat harus disertai pertimbangan serta alasannya.

e. Musyawarah tersebut dilakukan untuk membuktikan dakwaan apakah


terdakwa terbukti atau tidak melakukan tindak pidana.

f. Apabila dakwaan tidak terbukti, maka terdakwa dibebaskan.


g. Pada asasnya putusan dalam musyawarah merupakan hasil permufakatan
bulat, kecuali apabila hal itu sesudah diusahakan dengan sungguh-sungguh
tidak dapat dicapai, maka berlaku ketentuan sebagai berikut :

1) Putusan diambil dengan suara terbanyak.


2) Apabila ketentuan tersebut di atas tidak dapat diperoleh, putusan
yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan
terdakwa.

h. Pelaksanaan pengambilan putusan tersebut diatas, dicatat dalam buku


himpunan putusan yang disediakan khusus untuk keperluan itu dan isi buku
tersebut sifatnya rahasia.

i. Putusan pengadilan dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau
pada hari lain, yang sebelumnya harus diberitahukan kepada oditur,
terdakwa, atau penasehat hukumnya. Apabila hal tersebut tidak dipenuhi
maka putusan batal demi hukum.

j. Setelah selesai pengucapan putusan harus ditandatangani oleh hakim ketua,


hakim anggota, dan oditur saat itu juga.
44

k. Setelah diputuskan selanjutnya terdakwa ditanya, apakah tahu atau tidak


terhadap putusan tersebut. Apabila tidak maka harus dijelaskan.

l. Segera sesudah putusan pemidanaan diucapkan, hakim ketua wajib


memberitahukan kepada terdakwa tentang hak-haknya, yaitu :

1) Terdakwa berhak untuk menolak atau berpikir-pikir dalam waktu 7


hari setelah putusan diucapkan. Apabila tidak ada reaksi apapun
berarti putusan tersebut diterima.

2) Hak meminta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang


waktu yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat
mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.

3) Hak untuk mengajukan banding, kasasi, atau grasi.

m. Setelah terdakwa/penasehat hukum menentukan sikap, maka sidang ditutup


oleh hakim ketua dengan ketukan palu sebanyak 3 kali.

n. Surat putusan pemidanaan memuat :

1) Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “DEMI KEADILAN


BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
2) Nama lengkap terdakwa, pangkat, nomor registrasi pusat, jabatan,
kesatuan, tempat dan tanggal lahir/umur, jenis kelamin,
kewarganegaraan, agama, dan tempat tinggal.

3) Dakwaan sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan.

4) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan


keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di
sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa.

5) Tuntutan pidana sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan.

6) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar


pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan
yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang
memberatkan dan yang meringankan terdakwa.

7) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah hakim, kecuali perkara


diperiksa oleh hakim tunggal.

8) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan sudah terpenuhi semua


unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya
dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan.
45

9) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan


menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang
bikti.

10) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan


dimana letaknya kepalsuan itu, apabila terdapat surat autentik
dianggap palsu.

11) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan.

12) Hari dan tanggal putusan, nama hakim yang memutuskan, nama
oditur, dan nama panitera.

o. Tidak terpenuhinya ketentuan-ketentuan tersebut di atas mengakibatkan


putusan batal demi hukum.

7. Pengunduran Diri Hakim.

a. Hakim dapat mengundurkan diri apabila ia dengan salah seorang hakim


lainnya atau dengan oditur atau panitera ada hubungan keluarga sedarah
atau semenda sampai dengan derajat ketiga atau ada hubungan sebagai
suami istri walaupun sudah bercerai.
b. Hakim juga harus mengundurkan diri apabila ia mempunyai hubungan
keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat ketiga atau ada
hubungan sebagai suami isteri walaupun sudah bercerai dengan terdakwa
atau penasehat hukum.

c. Hakim juga harus mengundurkan diri apabila ia sendiri berkepentingan


dalam perkara tersebut.

d. Sehubungan dengan pengunduran hakim, apabila yang mengundurkan diri


adalah hakim ketua maka harus diganti dan pemeriksaan terhadap saksi atau
terdakwa yang sudah selesai harus diulang kembali.

e. Sedangkan apabila hakim anggota yang berhalangan dan diganti, maka


pemeriksaan tetap dilanjutkan.

8. Pengunduran Diri Oditur atau Panitera.

a. Oditur harus mengundurkan diri apabila ia sendiri berkepentingan dalam


perkara itu.

b. Demikian juga dengan panitera, ia harus mengundurkan diri apabila


berkepentingan dalam perkara itu.
46

9. Pengunduran Diri Saksi.

a. Saksi harus mengundurkan diri apabila ada hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai dengan derajat ketiga atau ada hubungan sebagai suami
isteri walaupun sudah bercerai.

b. Sebagai pejabat yang mempunyai jabatan untuk merahasiakan perbuatan-


perbuatan yang dilakukan oleh seseorang.

c. Apabila orang-orang tersebut tidak mengundurkan diri sebagai saksi, maka


tidak boleh disumpah kecuali mereka meminta sendiri untuk disumpah
dengan persetujuan oditur atau hakim.

ACARA PEMERIKSAAN KONEKSITAS

1. Acara pemeriksaan koneksitas pada dasarnya dilakukan terhadap orang yang


tunduk kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum atau orang yang
tunduk kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. Namun pada
dasarnya diadili di pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali
berdasarkan keputusan dari Ketua Mahkamah Agung harus diadili di pengadilan
dalam lingkungan peradilan militer.
2. Acara pemeriksaannya sama dengan acara pemeriksaan biasa. Hal yang
membedakan adalah mengenai komposisi hakim yaitu apabila hakim ketua berasal
dari militer, maka hakim anggota harus berimbang satu dari militer dan satu dari
sipil demikian pula sebaliknya.

3. Apabila hakim sipil/umum bersidang di peradilan militer, maka ia diberi pangkat


tituler sesuai golongannya.

4. Yang perlu diperhatikan adalah masalah penyidikan. Penyidikan dilakukan oleh tim
tetap koneksitas baik di tingkat pusat, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

5. Tim tersebut terdiri dari unsur Polri, POM, dan oditur.

6. Tim tetap di tiap-tiap daerah sudah dibentuk yang ketuanya dijabat secara
bergiliran antara POM, Polisi, dan oditur.

7. Tim memeriksa sesuai dengan kewenangan masing-masing, yaitu :

a. Sipil diperiksa oleh Polisi.


b. Militer diperiksa oleh POM atau oditur.

8. Hasil pemeriksaan/penyidikan diserahkan kepada oditur dan jaksa.


47

9. Selanjutnya berdasarkan kesepakatan ditentukan apakah terdakwa diadili di


peradilam umum atau di peradilan militer.

10. Setalah tercapai kesepakatan baru diajukan ke Mahkamah Agung jika perkara
tersebut harus diadili di peradilan militer.

ACARA PEMERIKSAAN KHUSUS

1. Acara pemeriksaan khusus digunakan dalam peradilan pertempuran.

2. Acara pemeriksaannya sama dengan acara pemeriksaan biasa, namun ada


kekhususan yang ditentukan lain, yaitu :

a. Untuk Pengadilan Tingkat Pertama dan terakhir tidak mengenal banding,


tetapi hanya kasasi dan PK.

b. Untuk menjatuhkan pidana cukup satu alat bukti dan pengetahuan hakim
saja.

Contoh : Dalam suatu pertempuran pasukan artileri memberikan bantuan


tembakan dengan meriam. Setelah ditembakan ternyata tidak
mengenai sasaran tetapi mengenai sebuah rumah penduduk.
Kejadian ini sangat merugikan karena menimbulkan korban dan
kerusakan yang tentunya juga merupakan suatu tindak pidana.
Kasus tersebut diperiksa dan diajukan ke pengadilan. Dalam
pemeriksaan di persidangan terdakwa menerangkan bahwa jenis
meriam tersebut jarak tembak efektifnya maksimal mencapai 4
km dan tidak mungkin mengenai rumah yang berjarak 5 km dari
tempat meriam ditembakan. Dalam hal ini hakim tidak percaya
terhadap keterangan terdakwa mengenai jarak tembak efektif
meriam tersebut yang maksimal mencapai 4 km. Hakim
mengetahui dan mengenal betul karakteristik meriam tersebut
yang jarak tembak efektifnya mencapai 6 km. Berdasarkan
pengatahuan hakim inilah, maka suatu tindak pidana walaupun
hanya ada satu alat bukti saja namun dengan ditambah
pengetahuan hakim terdakwa dapat dipidana.

3. Barang bukti tidak dihadapkan di sidang pengadilan namun cukup dengan daftar
barang bukti yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atau yang menyimpan
barang bukti.

ACARA PEMERIKSAAN CEPAT

1. Acara pemeriksaan cepat digunakan terhadap suatu pelanggaran yaitu pelanggaran


lalu lintas.
48

2. Tidak ada berkas perkara atau pemeriksaan.

3. Yang ada hanya berupa Surat Tanda Bukti Pelanggaran (BA Lang Lalin/
Berita Acara Pelanggaran Lalu Lintas). Kebanyakan orang menyebut dengan
istilah Tilang/Bukti Pelanggaran.

4. Dperiksa oleh hakim tunggal.

5. Dapat disidang tanpa hadirnya terdakwa atau dapat diwakili.

6. Apabila dijatuhkan denda, maka tidak ada upaya hukum.

7. Apabila dijatuhi pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana kurungan,


maka putusan dapat dibanding.

Alat Bukti dan Pembuktian

Alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan HAPMIL adalah :

1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Keterangan terdakwa.
4. Surat.
5. Petunjuk.
Perlu dibedakan antara alat bukti dengan barang bukti. Barang bukti dapat berupa :

1. Barang bukti yang digunakan untuk melakukan tindak pidana.

Contoh : Pisau yang digunakan untuk menusuk sehingga menimbulkan matinya


seseorang.

2. Barang bukti yang merupakan hasil dari tindak pidana.

Contoh : Uang palsu, pemalsuan surat/surat palsu, dll.

3. Barang bukti yang merupakan akibat daripada tindak pidana.

Contoh : Celana dalam yang robek, baju yang robek, dll.

Sistim Pembuktian.

1. Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana, kecuali didasarkan dua alat bukti yang sah
ditambah dengan keyakinan hakim bahwa tindak pidana itu terjadi. Berarti dalam
hal ini harus ada dua dari lima alat bukti.

2. Apa yang sudah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan lagi.
49

Contoh : Api itu panas, semua orang sudah tahu bahwa api itu panas sehingga tidak
perlu dibuktikan lagi.

3. Keterangan saksi yang sah adalah keterangan yang dinyatakan oleh saksi di depan
sidang. Artinya BAP penyidikan belum tentu sah atau bersifat sementara. Jadi
apabila keterangan saksi berbeda antara di depan sidang dengan BAP penyidikan,
hakim wajib membuktikan dengan cara memanggil penyidik.

4. Keterangan seorang saksi saja, tidak dapat digunakan untuk menjatuhkan pidana,
kecuali didukung oleh alat bukti lain yang sah.

5. Petunjuk dapat diperoleh dari keterangan atau keterangan terdakwa atau surat.
Keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri yang bersesuaian satu sama yang lain
sehingga dapat membuktikan bahwa terdakwa adalah pelakunya dapat juga
digunakan sebagai petunjuk.

6. Keterangan saksi yang berdiri sendiri-sendiri yang berhubungan satu sama yang
lain dan berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan merupakan alat bukti
yang sah.

Contoh : X, Y, Z adalah saksi, sedangkan P adalah pencuri dan Q adalah korban.


X melihat P membawa linggis.
Y melihat P membawa linggis masuk rumah Q.
Z melihat P keluar dari rumah Q membawa TV.
Keterangan saksi tersebut diatas masing-masing berdiri sendiri. Disini yang dapat
dijadikan sebagai keterangan saksi adalah Z. Kecuali apabila
dihubungkan/bersesuian maka X, Y, Z dapat sebagai satu alat bukti petunjuk,
sehingga dalam kasus tersebut terdapat dua alat bukti yaitu keterangan saksi dan
petunjuk.

7. Saksi yang tidak hadir dalam sidang namun pada saat diperiksa di penyidik telah
disumpah dan pada saat sidang keterangannya dibacakan, maka keterangan tersebut
sama nilainya dengan keterangan saksi yang hadir.

8. Keterangan saksi yang tidak disumpah tidak merupakan alat bukti kecuali jika
didukung oleh alat bukti yang lain.

9. Keterangan saksi yang dibacakan dari BAP yang sebelumnya belum disumpah dari
penyidik, tidak merupakan alat bukti kecuali didukung oleh alat bukti yang lain.

Keterangan Ahli.

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan di sidang pengadilan oleh ahli.
Jadi keterangan ahli yang berupa surat karena ketidakhadiran ahli di sidang pengadilan
bukan merupakan keterangan ahli dan hanya merupakan bukti surat. Sebagai contoh adalah
Visum et Repertum (VER).
50

Keterangan Terdakwa.

1. Keterangan yang diberikan oleh terdakwa di sidang pengadilan.


2. Keterangan terdakwa di luar sidang dapat dijadikan alat bukti apabila didukung
oleh alat bukti yang lain.

Contoh : BAP dari penyidik.

3. Keterangan terdakwa saja, tidak dapat digunakan untuk memberikan kesaksian


terdakwa.
4. Keterangan terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri.

Surat.

1. Surat sebagai alat bukti adalah surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atas
sumpah, yaitu :

a. Akte yang dibuat oleh notaris.


b. Akte-akte lain yang dibuat oleh pejabat umum tertentu.

2. Sedangkan surat yang tidak dibuat oleh pejabat dapat digunakan sebagai alat bukti
yang sah apabila didukung oleh alat bukti yang lain.
3. Surat juga dapat berasal dari ahli, yaitu visum et repertum.
Barang Bukti.

1. Barang bukti yang dibuat oleh pejabat yang berwenang dapat digunakan sebagai
bukti surat.
2. Barang bukti dapat berubah menjadi petunjuk.

Contoh : Pisau yang digunakan untuk melakukan kejahatan/tindak pidana.

Bantuan Hukum.

1. Setiap anggota TNI atau militer yang diduga melakukan tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, yaitu mulai dari
penyidikan, pemeriksaan di sidang pengadilan sampai dengan kasasi.

2. Bantuan hukum disediakan oleh dinas, yaitu oleh Papera atau perwira yang
ditunjuk oleh Papera.

3. Setiap prajurit yang memberikan bantuan hukum harus mendapat perintah dari
Papera atau perwira yang ditunjuk.

4. Apabila dalam sidang koneksitas, untuk sipil izin bantuan hukum oleh kepala
pengadilan yang bersangkutan.
51

5. Terhadap anggota TNI atau militer yang diduga melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau penjara 15 tahun ke atas Papera atau perwira
yang ditunjuk wajib menyediakan penasehat hukum.

6. Oleh sebab itu setiap penasehat hukum harus memperhatikan ketentuan ini.

UPAYA HUKUM

Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penasehat hukum atau oditur untuk
menolak putusan Pengadilan Tingkat Pertama atau Tingkat Pertama dan terakhir
(Pengadilan Pertempuran) dengan mengajukan perlawanan atau banding atau kasasi atau
hak terdakwa atau ahli waris atau oditur untuk mengajukan permohonan PK terhadap
putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Upaya hukum ada dua macam,
yaitu :

1. Upaya Hukum Biasa.

a. Banding.

1) Terdakwa atau oditur berhak mengajukan banding terhadap putusan


Pengadilan Tingkat Pertama kecuali terhadap putusan bebas dari
segala dakwaan atau lepas dari segala tuntutan hukum.
2) Terdakwa atau penasehat hukum berhak mengajukan banding
terhadap putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang menggunakan
acara cepat yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan.

3) Putusan bebas dari segala dakwaan apabila salah satu unsur atau
keseluruhan unsur tindak pidana tidak terbukti.

4) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah putusan dimana


terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang dilakukan tetapi tidak
merupakan tindak pidana, (Ingat pasal 44, 48, 51 KUHP).

5) Terhadap putusan bebas dan lepas tidak dapat diajukan banding


tetapi dapat diajukan kasasi dengan ketentuan yang mengajukan
adalah oditur dengan catatan oditur dapat membuktikan bahwa
tuntutan itu tidak bebas murni dan lepas dari segala tuntutan hukum.

6) Tenggang waktu untuk mengajukan banding adalah 7 hari sesudah


putusan.

7) Permohonan banding diajukan kepada panitera Pengadilan Tingkat


Pertama secara tertulis atau lisan oleh pemohon banding (oditur atau
terdakwa) di depan panitera.
52

8) Bila pemohon tidak dapat menghadap sendiri dan hanya melalui


surat atau alat yang lain maka hal tersebut harus dicatat dalam
register bahwa pemohon tidak menghadap sendiri.

9) Panitera membuat akta permohonan banding yang ditandatangani


oleh pemohon dan panitera yang menerima permohonan itu, (Ini
merupakan bukti adanya tenggang waktu).

10) Apabila permohoan banding yang waktunya lebih dari 7 hari,


panitera harus menolaknya dan membuat akta penolakan.

11) Permohonan banding yang diajukan oleh terdakwa atau oditur yang
diterima oleh panitera harus diberitahukan kepada pihak lainnya.
Apabila oditur banding dan terdakwa tidak maka panitera wajib
memberitahukan kepada terdakwa dan sebaliknya apabila terdakwa
banding dan oditur tidak maka panitera wajib memberitahukan
kepada oditur. Demikian juga apabila keduanya mengajukan
banding.

12) Permohonan banding dikirim ke Pengadilan Tingkat Banding


disertai berkas perkara dari penyidik, penetapan hakim, berita
acara sidang maupun kelengkapan lainnya.
13) Sebelum perkara tersebut dikirim ke tingkat banding, pihak yang
memohon banding diberi kesempatan untuk memeriksa atau
mempelajari berkas perkara tersebut dalam waktu 7 hari.

14) Pihak yang mengajukan banding dapat pula menyatakan bahwa ia


akan mempelajari perkara tersebut di tingkat banding dan panitera
tingkat banding wajib memberi kesempatan. Tujuannya adalah
apabila ada hal-hal yang belum dikirim oleh Pengadilan Tingkat
Pertama, maka putusan dapat menyalahkan pengadilan tersebut.

15) Terhadap pihak yang mengajukan banding tidak perlu mengajukan


memori banding.

16) Memori banding diajukan sebelum perkara disidangkan.

17) Permohonan banding yang sudah diajukan sewaktu-waktu dapat


dicabut kembali dan apabila sudah dicabut tidak boleh diajukan lagi.

18) Apabila permohonan banding itu diajukan sementara perkara sedang


diperiksa, maka segala biaya harus dibayar oleh pemohon banding
yang mencabutnya.

19) Permohonan banding yang diterima oleh Tingkat Banding


disidangkan oleh Hakim Tingkat Banding tanpa dihadiri oleh oditur.
53

20) Dalam hal permohonan banding ini memenuhi syarat untuk


diperiksa, maka ada 3 kemungkinan yang dapat diambil oleh
Pengadilan Tingkat Banding, yaitu :

a) Sependapat atau menguatkan dengan Pengadilan Tingkat


Pertama.

b) Tidak sependapat atau menolak dengan Pengadilan Tingkat


Pertama.

c) Mengubah putusan Pengadilan Tingkat Pertama sesuai


dengan apa yang diperoleh.

21) Apabila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan sesuai dengan


ketentuann undang-undang, maka putusan hakim banding dapat
membatalkan putusan tersebut apabila tidak didampingi oleh
penasehat hukum.

22) Apabila ada kekurangan-kekurangan yang dilakukan oleh


Pengadilan Tingkat Pertama dan ditemukan oleh Pengadilan Tingkat
Banding, maka kekurangan tersebut dapat diperintahkan kepada
Pengadilan Tingkat Pertama untuk melengkapinya atau dapat pula
dilakukan oleh Pengadilan Tingkat Banding sendiri.
23) Apabila kekurangan-kekurangan tersebut akan dilengkapai sendiri
oleh Pengadilan Tingkat Banding, maka Pengadilan Tingkat
Banding dapat memanggil saksi atau terdakwa atau oditur dengan
menjelaskan dalam panggilan tersebut apa yang perlu ditambahkan.

24) Jadi Pengadilan Tingkat Banding masih dapat menilai fakta-faktanya


baik mengenai pidananya maupun penerapan hukum.

25) Pengunduran diri hakim, sama dengan ketentuan-ketentuan hakim


yang lain.

26) Putusan Tingkat Banding juga harus ditandatangani seketika setelah


diucapkan.

27) Salinan putusan Tingkat Banding beserta seluruh berkas perkara


mulai dari Pengadilan Tingkat Pertama dikirimkan ke Pengadilan
Tingkat Pertama, selanjutnya Pengadilan Tingkat Pertama
memberitahukan putusan Tingkat Banding tersebut kepada terdakwa
dan oditur.

28) Terhadap putusan yang terdakwanya tidak hadir dalam waktu 6


bulan berturut-turut, maka tenggang waktu 7 hari sejak adanya
pengumuman putusan hakim dapat diajukan banding.
54

29) Pengumuman putusan hakim dapat dimuat dalam surat kabar


maupun di papan pengumuman pengadilan. Dalam prkatek
terkadang ada pada hakim.

30) Hakim yang menyidangkan dalam Pengadilan Tingkat Pertama


kemudian diangkat dalam Pengadilan Tingkat Banding tidak boleh
menyidangkan perkara tersebut. Hal ini dikhawatirkan putusannya
sama dengan Pengadilan Tingkat Pertama, padahal Tingkat banding
sebenarnya untuk mengoreksi.

31) Apabila terdakwa sedang ditahan dan mengajukan banding, maka


Pengadilan Tingkat Banding yang memperpanjang penahanan
tersebut, walaupun Pengadilan Tingkat Pertama belum memutuskan
habis masa penahanannya. Jadi hakim Pengadilan Tingkat Banding
yang berwenang terhadap terdakwa apakah ditahan atau dilepaskan.

b. Kasasi.

1) Yang dimintakan kasasi adalah putusan banding atau putusan


Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir (Pengadilan Pertempuran),
kecuali untuk putusan bebas.
2) Yang mengajukan kasasi adalah terdakwa dan oditur dalam
tenggang waktu 14 hari sejak putusan diberitahukan kepadanya atau
sejak putusan diucapkan.

3) Permohonan kasasi diajukan oleh para pihak melalui Panitera


Pengadilan Tingkat Banding dan selanjutnya panitera membuat akta
permohonan kasasi.

4) Apabila dalam waktu 14 hari tidak ada permohonan kasasi, maka


para pihak dianggap menerima putusan tersebut dan panitera
membuat akta yang berkekuatan hukum tetap.

5) Pemohon kasasi wajib mengajukan memori kasasi dalam tenggang


waktu 14 hari sejak menyatakan kasasi.

6) Salinan memori kasasi harus diberikan kepada oditur atau penuntut


umum, selanjutnya oditur atau penuntut umum membuat tanggapan
dan salinannya diberikan kepada terdakwa/pemohon kasasi.

7) Permohonan kasasi hanya diajukan satu kali.

8) Permohonan kasasi yang diterima oleh Panitera Pengadilan Tingkat


Pertama maupun Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir
(Pengadilan Pertempuran) diajukan kepada MA melalui Pengadilan
Militer Utama.
55

9) Selanjutnya oleh Panitera Pengadilan Militer Utama diteruskan ke


MA dan panitera mencatat dalam register perkara.

10) Selanjutnya Panitera MA membuat bukti penerimaan perkara


permohonan kasasi dan selanjutnya oleh MA dikirim ke Pengadilan
Militer Tingkat Pertama maupun Pengadilan Militer Tingkat
Pertama dan Terakhir (Pengadilan Pertempuran) dan tembusan
dikirim kepada Pengadilan Militer Utama.

11) Permohonan kasasi dapat dicabut kembali oleh si pemohon sebelum


diputus.

12) Apabila pencabutan ini dilakukan sedangkan perkara sedang


disidangkan oleh MA, maka biaya-biaya yang sudah dikeluarkan
dalam rangka sidang ditanggung oleh si pencabut permohonan.

13) Setelah permohonan dicabut tidak boleh diajukan lagi.

14) Hakim agung memeriksa dengan sekurang-kurangnya 3 orang


hakim (jumlah hakim selalu ganjil). Tujuannya supaya
hasilnya/putusannya tidak seimbang.
15) Pengunduran diri hakim agung, sama dengan ketentuan-ketentuan
hakim yang lain.

16) Apabila hakim agung tersebut pernah mengadili pada tingkat


banding dalam perkara yang sama, maka ia tidak boleh mengadili
lagi.

17) Yang diperiksa dalam perkara kasasi adalah :

a) Apakah benar ketentuan perundang-undangan tidak


diterapkan sebagaimana mestinya atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya.

Contoh : Terdakwa didakwa dengan pasal 340 KUHP


sebagai dakwaan primair dan pasal 338 KUHP
sebagai dakwaan subsidair. Namun yang terbukti
adalah pasal 338, kemudian banding dan
dikuatkan. Maka pada tingkat kasasi ditanyakan
apakah pasal 340 tidak sesuai dengan peraturan
perundang-undangan padahal sebenarnya yang
harus didakwakan adalah pasal tersebut. Dalam
hal ini apabila yang terbukti adalah pasal 340,
maka hakim pada tingkat kasasi dapat
menjatuhkan pidana sendiri berdasarkan pasal
340.
56

b) Cara mengadili tidak sesuai dengan peraturan perundang-


undangan.

Contoh : Dalam tindak pidana asusila, berdasarkan pasal


284 jika terbukti dapat dipidana maksimum 9
bulan. Tetapi dalam hal ini hakim menjatuhkan
pidana 1 tahun. Dengan demikian dalam
menjatuhkan pidana hakim melampaui ketentuan
yang ada dalam perundang-undangan atau tidak
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

c) Apakah benar pengadilan yang memutuskan perkara itu telah


melampaui kewenangannya. Contoh, kebalikan dari poin a.

18) Putusan tingkat kasasi sama dengan tingkat pertama dan tingkat
banding, artinya setelah diucapkan dalam sidang segera
ditandatangani.

19) Salinan putusan tingkat kasasi dikirim ke Pengadilan Tingkat


Pertama serta Pengadilan Tingkat Pertama dan Terakhir (Pengadilan
Pertempuran).
20) Putusan diberitahukan kepada para pihak yaitu terdakwa dan oditur.

21) Setelah diberitahukan maka putusan tersebut sudah berkekuatan


hukum tetap dan segera dieksekusi, kecuali pidana mati harus
mengajukan grasi kepada Presiden. Hal ini diatur dengan jelas
dalam KUHAP maupun HAPMIL.

2. Upaya Hukum Luar Biasa.

a. Kasasi Demi Hukum.

1) Diajukan oleh Orjen TNI terhadap semua putusan yang sudah


berkekuatan hukum tetap.

2) Diajukan oleh Panitera Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan


Tingkat Pertama dan Terakhir (Pengadilan Pertempuran) hanya 1
kali.

3) Permohonan oleh Orjen TNI ini harus disertai risalah kasasi dan
oleh panitera diberitahukan kepada terpidana dan oditur.

4) Permohonan kasasi demi hukum putusannya tidak boleh


mempengaruhi pihak yang berkepentingan.
57

5) Tujuan kasasi demi hukum akan dipedomani dalam pelaksanaan


tugas selanjutnya (sebagai yurisprudensi).

6) Proses perkara mulai dari Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan


Tingkat Kedua, Pengadilan Militer Utama, dan MA maka tembusan
harus diberikan kepada pengadilan darimana asal perkara tersebut
yaitu kepada Pengadilan Tingkat Pertama dan seterusnya.

7) Putusan diberitahukan kepada para pihak, yaitu terpidana dan Orjen


TNI.

8) Penahanan beralih ketika atau sejak mengajukan kasasi ke MA.

9) Waktu penahanan oleh MA adalah 60 hari.

b. Peninjauan Kembali (PK).

1) Terpidana atau ahli warisnya atau oditur dapat mengajukan kembali


PK terhadap putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap.
2) Berkekuatan hukum tetap apabila terdakwa atau oditur tidak
mengajukan upaya hukum dalam waktu 14 hari.

3) Putusan kasasi berkekuatan hukum tetap sejak diputuskan dan tanpa


tenggang waktu.

4) Upaya hukum terhadap PK diajukan oleh terpidana atau ahli


warisnya atau oditur.

5) Alasan PK ada 3, yaitu :

a) Adanya bukti baru (novum) yang jika bukti tersebut


diketahui pada saat sidang berlangsung kemungkinan
terdakwa bebas atau lepas dari segala tuntutan atau tuntutan
oditur tidak dapat diterima atau diterapkan ketentuan pidana
yang lebih ringan.

b) Dalam berbagai putusan dinyatakan perbuatan terbukti tetapi


bertentangan satu sama yang lain.

c) Terdapat kekeliruan atau kekhilafan dalam putusan.

Contoh : Hal yang sebenarnya tidak dilakukan tetapi


dilakukan atau salah penerapan hukum. Dalam
hal ini bandingkan ketentuan dalam pasal 56
dengan pasal 217 KUHAP.
58

6) PK diajukan kepada Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan


Tingkat Pertama dan Terakhir (Pengadilan Pertempuran) selanjutnya
oleh panitera dibuatkan Akta PK.

7) Setelah permohonan diterima, maka Pengadilan Tingkat Pertama


menunjuk hakim untuk memeriksa permohonan tersebut dan hakim
yang ditunjuk adalah hakim yang belum pernah menyidangkan
perkara tersebut sebelumnya.

8) Hakim yang ditunjuk dan panitera, memeriksa permohonan tersebut


selanjutnya membuat BAP yang ditandatangani oleh hakim, oditur,
panitera, dan pemohon.

9) Berdasarkan BAP tadi dibuat Berita Acara Pendapat yang


ditandatangani oleh hakim ketua dan panitera.

10) Berita acara pendapat menunjukan apakah dalam hal tersebut ada
hal-hal sebagaimana alasan PK.
11) Berdasarkan BAP dan Berita Acara Pendapat ditambah dengan
berkas lain, selanjutnya diajukan ke MA melalui Pengadilan Militer
Utama.

12) Pengadilan Militer Utama setelah menerima perkara atau


permohonan tersebut melanjutkan ke MA dan panitera mencatat
dalam register serta membuat tanda terima permohonan dengan
tembusan Pengadilan Tingkat Pertama serta Pengadilan Tingkat
Pertama dan Terakhir (Pengadilan Pertempuran) juga kepada Wakil
Ketua Pengadilan Militer Utama.

13) Acara pemeriksaan, pengunduran hakim sama dengan ketentuan-


ketentuan acara pemeriksaan dan pengunduran hakim yang lain.

14) Setelah diputuskan segera ditandatangani.

15) Permohonan PK hanya 1 kali dan tidak dibatasi oleh jangka waktu.

PELAKSANAAN PIDANA

Putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan oleh
oditur atau pelaksanaan pidana oleh oditur. Bagaimana caranya ? Lihat amar putusannya.

1. Pelaksanaan Pidana Pokok.

a. Pidana Mati.
59

1) Berdasarkan pasal 11 KUHP pidana mati dijalankan oleh algojo di


tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang
gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan
tempat terpidana berdiri.

2) Berdasarkan pasal 8 KUHPM yang disempurnakan dengan UU


No.2/Pnps/1964, pidana mati yang dijatuhkan kepada militer
sepanjang dia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan dengan
ditembak mati oleh sejumlah militer yang cakap.

3) Pelaksanaan hukuman mati selanjutnya dapat dibaca pada Penetapan


Presiden No.2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana
Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan Dilingkungan Peradilan
Umum dan Militer (Terlampir).

b. Pidana Penjara.
1) Pidana penjara untuk militer apabila tidak dipecat dari dinas
kemiliteran dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer
(Lemmasmil).

2) Apabila pidana pokok adalah pidana penjara dan pidana tambahan


dipecat dari dinas kemiliteran, maka pelaksanaannya di Lembaga
Pemasyarakatan Umum (LPU).

c. Pidana Kurungan. Mengenai pidana kurungan dapat dibaca dalam pasal


14 a KUHP.

d. Pidana Denda.

1) Pidana denda yang dijatuhkan kepada terpidana diberikan waktu 1


bulan dan dapat diperpanjang 1 bulan untuk melunasi. Apabila tidak
dapat membayar denda, maka diganti dengan pidana kurungan.
Bagaimana rumusnya ?

Misalnya prajurit A dijatuhi pidana berupa denda sebesar Rp.


1.000.000,00 dan tidak mampu membayar. Apabila ia dalam sehari
menghabiskan uang sebesar Rp. 20.000,00 untuk memenuhi
kebutuhannya, maka ia harus mengganti dengan pidana kurungan
selama 50 hari. Waktu 50 hari berasal dari Rp. 1.000.000,00 dibagi
Rp. 20.000,00.

2) Pidana denda disubsiderkan dengan pidana pengganti (kurungan).

Misalnya prajurit A dijatuhi pidana denda sebesar Rp. 1.000.000,00


atau pidana kurungan selama 50 hari, maka apabila denda tidak
dapat dipenuhi ia harus melaksanakan pidana pengganti (kurungan).
60

Apabila denda tersebut sudah dibayar setengahnya, maka denda


yang sudah dibayar harus dikembalikan selanjutnya dilaksanakan
pidana pengganti (kurungan).

3) Apabila terjadi penggabungan gugatan dan ganti rugi, maka


eksekusi berlaku hukum perdata. Dalam hal ini yang bertindak
sebagai juru sita adalah Kepala Panitera. Kepala Panitera/juru sita
Pengadilan Militer adalah untuk pangkat Kapten kebawah,
sedangkan kepala panitera/juru sita Pengadilan Militer Tinggi adalah
untuk pangkat Mayor keatas.

e. Pidana Tutupan. Baca dalam UU No.20 Tahun 1946 tentang Tata Cara
Penjatuhan Pidana Tutupan.

2. Pidana Tambahan.
Mengenai pidana tambahan dapat dibaca ketentuan pasal 10 dan 35 KUHP.

Pengawasan dan Pengamatan.

1. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim yang dilaksanakan oleh oditur yang pidananya
berupa perampasan kemerdekaan (penjara/kurungan), diawasi oleh kepala
pengadilan terhadap pelaksanaannya.

2. Untuk pelaksanaan sehari-hari kepala pengadilan menunjuk hakim yang ada di


lingkungannya yang lamanya paling lama 2 tahun.

3. Kepala pengadilan atau hakim yang ditunjuk dapat mengawasi dan mengamati
setelah mendapat Berita Acara pelaksanaan pidana yang ditandatangani oleh
Kamasmil atau Kalapas, oditur, dan terpidana.

4. Tujuan pengawasan dan pengamatan adalah untuk mengetahui apakah benar


pelaksanaan pidana atau terpidana benar-benar melaksanakan pidananya di Masmil.

5. Pengawasan dan pengamatan tersebut digunakan untuk menjatuhkan pidana


terhadap pidana-pidana yang sama.

6. Khusus untuk pidana bersyarat atau percobaan pengawasan diserahkan kepada


Ankum. Ingat pasal 14 KUHP atau pasal 15 KUHPM.

7. Mengenai pelaksanaan pidana harus diketahui oleh Ankum, oditur, dan Papera.

Catatan : Menurut undang-undang yang diawasi adalah pidana berupa perampasan


kemerdekaan, namun sebaiknya pidana-pidana yang lain juga harus
diawasi.
61

Pembuatan Berita Acara.

1. Pada dasarnya setiap tindakan dalam melaksanakan hukum pidana harus selalu
ditindak lanjuti dengan berita acara.

2. Berita acara ditandatangani oleh pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan


tindakan HAPMIL.

3. Bentuk-bentuk berita acara antara lain :

a. Berita acara pemeriksaan tersangka (ditandatangani oleh tersangka dan


penyidik).
b. Berita acara pemeriksaan saksi.
c. Berita acara penyitaan.
d. Berita acara penggeledahan.
e. Berita acara penangkapan.
f. Berita acara penggeledahan rumah, dll.
************

Anda mungkin juga menyukai