Oleh :
NIM : 2102010055
KELAS :B
FAKULTAS HUKUM
KUPANG
2022
BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum
Hukum Pidana Militer Di Indonesia. Dari kata di Indonesia, telah tercermin bahwa
dewasa ini belum ada Hukum Pidana Militer yang bersifat Nasional yang sudah
dibuat/diundangkan. Yang kita gunakan dewassa ini adalah undang-undang Hukum
Pidana Militer peninggalan penjajah belanda sebelum tahun 1945, yang disana sini sudah
disesuaikan dengan hakekat kemerdekaan Indonesia. Namun demikian masih dirasakan
kekurangan-kekurangannya, bahkan dalam beberapa hal ada kejanggalan-
kejanggalannya. Ada beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai bahan
penyesuaian terhadap undang-undang hukum pidana militer tersebut, namun demikian
kita masih tetap belum mempunyai yang bersifat nasional. Sebutannya adalah Hukum
Pidana Militer bukan Hukum Pidana Tentara seperti yang diperbolehkan oleh pasal 1 UU
No. 39 Tahun 1947. Dari perkembangan bahasa kita mengenai istilah Tentara, dapat
disimpulkan bahwa sebelum Tahun 1945 (saat pembuatan undang-undang pertahanan)
istilah-istilah militer sudah mulai sedikit digunakan sebagai danti dari istilah tentara
dalam pengertian yang pertama (oknum).
2. Ruang Lingkup
Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Hukum Pidana Militer pada umumnya, kitab
undang-undang Hukum Pidana Militer Khususnya. Hukum Pidana Militer tidak hanya
dalam KUHPM dapat kita temukan, akan tetapi juga dalam perundang-undangan lainnya
termasuk putusan-putusan Mahkama Militer, bahkan juga dalam kesadaran hukum
masyarakat militer khususnya. Berbicara mengenai undang-undang hukum pidana militer
didalam pembahasannya selain daripada hubungannya dengan undang-undang yang telah
disebutkan diatas, mau tidak mau harus juga dikaitkan dengan perundang-undangan
tertentu yang ada hubungannya. Beberapa perundang-undangan mengenai hukum pidana
militer dan yang ada hubungannya yamg akan banyak disebut-sebut dalam uraian-uraian
berikut antara lain:
a. Peratulan disiplin militer, Perpem No. 24 tahun 1949
b. Undang-undang tentang susunaan dan kekuasaan peradilan militer. UU. No.5 Th.
1950 jo. UU. No.22 Th. 1965.
c. Undang-undang tentang hukum acara pidana militer. UU. No. 6 Th. 1950 jo UU
No. 1 Drt Th. 1958
d. Peraturan tentang permintaan dan bantuan militer. Perpem. No. 16 Th. 1960 LN.
NO. 45 Th. 1960
e. Undang-undang wajib militer darurat. UU. No. 39 Prp Th. 1960, dan lain-lain.
3. Metode Pendekatan
HPM yang kita warisi dari pemerintah penjajahan dalam banyak hal sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan kita, baik karena kesadaran hukum kita yang bertolak belakang
pangkal pada falsafah pancasila maupun karena perkembangan teknologi dan masyarakat
kita. Walaupun usaha menyempurnakan hpm itu masih jauh dari yang diharapkan, akan
tetapi hukum tersebut masih kita gunakan yang sejauh mungkin disesuaikan dengan
kesadaran hukum yang kita miliki dan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu kita
masih harus mempelajari undang-undang yang telah ada, demikian pula perkembangan-
perkembangan kesadaran hukum kita terutama sejak awal kemerdekaan.
Mempelajari suatu undang-undang (hukum) dapat ditempuh dengan beberapa jalan
seperti dari: segi filosofis, segi historis, segi hukum positif, segi fungsional, segi
pragmatis dan lain sebagainya. Dari manapun kita mempelajarinya, pada saatnya kita
akan selalu mengkaji, maksud dan tujuan dari pada undang-undang (hukum) itu bagi kita.
B. Riwayat singkat
Secara ringkas KUHPM dituturkan sebagai berikut :
a) Tahun 1799
KUHPM disamping KUHP direncanakan dan selesai pada tahun 1799. Isinya
terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama tentang jurisdiksi peradilan militer, bagian
kedua hanya memuat beberapa kejahatan militer saja dan tidak dinyatakan bahwa
KUHP berlaku juga bagi militer, bagian ketiga tentang hukum acaranya.
b) Tahun 1807
Suatu panitia berhasil membuat RUU WvMS dan hukum acara pidana militer AD.
Panitia ini pula yang merancang KUHPM bagi angkatan Laut. Jadi tidak dianut
kesatuan hukum bagi AD dan AL. Sementara itu AU belum dikenal
c) Tahun 1813
Pada tahun 1813 suatu panitia dibentuk untuk membuat RUU baru. Diselesaikan
pada tahun 1814. RUU ini terdiri dari KUHPM dan KUHDM yang akan berlaku
bagi AD dan AL.
d) Tahun 1886
Pada tahun 1886 kepada prof. Van Der Hoeven guru besar universitas di Leiden
ditugaskan untuk membuat serta menyusun KUHMP sesuai dengan sistematika
KUHP baru tersebut. Beliau berhasil membuat buku "Militair straf en Tuchrecht"
(yang terdiri dari 3 bagian)
e) Tahun 1903
Pada tahun ini dapat juga disebut sebagai awal dari hukum pidana militer yang
modern. Dengan keputusan raja pada tanggal 27-04-1903 dijadikan UU, akan
tetapi baru mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1923 dinegri belanda
f) Tahun 1934
Setelah mengalami beberapa amandemen maka terjadilah KUHPM dan KUHDM
yang diundangkan dengan stb. 1934 Nr. 167 dan 168 yang hari mulai berlakunya
ditetapkan tanggal 1 oktober 1934 dengan keputusan gubernur jenderal tanggal 25
maret No.35 Bbl.1934 Nr. 337. Pada tahun ini juga mulai berlaku suatu ordinansi
baru tentang "ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman militer di hindia
belanda" LN.1934 Nr. 173, ordinansi No. 16 tanggal 28 maret 1934
g) Zaman penjajahan jepang
Pada zaman penjajahan jepang selama 3 tahun (1942-1945) KUHPM dan
KUHDM tidak diberlakukan.
h) Indonesia merdeka 17 agustus 1945
KUHPM dan KUHDM tersebut pada No. 7f berdasarkan pasal PERALIHAN
daru UUD 1945 dan perpem No.2 tahun 1945 berlaku diindonesia. Kemudian
diadakan perubahan, pengurangan dan penambahan terhadap kedua UU tersebut
dengn UU No. 39 dan 40 pada tahun 1947 hingga kini masih berlaku.
F. Non-Militer
Pada prinsipnya seseorang non militer adalah justisia bel dari badan-badan peradilan
umum dan hanya akan dihadapkan kemana persidangan pada pengadilan-pengadilan
umum. Non militer yang dinyatakan tunduk kepada kekuasaan Badan Peradilan Militer di
dalam perundang-undangan, maupun yang perlu ditundukkan adalah sebagai berikut:
a. Klausula “atas ketetapan men hankam dengan persetujuan men kehakiman”
b. Anggota-anggota sipil dan militer dalam perkara koneksitas
c. Subjek mahmillub
d. Orang-orang yang dalam hubungan dinas berada pada suatu Angkatan Perang
yang disiapsiagakan untuk perang, atau menyertainya mengikutinya dengan
persetujuan penguasa militer.
e. Setiap orang dalam keadaan perang
f. Pegawai Sipil dari angkatan bersenjata
g. Orang-orang yang dilindungi
h. Badan-badan hukum
BAB V
SISTEMATIKA KUHPM
A. Perbandingan Sistematika KUHP dan KUHPM
Sistematika yang di gunakan dalam KUHPM pada dasarnya identik dengan sistematika
yang di gunakan dalam KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan-ketentuan umum,
kemudian di ikuti dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana. Perbedaannya adalah jika
pada KUHP, tindak pidana di bagi dalam 2 buku yang terdiri dari kejahatan-kejahatan
dan pelanggaran-pelanggaran, dalam KUHPM hanya terdiri dari satu buku saja yang
memuat kejahatan-kejahatan. Buku 1 KUHP terdiri dari 9 bab, sedangkan KUHPM
hanya 7 bab, urutan-urutan judul bab-bab dalam buku kesatu KUHP di ikuti oleh
KUHPM kecuali judul "percobaan" dan "penyertaan" tidak ada. Selain dari pada itu
KUHPM mendahului Bab 1 di adakan suatu judul "PENDAHULUAN" yang terdiri dari
3 pasal. Isi dari bab-bab buku 1 KUHPM, pada umumnya berisikan penambahan,
pengurangan atau penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada KUHP.
Tidak hanya bab "PERCOBAAN" dan bab "PENYERTAAN" dalam KUHPM, berarti
bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan dal KUHP diikuti, kecuali secara khusus
dalam pasal-pasal tindak pidana KUHPM di tentukan lain.
B. Isi KUHPM
a. Buku 1 KUHPM terdiri dari satu bab pendahuluan dan 7 bab yang kesemuanya
termasuk ketentuan-ketentuan umum. Bab-bab tersebut antara lain:
BAB PENDAHULUAN : penerapan hukum pidana umum (ps. 1-3);
BAB 1 : Batas-batas berlakunya ketentuan pidana dalam perundang-undangan
(ps. 4 dan 5);
BAB 2 : Pidana (ps. 6 sd. 31);
BAB 3 : Peniadaan, pengurangan dan penambahan pidana (ps. 32 sd. 38);
BAB 4 : Perbarengan tindak pidana (ps. 39);
BAB 5 : Pidana hanya dapat di tuntut karena pengaduan (ps. 40);
BAB 6 : Hapusnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana (ps. 41 sd.
44);
BAB 7 : Pengertian beberapa istilah dalam kitab undang-undang ini,
perluasan penerapan beberapa ketentuan (ps. 45 sd. 63)
b. Buku 2 terdiri dari 7 bab sebagai berikut:
BAB 1 : Kejahatan terhadap keamanan negara (ps. 64 sd. 72);
BAB 2 : Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang, tanpa bermaksud
untuk memberikan bantuan kepada musuh atau merugikan negara untuk
kepentingan musuh (ps. 73 sd. 84)
BAB 3 : Kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seseorang militer untuk
menarik diri dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban dinas (ps. 85 sd. 96);
BAB 4 : Kejahatan terhadap pengabdian (ps. 97 sd. 117);
BAB 5 : Kejahatan tentang pelbagau keharusan-keharusan dinas (ps. 118 sd.
139);
BAB 6 : Pencurian dan penadahan (ps. 140 sd. 146);
BAB 7 : Perusakan, pembinasaan atau penghilangan barang-barang keperluan
Angkatan Perang (ps. 147 sd. 149)
KETENTUAN PENUTUP UMUM (ps. 150)
BAB VI
PRINSIP-PRINSIP UMUM
Prinsip-prinsip umum dalam KUHPM adalah sebagai berikut:
A. Kesatuan-hukum bagi militer:
KUHPM berlaku untu seluruh militer. Berarti baik mengenai norma-norma-nya maupun
mengenai sanksinya, diadakan penyatuan. Hal ini tidak berarti bahwa pembuat undang-undang
tidak menginsyafi perbedaan kematraan dari masing-masing Angkatan, tetapi justru
pertimbangan utama didasarkan pada suatu pendapat umum yang berbunyi, bahwa kesatuan
hukum lebih memberi pemuasan terhadap kesadaran-hukum dan lebih dapat mencegah kesulitan-
kesulitan dalam praktek (Eenheid van recht beviedigt het rechtsgevoel en voorkomt vele
moeilijkheden der practijk).
B. Kodifikasi tersendiri.
Ada sementara pendapat yang menghendaki supaya KUHPM disatukan saja dalam KUHP.
Alasan-alasan yang dikemukakan antara lain adalah:
a. Bahwa hukum pidana umum berlaku juga kepada setiap militer. Sekiranya sanksi-sanksi
pidana yang dicantumkan dalam pasal-pasal KUIIP dirasakan kurang berat, dapat
diperberat dengan penerapan pasal 52 KUHP;
b. Mengenai tindak pidana militer murni dapat diadakan tersendiri dalam satu bab pada
buku kedua KUHP seperti "Kejahatan jabatan" misalnya;
c. Mengenai tindakan-tindakan yang lebih merupakan pelanggaran tata kehidupan militer
dapat dimasukkan dalam Hukum Disiplin Militer.
D. Yurisdiksi tersendiri
Yurisdiksi badan-badan peradilan militer tidak sama dengan yurisdiksi peradilan umum. Hal ini
terutama adalah sebagai akibat dari pembagian daerah komando militer, di mana para pemegang
komando tersebut merupa kan perwira-penyerah-perkara dari sesuatu perkara kepada mahkamah
militer. Namun dalam keadaan darurat, jika badan peradilan umum sudah tidak dapat berfungsi
lagi, seharusnya dimungkinkan untuk ditampung oleh peradilan militer untuk mengadili para
yustisiabel yang seharusnya tunduk kepada kekuasaan peradilan umum. Pembedaan yurisdiksi
badan-badan peradilan militer juga sebagai akibat/konsekuensi dari penitikberatan pada asas
personalitas mengenai berlakunya ketentuan pidana untuk militer.
E. kemungkinan penyelesaian suatu tindak pidana secara hukum disiplin.
Perbedaan pokok antara tindak pidana dan pelanggaran disiplin ialah bahwa suatu tindak pidana
pada umumnya dirasakan sebagai mengganggu keseimbangan masyarakat, ketergangguan mana
hanya dapat dipulihkan dengan penjatuhan pidana sebagai alat terakhir/senjata pamungkas
(ult.mum remedium) kepada petindak. Sedangkan pelanggaran disiplin lebih merupakan
perbuatan yang (tidak pantas, yang dapat "diatasi" dengan cara pemberian tegoran atau hukuman
yang lebih bersifat mendidik. Dapat juga disebutkan sebagai perbedaannya: berat/ringannya sifat
suatu tindakan atau akibat- akibatnya. Akan tetapi dalam hal atau keadaan tertentu sering
ditemukan kesulitan-kesulitan untuk memperbedakan sifat-sifat tersebut
Pasal 1
(Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-
ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama kitab undang-undang
hukum pidana, kecuali ada penyimpanan-penyimpangan yang di tetapkan dengan undang-ndang.
Sebenarnya ketentuan pada induk kalimat yang berbunyi "untuk penerapan undang-undang ini berlaku
ketentuan-ketentuan hukum pidana umum" dan hanya dilanjutkan dengan anak kalimat. Kecuali
penyimpangan-penyimpangan yang di tetapkan dengan undang-undang, maka bab lX buku 1 KUHP
sudah dengan sendirinya tercakup.
Pasal 2
(Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab
undang-undang ini, yang di lakukan oleh orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan
militer, di terapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang di tetapkan
dengan undang-undang. Petindak-petindak dari suatu tindak pidana umum (yang ada di dalam KUHPM)
adalah umum termasuk di dalamnya seseorang militer. Petindak seorang militer, sudah pasti ia termasuk
justisiabel dari dari badan-badan peradilan militer, sedangkan jika ia seorang nonmiliter, pada dasarnya
merupakan justisiabel dari badan-badan peradilan umum,tetapi mungkin juga dari badan-badan peradilan
militer. Sebenarnya ketentuan ini sudah disimpulkan dari bunyi Pasal 1 KUHPM. Kiranya ketentuan
penting dari Pasal 2 justru terdapat pada anak kalimatnya yang berbunyi "kecuali ada penyimpangan-
penyimpangan yang di tetapkan dengan undang-undang". Kalimat ini menegaskan bahwa baik
penyimpangan-penyimpangan yang terdapat pada hukum pidana umum maupun dalam hukum pidana
militer harus di perhitungan terhadap subjek yang di maksud.
Baik atas dasar Pasal 1 atau Pasal 2 KUHPM,kepada seseorang militer dapat juga di jatuhi pidana denda
sebagaimana diancamkan dalam Pasal 10 KUHP. Han ya perluh di perhatikan adalah kemungkinan atau
kebolehan penyelesaianya secara hukum disiplin militer (jadi di luar peradilan) jika sifat tindak pidana
tersebut demikian ringan atau lebih bersifat merugikan kepentingan disiplin militer dari pada kepentingan
umum.
Pasal 3
Maka untuk membahas Pasal 3 KUHPM ini berdasarkan jalan fikiran yang bersamaan digunakan
penafsiran secara analogi tersebut. Jika fikiran itu antara lain adalah sebagai berikut:
a. Sekiranya pada zamannya pembuat undang-undang sudah mengenal adanya pesawat terbang,
sudah barang tentu "tempat" ini pun akan di masukan dalam ketentuan mengenai tempat berlaku
hukum pidana dalam rangka atas teritorial.
b. Sejalan dengan uraian di atas, bahwa perahu adalah suatu pengangkut di mana di sediakan suatu
"tempat", untuk orang-orang yang di angkut, pesawat udara/terbang adalah juga demikian, hanya
berdasarkan mengenai "jalan" yang digunakan saja.
c. Bahwa Pasal 3 KUHPM sudah di ubah dengan UU No. 39 tahun 1947. Tetapkan istilah yang
digunakan adalah perahu angkatan perang, kiranya pembuat undang-undang pada waktu itu
bukanlah tidak mengenal adanya pesawat udara Indonesia tetapi merasa cukup hanya mengaitkan
Pasal 3 KUHPM dengan KUHP pada umumnya (dalam hal Pasal 3 KUHP)
d. Khusus mengenai Pasal 3 KUHPM di hubungkan dengan Pasal 57 KUHPM terasa ada
keganjilan, yaitu mengapa pada Pasal 57 sudah diadakan ayat tambahkan yang mencantumkan
pengertian pesawat udara perahu, sedangkan dalam Pasal 3 tidak diadakan penambahan? Kiranya
hal ini bukan suatu kekhilafan, melainkan pembuat undang-undang tersebut pada ketika itu sudah
menafsirkan Pasal 3 KUHP sebagai diperluas pengertian dengan pesawat udara. Karena
perumusan pada KUHPM cukup hanya disesuaikan saja dalam pengkaitannya dengan Pasal 3
KUHP.
e. Sekedar mengenai apakah boleh atau tidak menggunakan penafsiran secara analogi, penulis
cenderung mengikuti pendapat yang membolehkan penggunaan analogi itu asalkan saja secara
terbatas selama dengan kebutuhan akan hukum.
Menurut MR. W.P.J POMPE. Bahwa Pasal 1 KUHP melarang penggunaan analogi terhadap dapat di
pidananya suatu tindakan sedangkan Pasal 3 bukan mempersoalkan pemidanaan, melainkan menentukan
tentang dapat dituntutnya suatu tindak pidana dihubungkan dengan tempat kejadian.