Anda di halaman 1dari 6

PASAL-PASAL PENTING UNDANG-UNDANG NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG

KEKUASAAN KEHAKIMAN

BAB II ASAS PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 2 ayat (1)  Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BEDASARKAN


KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Irah-irah atau kepala putusan ini selalu dimuat di bagian
awal putusan. Irah putusan ini sifatnya wajib jika tidak dicantumkan dalam putusan, maka
putusan batal demi hukum.
Pasal 2 ayat (4)  Asas Peradilan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan
“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan”.
- Sederhana = pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efektif.
- Cepat = pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien.
- Biaya Ringan = biaya perkara dapat dijangkau oleh masyarakat.

Pasal 4 ayat (1)  Asas Equality Before The Law (persamaan dihadapan hukum).
“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.
Pasal ini juga bisa dimaknai dengan Asas Audi et alteram partem.

Pasal 5 ayat (1)  “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” – Hakim
boleh melakukan penemuan hukum atau menafsirkan undang-undang.
Pasal 5 ayat (2)  “Hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman
Perilaku Hakim”.

Pasal 8 ayat (1)  Asas Presumption Of Innocence (praduga tak bersalah).


“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan
pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Pasal 10 ayat (1)  Asas Ius Curia Novit – hakim dianggap tahu akan hukum sehingga
pengadilan tidak boleh menolak perkara meskipun hukumnya tidak jelas.
“Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara
yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Pasal 13 ayat (1)  Sidang terbuka untuk umum.


“Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-
undang menentukan lain”.
Contoh: Pengecualian: kasus cerai, kesusilaan, terdakwanya anak- anak.
Pengecualian :
Pasal 153 ayat (3) KUHAP  “untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang
membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai
kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.
Pasal 70 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 sebagaiman terakhir diubah dengan UU No. 51
Tahun 2009 tentang Peradilan Tata usaha negara  “Apabila Majelis Hakim memandang
bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara,
persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum”.
Pasal 80 ayat (2) UU No. 7 Tahun 1989 sebagaiman terakhir diubah dengan UU No. 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama  “Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup”.
Pasal 141 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ”Perkara
yang menyangkut kesusilaan, rahasia militer dan/atau rahasia negara disidangkan secara
tertutup”.
Pasal 54 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak  “Hakim memeriksa
perkara Anak dalam sidang yang dinyatakan tertutup untuk umum, kecuali pembacaan putusan.

Pasal 16  tentang Perkara Koneksitas (perkara gabungan yang dilakukan bersama-sama oleh
oleh warga sipil dan militer. Dalam hal ini perkara diadili di peradilan umum, kecuali dalam
keadaan tertentu menurut keputusan MA harus diadili di peradilan militer.
“Keadaan tertentu” adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana
tersebut. Jika titik berat kerugian terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh
pengadilan di lingkungan peradilan militer. Sebaliknya, jika titik berat kerugian tersebut terletak
pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh peradilan umum.
Pasal 17  tentang sesorang punya hak ingkar terhadap hakim yang memeriksa perkara
disertai alasan yang jelas.
Pasal 17 juga menjelaskan bahwa hakim, jaksa, panitera tidak boleh memeriksa perkara yang
berkaitan dengannya ntah itu ada hubungan darah atau semenda atau ada keterikatan dan
hubungan tertentu dengan kasus tersebut.

BAB III PELAKU KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 21 membahas soal organisasi, administrasi dan keuangan semua badan peradilan diatur
oleh MA sendiri dan diatur dalam undang-undang masing2 lingkungan peradilan

Pasal 23 tentang terhadap putusan banding dapat dimintakan kasasi.


Pasal 24 tentang Pengajuan Peninajauan Kembali dapat dilakukan apabila terdapat hal
atau keadaan tertentu.
Maksud “Hal atau Keadaan Tertentu” antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum)
dan/ atau adanya kekhilafan atau kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.
Pasal 26 tentang terhadap putusan tingkat pertama dapat dimintakan Banding

Pasal 27  pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan
peradilan yang berada di bawah MA.
Pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi
manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial dan pengadilan
perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di
lingkungan peradilan tata usaha negara.

BAB IV PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN HAKIM

Pasal 30 mengatur tentang :


(1) Pengangkatan Hakim Agung itu dari Hakim Karier dan non karier.
(2) Pengangkatan hakim agung diusulkan oleh KY dan diplih oleh DPR.
“hakim karier” adalah hakim yang berstatus aktif sebagai hakim pada badan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung yang dicalonkan oleh Mahkamah Agung.
“hakim nonkarier” adalah hakim yang berasal dari luar lingkungan badan peradilan.
Pasal 32 mengatur pengangkatan hakim ad hoc pada pengadilan khusus

Pasal 33- syarat sebagai hakim konstitusi:


1. memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela.
2. adil
3. negarawan yang paham konstitusi dan ketatanegaraan

BAB V BADAN-BADAN LAIN YANG FUNGSINYA BERKAITAN DENGAN


KEKUASAAN KEHAKIMAN

Pasal 38 ayat (1)  mengatur tentang Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan
Kekuasaan Kehakiman diantaranya: kepolisian, kejaksaan, advokat dan lembaga
pemasyarakatan

BAB VI PENGAWASAN HAKIM DAN HAKIM KONSTITUSI

Pasal 39 ayat (3)  Pengawasan internal atas tingkah laku hakim dilakukan oleh MA.

Pasal 40 ayat (1)  Pengawasan Eksternal oleh KY.

Pasal 44 ayat (1)  Pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis Kehormatan
Hakim Konstitusi

BAB VII PEJABAT PERADILAN

Pasal 45 – mengatur tentang pejabat peradilan lain diantaranya panitera, sekretaris,


dan/atau juru sita.

BAB VIII JAMINAN KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN HAKIM


Pasal 48  menjelaskan bahwa hakim dan hakim konstitusi diberikan jaminan keamanan
dan kesehatan oleh negara.
“jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya” adalah hakim dan hakim konstitusi diberikan
penjagaan keamanan dalam menghadiri dan memimpin persidangan. Hakim dan hakim konstitusi
harus diberikan perlindungan keamanan oleh aparat terkait yakni aparat kepolisian agar hakim
dan hakim konstitusi mampu memeriksa, mengadili dan memutus perkara secara baik dan benar
tanpa adanya tekanan atau intervensi dari pihak manapun.

Jaminan kesejahteraan meliputi gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, dan pensiun serta hak lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB IX PUTUSAN PENGADILAN

Pasal 52 ayat (1) - Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk
memperoleh informasi yang berakitan dengan putusan dan biaya perkara dalam proses
persidangan.

BAB X PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

Pasal 54 ayat (1) - Eksekusi putusan pidana dilakukan oleh jaksa.


Pasal 54 ayat (2)- Eksekusi putusan perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin
oleh ketua pengadilan

BAB XI BANTUAN HUKUM

Pasal 56 ayat (1) - setiap orang punya hak untuk memperoleh bantuan hukum.
Pasal 56 ayat (2)- negara menaggung biaya perkara bagi yang tidak mampu.

BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA DI LUAR PENGADILAN

Pasal 58  tentang bagi sengketa perdata dapat diselesaikan di luar pengadilan baik melalui
arbitrase maupun alternatif penyelesaian sengketa.

Arbitrase dalam ketentuan ini termasuk juga arbitrase syariah.

Di Indonesia sendiri ada beberapa lembaga arbitrase dalam penyelesaian kasus sengketa yaitu,
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), BAPMI (Badan Arbitrase Pasar Modal) dan
BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional Indonesia).
Alternatif penyelesaian sengketa (Alternative Dispute Resoultion/ADR) dijelaskan di Pasal
60, dapat dilakukan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Hasil Kesepakatan ADR dituangkan dalam bentuk tertulis dan bersifat final dan mengikat
para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad baik.

Akta perdamaian agar mempunyai kekuatan hukum selanjutnya dituangkan dalam


putusan oleh hakim yang menangani perkara tersebut.

BAB XIII KETENTUAN PENUTUP

Pasal 62  Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4358) dicabut dan dinyatakan
tidak berlaku.

Anda mungkin juga menyukai