Anda di halaman 1dari 125

HIMPUNAN

PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN,
MAHKAMAH AGUNG
PERADILAN UMUM

UMAH AGUNG RI

! 347.002 6
nd
h
Dicetak ulang oleh:
KORPRI Mahkamah Agung

■■■■■■B I __
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970


TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN
KEHAKIMAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa Undang-undang No. 19 tahun 1964 ten­


tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Keha­
kiman (Lembaran Negara tahun 1964 No. 107)
tidak merupakan pelaksanaan mumi dari pasal 24
Undang-undang Dasar 1945, karena memuat keten­
tuan-ketentuan yang bertentangan dengan Undang-
undang Dasar 1945;
b. bahwa Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang
Ketentuan-ketentuan pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara tahun 1964 No. 107) telah dinya­
takan tidak berlaku dengan Undang-undang No. 6
tahun 1969 tetapi saat tidak berlakunya Undang-
undang tersebut ditetapkan pada saat Undang-
undang yang menggantikannya mulai berlaku;
c. bahwa berhubung dengan hal-hal tersebut di atas
perlu ditetapkan Undang-undang baru mengenai
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-undang
Dasar 1945;

3
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), pasal 20 ayat (1), pasal 24 dan pasal
25 Undang-undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Semen­
tara No. X/MPRS/1966 pasal 2 dan pasal 3;
3. Undang-undang No. 6 tahun 1969;

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong-Royong.

Memutuskan:

Pertama :
Mencabut : Undang-undang No. 19 tahun 1964 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Kedua :
Menetapkan: Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Kekuasaan Kehakiman adalah Kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum
Republik Indonesia.

Pasal 2.
(1) Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercantum dalam pasal 1
diserahkan kepada Badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan
Undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya.
(2) Tugas lain daripada yang tersebut pada ayat (1) dapat diberikan
kepadanya berdasarkan peraturan perundang-undangan.

4
Pasal 3.
(1) Semua peradilan di seluruh wilayah Republik Indonesia adalah
peradilan Negara dan ditetapkan dengan Undang-undang.
(2) Peradilan Negara meneterapkan dan menegakkan hukum dan ke­
adilan yang berdasarkan Pancasila.

Pasal 4.
(1) Peradilan dilakukan ’’DEMI KEADILAN BERDASARKAN KE­
TUHANAN YANG MAHA ESA” .
(2) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
(3) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh fihak-fihak lain
di luar Kekuasaan Kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
tersebut dalam Undang-undang Dasar.

Pasal 5.
(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang.
(2) Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari ke­
adilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan
dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat dan biaya ringan.

Pasal 6.
(1) Tiada seorang juapun dapat dihadapkan di depan Pengadilan se­
lain daripada yang ditentukan baginya oleh Undang-undang.
(2) Tiada seorang juapun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Penga­
dilan, karena alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang,
mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat ber­
tanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang dituduhkan
atas dirinya.

Pasal 7.
Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekua-

5
saan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dengan
Undang-undang.

Pasal 8.
Setiap orang, yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/
atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sebelum adanya putusan Pengadilan, yang menyatakan kesalahannya
dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Pasal 9.
(1) Seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak me­
nuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
tersebut dalam ayat (1) dapat dipidana.
(3) Cara-cara untuk menuntut ganti kerugian, rehabilitasi dan
pembebanan ganti kerugian diatur lebih lanjut dengan Undang-
undang.

B A B II.
BADAN-BADAN PERADILAN DAN AZAS-AZASNYA.
Pasal 10.
(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam ling­
kungan:
a. Peradilan Umum;
b. Peradilan Agama;
c. Peradilan Militer;
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
(2) Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi.
(3) Terhadap putusan-putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh
Pengadilan-pengadilan lain dari pada Mahkamah Agung, kasasi
dapat diminta kepada Mahkamah Agung.

6
AJfrU'

(4) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan


Pengadilan yang lain, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan
Undang-undang.

Pasal 11.
(1) Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat (1)
organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan
masing-masing Departemen yang bersangkutan.
(2) Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuang­
an tersendiri.
Pasal 12.
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari Badan-badan Peradilan seper­
ti tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam Undang-undang ter­
sendiri.

Pasal 13.
Badan-badan Peradilan khusus di samping Badan-badan Peradilan
yang sudah ada, hanya dapat diadakan dengan Undang-undang.

Pasal 14.
(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
sesuatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan menga­
dilinya.
(2) Ketentuan dalam ayat (1) tidak menutup kemungkinan untuk
usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

Pasal 15.
(1) Semua Pengadilan memeriksa dan memutus dengan sekurang-
kurangnya tiga orang Hakim, kecuali apabila Undang-undang me­
nentukan lain.
(2) Di antara para Hakim tersebut dalam ayat (1) seorang bertindak
sebagai Ketua, dan lainnya sebagai Hakim anggota sidang.
(3) Sidang dibantu oleh seorang Panitera atau seorang yang ditugas­
kan melakukan pekeijaan Panitera.

7
(4) Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang Penuntut Umum,
kecuali apabila ditentukan lain dengan Undang-undang.

Pasal 16.
Pengadilan memeriksa dan memutus perkara pidana dengan hadir­
nya tertuduh, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.

Pasal 17.
(1) Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, ke­
cuali apabila Undang-undang menentukan lain.
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batal­
nya putusan menurut hukum.
(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.

(Pas al 18.J
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan
hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Pasal 19.
Atas semua putusan Pengadilan tingkat pertama, yang tidak me­
rupakan pembebasan dari tuduhan, dapat dimintakan banding oleh
fihak-fihak yang bersangkutan, kecuali apabila Undang-undang me­
nentukan lain.

Pasal 20.
Atas putusan Pengadilan dalam tingkat banding dapat diminta­
kan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh fihak yang berkepentingan
yang diatur dalam Undang-undang.

Pasal 21.
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan
dengan Undang-undang, terhadap putusan Pengadilan, yang telah mem­
peroleh kekuatan hukum yang tetap dapat dimintakan peninjauan kem­
bali kepada Mahkamah Agung, dalam perkara perdata dan pidana oleh
fihak-fihak yang berkepentingan.

8
Pasal 22.
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang
termasuk lingkungan Peradilan Umum dan lingkungan Peradilan Militer,
diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum, kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan/Keamanan
dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan
diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.

Pasal 23.
(1) Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal ter­
tentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2) Tiap putusan Pengadilan ditanda-tangani oleh Ketua serta Hakim-
hakim yang memutus dan Panitera yang ikut serta bersidang.
(3) Penetapan-penetapan, ikhtiar-ikhtiar rapat permusyawaratan dan
berita-berita acara tentang pemeriksaan sidang ditanda-tangani
oleh Ketua dan Panitera.

Pasal 24.
Untuk kepentingan peradilan semua Pengadilan wajib saling mem­
beri bantuan yang diminta.

B A B III.
HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA.
Pasal 25.
Semua Pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan
nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lain­
nya apabila diminta.

(1) Mahkamah Agung berwe: nenyatakan tidak sah semua


peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari
Undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan per­
undang-undangan yang lebih tinggi.

9
(2) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diambil berhubung dengan pemeriksaan
dalam tingkat kasasi.
Pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
tidak sah tersebut, dilakukan oleh instansi yang bersangkutan.

BAB IV.
HAKIM DAN KEWAJIBANNYA.

Pasal 27.
(1) Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, meng­
ikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masya­
rakat.
(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib
memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari ter­
tuduh.

Pasal 28.
(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang
mengadili perkaranya.
Hak ingkar ialah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan-keberatan yang disertai dengan alasan-alasan terhadap
seorang Hakim yang akan mengadili perkaranya.
Putusan mengenai hal tersebut dilakukan oleh Pengdilan,
(2) Apabila seorang Hakim masih terikat hubungan keluarga sedarah
sampai sederajat ketiga atau semenda dengan Ketua, salah seorang
Hakim Anggota, Jaksa, Penasehat Hukum atau Panitera dalam sua-
tu perkara tertentu, ia wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan
perkara itu.

(3) Begitu pula apabila Ketua, Hakim Anggota, Jaksa atau Panitera
masih terikat dalam hubungan keluarga sedarah sampai derajat
ketiga atau semenda dengan yang diadili, ia wajib mengundurkan
diri dari pemeriksaan perkara itu.

10
Pasal 29.
Sebelum melakukan jabatannya, Hakim, Panitera Pengganti dan
Jurusi t a untuk masing-masing lingkungan peradilan harus bersumpah
atau beijanji menurut agamanya, yang berbunyi sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/ menerangkan dengan sungguh-sungguh bahwa
saya, untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberikan
atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan mene­
rima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau
pemberian” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai Dasar dan Ideo­
logi Negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala Undang-undang
serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indo­
nesia” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­
kan jabatan saya ini dengan jujur, saksama dan dengan tidak membeda-
bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti selayaknya bagi seorang Ha-
kim/Panitera/Panitera Pengganti/Juru sita yang berbudi baik dan jujur
dalam menegakkan hukum dan keadilan.”.

B A B V.
KEDUDUKAN PEJABAT PERADILAN (PENGADILAN).
Pasal 30.
Syarat-syarat untuk dapat diangkat dan diberhentikan sebagai
Hakim dan tata-cara pengangkatannya dan pemberhentiannya ditentu­
kan dengan Undang-undang.
Pasal 31.
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara.

Pasal 32.
Hal-hal yang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur
dengan peraturan tersendiri.
11
B A B VI.
PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN.
Pasal 33.
(1) Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara pidana dilakukan
oleh Jaksa.
(2) Pengawasan pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut ayat (1)
oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan, diatur lebih lanjut de­
ngan Undang-undang.
(3) Pelaksanaan putusan Pengadilan dalam perkara perdata dilakukan
oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan.
(4) Dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya peri­
kemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.
Pasal 34.
Pelaksanaan putusan Pengadilan diatur lebih lanjut dengan peratur­
an perundang-undangan.
B A B VII.
BANTUAN HUKUM
Pasal 35.
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan
hukum.
Pasal 36.
Dalam perkara pidana seorang tersangka terutama sejak saat di­
lakukannya penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi
dan meminta bantuan Penasehat Hukum.

Pasal 37.
Dalam memberi bantuan hukum tersebut pada pasal 36 di atas,
Penasehat Hukum membantu melancarkan penyelesaian perkara dengan
menjunjung tinggi Pancasila, hukum dan keadilan.

Pasal 38.
Ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal 35, 36 dan 37 tersebut
di atas diatur lebih lanjut dengan Undang-undang.

12
BAB vm.
P E N U T U P .

Pasal 39.
Penghapusan Pengadilan Adat dan Swapraja dilakukan oleh Peme­
rintah.

Pasal 40.
Semua peraturan-peraturan yang mengatur ketentuan-ketentuan
pokok Kekuasaan Kehakiman yang bertentangan dengan Undang-
undang ini dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 41.
Undang-undang ini dinamakan UNDANG-UNDANG KEKUASA­
AN KEHAKIMAN.
Pasal 42.
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam
Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Disahkan di,Jakarta,
pada tanggal 17 Desember 1970
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

t.t.d.

SOEHARTO.
Diundangkan di Jakarta, JENDERAL TNI.
pada tanggal 17 Desember 1970
Sekretaris Negara Republik Indonesia

1 1 d.

AL AMS JAH
MAY. JENDERAL TNI.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1970


NOMOR 74.

13
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG NO. 14 TAHUN 1970
TENTANG
KETENTUAN-KETENTUAN POKOK KEKUASAAN KEHAKIMAN.

I. U M U M .

1. Dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kita sudah kembali ke­


pada Undang-undang Dasar, kepada jiwa proklamasi 17 Agus­
tus 1945.
Tetapi kenyataannya selama ini jiwa dan ketentuan-ketentu­
an Undang-undang Dasar 1945 itu belum dilaksanakan secara
mumi.
Sebagai contoh dapat diajukan, bahwa pasal 24 dan pasal 25
Undang-undang Dasar 1945 dalam Penjelasannya secara tegas
telah menyatakan, bahwa Kekuasaan Kehakiman ialah ke­
kuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekua­
saan Pemerintah, akan tetapi ternyata dalam praktek dan
pelaksanaannya telah menyimpang dari Undang-undang Da­
sar, antara lain pasal 19 dalam Undang-undang No. 19 tahun
1964, yang memberikan wewenang kepada Presiden untuk
dalam ’’beberapa hal dapat turun atau campur tangan dalam
soal-soal Pengadilan” .
2. Dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar
1945 sesuai dengan ketentuan Ketetapan Majelis Permusya­
waratan Rakyat Sementara No. XIX/MPRS/1966 juncto
No. XXXIX/MPRS/1968 maka Pemerintah bersama-sama De­
wan Perwakilan Rakyat Gotong Royong telah mengadakan
peninjauan Undang-undang No. 19 tahun 1964 dengan
Undang-undang No. 6 tahun 1969 pasal 2 lampiran III nomor
urut 3 yang menghendaki adanya Undang-undang untuk
menggantikannya.
(V'S 3. Dengan dicabutnya Undang-undang No. 19 tahun 1964 ter­
sebut di atas teqadilah suatu kekosongan, yang akan meng­
ry-j-rj
hambat jalannya peradilan pada umumnya.
Y
14 &
Oleh karena itu perlulah dengan segera dibentuk Undang-
undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke­
hakiman yang baru sebagai penggantinya.
Undang-undang yang baru ini selain bertujuan untuk mengisi
kekosongan tersebut di atas harus pula menjaga pemurnian
pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945.

Untuk itu perlulah dalam Undang-undang tentang Ketentuan-


ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang baru ini, di­
usahakan tercantumnya dasar-dasar bagi penyelenggaraan
peradilan dan ketentuan-ketentuan pokok mengenai hubung­
an peradilan dan pencari keadilan, yang sejiwa dengan Un­
dang-undang Dasar 1945 supaya pelaksanaannya nanti dapat
sesuai dengan Pancasila.
Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman diserahkan kepada
Badan-badan Peradilan dengan ketentuan bahwa Undang-
undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman ini akan merupakan induk dan kerangka umum
yang meletakkan dasar serta azas-azas peradilan serta pedo­
man bagi lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang ma­
sing-masing diatur dalam Undang-undang tersendiri.

4. Undang-undang Dasar 1945 beserta Penjelasannya tidak


memberikan keterangan mengenai arti Kekuasaan Kehakiman
secara tuntas (”uit-puttend”). Namun ketentuan-ketentuan
dalam pasal 24 dan pasal 25 Undang-undang Dasar 1945 be­
serta Penjelasannya antara lain mencantumkan: ’’Kekuasaan
Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain Badan Kehakiman menurut Undang-undang” dan
’’Syarat-syarat untuk menjadi dan diberhentikan sebagai
Hakim ditetapkan dengan Undang-undang”.
Maka yang dituju dengan ’’Kekuasaan Kehakiman” dalam
pasal 24 Undang-undang Dasar 1945 ialah kekuasaan Negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna m e­
negakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

15
Adapun penyelenggaraannya diserahkan kepada Badan-badan
Peradilan dan ditetapkan dengan Undang-undang, dengan tu­
gas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Hal ini sesuai dengan yang tercantum dalam Penjelasan Un­
dang-undang Dasar ’’Negara Indonesia berdasar atas hukum,
tidak berdasarkan kekuasaan belaka” .

%XI Dalam Undang-undang ini dicantumkan beberapa ketentuan-

if: ketentuan pokok, yang memberi perlindungan hak-hak azasi


manusia dalam bidang peradilan, sesuai dengan jiwa Undang-
undang Dasar 1945.
Untuk menjamin terlaksananya maksud tersebut sampai men­
dapat hasil yang diharapkan perlu adanya penegak hukum
dan keadilan selaku badan pelaksana, yang melakukan tugas­
nya seadil-adilnya dan tidak memihak. Untuk menjaga, su­
paya keadilan dijalankan seobyektif-obyektifnya dimuat da­
lam Undang-undang ini antaralain beberapa peraturan yang
menentukan:
a. diwajibkannya supaya pemeriksaan dilakukan dalam si­
dang terbuka untuk umum oleh sekurang-kurangnya tiga
orang Hakim, kecuali apabila Undang-undang menentu­
kan lain;
b. diwajibkannya kepada Hakim yang masih terikat dalam
hubungan kekeluargaan tertentu dengan tertuduh, Ke­
tua, Hakim Anggota lainnya, Jaksa atau Panitera dalam
suatu perkara tertentu untuk mengundurkan diri dari
pemeriksaan perkara itu;
c. pemberian bantuan hukum kepada tersangka terutama
semenjak seseorang dikenakan penangkapan dan atau
penahanan;
d. diadakannya kemungkinan untuk mengganti kerugian
serta rehabilitasi seseorang yang ditahan, dituntut atau­
pun diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkannya.

16
6. Pada hakekatnya segala sesuatu yang berhubungan dengan
pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan
tersebut baik/buruknya tergantung dari pada manusia-manu­
sia pelaksananya, in casu para Hakim, maka untuk itu perlu­
lah dalam Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Po­
kok Kekuasaan Kehakiman ini dicantumkan syarat-syarat
yang senantiasa harus dipenuhi oleh seorang Hakim yaitu
jujur, merdeka, berani mengambil keputusan dan bebas dari
pengaruh, baik dari dalam maupun dari luar.
Untuk memperoleh Hakim seperti tersebut di atas perlu ada
kerja sama serta konsultasi antara Mahkamah Agung dan
Pemerintah khususnya dalam bidang pengangkatan, pember­
hentian, pfemindahan, kenaikan pangkat ataupun tindakan/
hukuman administratif terhadap Hakim-hakim Pengadilan
Umum, sebelum Pemerintah mengadakan pengangkatan,
pemberhentian dan lain-lainnya.
Dengan demikian, khususnya dalam soal-soal kepegawaian
yang bersangkutan dengan Hakim yang dilakukan oleh Pe­
merintah, Mahkamah Agung tidak akan ditinggalkan, bahkan
akan didengar dan diikut-sertakan.
Kerja-sama yang dapat berupa usul-usul, pertimbangan-per­
timbangan ataupun saran-saran yang dapat diberikan oleh
kedua badan tersebut setidak-tidaknya dapat mengurangi
kemungkinan timbulnya subjektivisme, apabila soal-soal
yang berhubungan dengan kepegawaian Hakim ditentukan
dan dilakukan secara eksklusip oleh satu badan dalam soal-
soal pengangkatan, pemberhentian dan lain-lain.
Jaminan tersebut di atas kurang sempurna apabila tidak
disertai dengan adanya peraturan-peraturan yang menjamin
kukuhnya kedudukan para Hakim, untuk mana Undang-
undang ini mewajibkan kepada Pemerintah untuk mengatur
kedudukan, pangkat dan gaji para Hakim dengan peraturan
yang tersendiri yang lebih menjamin bahwa Hakim tidak
akan dipengaruhi baik materiil maupun karena jabatan. Se­
dangkan sebagai syarat bathiniyah kepada para Hakim dalam
menjalankan keadilan oleh Undang-undang ini diletakkan
suatu pertanggunganjawab, yang lebih berat dan mendalam

17
dengan menginsyafkan kepadanya, bahwa karena sumpali
jabatannya dia tidak hanya bertanggung-jawab kepada hu­
kum, kepada diri sendiri dan kepada rakyat, tetapi juga ber­
tanggung-jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
Undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan, bahwa
peradilan dilakukan ’’DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA”.
7. Penegasan bahwa peradilan adalah Peradilan Negara, dimak­
sudkan untuk menutup semua kemungkinan adanya atau
akan diadakannya lagi Peradilan-peradilan Swapraja atau Per­
adilan Adat yang dilakukan oleh bukan badan peradilan
Negara. Ketentuan ini sekali-kali tidak bermaksud untuk
mengingkari hukum tidak tertulis, melainkan hanya akan
mengalihkan perkembangan dan penetrapan hukum itu ke­
pada Peradilan-peradilan Negara.
Dengan ketentuan bahwa Hakim wajib menggali, mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dengan meng­
integrasikan diri dalam masyarakat, telah terjamin sepenuh­
nya bahwa perkembangan dari penetrapan hukum tidak ter­
tulis itu akan berjalan secara wajar.

8. Ketentuan bahwa ’’PERADILAN DILAKUKAN DENGAN


SEDERHANA, CEPAT DAN BIAYA RINGAN” tetap harus
dipegang teguh yang tercermin dalam Undang-undang tentang
Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata yang me­
muat peraturan-peraturan tentang pemeriksaan dan pembuk­
tian yang jauh lebih sederhana.
9. Peradilan dilaksanakan oleh Majelis yang terdiri dari seku­
rang-kurangnya tiga orang Hakim.
Mengingat bahwa Negara Republik Indonesia memiliki wila­
yah yang sangat luas dan sulitnya alat-alat pengangkutan,
maka bagi daerah-daerah yang terpencil di mana terdapat ke­
kurangan Hakim, perlu dibuka kemungkinan untuk melaku­
kan penyimpangan dari ketentuan tersebut di atas.
10. Agar Pengadilan benar-benar menjalankan keadilan demi me­
menuhi hasrat dari para pencari keadilan, maka di samping

18
kemungkinan untuk m emohon pemeriksaan pada tingkat
banding dan kasasi, dibuka pula kemungkinan untuk memo­
hon peninjauan kembali terhadap putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
/j\\ Peninjauan kembali ini dilakukan apabila terdapat fakta-fakta
atau keadaan-keadaan yang pada waktu mengadili dahulu be-
_______lum diketahui.

n. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1.
Kekuasaan Kehakiman yang merdeka ini mengandung pe­
ngertian di dalamnya Kekuasaan Kehakiman yang bebas dari
campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya, dan kebe­
basan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang
dari pihak extra judiciil, kecuali dalam hal-hal yang diijinkan
oleh Undang-undang.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang judiciil tidaklah
mutlak sifatnya, karena tugas dari pada Hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila
- t , ;' dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar
l ’ /’ serta azas-azas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara
N yang dihadapkan kepadanya, sehingga keputusannya men­
cerminkan perasaan keadilan Bangsa dan Rakyat Indonesia.

Pasal 2.
(1) Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada Ba­
dan-badan Peradilan mengandung pengertian di dalam­
nya penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan
jurisdiksi voluntair.
(2) Cukup jelas.

Pasal 3.
(1) Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping Peradilan
Negara, tidak diperkenankan lagi adanya peradilan-per­
adilan yang dilakukan oleh bukan Badan Peradilan Ne­
gara.

19
Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar per­
damaian atau melalui wasit (arbitrage) tetap diperboleh­
kan.
(2) Cukup jelas.

Pasal 4.
(1) ” DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN
YANG MAHA ESA” adalah sesuai dengan pasal 29
Undang-undang Dasar yang berbunyi:
1. Negara berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha
Esa;
2. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agama masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
Rumusan ini berlaku untuk semua Pengadilan da­
lam semua lingkungan peradilan.

(2) Peradilan harus memenuhi harapan dari para pencari


keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang cepat,
tepat, adil dan biaya ringan. Tidak diperlukan pemerik­
saan dan acara yang berbelit-belit yang dapat menyebab­
kan proses sampai bertahun-tahun, bahkan kadang-
kadang harus dilanjutkan oleh para ahli-waris pencari ke­
adilan. Biaya ringan artinya biaya yang serendah mung­
kin sehingga dapat terpikul oleh rakyat. Ini semua de­
ngan tanpa mengorbankan ketelitian untuk mencari
kebenaran dan keadilan.
(3) Di sini perlu ditegaskan, bahwa agar supaya Pengadilan
dapat menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya,
yakni memberikan keputusan yang semata-mata ber­
dasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran, maka tidak
dapat dibenarkan adanya tekanan-tekanan atau penga­
ruh-pengaruh dari luar yang akan menyebabkan para
Hakim tidak bebas lagi dalam mengambil keputusan
yang seadil-adilnya.

20
Pasal 5 sampai dengan pasal 8.
Ini semua menjamin hak-hak azasi manusia yang mendapat­
kan perlindungan dalam Negara berdasarkan Pancasila.

Pasal 9.
Pengertian rehabilitasi dalam Undang-undang ini adalah pe­
mulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula
yang diberikan oleh Pengadilan.

Pasal 10.
(1) Undang-undang ini membedakan antara empat lingkung­
an peradilan yang masing-masing mempunyai lingkungan
wewenang mengadili tertentu dan meliputi Badan-
badan Peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Peradilan Agama, Militer dan Tata Usaha Negara m e­
rupakan peradilan khusus, karena mengadili perkara-
perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat ter­
tentu, sedangkan Peradilan Umum adalah peradilan bagi
rakyat pada umumnya mengenai baik perkara perdata,
maupun perkara pidana.
Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini, tidak
menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differen-
siasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misal­
nya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhusus­
an berupa Pengadilan Lalu-Lintas, Pengadilan Anak-
anak, Pengadilan Ekonomi, dan sebagainya dengan
Undang-undang.
(2) Cukup jelas.
(3) Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir
(kasasi) bagi semua lingkungan peradilan.
(4) Pengawasan tertinggi terhadap Pengadilan dalam semua
lingkungan peradilan ditetapkan dalam Undang-undang
tersendiri.
Ratio untuk menentukan ini, karena adanya aspek-
aspek khusus dari masing-masing lingkungan peradilan

21
baik dalam bidang persoalan maupun dalam bidang me­
ngenai orang-orangnya baik dalam hukum materiil mau­
pun formil, yang diterapkannya. Kesemuanya itu perlu
mendapatkan perhatian dari masing-masing Undang-
undang yang berlaku.

Pasal 11.
(1) Cukup jelas.
(2) Hal demikian berarti bahwa organisasi, administrasi dan
keuangan tersebut terpisah dari administrasi dan ke­
uangan Departemental, walaupun demikian penentuan
organisasi, administrasi dan keuangan Sekretariat Mah­
kamah Agung itu dilakukan oleh Pemerintah dengan
bahan-bahan yang disampaikan oleh Mahkamah Agung.

Pasal 12 dan pasal 13.


Cukup jelas.

Pasal 14.
(1) Hakim sebagai organ Pengadilan dianggap memahami
hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk mohon
keadilan. Andai kata ia tidak menemukan hukum ter­
tulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk me­
mutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijak­
sana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang
Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, Bangsa dan Negara.
(2) Cukup jelas.

Pasal 15.
(1) Sudah cukup dijelaskan dalam penjelasan umum ad. 9.
(2) Cukup jelas.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.

Pasal 16 sampai dengan pasal 20.


Cukup jelas.

22
Pasal 21.
Pasal ini mengatur tentang peninjauan kembali terhadap pu­
tusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
yang tetap. Permohonan peninjauan kembali dalam perkara
perdata diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan, ter­
masuk di dalamnya juga para ahli-waris dari pihak-pihak yang
berperkara dan dalam perkara pidana oleh terhukum atau ahli
warisnya. Syarat-syarat peninjauan kembali akan ditetapkan
dalam Hukum Acara.

Pasal 22.
Kewenangan Pengadilan Umum untuk mengadili perkara-
perkara yang dilakukan oleh mereka yang termasuk anggota
ABRI bersama-sama non ABRI, pada hakekatnya merupakan
suatu kekecualian ataupun penyimpangan dari ketentuan,
bahwa seorang semestinya dihadapkan di depan Pengadilan­
nya masing-masing.
Justru karena hal ini merupakan suatu kekecualian, maka
kewenangan Pengadilan Umum ini terbatas pada bentuk-
bentuk pensertaan dalam suatu delik, seperti dimaksudkan
oleh pasal-pasal 55, 56 K.U.H.P.
Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri
Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakim­
an untuk menetapkan Pengadilan Militer sebagai pengadilan
yang berwenang mengadili perkara koneksitas tersebut.
Pensertaan pada suatu delik militer yang m um i oleh seorang
bukan militer dan perkara pensertaan, di mana unsur militer
melebihi unsur sipil misalnya, dapat dijadikan landasan untuk
menetapkan Pengadilan lain dari pada Pengadilan Umum, ia­
lah Pengadilan Militer untuk mengadili perkara-perkara demi­
kian. Jika dalam hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer,
maka susunan Hakim adalah dari Pengadilan Militer dan
Pengadilan Umum.
Dalam hal ini kepentingan dari justiciabel tetap mendapat
perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan Hakim yang ber­
sidang. Dalam waktu perang di mana berlaku hukum ekse-

23
tionil ataupun hukum luar biasa, meskipun tindak pidana itu
dilakukan bersama-sama dengan seorang sipil orang-orang mi­
liter tidak ditarik dari pengadilannya.

Pasal 23 dan pasal 24.


Cukup jelas.

Pasal 25.
Dengan Lembaga Negara dimaksudkan semua Lembaga Ke­
negaraan baik di Pusat maupun di Daerah.

Pasal 26.
Pasal ini mengatur tentang hak menguji dari Mahkamah
Agung. Mahkamah Agung berhak untuk menguji peraturan
yang lebih rendah dari Undang-undang mengenai sah tidak­
nya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya dengan ke­
tentuan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak mengujinya
berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung mengambil
putusan suatu peraturan perundang-undangan dari tingkatan
yang lebih rendah dari Undang-undang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Mah­
kamah Agung secara tegas menyatakan bahwa peraturan ter­
sebut adalah tidak sah dan tidak berlaku untuk umum; oleh
karena itu pencabutan peraturan ini segera harus dilakukan
oleh instansi yang bersangkutan. Dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia hak menguji Undang-undang dan per­
aturan pelaksanaan Undang-undang terhadap Undang-undang
Dasar sebagai fungsi pokok tidak terdapat pada Mahkamah
Agung.
Oleh karena Undang-undang Dasar 1945 tidak mengaturnya,
maka tidak dengan sendirinya hak menguji Undang-undang
terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Agung dapat
diletakkan dalam Undang-undang ini. Hak menguji tersebut
apabila hendak diberikan kepada Mahkamah Agung seharus­
nya merupakan ketentuan Konstitutionil.

24
Demikian pula, MPR(S) hingga sekarang tidak menetapkan
hak menguji oleh Mahkamah Agung.
Tidak disebut hak menguji ini dalam Undang-undang Dasar
1945 dan dalam Ketetapan MPR(S) yang dapat mengatur­
nya sebagai suatu perwujudan dari hubungan hukum antara
alat perlengkapan Negara yang ada dalam Negara, berarti
bahwa Undang-undang ini (Undang-undang tentang K etentu­
an-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman) tidak dapat
memberikan kepada Mahkamah Agung kewenangan hak
menguji, apalagi secara materiil Undang-undang terhadap
Undang-undang Dasar.
Hanya Undang-undang Dasar ataupun Ketetapan MPR(S) da­
pat memberikan ketentuan.

Pasal 27.
(1) Dalam masyarakat yang masih mengenal hukum tidak
tertulis, serta berada dalam masa pergolakan dan per­
alihan, Hakim merupakan perumus dan penggali dari
nilai-nilai hukum yang hidup di kalangan rakyat.
Untuk itu ia harus teijun ke tengah-tengah masyarakat
untuk mengenal, merasakan dan mampu m enyelami
perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Dengan demikian Hakim dapat memberikan putusan
yang sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyara­
kat.
(2) Sifat-sifat yang jahat maupun yang baik dari tertuduh
wajib diperhatikan Hakim dalam mempertimbangkan
pidana yang akan dijatuhkan.
Keadaan-keadaan pribadi seseorang perlu diperhitung­
kan untuk memberi pidana yang setimpal dan seadil-
adilnya. Keadaan pribadi tersebut dapat diperoleh dari
keterangan orang-orang dari lingkungannya, rukun te­
tangganya, dokter ahli jiwa dan sebagainya.

Pasal 28.
Cukup jelas.

25
Pasal 29.
Pada waktu pengambilan sumpah/janji lazimnya dipakai kata-
kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing yaitu misal­
nya untuk penganut agama Islam didahului dengan kata
’’Demi Allah” dan untuk agama Kristen/Katholik diakhiri de­
ngan kata-kata ’’Semoga Tuhan menolong saya” .
Pasal 30.
Cukup jelas.

Pasal 31.
Dengan diangkatnya dan diberhentikannya para Hakim oleh
Kepala Negara, maka dijaminlah kebebasan kedudukannya.

Pasal 32.
Agar para Hakim pengadilan tersebut dapat melakukan tugas­
nya dengan bebas dan baik, maka kepada mereka diberikan
jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung
jawabnya.

Pasal 33.
(1) Cukup jelas.
(2) Untuk mendapatkan jaminan bahwa putusan tersebut
dilaksanakan sebagaimana mestinya, Ketua Pengadilan
yang bersangkutan mengawasi pelaksanaan putusan ter­
sebut.
(3) Cukup jelas.
(4) Cukup jelas.

Pasal 34.
Cukup jelas.

Pasal 35.
Merupakan suatu azas yang penting bahwa seorang yang ter­
kena perkara mempunyai hak untuk memperoleh bantuan

26
hukum. Hal ini dianggap perlu karena ia wajib diberi perlin­
dungan sewajarnya.
Perlu diingat juga ketentuan dalam pasal 8, di mana seorang
tertuduh wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putus­
an Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah
memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Karena pentingnya maka supaya diadakan Undang-undang
tersendiri tentang bantuan hukum.

Pasal 36.
Sesuai dengan sila Perikemanusiaan maka seorang tertuduh
harus diperlakukan sesuai dengan martabatnya sebagai ma­
nusia dan selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap
tidak bersalah.
Karena itu ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan
keluarga atau penasehat hukumnya terutama sejak ia ditang-
kap/ditahan. Tetapi hubungan ini dengan sendirinya tidak
boleh merugikan kepentingan pemeriksaan yang dimulai de­
ngan penyidikan.
Untuk itu Penyidik dan penuntut umum dapat melakukan
pengawasan terhadap hubungan tersebut sesuai dengan ke­
tentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.

Pasal 37.
Cukup jelas.

Pasal 38.
Cukup jelas.

Pasal 39.
Berdasarkan Undang-undang No. 1 Drt. Tahun 1951 tentang
tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, su­
sunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil pasal 1 ayat (2)
oleh Menteri Kehakiman secara berangsur-angsur telah dilaku­
kan penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja, di seluruh Bali,
Propinsi Sulawesi, Lombok, Sumbawa, Timor, Kalimantan,

27
Jambi dan Maluku. Dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun
1966 tentang Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja dan
Pembentukan Pengadilan Negeri di Irian Barat dihapus pula
Pengadilan Adat/Swapraja di Irian Barat.
Peraturan Presiden tersebut dengan Undang-undang No. 5
tahun 1969 telah ditetapkan menjadi Undang-undang.
Dalam pasal 1 dicantumkan, bahwa pelaksanaan penghapus­
annya diserahkan kepada Keputusan Bersama Gubernur Ke­
pala Daerah dan Ketua Pengadilan Tinggi Propinsi Irian
Barat.
Sebagai pelaksanaan telah dikeluarkan Keputusan Bersama
Gubernur Kepala Daerah Propinsi Irian Barat dan Ketua Pe­
ngadilan Tinggi Jayapura No. ll/G IB/1970 tentang Pelak-
Ncl 11 /IV /1970
sanaan Penghapusan Pengadilan Adat/Swapraja di daerah
tertentu di Propinsi Irian Barat.
Dalam pasal 1 ayat (1) untuk tahap pertama telah dihapus
Pengadilan Adat/Swapraja sebagai berikut:
Pengadilan Swapraja Jayapura, Lembah Balim, Nabiro, Biak,
Manokwari, Sorong, Raja Ampat, Fak-Fak, Kaimana, Serui,
Bokondini.
Pengadilan Adat di Merauke, Tanah Merah, Mindiptana.

Pasal 40 sampai dengan pasal 42.


Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 2951.

28
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG
MAHKAMAH AGUNG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara


hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata
kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram,
dan tertib;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut
dan menjamin persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum diperlukan upaya untuk menegak­
kan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian
hukum y a n g . mampu memberikan pengayoman
kepada masyarakat;
c. bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan ten­
tang susunan dan kekuasaan Mahkamah Agung yang
selama ini masih didasarkan pada Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1965 ternyata tidak sesuai lagi
dengan jiwa dan semangat Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970;
d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nom or 6
Tahun 1969, Undang-undang Nomor 13 Tahun

29
1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat
tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-
undang yang menggantikannya mulai berlaku;
e. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur kedudukan, susunan
dan kekuasaan Mahkamah Agung serta hukum acara
yang berlaku bagi Mahkamah Agung;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan Pa­
sal 25 Undang-Undang Dasar 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Repu­
blik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedu­
dukan dan Hubungan Tata Keija Lembaga Tertinggi
Negara dengan/atau antar Lembaga-lembaga Tinggi
Negara;
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tam­
bahan Lembaran Negara Nomor 2951);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG MAHKAMAH


AGUNG.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Kedudukan Mahkamah Agung
Pasal 1
Mahkamah Agung adalah Lembaga Tinggi Negara sebagaimana dimak­
sudkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor III/MPR/1978.

30
Pasal 2
Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Ling­
kungan Peradilan, yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari
pengaruh Pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.

Bagian Kedua
Tempat Kedudukan
Pasal 3
Mahkamah Agung berkedudukan di ibukota Negara Republik Indo­
nesia.
BAB II
SUSUNAN MAHKAMAH AGUNG
Bagian Pertama
Umum
Pasal 4
Susunan Mahkamah Agung terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Agung.

Pasal 5
(1) Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang Ketua,'seorang
Wakil Ketua, dan beberapa orang Ketua Muda.
(2) Hakim Anggota Mahkamah Agung adalah Hakim Agung.

Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Anggota Mahkamah Agung
Pasal 6
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung adalah pejabat negara yang melaksanakan tugas Kekuasaan
Kehakiman.
(2) Syarat, dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian mereka
yang tersebut ayat (1) ditetapkan dalam Undang-undang ini.

Pasal 7
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Agung seorang calon harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

31
a. warganegara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, da­
sar negara, dan ideologi nasional, kepada Proklamasi 17 Agus­
tus 1945, Undang-Undang Dasar 1945 serta kepada revolusi
kemerdekaan bangsa Indonesia untuk mengemban amanat
penderitaan rakyat;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan sese­
orang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
’’Gerakan Kontra Revolusi G.30.S/PKI” atau organisasi
terlarang lainnya;
e. berijazah sarjana hukum atau saijana lain dan mempunyai
keahlian di bidang hukum;
f. berumur serendah-rendahnya 50 (lima puluh) tahun;
g. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun
sebagai Hakim Tingkat Banding;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Dalam hal-hal tertentu dapat dibuka kemungkinan untuk meng­
angkat Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier
dengan syarat bahwa yang bersangkutan berpengalaman sekurang-
kurangnya 15 (lima belas) tahun di bidang hukum.

Pasal 8
(1) Hakim Agung diangkat oleh Presiden selaku Kepala Negara dari
daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Daftar nama calon sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) di­
ajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Presiden selaku
Kepala Negara setelah Dewan Perwakilan Rakyat mendengar pen­
dapat Mahkamah Agung dan Pemerintah.
(3) Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden
selaku Kepala Negara di antara Hakim Agung yang diusulkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Ketua Muda Mahkamah Agung diangkat oleh Presiden selaku
Kepala Negara diantara Hakim Agung yang diusulkan oleh Ketua
Mahkamah Agung.

32
(5) Untuk mengisi lowongan jabatan Ketua, Wakil Ketua, Ketua
Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diusulkan masing-
masing 2 (dua) orang calon.

Pasal 9
(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Anggota Mahkamah Agung wajib mengucapkan sum­
pah atau janji menurut Agama atau Kepercayaannya yang ber­
bunyi sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/berjanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,
dengan menggunakan nama atau cara apapun juga, tiada memberi­
kan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapapun juga” .
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya, untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga suatu
janji atau pemberian”.
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-
undang serta peraturan-peraturan lain yang berlaku bagi negara
Republik Indonesia” .
’’Saya bersumpah/berjanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­
kan jabatan saya ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak
membeda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan
kewajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya
bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim anggota
Mahkamah Agung yang berbudi baik dan jujur dalam menegakkan
hukum dan keadilan”.

(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Ketua Muda Mahkamah Agung meng­
ucapkan sumpah atau janji dihadapan Presiden selaku Kepala
Negara.

(3) Hakim Anggota Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya


oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 10
(1) Hakim Agung tidak boleh merangkap menjadi:

33
a. pelaksana putusan Mahkamah Agung;
b. wali, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu
perkara yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
c. penasihat hukum ;
d. pengusaha.
(2) Kecuali larangan perangkapan jabatan lain yang telah diatur dalam
undang-undang, maka jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh
Hakim Agung selain jabatan tersebut ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 11
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden
selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung karena:
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus-menerus;
c. telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugas.
(2) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung yang meninggal dunia dengan sendirinya diberhentikan
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Ne­
gara.
Pasal 12
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh
Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan
alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus-menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan
tugas pekeijaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan yang dimaksud dalam Pasal 10.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
tersebut dalam ayat (1) huruf b sampai dengan huruf e dilakukan
setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk
membela diri dihadapan Majelis Kehormatan Mahkamah Agung.

34
(3) Pembentukan, susunan, dan tata kerja Majelis Kehormatan Mah­
kamah Agung diatur oleh Mahkamah Agung.

Pasal 13
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah
Agung sebelum diberhentikan tidak dengan hormat sebagaimana
dimaksudkan Pasal 12 ayat (1) dapat diberhentikan sementara
dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara yang dimaksud­
kan ayat (1) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksudkan
Pasal 12 ayat (2).

Pasal 14
(1) Apabila terhadap seorang Hakim Agung ada perintah penangkapan
yang diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim Agung
tersebut diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim Agung dituntut di muka Pengadilan dalam
perkara pidana seperti tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981 tanpa ditahan, maka ia dapat di­
berhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 15
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hor­
mat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian semen­
tara, serta hak-hak pejabat yang diberhentikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 16
(1) Kedudukan protokol Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Ha­
kim Anggota Mahkamah Agung, diatur dengan undang-undang.
(2) Hak keuangan/administratif Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda,
dan Hakim Anggota Mahkamah Agung, diatur dengan undang-
undang.

Pasal 17
(1) Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah

35
Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa
Agung setelah mendapat persetujuan Presiden, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan,
atau;
b. berdasarkan bukti permulaan yang cukup, disangka telah
melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keaman­
an negara.
(2) Pelaksanaan penangkapan atau penahanan tersebut ayat (1) huruf
a dan huruf b selambat-lambatnya dalam waktu 2 (dua) kali
24 (dua puluh empat) jam harus dilaporkan kepada Jaksa Agung.

Bagian Ketiga
Panitera Mahkamah Agung

Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Kepaniteraan yang dipim­


pin oleh seorang Panitera dan dibantu oleh seorang Wakil Panitera,
beberapa orang Panitera Muda, dan beberapa orang Panitera Pengganti.

Pasal 19
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija Kepani­
teraan Mahkamah Agung ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 20
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Mahkamah Agung seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah sarjana hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 15 (lima
belas) tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Mahkamah Agung
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

36
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d ;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai
Ketua Pengadilan Tingkat Banding atau 7 (tujuh) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 10 (sepuluh)
tahun sebagai Panitera Muda Mahkamah Agung.

(3) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Mahkamah Agung


seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tingkat Banding atau 5 (lima) tahun
sebagai Ketua Pengadilan Tingkat Pertama atau 5 (lima)
tahun sebagai Panitera Pengganti Mahkamah Agung.

(4) Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Mahkamah


Agung seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai beri­
kut: '
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, dan huruf d ;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun se­
bagai Hakim Pengadilan Tingkat Pertama.

Pasal 21
Panitera, Wakil Panitera Mahkamah Agung diangkat dan diberhentikan
oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 22
Sebelum memangku jabatannya Panitera dan Wakil Panitera Mahkamah
Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah Agung.

Pasal 23
Panitera Muda dan Panitera Pengganti Mahkamah Agung diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung.

37
Pasal 24
Sebelum memangku jabatannya Panitera Muda dan Panitera Pengganti
Mahkamah Agung diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Mahkamah
Agung.

Bagian Keempat
Sekretaris Jenderal-Mahkamah Agung
Pasal 25
Pada Mahkamah Agung ditetapkan adanya Sekretariat Jenderal yang
dipimpin oleh seorang Sekretaris Jenderal dan dibantu oleh seorang
Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 26
Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija Sekreta­
riat Jenderal Mahkamah Agung ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

Pasal 27
Panitera Mahkamah Agung merangkap Sekretaris Jenderal Mahkamah
Agung.

BAB III
KEKUASAAN MAHKAMAH AGUNG

Pasal 28
(1) Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memu­
tus:
a. permohonan kasasi;
b. sengketa tentang kewenangan mengadili;
c. permohonan peninjauan kembali putusan Pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Untuk kelancaran pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksudkan
ayat (1) Ketua Mahkamah Agung menetapkan pembidangan tugas
dalam Mahkamah Agung.

Pasal 29
Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan

38
Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari semua Ling­
kungan Peradilan.

Pasal 30
Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi membatalkan putusan atau
penetapan Pengadilan-pengadilan dari semua Lingkungan Peradilan
karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan per-
undang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya
putusan yang bersangkutan.

Pasal 31
(1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji secara materiil
hanya terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-
undang.
(2) Mahkamah Agung berwenang menyatakan tidak sah semua per­
aturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari­
pada undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
(3) Putusan tentang pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-
undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksa­
an dalam tingkat kasasi.
Pencabutan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan
tidak sah tersebut, dilakukan segera oleh instansi yang bersangkut­
an.

Pasal 32
(1) Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap pe­
nyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman.
(2) Mahkamah Agung mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
Hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugas­
nya.

39
(3) Mahkamah Agung berwenang untuk meminta keterangan tentang
hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari 'semua
Lingkungan Peradilan.
(4) Mahkamah Agung berwenang memberi petunjuk, tegoran, atau
peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan di semua
Lingkungan Peradilan.
(5) Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksudkan dalam
ayat (1) sampai dengan ayat (4) tidak boleh mengurangi ke­
bebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.

Pasal 33
(1) Mahkamah Agung memutus pada tingkat pertama dan terakhir
semua sengketa tentang kewenangan mengadili:
a. antara Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang satu dengan
Pengadilan di Lingkungan Peradilan yang lain;
b. antara dua Pengadilan yang ada dalam daerah hukum Peng­
adilan Tingkat Banding yang berlainan dari Lingkungan
Peradilan yang sama;
c. antara dua Pengadilan Tingkat Banding di Lingkungan
Peradilan yang sama atau antara Lingkungan Peradilan yang
berlainan.
(2) Mahkamah Agung berwenang memutus dalam tingkat pertama
dan terakhir, semua sengketa yang timbul karena perampasan
kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia
berdasarkan peraturan yang berlaku.

Pasal 34
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus permohonan peninjauan
kembali pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-
alasan yang diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang
ini

40
Pasal 35
Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden se­
laku Kepala Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi.

Pasal 36
Mahkamah Agung dan Pemerintah melakukan pengawasan atas Pena­
sihat Hukum dan Notaris.

Pasal 37
Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan
dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada Lembaga
Tinggi Negara yang lain.

Pasal 38
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi­
kan petunjuk kepada Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan da­
lam rangka pelaksanaan ketentuan-ketentuan Pasal 25 Undang-un­
dang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 39
Di samping tugas dan kewenangan tersebut dalam Bab ini Mahkamah
Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan undang-
undang.

BAB IV
HUKUM ACARA BAGI MAHKAMAH AGUNG

Bagian Pertama
Umum

Pasal 40
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus dengan sekurang-ku­
rangnya 3 (tiga) orang Hakim.

41
(2) Putusan Mahkamah Agung diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum.

Pasal 41
(1) Seorang Hakim wajib mengundurkan diri dari suatu persidangan
apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai
derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri meskipun sudah
bercerai dengan salah seorang Hakim Anggota atau Panitera
pada Majelis yang sama dimaksudkan Pasal 40 ayat (1).
(2) Seorang Hakim atau Panitera wajib mengundurkan diri dari
persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau isteri
meskipun sudah bercerai dengan Penuntut Umum, Oditur Mili­
ter, Terdakwa, Penasihat hukum, Tergugat atau Penggugat.
(3) Hubungan keluarga sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan ayat
(2) berlaku juga antara Hakim Agung dan/atau Panitera Mahka­
mah Agung dengan Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat
Pertama serta Hakim dan/atau Panitera Pengadilan Tingkat Ban­
ding, yang telah mengadili perakara yang sama.
(4) Jika seorang Hakim yang memutus perkara dalam tingkat per­
tama atau tingkat banding, kemudian telah menjadi Hakim Agung,
maka Hakim Agung tersebut dilarang memeriksa perkara yang
sama.
(5) Hakim atau Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) harus diganti, dan apabila tidak diganti atau
tidak mengundurkan diri sedangkan perkara telah diputus, maka
putusan tersebut batal dan perkara tersebut wajib segera diadili
ualng dengan susunan Majelis yang lain.

Pasal 42
(1) Seorang Hakim tidak diperkenankan mengadili suatu perkara
yang ia sendiri berkepentingan, baik langsung maupun tidak lang­
sung.
(2) Dalam hal sebagaimana dimaksudkan ayat (1) Hakim yang ber­
sangkutan wajib mengundurkan diri baik atas kehendak sendiri

42
maupun atas permintaan Penuntut Umum, Oditur Militer, Ter­
dakwa, Penasihat Hukum, Tergugat atau Penggugat.
(3) Apabila ada keragu-raguan atau perbedaan pendapat mengenai
hal sebagaimana tersebut ayat (1), maka:
a. Ketua Mahkamah Agung karena jabatannya bertindak sebagai
pejabat yang berwenang menetapkan;
b. dalam hal menyangkut Ketua Mahkamah Agung sendiri, yang
berwenang menetapkannya adalah suatu panitia, yang terdiri
dari 3 (tiga) orang yang dipilih oleh dan di antara Hakim
Agung yang tertua dalam jabatan.

Bagian Kedua
Pemeriksaan Kasasi
Paragraf 1
Umum

Pasal 43
(1) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pem ohon terhadap
perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding kecuali
ditentukan lain oleh undang-undang.
(2) Permohonan kasasi dapat diajukan hanya 1 (satu) kali.

Pasal 44
(1) Permohonan kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 43 dapat di­
ajukan oleh:
a. pihak yang berperkara atau wakilnya yang secara khusus
dikuasakan untuk itu dalam perkara perdata atau perkara
tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Peng­
adilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkung­
an Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Agama, dan
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Terdakwa atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan
untuk itu atau Penuntut Umum atau Oditur dalam perkara
pidana yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tingkat

43
Banding atau Tingkat Terakhir di Lingkungan Peradilan
Umum dan Lingkungan Peradilan Militer.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, sebelum Mahkamah
Agung memberikan putusannya, Jaksa Agung karena jabatan­
nya dapat mengajukan pendapat teknis hukum dalam perkara
tersebut.
Pasal 45
(1) Permohonan kasasi demi kepentingan hukum dapat diajukan oleh
Jaksa Agung karena jabatannya dalam perkara perdata atau
tata usaha negara yang diperiksa dan diputus oleh Pengadilan
Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding di Lingkung­
an Peradilan sebagaimana dimaksudkan Pasal 44 ayat (1) huruf
a.
(2) Permohonan kasasi tersebut dalam ayat (1) dapat diajukan hanya
1 (satu) kali.
(3) Putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan
pihak yang berperkara.

Paragraf 2
Peradilan Umum

Pasal 46
(1) Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara ter­
tulis atau lisan melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama
yang telah memutus perkaranya, dalam tenggang waktu 14 (empat
belas) hari sesudah putusan atau penetapan Pengadilan yang di­
maksudkan diberitahukan kepada pemohon.
(2) Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut telah lewat
tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berper­
kara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putus­
an.
(3) Setelah pemohon membayar biaya perkara, Panitera tersebut ayat
(1) mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan pada hari
itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada
berkas perkara.
(4) Selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah permo-

44
honan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Dalam Tingkat Per­
tama yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara ter­
tulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan.

Pasal 47
(1) Dalam pengajuan permohonan kasasi pem ohon wajib menyampai­
kan pula memori kasasi yang memuat alasan-alasannya, dalam
tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan yang
dimaksud dicatat dalam buku daftar.
(2) Panitera Pengadilan yang memutus perkara dalam tingkat pertama
memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan me­
nyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan
dalam perkara yang dimaksud dalam waktu selambat-lambatnya
30 (tiga puluh hari).
(3) Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap memori
kasasi kepada Panitera sebagaimana dimaksudkan ayat (1), dalam
tenggang waktu 14 (empat belas hari), sejak tanggal diterimanya
salinan memori kasasi.

Pasal 48.
(1) Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori
kasasi sebagaimana dimaksudkan Pasal 47, Parut era Pengadilan
yang memutus perkara dalam tingkat pertama, mengirimkan
permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi,
beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tigapuluh) hari.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut
dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut
tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya,
dan melaporkan semua itu kepada Mahkamah Agung.

Pasal 49
(1) Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung,
maka permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pem ohon,
dan apabila telah dicabut, pem ohon tidak dapat lagi mengaju­
kan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang
waktu kasasi belum lampau.

45
(2) Apabila pencabutan kembali sebagaimana dimaksudkan ayat (1)
dilakukan sebelum berkas perkaranya dikirimkan kepada Mah­
kamah Agung, maka berkas perkara itu tidak diteruskan kepada
Mahkamah Agung.

Pasal 50
(1) Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung, berdasarkan
surat-surat dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung men­
dengar sendiri para pihak atau para saksi, atau memerintahkan
Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding yang
memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi.
(2) Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan
mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuk­
tian yang berlaku bagi pengadilan Tingkat Pertama.

Pasal 51
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
berdasarkan Pasal 30 huruf a, maka Mahkamah Agung menye­
rahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang berwenang
memeriksa dan memutusnya.
(2) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi
berdasarkan Pasal 30 huruf b, dan huruf c, maka Mahkamah
Agung memutus sendiri perkara yang dimohonkan kasasi itu.

Pasal 52
Dalam mengambil putusan, Mahkamah Agung tidak terikat pada alas­
an-alasan yang diajukan oleh pemohon kasasi dan dapat memakai alas­
an-alasan hukum lain.

Pasal 5 3
(1) Salinan putusan dikirimkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Per­
tama yang memutus perkara tersebut.

(2) Putusan Mahkamah Agung oleh Pengadilan Tingkat Pertama di­


beritahukan kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 30
(tiga puluh) hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tingkat Pertama tersebut.

46
Pasal 54
Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara pidana digunakan hukum
acara sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana.

Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer

Pasal 55
(1) Pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan
. di Lingkungan Peradilan Agama atau yang diputus oleh Pengadil­
an di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut
ketentuan Undang-undang ini.
(2) Dalam pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer digunakan hukum
acara yang berlaku di Lingkungan Peradilan Militer.

Bagian Ketiga
Pemeriksaan Sengketa Tentang
Kewenangan Mengadili

Paragraf 1
Umum

Pasal 56
(1) Mahkamah Agung memeriksa dan memutus sengketa tentang ke-
wenangan mengadili sebagaimana dimaksudkan Pasal 33 ayat (1).
(2) Sengketa tentang kewenangan mengadili teijadi:
a. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan berwenang
mengadili perkara yang sama;
b. jika 2 (dua) Pengadilan atau lebih menyatakan tidak ber­
wenang mengadili perkara yang sama.

47
Paragraf 2
Peradilan Umum

Pasal 57
(1) Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenang-
an mengadili dalam perkara perdata, diajukan secara tertulis
kepada Mahkamah Agung disertai pendapat dan alasannya oleh:
a. pihak yang berperkara melalui Ketua Pengadilan;
b. Ketua Pengadilan yang memeriksa perkara tersebut.
(2) Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan tersebut dalam
buku daftar sengketa tentang kewenangan mengadili perkara
perdata dan atas perintah Ketua Mahkamah Agung mengirimkan
salinannya kepada pihak lawan yang berperkara dengan pembe­
ritahuan bahwa ia dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari se­
telah menerima salinan permohonan tersebut berhak mengajukan
jawaban tertulis kepada Mahkamah Agung disertai pendapat dan
alasan-alasannya.
(3) Setelah permohonan tersebut diterima maka pemeriksaan perkara
oleh Pengadilan yang memeriksanya ditunda sampai sengketa
tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.
(4) Putusan Mahkamah Agung disampaikan kepada:
a. para pihak melalui Ketua Pengadilan;
b. Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 58
Permohonan untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan
mengadili perkara pidana, diajukan secara tertulis oleh Penuntut Umum
atau terdakwa disertai pendapat dan alasan-alasannya.

Pasal 59
(1) Apabila permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 58
diajukan oleh Penuntut Umum maka surat permohonan dan ber­
kas perkaranya dikirimkan oleh Penuntut Umum kepada Mah­
kamah Agung, sedangkan salinannya dikirimkan kepada Jaksa
Agung, para Ketua Pengadilan dan Penuntut Umum pada Kejak­
saan lain serta kepada terdakwa.
(2) Penuntut Umum pada Kejaksaan lain, demikian pula terdakwa

48
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan
permohonan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) menyam­
paikan pendapat masing-masing kepada Mahkamah Agung.

Pasal 60
(1) Apabila permohonan diajukan oleh terdakwa, maka surat per­
mohonannya diajukan melalui Penuntut Umum yang bersangkut­
an, yang selanjutnya meneruskan permohonan tersebut beserta
pendapat dan berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung.
(2) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) me­
ngirimkan salinan surat permohonan dan pendapatnya kepada
Penuntut Umum lainnya.
(3) Penuntut Umum lainnya sebagaimana dimaksudkan ayat (2) me­
ngirimkan pendapatnya kepada Mahkamah Agung selambat-lam­
batnya 30 (tiga puluh) hari setelah menerima salinan permohonan
tersebut.

Pasal 61
(1) Penuntut Umum sebagaimana dimaksudkan Pasal 60 ayat (1)
secepat-cepatnya menyampaikan salinan permohonan tersebut
kepada para Ketua Pengadilan yang memutus perkara tersebut.
(2) Setelah permohonan tersebut diterimanya, maka pemeriksaan
perkara oleh Pengadilan yang memeriksanya ditunda sampai
sengketa tersebut diputus oleh Mahkamah Agung.

Pasal 62
(1) Mahkamah Agung dapat memerintahkan Pengadilan yang meme­
riksa perkara meminta keterangan dari terdakwa tentang hal-hal
yang dianggap perlu.
(2) Pengadilan yang diperintahkan setelah melaksanakan perintah
tersebut ayat (1) segera memuat berita acara pemeriksaan dan
mengirimkannya kepada Mahkamah Agung.

Pasal 63
(1) Dalam hal sengketa kewenangan sebagaimana dimaksudkan Pasal
58, Mahkamah Agung memutus sengketa tersebut setelah mende­
ngar pendapat Jaksa Agung.

49
(2) Jaksa Agung memberitahukan putusan dimaksudkan ayat U ) ke­
pada terdakwa dan Penuntut Umum dalam perkara tersebut.

Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer

Pasal 64
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Penga­
dilan yang teijadi:
a. di Lingkungan Peradilan Agama;
b' di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
dilakukan menurut ketentuan Pasal 57.
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antar Penga­
dilan di Lingkungan Peradilan Militer, dilakukan menurut ke­
tentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63.

Paragraf 4
Pemeriksaan Sengketa Tentang Kewenangan
Mengadili Antar Lingkungan Peradilan

Pasal 65
(1) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara:
a. Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dengan Pengadil­
an di Lingkungan Peradilan Agama dengan Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara;
b. Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama dengan Pengadil­
an di Lingkungan Peradialn Tata Usaha Negara;
dilakukan menurut ketentuan Pasal 57.
(2) Pemeriksaan sengketa tentang kewenangan mengadili antara
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dengan Pengadilan
di Lingkungan Peradilan Militer dilakukan menurut ketentuan
Pasal 58 sampai dengan Pasal 63.

50
Bagian Keempat
Pemeriksaan Peninjauan Kembali Putusan
Pengadilan Yang Telah Memperoleh
Kekuatan Hukum Tetap

Paragraf 1
Umum

Pasal 66
(1) Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan hanya 1 (satu)
kali.
(2) Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau meng­
hentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.
(3) Permohonan peninjauan kembali dapat dicabut selama belum
diputus, dan dalam hal sudah dicabut permohonan peninjauan
kembali itu tidak dapat diajukan lagi.

Paragraf 2
Peradilan Umum
Pasal 67
Permohonan peninjauan kembali putusan perkara perdata yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan hanya berdasarkan
alasan-alasan sebagai berikut :
a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya di­
putus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh
hakim pidana dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti
yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa
tidak dapat ditemukan;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari pada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;

51
e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang
sama, atas dasar yang sama oleh Pengadilan yang sama atau sama
tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain;
f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata.

Pasal 68
(1) Permohonan peninjauan kembali harus diajukan sendiri oleh para
pihak yang berperkara, atau ahli warisnya atau seorang wakilnya
yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
(2) Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon meninggal
dunia, permohonan tersebut dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya.

Pasal 69
Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali yang di­
dasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 67 adalah
180 (seratus delapan puluh) hari untuk :
a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu
muslihat atau sejak putusan Hakim pidana memperoleh kekuatan
hukum tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang ber­
perkara;
b. yang disebut pada huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti,
yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah
sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
c. yang disebut pada huruf c, d, dan f sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak
yang berperkara;
d. yang tersebut pada huruf e sejak putusan yang terakhir dan ber­
tentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberi­
tahukan kepada pihak yang berperkara.

Pasal 70
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon kepada

52
Mahkamah Agung melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus
perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara
yang diperlukan.
(2) Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir.

Pasal 71
(1) Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pem ohon secara
tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan
dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama.
(2) Apabila pem ohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan per­
mohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk
oleh Ketua Pengadilan yang akan membuat catatan tentang per­
mohonan tersebut.

Pasal 72
(1) Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam
tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka
Panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14
(empat belas) hari memberikan atau mengirimkan salinan per­
mohonan tersebut kepada pihak lawan pemohon, dengan maksud :
a. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas
alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau huruf
b agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengaju­
kan jawabannya;
b. dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas
salah satu alasan yang tersebut Pasal 67 huruf c sampai
dengan huruf f agar dapat diketahui.
(2) Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya
sebagaimana dimaksudkan ayat (1) huruf a adalah 30 (tiga puluh)
hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan
kembali.
(3) Surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada Pengadilan yang

53
memutus perkara dalam tingkat pertama dan pada surat jawaban
itu oleh Panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya
jawaban tersebut, yang salinannya disampaikan atau dikirimkan
kepada pihak pemohon untuk diketahui.
(4) Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta
biayanya oleh Panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung se­
lambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.
(5) Untuk permohonan peninjauan kembali tidak diadakan surat me­
nyurat antara pemohon dan/atau pihak lain dengan Mahkamah
Agung.

Pasal 73
(1) Mahkamah Agung berwenang memerintahkan Pengadilan Negeri
yang memeriksa perkara dalam Tingkat Pertama atau Pengadilan
Tingkat Banding mengadakan pemeriksaan tambahan, atau me­
minta segala keterangan serta pertimbangan dari Pengadilan yang
dimaksud.
(2) Mahkamah Agung dapat meminta keterangan dari Jaksa Agung
atau dari pejabat lain yang diserahi tugas penyidikan apabila di­
perlukan.
(3) Pengadilan yang dimaksudkan ayat (1), setelah melaksanakan pe­
rintah Mahkamah Agung tersebut segera mengirimkan berita acara
pemeriksaan tambahan serta pertimbangan sebagaimana dimaksud­
kan ayat (1), kepada Mahkamah Agung.

Pasal 74
(1) Dalam hal Mahkamah Agung mengabulkan permohonan peninjau­
an kembali, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang di­
mohonkan peninjauan kembali tersebut dan selanjutnya memerik­
sa serta memutus sendiri perkaranya.
(2) Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali,
dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan itu
tidak beralasan.
(3) Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksudkan ayat (1) dan
ayat (2) disertai pertimbangan-pertimbangan.

54
Pasal 75
Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusan atas permohonan
peninjauan kembali kepada Pengadilan Negeri yang memutus perkara
dalam Tingkat Pertama dan selanjutnya Panitera Pengadilan Negeri yang
bersangkutan menyampaikan salinan putusan itu kepada pem ohon serta
memberitahukan putusan itu kepada pihak lawan dengan memberikan
salinannya, selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari.

Pasal 76
Dalam pemeriksaan permohonan peninjauan kembali putusan perkara
pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap digunakan acara
peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana.

Paragraf 3
Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara,
Peradilan Militer
Pasal 77
(1) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Agama atau oleh Pengadilan
di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, digunakan hukum
acara peninjauan kembali yang tercantum dalam Pasal 67 sampai
dengan Pasal 75.
(2) Dalam pemeriksaan peninjauan kembali perkara yang diputus oleh
Pengadilan di Lingkungan Peradilan Militer, digunakan hukum
acara peninjauan kembali sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana.

Bagian Kelima
Pemeriksaan Sengketa Yang
Timbul Karena Perampasan Kapal

Pasal 78
Pemeriksaan sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan

55
muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia dilakukan berdasar­
kan undang-undang.

BAB V
KETENTUAN LAIN
Pasal 79
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang ini.

BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 80
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, semua peraturan pe­
laksanaan yang telah ada mengenai Mahkamah Agung dinyatakan tetap
berlaku selama ketentuan baru berdasarkan Undang-undang ini belum
dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
Undang-undang ini.

BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 81
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Undang-undang Nomor
13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum
dan Mahkamah Agung sepanjang mengenai ketentuan tentang Mahka­
mah Agung dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 82
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

56
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

Diundangkan di Jakarta SOEHARTO


pada tanggal 30 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985


NOMOR 73

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan

cap/ttd.

Bambang Kesowo, S.H. LL.M.

57
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 1985
TENTANG
MAHKAMAH AGUNG

I. UMUM
1. Salah satu unsur dalam tujuan pembangunan nasional yang
diamanatkan Garis-garis Besar Haluan Negara adalah masyara­
kat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dalam wadah
negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat,
bersatu, dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perike-
hidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib.
Suasana perikehidupan tersebut di atas merupakan
bagian dari gambaran terhadap tata kehidupan bangsa In­
donesia yang dicita-citakan perwujudannya melalui rangkaian
upaya dan kegiatan pembangunan yang berlanjut dan ber­
kesinambungan. Namun demikian pengalaman dalam ke­
hidupan bernegara dan berbangsa sejak kemerdekaan menun­
jukkan, bahwa usaha untuk mewujudkan perikehidupan
seperti itu sangat dipengaruhi oleh berbagai hal yang saling
berkait satu dengan lainnya.
Cita tentang keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan
ketertiban sistem serta penyelenggaraan hukum merupakan
hal yang mempengaruhi tumbuhnya suasana perikehidupan
sebagaimana dimaksudkan di atas. Masalahnya adalah, bahwa
hal tersebut secara bersamaan merupakan pula tujuan kegiat­
an pembangunan di bidang hukum dalam kerangka pelaksana-
naan pembangunan nasional. Dengan pemahaman seperti ini
pula, maka salah satu pendekatan yang ingin dilakukan ada­
lah kaitannya dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman.
2. Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Re­
publik Indonesia Nomor III/MPR/1978 tentang Kedudukan

58
dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/
atau Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara (lihubungkan
dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ke­
tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah
Agung diberi kekuasaan dan kewenangan untuk :
a. memeriksa dan memutus :
1) permohonan kasasi;
2) sengketa tentang kewenangan mengadili;
3) permohonan peninjauan kembali putusan Pengadil­
an yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
b. memberikan pertimbangan dalam bidang hukum, baik
diminta maupun tidak, kepada Lembaga Tinggi Negara;
c. memberikan nasehat hukum kepada Presiden selaku
Kepala Negara untuk pemberian atau penolakan grasi;
d. menguji secara materiil hanya terhadap peraturan per-
undang-undangan di bawah undang-undang;
e. melaksanakan tugas dan kewenangan lain berdasarkan
Undang-undang.

Untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan dan kewenangan


tersebut dengan sebaik-baiknya, Mahkamah Agung melaksa­
nakan hal-hal sebagai berikut :
a. wewenang pengawasan meliputi :
1) jalannya peradilan;
2) pekeijaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim
di semua Lingkungan Peradilan;
3) pengawasan yang dilakukan terhadap Penasihat
Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut
peradilan;
4) pemberian peringatan, tegoran, dan petunjuk yang
diperlukan.
b. meminta keterangan dan pertimbangan d a r i:
1) Pengadilan di semua Lingkungan Peradilan;
2) Jaksa Agung;
3) pejabat lain yang diserahi tugas penuntutan perkara
pidana.
59
c. membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan
bagi kelancaran jalannya peradilan.
d. mengatur sendiri administrasinya baik mengenai admi­
nistrasi peradilan maupun administrasi umum.
Dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ke­
tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman ditegaskan
bahwa :
a. Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna me­
negakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
demi terselenggaranya negara hukum Republik Indone­
sia;
b. Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman adalah Pengadilan
di lingkungan :
- Peradilan Umum;
- Peradilan Agama;
- Peradilan Militer;
- Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Tertinggi dan me­
lakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan Pengadilan.
Dengan memperhatikan kedudukan dan peranan Mahkamah
Agung seperti tersebut di atas, perlu diberikan pengaturan
yang mantap, jelas, dan tegas kepada lembaga ini.
Salah satu prinsip yang telah diletakkan dalam Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970, adalah bahwa peradilan harus
memenuhi harapan para pencari keadilan yang selalu meng­
hendaki peradilan yang sederhana, cepat, tepat, adil, dan
biaya ringan. Seiring dengan prinsip tersebut di atas serta
sebagai upaya untuk mewujudkan sistem peradilan yang lebih
efektif dan efisien dalam penyelenggaraan kekuasaan ke­
hakiman di negara hukum Republik Indonesia, maka dalam
Undang-undang ini ditegaskan bahwa Mahkamah Agung ada­
lah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua Lingkungan
Peradilan.
4. Untuk memperoleh Hakim Agung yang merdeka, berani me­
ngambil keputusan dan bebas dari pengaruh, baik dari dalam
maupun dari luar, diperlukan persyaratan sebagaimana diurai­
kan dalam Undang-undang ini.
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan
sistem karier dan tertutup.
Namun demikian dalam hal-hal tertentu dapat pula di­
buka kemungkinan untuk mengangkat Hakim Agung yang
tidak didasarkan sistem karier. Untuk Hakim Agung yang
didasarkan sistem karier berlaku ketentuan Pasal 11 Undang-
undang Nomo 8 Tahun 1974 (Lembaran Negara Tahun
1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3041).
Selanjutnya untuk dapat lebih menjamin terciptanya
suasana yang sebaik-baiknya bagi penyelenggaraan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila,
maka perlu pula dibuat suatu undang-undang yang mengatur
penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau
ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibaan,
martabat, dan kehormatan badan peradilan yang dikenal
sebagai ’’Contempt o f Court”.

5. Mengenai bagaimana Mahkamah Agung akan dapat melaksa­


nakan tugas tersebut, Undang-undang ini juga memberikan
kepadanya keleluasaan untuk menetapkan sendiri pem­
bidangan tugas dalam susunan organisasinya sehingga dapat
secara tuntas menjangkau penyelesaian semua masalah
yang berasal dari berbagai lingkungan peradilan.
Namun begitu mengingat tugas tersebut sangat luas
dan berat, maka untuk memberi dukungan administrasi
yang sebaik-baiknya, dalam Undang-undang ini ditetapkan
adanya Sekretaris Jenderal yang dirangkap oleh Panitera
Mahkamah Agung. Perangkapan jabatan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa dengan demikian penyelenggaraan pe­
layanan administrasi Mahkamah Agung secara keseluruhan
dapat dilakukan dengan lebih efektif dan terpadu. Untuk itu,
dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, Panitera Mahkamah

61
Agung dibantu oleh Wakil Panitera Mahkamah Agung untuk
tugas-tugas administrasi peradilan, dan Sekretaris Jenderal
Mahkamah Agung dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal
Mahkamah Agung untuk tugas-tugas penyelenggaraan ad­
ministrasi umum, seperti pengurusan keuangan, kepegawaian,
peralatan, pemeliharaan, dan lain-lain.
Dengan pemisahan ini, maka panitera dapat lebih me­
musatkan perhatiannya kepada tugas-tugas yang bersifat
teknis peradilan, sedangkan pemberian dukungan administrasi
yang meliputi administrasi keuangan, kepegawaian, peralatan,
pemeliharaan, dan lain-lainnya diselenggarakan oleh Sekreta­
riat Jenderal.

O. PASAL DEMI PASAL.


Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Cukup jelas

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Pada dasarnya pengangkatan Hakim Agung berdasarkan
sistem karier dan tertutup. Namun demikian dalam hal-hal

62
tertentu dapat pula dibuka kemungkinan untuk mengangkat
Hakim Agung yang tidak didasarkan atas sistem karier..
Yang dimaksud dengan saijana lain yang mempunyai ke­
ahlian di bidang hukum sebagaimana dimaksudkan ayat (1)
huruf e adalah mereka yang mempunyai keahlian seperti di
bidang hukum pidana, hukum perdata, hukum agama,
hukum militer, dan hukum tata usaha negara.
Persyaratan seperti dimaksudkan ayat (1) kecuali huruf g ber­
laku pula bagi pengangkatan Hakim Agung berdasarkan ayat
( 2 ).

Pasal 8
Ayat (1)
Daftar nama calon Hakim Agung yang berasal baik dari
kalangan Hakim karier maupun dari luar kalangan
Hakim karier disusun berdasarkan konsultasi antara
Dewan Perwakilan Rakyat, Pemerintah, dan Mahkamah
Agung yang pelaksanaannya disesuaikan dengan keten­
tuan yang berlaku bagi lembaga masing-masing.

Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan ’’Pemerintah” adalah Men­
teri yang bersangkutan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-
kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing, misal­
nya untuk penganut Agama Islam kata-kata ’’Demi
Allah” sebelum lafal sumpah dan untuk penganut

63
Agama Kristen/Katolik kata-kata ’’Kiranya Tuhan akan
menolong saya” sesudah lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
huruf a
Cukup jelas
huruf b
Cukup jelas
huruf c
Cukup jelas
huruf d

Yang dimaksudkan dengan ’’pengusaha” ialah


Hakim Agung yang misalnya mempunyai perusaha­
an, menjadi pemegang saham perseroan atau meng­
adakan usaha perdagangan lain.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan ’’Mahkamah Agung” adalah
Pimpinan Mahkamah Agung.
Pemberhentian dengan hormat para Hakim Agung
atas permintaan sendiri, mencakup pengertian pengun­
duran diri dengan alasan Hakim Agung yang bersangkut­
an tidak berhasil menegakkan hukum dalam lingkungan
rumah tangganya sendiri. Pada hakekatnya situasi,
kondisi, suasana dan keteraturan hidup di rumah tangga
setiap Hakim Agung merupakan salah satu faktor yang
penting peranannya dalam usaha membantu meningkat­
kan dtra dan wibawa seorang Hakim Agung dan ini
harus dimulai dari tertib kehidupan rumah tangga
Hakim Agung itu sendiri.
Yang dimaksudkan dengan ’’sakit jasmani atau
rohani terus menerus” ialah yang menyebabkan si
penderita ternyata tidak mampu lagi melakukan tugas
kewajibannya dengan baik.
Yang dimaksudkan dengan ’’tidak cakap” ialah
misalnya yang bersangkutan banyak melakukan ke­
salahan besar dalam menjalankan tugasnya.
Pemberhentian menurut pasal ini diberitahukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 12
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan ’’Mahkamah Agung” adalah
Pimpinan Mahkamah Agung.
Yang dimaksudkan dengan dipidana menurut Pasal
12 ayat (1) huruf a ialah dipidana dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksudkan dengan ’’melakukan perbuatan
tercela” ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena
sikap, perbuatan, dan tindakannya baik di dalam mau­
pun di luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksudkan dengan ’’tugas pekerjaannya”
ialah semua tugas yang dibebankan kepada yang ber­
sangkutan.

Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan dipidana karena melakukan tindak pidana ke-

65
jahatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan
untuk membela diri, kecuali apabila pidana penjara
yang dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga)
bulan.

Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan Mahkamah Agung dalam
ayat (1) dan ayat (3) dalam pasal ini adalah Pimpinan
Mahkamah Agung.

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan ’’Mahkamah Agung” adalah
Pimpinan Mahkamah Agung.
Ayat (2)
Pemberhentian sementara dari jabatan berdasarkan alas­
an tersebut Pasal 12 ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d,
dan huruf e paling lama 6 (enam) bulan dan dapat di­
perpanjang untuk paling lama 6 (enam) bulan lagi.
Bila jangka waktu pemberhentian sementara yang ter­
akhir telah habis dan yang bersangkutan tidak diusulkan
untuk diberhentikan dengan tidak dengan hormat, maka
ia harus direhabilitasi.

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan hak keuangan/administratif
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota

66
Mahkamah Agung ialah semua hak yang diatur dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 1980, (Lembaran
Negara Tahun 1980 Nomor 71, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3182), sedangkan pangkat dan tunjang­
an-tunjangan yang berhubungan dengan kedudukannya
sebagai pegawai negeri diatur tersendiri.

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Keputusan Presiden yang dimaksudkan pasal ini ditetapkan
atas usul Mahkamah Agung.

Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan ’’sarjana hukum” dalam
pasal ini termasuk sarjana lain di bidang hukum yang
dianggap cakap untuk jabatan itu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Bunyi sumpah atau janji Panitera Mahkamah Agung dan Wa­
kil Panitera Mahkamah Agung pada dasarnya sebagaimana

67
dimaksudkan Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Ke­
hakiman.

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Bunyi sumpah atau janji Panitera Muda dan Panitera Peng­
ganti Mahkamah Agung pada dasarnya sebagaimana dimaksud­
kan Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Pasal ini mengatur hak menguji materiil Mahkamah
Agung.
Mahkamah Agimg berhak menguji peraturan yang lebih
rendah daripada undang-undang mengenai sah atau
tidaknya suatu peraturan atau bertentangan tidaknya
suatu peraturan dengan peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi.
Ayat (2)
Apabila Mahkamah Agung menggunakan hak menguji
berdasarkan pasal ini, maka Mahkamah Agung meng­
ambil putusan bahwa suatu peraturan perundang-undang­
an dari tingkatan yang lebih rendah daripada undang-
undang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi dan Mahkamah Agung
secara tegas menyatakan bahwa peraturan tersebut tidak
sah dan tidak berlaku untuk umum.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Kewenangan untuk melaksanakan pengawasan oleh
Mahkamah Agung dapat didelegasikan kepada Pengadil­
an Tingkat Banding di semua Lingkungan Peradilan.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 33
A y a t ( l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksudkan dengan kapal ialah kapal laut dan
kapal udara.

69
Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Pemberian nasihat hukum yang dimaksudkan pasal ini di­
laksanakan sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
1950 tentang Permohonan Grasi.

Pasal 36
Pada umumnya pembinaan dan pengawasan atas Penasihat
Hukum dan Notaris adalah tanggung jawab Pemerintah.
Khusus dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya yang me­
nyangkut peradilan, para Penasihat Hukum dan Notaris ber­
ada di bawah pengawasan Mahkamah Agung.
Dalam melakukan pengawasan itu Mahkamah Agung dan
Pemerintah menghormati dan menjaga kemandirian Penasihat
Hukum dan Notaris dalam melaksanakan tugas jabatan
masing-masing.
Dalam hal diperlukan penindakan terhadap diri seorang Pe­
nasihat Hukum atau seorang Notaris yang berupa pemecatan
dan pemberhentian, termasuk pemberhentian sementara,
organisasi profesi masing-masing terlebih dahulu didengar
pendapatnya.

Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Yang dimaksud dengan ’’tugas dan kewenangan lain” dalam
pasal ini misalnya arbitrase dan sebagainya.

Pasal 40
Ayat (1)
Apabila Majelis bersidang dengan lebih dari 3 (tiga)
orang Hakim jumlahnya harus selalu ganjil.
Ayat (2)
Putusan yang tidak memenuhi ketentuan ayat (1 ) dan
ayat (2) pasal ini batal menurut hukum.

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Cukup jelas

Pasal 43
A y a t ( l)
Pengecualian dalam ayat (1) pasal ini diadakan karena
adanya putusan Pengadilan Tingkat Pertama yang oleh
undang-undang tidak dapat dimohonkan banding.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 44
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Istilah ..perkara pidana” yang dimaksudkan huruf
b pasal ini diartikan pula perkara pidana militer.

Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

71
Ayat (3)
Yang dimaksudkan dengan ’’tidak boleh merugikan
pihak yang berperkara” tersebut ayat (3) ialah tidak
menunda pelaksanaan dan tidak mengubah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.

Pasal 46
Cukup jelas.

Pasal 47
Ayat (1)
Mengajukan suatu memori kasasi yang memuat alasan-
alasan permohonan kasasi adalah suatu syarat mutlak
untuk dapat diterimanya permohonan kasasi. Memori
ini harus dimasukkan selambat-lambatnya 14 (empat
belas) hari sesudah mengajukan permohonan kasasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas

Pasal 49
Cukup jelas

Pasal 50
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan ’’surat-surat” meliputi pula
berkas perkara dan surat-surat lainnya yang dipandang
perlu.
Ayat (2)
Pada prinsipnya pemeriksaan kasasi seperti tersebut
ayat (1) dilakukan berdasarkan nomor urut daftar pe­
nerimaan perkara.
Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
A y a t ( l)
Salinan putusan dikirim juga kepada Pengadilan yang
memutuskan perkara tersebut dalam tingkat banding.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Cukup jelas

Pasal 60
Cukup jelas

Pasal 61
Cukup jelas

73
Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas

Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63
di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer.

Pasal 65
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penerapan ketentuan Pasal 58 sampai dengan Pasal 63
di Lingkungan Peradilan Militer disesuaikan seperlunya
dengan ketentuan yang berlaku bagi Peradilan Militer.

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Huruf a
Hari dan tanggal diketahuinya kebohongan dan tipu
muslihat itu harus dibuktikan secara tertulis.

74
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Apabila dalam jalannya peradilan terdapat kekurangan atau

75
kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah Agung ber­
wenang membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi
kekurangan atau kekosongan tadi.
Dengan Undang-undang ini Mahkamah Agung berwenang me­
nentukan pengaturan tentang cara penyelesaian suatu soal
yang belum atau tidak diatur dalam Undang-undang ini.
Dalam hal ini peraturan yang dikeluarkan oleh Mahka­
mah Agung dibedakan dengan peraturan yang disusun oleh
pembentuk undang-undang.
Penyelenggaraan peradilan yang dimaksudkan Undang-
undang ini hanya merupakan bagian dari hukum acara secara
keseluruhan. Dengan demikian Mahkamah Agung tidak akan
mencampuri dan melampaui pengaturan tentang hak dan
kewajiban warga negara pada umumnya dan tidak pula meng­
atur sifat, kekuatan, alat pembuktian serta penilaiannya atau­
pun pembagian beban pembuktian.

Pasal 80
Cukup jelas

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 3316

76
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 2 tahun 1986
TENTANG
PERADILAN UMUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Republik Indonesia, sebagai negara


hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945, bertujuan mewujudkan tata
kehidupan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram,
dan tertib;
b. bahwa dalam mewujudkan tata kehidupan tersebut
dan menjamin persamaan kedudukan warga negara
dalam hukum diperlukan upaya untuk menegakkan
ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian
hukum yang mampu memberikan pengayoman
kepada masyarakat;
c. bahwa dalam rangka upaya di atas, pengaturan
susunan dan kekuasaan Pengadilan di lingkungan
Peradilan Umum yang selama ini masih didasarkan
pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 ter­
nyata tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970;

77
d. bahwa selain itu, dengan Undang-undang Nomor 6
Tahun 1969, Undang-undang Nomor 13 Tahun
1965 telah dinyatakan tidak berlaku, tetapi saat
tidak berlakunya ditetapkan pada saat undang-
undang yang menggantikannya mulai berlaku;
e. bahwa untuk melaksanakan Undang-undang Nomor
14 Tahun 1970, dipandang perlu menetapkan
undang-undang yang mengatur susunan dan ke­
kuasaan Peradilan Umum;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 24, dan
Pasal 25 Undang-undang Dasar 1945;
2. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ke­
tentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
(Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambah­
an Lembaran Negara Nomor 2951);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3316);
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERADILAN UMUM.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian

Pasal 1
Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan :
1. Pengadilan adalah Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di
lingkungan Peradilan Umum.

78
2. Hakim adalah Hakim pada Pengadilan Negeri dan Hakim pada
Pengadilan Tinggi.

Bagian Kedua
Kedudukan
Pasal 2
Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.

Pasal 3
(1) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dilaksana­
kan oleh:
a. Pengadilan Negeri;
b. Pengadilan Tinggi;
(2) Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum berpuncak
pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.

Bagian Ketiga
Tempat Kedudukan
Pasal 4
(1) Pengadilan Negeri berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota
Kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya
atau Kabupaten.
(2) Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota Propinsi, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Bagian Keempat
Pembinaan
Pasal 5
(1) Pembinaan teknis peradilan bagi Pengadilan dilakukan oleh Mah­
kamah Agung.
(2) Pembinaan organisasi, administrasi, dan keuangan Pengadilan
dilakukan oleh Menteri Kehakiman.

79
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara.
BAB II
SUSUNAN PENGADILAN
Bagian Pertama
Umum
Pasal 6
Pengadilan terdiri dari :
a. Pengadilan Negeri, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama;
b. Pengadilan Tinggi, yang merupakan Pengadilan Tingkat Banding.

Pasal 7
Pengadilan Negeri dibentuk dengan Keputusan Presiden.

Pasal 8
Di lingkungan Peradilan Umum dapat diadakan pengkhususan yang di­
atur dengan undang-undang.

Pasal 9
Pengadilan Tinggi dibentuk dengan undang-undang.

Pasal 10.
(1) Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
(2) Susunan Pengadilan Tinggi terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,,
Panitera, dan Sekretaris.

Pasal 11
(1) Pimpinan Pengadilan Negeri terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi terdiri dari seorang Ketua dan seorang
Wakil Ketua.
(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi adalah Hakim Tinggi.

80
Bagian Kedua
Ketua, Wakil Ketua, Hakim,
Panitera, dan Jurusita Pengadilan
Paragraf 1
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pasal 12
(1) Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan Kekuasaan
Kehakiman.
(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksana*
an tugas Hakim ditetapkan dalam undang-undang ini.

Pasal 13
(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pe­
gawai negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.

Pasal 14
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Negeri, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945;
d. bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis
Indonesia, termasuk organisasi massanya atau bukan se­
seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam
’’Gerakan Kontra Revolusi G.30.S./PKI” atau organisasi
terlarang lainnya;
e. pegawai negeri;
f. sarjana hukum;
g. berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun;
h. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan
Negeri diperlukan pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun sebagai Hakim Pengadilan Negeri.

81
Pasal 15
(1) Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Tinggi, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf, a, b, c, d, e, f, dan h;
b. berumur serendah-rendahnya 40 (empat puluh) tahun;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri atau 15 (lima
belas) tahun sebagai Hakim Pengadilan Negeri.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi diperlukan
pengalaman sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) tahun sebagai
Hakim Pengadilan Tinggi atau sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun
bagi Hakim Pengadilan Tinggi yang pernah menjabat Ketua Pe­
ngadilan Negeri.
(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi di­
perlukan pengalaman sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun
sebagai Hakim Pengadilan Tinggi atau sekurang-kurangnya 3 (tiga)
tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi yang pernah menjabat Ketua
Pengadilan Negeri.

Pasal 16
(1) Hakim Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku
Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan per­
setujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan diangkat dan diberhentikan
oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahka­
mah Agung.

Pasal 17
(1) Sebelum memangku jabatannya Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
Pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama
atau kepercayaannya; bunyi sumpah atau janji adalah sebagai
berikut :
’’Saya bersumpah/beijanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya,
untuk memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung,

82
dengan menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak mem­
berikan atau menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga” .

’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau


tidak melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan
menerima langsung atau tidak langsung dari siapa‘pun juga suatu
janji atau pemberian”.

’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setiap kepada dan


akan mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar
dan ideologi negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala
undang-undang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara
Republik Indonesia” .

’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalan­


kan jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak mem­
beda-bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan ke­
wajiban saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya
bagi seorang Ketua, Wakil Ketua, Hakim Pengadilan yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan”.

(2) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Negeri diambil sumpah atau
janjinya oleh Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi serta Ketua Pengadilan
Negeri diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua Pengadilan Tinggi.
(4) Ketua Pengadilan Tinggi diambil sumpah atau janjinya oleh Ketua
Mahkamah Agung.

Pasal 18
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Hakim tidak boleh merangkap m enjadi:
a. pelaksana putusan Pengadilan;
b. wah, pengampu, dan pejabat yang berkaitan dengan suatu
perkara yang diperiksa olehnya;
c. pengusaha.
(2) Hakim tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.

83
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 19
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan dengan
hormat dari jabatannya karena :
a. permintaan sendiri;
b. sakit jasmani atau rohani terus menerus;
c. telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim Pengadilan Negeri, dan 63 (enam puluh
tiga) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan
Tinggi;
d. ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
(2) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan yang meninggal dunia
dengan sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya
oleh Presiden selaku Kepala Negara.

Pasal 20
(1) Ketua, Wakil, Ketua, dan Hakim Pengadilan diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya dengan alasan:
a. dipidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan;
b. melakukan perbuatan tercela;
c. terus menerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas
pekerjaannya;
d. melanggar sumpah atau janji jabatan;
e. melanggar larangan yang dimaksudkan Pasal 18.
(2) Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat dengan alasan
tersebut ayat (1) huruf b s/d e dilakukan setelah yang bersangkut­
an diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan
Majelis Kehormatan Hakim.
(3) Pembentukan, susunan, dan tata keija Majelis Kehormatan Hakim
serta tata cara pembelaan diri ditetapkan oleh Ketua Mahkamah
Agung bersama-sama Menteri Kehakiman.

84
Pasal 21
Seorang Hakim yang diberhentikan dari jabatannya, tidak dengan sen­
dirinya diberhentikan sebagai pegawai negeri.

Pasal 22
(1) Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan sebelum diberhentikan
tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(1) dapat diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Presiden
selaku Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan
persetujuan Ketua Mahkamah Agung.
(2) Terhadap pengusulan pemberhentian sementara dimaksud dalam
ayat (1 ) berlaku juga ketentuan sebagaimana dimaksudkan Pasal
20 ayat (2).

Pasal 23
(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang
diikuti dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut
diberhentikan sementara dari jabatannya.
(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka Pengadilan dalam per­
kara pidana seperti tercantum dalam Pasal 21 ayat (4 ) Undang-
undang Nomor 8 Tahun 1981, tanpa ditahan, maka ia dapat
diberhentikan sementara dari jabatannya.

Pasal 24
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan
hormat, pemberhentian tidak dengan hormat, dan pemberhentian
sementara serta hak-hak pejabat yang dikenakan pemberhentian,
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 25
(1) Kedudukan protokol Hakim Pengadilan diatur dengan Keputusan
Presiden.
(2) Tunjangan dan ketentuan-ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil
Ketua, dan Hakim Pengadilan diatur dengan Keputusan Presiden.

85
Pasal 26
Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan dapat ditangkap atau di­
tahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan
Ketua Mahkamah Agung dan menteri Kehakiman, kecuali dalam hal:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau
b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati, atau
c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara.
Paragraf 2
Panitera

Pasal 27
(1) Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Kepaniteraan yang di­
pimpin oleh seorang Panitera.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Negeri di­
bantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera
Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang
Jurusita.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera Pengadilan Tinggi dibantu
oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda, dan
beberapa orang Panitera Pengganti.
Pasal 28
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Negeri, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya saijana muda hukum;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Wakil Panitera atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Muda Peng­
adilan Negeri, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan
Tinggi.

86
Pasal 29
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi, seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
dan c;
b. berijazah saijana hukum;
c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Wakil Panitera atau 8 (delapan) tahun sebagai panitera Muda
Pengadilan Tinggi, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Peng­
adilan Negeri.

Pasal 30
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Negeri,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d ;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Panitera Muda atau 6 (enam) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Negeri.

Pasal 31
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Tinggi, se­
orang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b, dan
c;

b. berijazah saijana hukum;


c. berpengalaman sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun sebagai
Panitera Muda atau 7 (tujuh) tahun sebagai Panitera Pengganti
Pengadilan Tinggi, atau 4 (empat) tahun sebagai Wakil Panitera
Pengadilan Negeri, atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan
Negeri.

Pasal 32
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Negeri seorang
calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

87
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Negeri.

Pasal 33
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi, se­
orang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera
Pengganti Pengadilan Tinggi, atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera
Muda atau 8 (delapan) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadil­
an Negeri, atau menjabat sebagai Wakil Panitera Pengadilan Negeri.

Pasal 34
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Negeri,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai pegawai
negeri pada Pengadilan Negeri.

Pasal 35
Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi, se­
orang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 huruf a, b,
c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai Pani­
tera Pengganti Pengadilan Negeri atau 10 (sepuluh) tahun sebagai
pegawai negeri pada Pengadilan Tinggi.

Pasal 36
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang,
Panitera tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan

88
pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia ber­
tindak sebagai Panitera.
(2) Panitera tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Panitera selain jabatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih
lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.
Pasal 37
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti Pe­
ngadilan diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Menteri
Kehakiman.

Pasal 38
Sebelum memangku jabatannya Panitera, Wakil Panitera, Panitera
Muda, dan Panitera Pengganti diambil sumpah atau janjinya menurut
agama atau kepercayaannya oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan;
bunyi sumpah atau janji adalah sebagai berikut:
’’Saya bersumpah/beijanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung, atau tidak langsung dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan menerima
langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji atau pem­
berian” ..
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan ideo­
logi negara, Undang-undang Dasar 1945, dan segala undang-undang ser­
ta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indonesia” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-
bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Pani­
tera, Wakil Panitera, Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi
baik dan jujur dalam menegakkan hukum dan keadilan” .

89
Paragraf 3
Jurusita

Pasal 39
Pada setiap Pengadilan Negeri ditetapkan adanya Jurusita dan Jurusita
Pengganti.

Pasal 40
(1) Untuk dapat diangkat menjadi jurusita, seorang calon harus meme­
nuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Tingkat
Atas;
e. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
Jurusita Pengganti.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Jurusita Pengganti, seorang calon
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a,
b, c, dan d;
b. berpengalaman sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sebagai
pegawai negeri pada Pengadilan Negeri.

Pasal 41
(1) Jurusita Pengadilan Negeri diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Kehakiman atas usul Ketua Pengadilan Negeri.
(2) Jurusita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pe­
ngadilan Negeri.
Pasal 42
Sebelum memangku jabatannya Jurusita dan Jurusita Pengganti di­
ambil sumpah atau janjinya menurut agama atau kepercayaannya
oleh Ketua Pengadilap Negeri; bunyi sumpah atau janji adalah se­
bagai berikut:

90
’’Saya bersumpah/beijanji dengan sungguh-sungguh bahwa saya, untuk
memperoleh jabatan saya ini, langsung atau tidak langsung, dengan
menggunakan nama atau cara apa pun juga, tidak memberikan atau
menjanjikan barang sesuatu kepada siapa pun juga” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya, untuk melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatan ini, tiada sekali-kali akan mene­
rima langsung atau tidak langsung dari siapa pun juga sesuatu janji
atau pemberian” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya akan setia kepada dan akan
mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan
ideologi negara, Undang-Undang Dasar 1945, dan segala undang-un­
dang serta peraturan lain yang berlaku bagi Negara Republik Indo­
nesia” .
’’Saya bersumpah/beijanji bahwa saya senantiasa akan menjalankan
jabatan saya ini dengan jujur, seksama, dan dengan tidak membeda-
bedakan orang dan akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban
saya sebaik-baiknya dan seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang
Jurusita, Jurusita Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam me­
negakkan hukum dan keadilan” .

Pasal 43
(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang.
Jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu, dan
pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia
sendiri berkepentingan.
(2) Jurusita tidak boleh merangkap menjadi penasihat hukum.
(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Jurusita selain jabat­
an sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur lebih
lanjut oleh Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua
Mahkamah Agung.

Bagian Ketiga
Sekretaris
Pasal 44
Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya Sekretariat yang dipimpin
oleh seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekre­
taris.

91
Pasal 45
Panitera Pengadilan merangkap Sekretaris Pengadilan.
Pasal 46
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Negeri,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
d. berijazah serendah-rendahnya saijana muda hukum atau saijana
muda administrasi;
e. berpengalaman di bidang administrasi peradilan.

Pasal 47
Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Sekretaris Pengadilan Tinggi,
seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 huruf a, b,
c, dan e;
b. berijazah sarjana hukum.

Pasal 48
Wakil Sekretaris Pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Menteri
Kehakiman.

Pasal 49
Sebelum memangku jabatannya Wakil Sekretaris diambil sumpah atau
janjinya menurut agama atau kepercayaannya oleh Ketua pengadilan
yang bersangkutan; bunyi sumpah atau janji adalah sebagai berikut:
Saya bersumpah/beijanji:
’’bahwa saya, untuk diangkat menjadi Wakil Sekretaris, akan setia dan
taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara,
dan Pemerintah” ;
’’bahwa saya, akan menaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada
saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab” ;

92
’’bahwa saya, akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan negara,
pemerintah, dan martabat Wakil Sekretaris serta akan senantiasa meng­
utamakan kepentingan negara dari pada kepentingan saya sendiri, sese­
orang atau golongan” ;
’’bahwa saya, akan memegang rahasia sesuatu yang menurut sifatnya
atau menurut perintah harus saya rahasiakan” ;
’’bahwa saya, akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersema­
ngat untuk kepentingan negara” .

BAB III
KEKUASAAN PENGADILAN

Pasal 50
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Pasal 51
(1) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara
pidana dan perkara perdata di tingkat banding.
(2) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di ting­
kat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar
Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.

Pasal 52
(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan
nasihat tentang hukum kepada Instansi Pemerintah di daerahnya,
apabila diminta.
(2) Selain tugas dan kewenangan tersebut dalam Pasal 50 dan Pasal
51, Pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh
atau berdasarkan undang-undang.

Pasal 53
(1) Ketua Pengadilan mengadakan pengawasan atas pelaksanaan
tugas dan tingkah laku Hakim, Panitera, Sekretaris, dan Jurusita
di daerah hukumnya.

93
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Penga­
dilan Tinggi di daerah hukumnya melakukan pengawasan terhadap
jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Negeri dan menjaga agar
peradilan diselenggarakan dengan seksama dan sewajarnya.
(3) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2), Ketua Pengadilan dapat memberikan petun­
juk, tegoran, dan peringatan yang dipandang perlu.
(4) Pengawasan tersebut dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), tidak
boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memu­
tus perkara.

Pasal 54
(1) Ketua Pengadilan Negeri melakukan pengawasan atas pekerjaan
penasihat hukum dan notaris di daerah hukumnya, dan melapor­
kan hasil pengawasannya kepada Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua
Mahkamah Agung dan Menteri Kehakiman.
(2) Berdasarkan hasil laporan tersebut dalam ayat (1), Menteri Ke­
hakiman dapat melakukan penindakan terhadap penasihat hukum
dan notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan yang
mengatur jabatan yang bersangkutan, setelah mendengar usul/
pendapat Ketua Mahkamah Agung dan organisasi profesi yang ber­
sangkutan.
(3) Sebelum Menteri Kehakiman melakukan penindakan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), kepada yang bersangkutan diberikan
kesempatan untuk mengadakan pembelaan diri.
(4) Tata cara pengawasan dan penindakan serta pembelaan diri se­
bagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), di­
atur lebih lanjut oleh Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Ke­
hakiman berdasarkan undang-undang.

BAB IV
KETENTUAN KETENTUAN LAIN

Pasal 55
Ketua Pengadilan mengatur pembagian tugas para Hakim.

94
Pasal 56
Ketua Pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-
surat lainnya yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke
Pengadilan kepada Majelis Hakim untuk diselesaikan.

Pasal 57
Ketua Pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasar­
kan nomor urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena
menyangkut kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara
itu didahulukan.

Pasal 58
Panitera Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi perkara
dan mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Peng­
ganti.

Pasal 59
Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda, dan Panitera Pengganti ber­
tugas membantu Hakim dengan mengikuti dan mencatat jalannya
sidang Pengadilan.

Pasal 60
Dalam perkara perdata, Panitera Pengadilan Negeri bertugas melaksana­
kan putusan Pengadilan.

Pasal 61
(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara perdata dan pidana
yang diterima di Kepaniteraan.
(2) Dalam daftar perkara tersebut, tiap perkara diberi nom or urut dan
dibubuhi catatan singkat tentang isinya.

Pasal 62
Panitera membuat salinan putusan menurut ketentuan undang-undang
yang berlaku.

95
Pasal 63
(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara,
putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan
pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti, dan surat-surat
lainnya yang disimpan di Kepaniteraan.
(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara serta berkas perkara
tidak boleh dibawa ke luar dari ruang Kepaniteraan, kecuali atas
izin Ketua Pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang.
(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan putusan, risalah, berita
acara, dan akta serta surat-surat lainnya diatur oleh Mahkamah
Agung.
Pasal 64
Tugas dan tanggung jawab serta tata keija Kepaniteraan Pengadilan
diatur lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.

Pasal 65
(1) Jurusita bertugas:
a. melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua
sidang;
b. menyampaikan pengumuman-pengumuman, tegoran-tegoran,
protes-protes, dan pemberitahuan putusan Pengadilan menu­
rut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang;
c. melakukan penyitaan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri;
d. membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya di­
serahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
(2) Jurusita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum Peng­
adilan yang bersangkutan.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Jurusita diatur oleh
Mahkamah Agung.

Pasal 67
(1) Sekretaris Pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi
umum Pengadilan.

96
(2) Tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi, dan tata keija
Sekretariat diatur lebih lanjut oleh Menteri Kehakiman.

Pasal 68
Ketentuan-ketentuan mengenai hukum acara yang berlaku bagi Per­
adilan Umum diatur dengan undang-undang tersendiri.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 69
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, semua peraturan pelak­
sanaan yang telah ada mengenai Peradilan Umum dinyatakan tetap
berlaku selama ketentuan baru berdasarkan undang-undang ini belum
dikeluarkan dan sepanjang peraturan itu tidak bertentangan dengan
undang-undang ini.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 70
Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1965 tentang Pengadilan Dalam Lingkungan Peradil­
an Umum dan Mahkamah Agung dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 71
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia.

97
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 1986
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 8 Maret 1986
MENTERI/ SEKRETARI S NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
ttd
SUDHARMONO, S.H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1986


NOMOR 20

Salinan sesuai dengan aslinya


SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan

cap/ttd.

Bambang Kesowo S.H., LL.M.

98
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK IND0NESI1A
NOMOR 2 TAHUN 1986
TENTANG
PERADILAN UMUM

1. UMUM
1. Di negara Republik Indonesia sebagai negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ke­
adilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penye­
lenggaraan sistim hukum merupakan hal-hal pokok untuk
menjamin kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­
negara.
Lebih dari itu, hal pokok tersebut merupakan masalah yang
sangat penting dalam usaha mewujudkan suasana perike-
hidupan yang sejahtera, aman, tenteram, dan tertib seperti
yang diamanatkan oleh Garis-garis Besar Haluan Negara. Oleh
karena itu untuk mewujudkannya dibutuhkan adanya lem­
baga yang bertugas menyelenggarakan keadilan dengan baik.
Salah satu lembaga untuk menegakkan kebenaran dalam men­
capai keadilan, ketergiban, dan kepastian hukum adalah ba­
dan-badan peradilan sebagaimana dimaksudkan Undang-un­
dang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang masing-masing mempu­
nyai lingkup kewenangan mengadili perkara atau sengketa di
bidang tertentu.
Untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, tepat,
adil, dan dengan biaya ringan sebagaimana ditegaskan oleh
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, maka dasar yang se­
lama ini berlandaskan pada Undang-undang Nomor 13 Tahun
1965 mengenai kedudukan, susunan organisasi, kekuasaan,
tata keija, dan administrasi pengadilan di lingkungan Peradil­
an Umum, perlu diganti dan disesuaikan dengan ketentuan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970.

99
Dengan demikian, Undang-undang tentang Pe.iad.dan Umum
ini merupakan pelaksanaan ketentuan-ketentuan dan asas-asas
yang tercantum dalain Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970 (Lembaran Negara Tahun 1970 Nomor 74, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951).
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Peradilan Umum dalam
Undang-undang ini dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi yang berpuncak pada Mahkamah Agung,
sesuai dengan prinsip-prinsip yang ditentukan oleh Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970.
Dalam Undang-undang ini diatur susunan, kekuasaan, dan ke­
dudukan Hakim serta tata keija administrasi pada Pengadilan
Negeri dan Pengadilan Tinggi.
Pengadilan Negeri merupakan Pengadilan Tingkat Pertama
untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pi­
dana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umum­
nya, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pengadilan Tinggi merupakan Pengadilan Tingkat Banding
terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan Ne­
geri, dan merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir
mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan
Negeri di daerah hukumnya.
Di samping itu sesuai dengan prinsip diferensiasi yang dican­
tumkan dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1970, maka Pengadilan dilingkungan Peradilan Umum se­
kaligus merupakan Pengadilan untuk perkara tindak pidana
ekonomi, perkara tindak pidana anak, perkara pelanggaran
lalu lintas jalan, dan perkara lainnya yang ditetapkan dengan
undang-undang.
Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi diatur
dengan undang-undang tersendiri.
Mengingat luas lingkup tugas dan berat beban pekeijaan yang
harus dilaksanakan oleh Pengadilan, maka perlu adanya per­
hatian yang besar terhadap tata cara dan pelaksanaan penge­
lolaan administrasi Pengadilan. Hal ini sangat penting, karena
bukan aja menyangkut aspek ketertiban dalam penyelengga­
raan administrasi baik di bidang perkara maupun di bidang
kepegawaian, gaji, kepangkatan, peralatan kantor, dan lain-
lain, melainkan juga akan mempengaruhi kelancaran penye­
lenggaraan peradilan itu sendiri.
Oleh karenanya, penyelenggaraan administrasi Pengadilan
dalam undang-undang ini dibedakan menurut jenisnya dan
dipisahkan penanganannya, walaupun dalam rangka koordi­
nasi pertanggungjawaban tetap dibebankan kepada seorang
pejabat, yaitu Panitera yang merangkap sebagai Sekretaris.
Selaku Panitera ia menangani administrasi perkara dan hal-hal
administrasi lain yang bersifat teknis peradilan (yustisial).
Dalam pelaksanaan tugas ini Panitera dibantu oleh seorang
Wakil Panitera dan beberapa orang Panitera Muda.
Selaku Sekretaris ia menangani administrasi umum seperti
administrasi kepegawaian dan lain sebagainya, sedang dalam
pelaksanaan tugasnya ia dibantu oleh seorang Wakil Sekre­
taris.
Dengan demikian staf kepaniteraan dapat lebih memusatkan
perhatian terhadap tugas dan fungsinya membantu Hakim
dalam bidang peradilan, sedangkan tugas administrasi lainnya
dapat dilaksanakan oleh staf sekretariat.
4. Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Ke­
pala Negara atas usul Menteri Kehakiman berdasarkan perse­
tujuan Ketua Mahkamah Agung.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 24 dan Pasal 25 Undang-Un­
dang Dasar 1945 beserta penjelasannya, serta Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970, Kekuasaan Kehakiman adalah keku­
asaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradil­
an guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Panca­
sila, dan demi terselenggaranya negara hukum Republik In­
donesia.
Agar Pengadilan bebas dalam memberikan putusannya, perlu
ada jaminan bahwa baik Pengadilan maupun Hakim dalam
melaksanakan tugas terlepas dari pengaruh Pemerintah dan
pengaruh lainnya.
Dalam setiap pengangkatan, pemberhentian, mutasi, kenaik­
an pangkat atau tindakan/hukuman administratif terhadap

101
Hakim Peradilan Umum perlu adanya keijasama, konsultasi,
dan koordinasi antara Mahkamah Agung dengan Pemerintah.
Di samping itu perlu adanya pengaturan tersendiri mengenai
tunjangan dan ketentuan lain bagi para pejabat peradilan khu­
susnya para Hakim; demikian pula pangkat dan gaji diatur
tersendiri berdasarkan peraturan yang berlaku, sehingga para
pejabat peradilan tidak mudah dipengaruhi baik moril mau­
pun materiil.

Untuk lebih meneguhkan kehormatan dan kewibawaan Ha­


kim serta Pengadilan, maka perlu juga dijaga mutu (keahlian)
para Hakim, dengan diadakannya syarat-syarat tertentu un­
tuk menjadi Hakim yang diatur dalam undang-undang ini,
dan diperlukan pembinaan sebaik-baiknya dengan tidak me­
ngurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.
Selain itu diadakan juga larangan bagi para Hakim merangkap
jabatan penasihat hukum, pelaksana putusan Pengadilan,
wali, pengampu, pengusaha, dan setiap jabatan yang bersang­
kutan dengan suatu perkara yang akan atau sedang diadili
olehnya. Selanjutnya diadakan pula larangan rangkapan jabat­
an bagi Panitera dan Jurusita.
Agar peradilan dapat beijalan dengan efektif, maka Pengadil­
an Tinggi diberi tugas pengawasan terhadap Pengadilan Negeri
di daerah hukumnya.
Hal ini akan meningkatkan koordinasi antar Pengadilan Ne­
geri di daerah hukum suatu Pengadilan Tinggi yang berman­
faat bagi rakyat pencari keadilan, karena Pengadilan Tinggi
dalam melakukan pengawasan tersebut dapat memberikan
petunjuk, tegoran, dan peringatan.
Selain itu pekeijaan dan kewajiban Hakim secara langsung
dapat diawasi sehingga jalannya peradilan yang sederhana,
cepat, tepat, adil, dan dengan biaya ringan akan lebih ter­
jamin.
Petunjuk-petunjuk yang menimbulkan persangkaan keras,
bahwa seorang Hakim telah melakukan perbuatan tercela di­
pandang dari sudut kesopanan dan kesusilaan, atau telah me-
lakukan kejahatan, atau kelalaian yang berulang kali dalam
pekerjaannya, dapat mengakibatkan bahwa ia diberhentikan
tidak dengan hormat oleh Presiden selaku Kepala Negara, se­
telah ia diberi kesempatan membela diri. Hal ini dicantumkan
dengan tegas dalam undang-undang ini, mengingat luhur dan
mulianya tugas Hakim; sedangkan apabila ia melakukan per­
buatan tercela dalam kedudukannya sebagai pegawai negeri,
baginya tetap berlaku ancaman yang ditetapkan dalam Per­
aturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan
Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

n. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Di samping peradilan yang berlaku bagi rakyat pencari keadil­
an pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, ada
pelaksana Kekuasaan Kehakiman lain yang merupakan per­
adilan khusus bagi golongan rakyat tertentu atau perkara
tertentu yaitu Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Per­
adilan Tata Usaha Negara.
Yang dimaksud dengan rakyat pencari keadilan ialah setiap
orang, warga negara Indonesia atau bukan, yang mencari ke­
adilan pada Pengadilan di Indonesia.

Pasal 3
Cukup jelas

Pasal 4

A y a t ( l)
Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Negeri
ada di Kotamadya atau di Ibukota Kabupaten, dan
daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya/Kabu-
paten, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya
pengecualian.

103
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Usul pembentukan Pengadilan Negeri diajukan oleh Menteri
Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung
Pasal 8
yang dimaksud dengan ’’diadakan pengkhususan” ialah ada­
nya diferensiasi/spesialisasi di lingkungan Peradilan Umum,
misalnya Pengadilan Lalu Lintas Jalan, Pengadilan Anak, Pe­
ngadilan Ekonomi, sedangkan yang dimaksud dengan ’’yang
diatur dengan undang-undang” adalah susunan, kekuasaan,
dan hukum acaranya.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Hakim adalah pegawai negeri sehingga baginya berlaku
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
pokok Kepegawaian. Oleh karena itu Menteri Kehakim­
an wajib melakukan pembinaan dan pengawasan terha­
dap Hakim dalam rangka mencapai daya guna dan hasil
gima sebagaimana lazimnya bagi pegawai negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas

104
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Cukup jelas
Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Ayat (1)
Pada waktu pengambilan sumpah/janji diucapkan kata-
kata tertentu sesuai dengan Agama masing-masing, mi­
salnya untuk penganut Agama Islam ’’Demi Allah” se­
belum lafal sumpah dan untuk Agama Kristen/Katolik
kata-kata ’’Kiranya Tuhan akan m enolong saya” sesudah
lafal sumpah.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
A y a t ( l)
Pemberhentian dengan hormat Hakim Pengadilan atas
permintaan sendiri, mencakup pengertian pengunduran
diri dengan alasan Hakim yang bersangkutan tidak ber­
hasil menegakkan hukum dalam lingkungan rumah tang­
ganya sendiri. Pada hakekatnya situasi, kondisi, suasana,
dan keteraturan hidup di rumah tangga setiap Hakim
Pengadilan merupakan salah satu faktor yang penting
peranannya dalam usaha membantu meningkatkan citra
dan wibawa seorang Hakim itu sendiri.

105
Yang dimaksud dengan ’’sakit jasmani atau rohani terus
menerus” iaiah yang menyebabkan si penderita ternyata
tidak mampu lagi melakukan tugas kewajibannya
dengan baik.
Yang dimaksud dengan ’’tidak cakap” ialah misalnya
yang bersangkutan banyak melakukan kesalahan besar
dalam menjalankan tugas-nya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan ’’dipidana” ialah dipidana de­
ngan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.
Yang dimaksud dengan ’’melakukan perbuatan tercela”
ialah apabila Hakim yang bersangkutan karena sikap,
perbuatan, dan tindakannya baik di dalam maupun di
luar Pengadilan merendahkan martabat Hakim.
Yang dimaksud dengan ’’tugas pekerjaan” ialah semua
tugas yang dibebankan kepada yang bersangkutan.
Ayat (2)
Dalam hal pemberhentian tidak dengan hormat dengan
alasan dipidana karena melakukan tindak pidana keja­
hatan, yang bersangkutan tidak diberi kesempatan un­
tuk membela diri, kecuali apabila dipidana penjara yang
dijatuhkan kepadanya itu kurang dari 3 (tiga) bulan.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 21
Seorang Hakim tidak boleh diberhentikan dari kedudukan­
nya sebagai pegawai negeri sebelum diberhentikan dari jabat­
annya sebagai Hakim. Sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang kepegawaian, Hakim bukan jabatan da­
lam bidang eksekutif. Oleh sebab itu pemberhentiannya
harus tidak sama dengan pegawai negeri lainnya.

106
Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
A y a t ( l)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pangkat dan gaji Hakim diatur tersendiri berdasarkan
peraturan yang berlaku.
Yang dimaksud dengan ketentuan lain adalah hal-hal
yang antara lain menyangkut kesejahteraan seperti
rumah dinas, dan kendaraan dinas.

Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Yang dimaksud dengan ’’Sarjana Muda Hukum” termasuk
mereka yang telah mencapai tingkat pendidikan hukum se­
derajat dengan sarjana muda, dan dianggap cakap untuk ja­
batan itu. Masa pengalaman disesuaikan dengan eselon, pang­
kat, dan syarat-syarat lain yang berkaitan.
Alih jabatan dari Pengadilan Tinggi ke Pengadilan Negeri atau
sebaliknya dimungkinkan dalam eselon yang sama.

Pasal 29
Sama dengan penjelasan tentang masa pengalaman pada
Pasal 28.

Pasal 30
Sama dengan penjelasan Pasal 29

107
r -

Pasal 31
Cukup jelas

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Ketentuan ini berlaku juga bagi Wakil Panitera, Panitera Mu­
da, dan Panitera Pengganti.

Pasal 37
Pengangkatan atau pemberhentian Panitera, Wakil Panitera,
Panitera Muda, dan Panitera Pengganti dapat juga dilakukan
berdasarkan usul Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 38
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)

Pasal 43
Cukup jelas

108
Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Cukup jelas

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup jelas

Pasal 48
Pengangkatan atau pemberhentian Wakil Sekretaris Pengadil­
an dapat juga dilakukan berdasarkan usul Ketua Pengadilan
atau Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehakiman yang
bersangkutan.

Pasal 49
Sama dengan penjelasan Pasal 17 ayat (1)

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Ayat (1)
Pemberian keterangan, pertimbangan, dan nasihat
tentang hukum, dikecualikan dalam hal-hal yang ber­
hubungan dengan perkara yang sedang atau akan di­
periksa di Pengadilan.
A yat (2)
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas

109
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’seksama dan sewajarnya” ialah
antara lain bahwa penyelenggaraan peradilan harus di­
lakukan sesuai dengan ketentuan Undang-undang No­
mor 14 Tahun 1970 yaitu dilakukan dengan cepat, se­
derhana, dan dengan biaya ringan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 54
Cukup jelas

Pasal 55
Cukup jelas

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Yang berwenang menentukan bahwa suatu perkara menyang­
kut kepentingan umum adalah Ketua Pengadilan.

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Berdasarkan catatan Panitera disusun berita acara persida­
ngan.

Pasal 60
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup j elas

110
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas

Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ’’dibawa keluar” m eliputi segala
bentuk dan cara apapun juga yang memindahkan isi daf­
tar, catatan, risalah, berita acara serta berkas perkara,
agar tidak jatuh ketangan pihak yang tidak berhak.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Cukup jelas

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3327

111
'
4
PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 75 TAHUN 1985
TENTANG
ORGANISASI KEPANITERAAN/SEKRETARIAT JENDERAL
MAHKAMAH AGUNG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang bahwa untuk dapat lebih memberikan dukungan


administrasi dan staf bagi kelancaran pelaksanaan
tugas Mahkamah Agung Republik Indonesia secara
berdaya guna dan berhasil guna, dipandang perlu
mengatur Susunan Organisasi dan Tata Keija Ke-
paniteraan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung
Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden;

Mengingat 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1965 ten­
tang Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Umum dan Mahkamah Agung (Lembaran Ne­
gara Tahun 1965 Nomor 70, Tambahan Lem­
baran Negara Nomor 2767);
3. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 ten­
tang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 1970
Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara No­
mor 2951);

113-
MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONE­


SIA TENTANG ORGANISASI KEPANITERAAN/
SEKRETARIAT JENDERAL MAHKAMAH
AGUNG.

BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI

Bagian Kesatu
Kedudukan, Tugas, dan Fungsi
Pasal 1
Di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia terdapat satuan
administrasi yang disebut Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal dan berada
di bawah Ketua Mahkamah Agung .

Pasal 2
Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal mempunyai tugas pelayanan di bi­
dang administrasi peradilan dan di bidang administrasi umum kepada
Mahkamah Agung dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dan
menyelenggarakan pembinaan administrasi, organisasi, serta tatalaksana
terhadap seluruh unsur di lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jen­
deral.

Pasal 3
Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Ke­
paniteraan/Sekretariat Jenderal menyelenggarakan fungsi:
a. mengatur dan membina kerjasama, mengintegrasikan, dan meng-
sinkronisasikan seluruh administrasi Mahkamah Agung termasuk
kegiatan pelayanan administrasi peradilan dan administrasi umum
bagi seluruh unit organisasi dalam lingkungan Mahkamah Agung;
b. mempersiapkan dan mengolah bahan-bahan yang diperlukan dalam
rangka perumusan kebijaksanaan Mahkamah Agung;
c. membina dan melakukan pengawasan atas penyelenggaraan urusan

114
kepegawaian, keuangan, peralatan, dan perlengkapan serta urusan
ketatausahaan lainnya;
d. menyelenggarakan dan membina hubungan dengan Lembaga Ter-
tinggi/Tinggi Negara, Lembaga Pemerintah, dan masyarakat;
e. membina unit organisasi di bawahnya agar dapat melaksanakan
tugasnya secara berdaya guna dan berhasil guna;
f. lain-lain yang ditentukan oleh Ketua Mahkamah Agung.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi
Pasal 4
(1) Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal dipimpin oleh Panitera/Sekre-
taris Jenderal.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera/Sekretaris Jenderal di bi­
dang administrasi peradilan dibantu oleh Wakil Panitera, dan di
bidang administrasi umum dibantu oleh Wakil Sekretaris Jenderal.

Pasal 5
(1) Panitera/Sekretaris Jenderal bertugas:
a. memimpin Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal sesuai dengan
tugasnya dan membina seluruh satuan organisasi di lingkung­
an Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal agar berdaya guna dan
berhasil guna;
b. menentukan kebijaksanaan teknis pelaksanaan kegiatan Ke­
paniteraan/Sekretariat Jenderal;
c. membina dan melaksanakan hubungan kerjasama dengan
instansi/lembaga lain di luar Mahkamah Agung;
d. memberikan bantuan teknis terhadap pelaksanaan pengawas­
an jalannya peradilan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya Panitera/Sekretaris Jenderal ber­
tanggung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah Agung.

115
Pasal 6
(1) Wakil Panitera bertugas membantu Panitera/Sekretaris Jenderal
dalam pembinaan administrasi peradilan.
(2) Wakil Sekretaris Jenderal bertugas membantu Panitera/Sekretaris
Jenderal dalam pembinaan administrasi keuangan, administrasi ke­
pegawaian, peralatan dan perlengkapan serta ketatausahaan lain-
*
nya.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Panitera dan Wakil Sekretaris
Jenderal bertanggung jawab langsung kepada Panitera/Sekretaris
Jenderal.

Pasal 7
Panitera/Sekretaris Jenderal membawahi:
a. Direktorat Perdata;
b. Direktorat Perdata Agama;
c. Direktorat Tata Usaha Negara;
d. Direktorat Pidana;
e. Direktorat Hukum dan Peradilan;
f. Biro Umum;
g. Biro Keuangan;
h. Biro Kepegawaian;
i. Kelompok fungsional yang terdiri dari:
1) Tenaga Ahli;
2) Hakim Yustisial.

Pasal 8
(1) Direktorat adalah unsur penunjang teknis yudikatif yang berada di
bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Panitera/Sekretaris
Jenderal melalui Wakil Panitera.
(2) Direktorat mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kepani-
teraan/Sekretariat Jenderal di bidang administrasi peradilan sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
(3) Direktorat dipimpin oleh seorang Kepala Direktorat.

116
Pasal 9
(1) Biro adalah unsur penunjang administratif yang berada di bawah
dan bertanggung jawab langsung kepada Panitera/Sekretaris Jen­
deral melalui Wakil Sekretaris Jenderal.
(2) Biro mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Kepaniteraan/
Sekretariat Jenderal di bidang administrasi umum sesuai dengan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
(3) Biro dipimpin oleh seorang Kepala Biro.

Pasal 10
(1) Tenaga Ahli mempunyai tugas memberikan pertimbangan dan pen­
dapat berdasarkan keahlian serta mengkaji masalah hukum di bi­
dang peradilan, untuk kepentingan Pimpinan dan Majelis pada
Mahkamah Agung.
(2) Hakim Yustisial mempunyai tugas:
a. membantu melaksanakan tugas pengawasan Mahkamah
Agung, yang dilakukan oleh tenaga hakim dari pengadilan
tingkat banding yang dipekeijakan di Mahkamah Agung;
b. membantu Majelis pada Mahkamah Agung dalam memeriksa
dan memutus perkara-perkara yang dilakukan oleh tenaga
hakim dari pengadilan tingkat pertama yang dipekeijakan di
Mahkamah Agung.

(3) Jumlah Tenaga Ahli sebanyak-banyaknya 6 (enam) orang, dan


jumlah Hakim Yustisial disesuaikan dengan kebutuhan.
(4) Tenaga Ahli dan Hakim Yustisial dikoordinasikan oleh Panitera/
Sekretaris Jenderal.
(5) Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari:
a. Tenaga Ahli bertanggung jawab langsung kepada Ketua Mah­
kamah Agung;
b. Hakim Yustisial sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
a bertanggung jawab langsung kepada Ketua Mahkamah
Agung;

117
c. Hakim Yustisial sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf
b bertanggung jawab langsung kepada Majelis yang bersang­
kutan.

BAB II
TATA KERJA
Pasal 11
Seluruh unsur di lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal dalam
melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi,
dan sinkronisasi, baik dalam lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jen­
deral maupun dalam hubungan antar Instansi/Lembaga.

BAB III
KEPANGKATAN, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN
Pasal 12
(1) Panitera/Sekretaris Jenderal adalah jabatan eselon Ia.
(2) Wakil Panitera dan Wakil Sekretaris Jenderal adalah jabatan eselon
Ib.
(3) Kepala Direktorat dan Kepala Biro adalah jabatan eselon Ila.

Pasal 13
(1) Panitera/Sekretaris Jenderal, Wakil Panitera, Wakil Sekretaris Jen­
deral diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas pertimbangan
Ketua Mahkamah Agung.
(2) Kepala Direktorat, Kepala Biro, Tenaga Ahli, Hakim Yustisial, dan
Kepala satuan organisasi di bawah Direktorat dan Biro diangkat
dan diberhentikan oleh Panitera/Sekretaris Jenderal.

BAB IV
PEMBIAYAAN
Pasal 14
Segala pembiayaan yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Kepanite­
raan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung dibebankan kepada Anggar­
an Pendapatan dan Belanja Negara.

118
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Perincian tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata keija satuan organi­
sasi di lingkungan Kepaniteraan/Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung
ditetapkan oleh Panitera/Sekretaris jenderal, setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri/Sekretaris Negara dan Men­
teri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

Pasal 16
Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini, segala ketentuan yang ber­
tentangan dengan Keputusan Presiden ini dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 17
Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
SOEHARTO
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT KABINET RI
Kepala Biro Hukum
dan Perundang-undangan
cap/ttd.
Bambang Kesowo, S.H., LL.M.

119

Anda mungkin juga menyukai