Anda di halaman 1dari 17

HUKUM PIDANA MILITER

Mata Kuliah Hukum Pidana Militer

Dosen pengampu: Dr. Aksi Sinurat, SH.,M.HUM.

Oleh :

NAMA : Marselina Bali Ola Nama Tukan

NIM : 2102010055

KELAS :B

SEMESTER : III (Tiga)

DOSEN PA : Dr. Saryono Yohanes SH., M.HUM.

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

KUPANG

2022
BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum
Hukum Pidana Militer Di Indonesia. Dari kata di Indonesia, telah tercermin bahwa
dewasa ini belum ada Hukum Pidana Militer yang bersifat Nasional yang sudah
dibuat/diundangkan. Yang kita gunakan dewassa ini adalah undang-undang Hukum
Pidana Militer peninggalan penjajah belanda sebelum tahun 1945, yang disana sini sudah
disesuaikan dengan hakekat kemerdekaan Indonesia. Namun demikian masih dirasakan
kekurangan-kekurangannya, bahkan dalam beberapa hal ada kejanggalan-
kejanggalannya. Ada beberapa perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai bahan
penyesuaian terhadap undang-undang hukum pidana militer tersebut, namun demikian
kita masih tetap belum mempunyai yang bersifat nasional. Sebutannya adalah Hukum
Pidana Militer bukan Hukum Pidana Tentara seperti yang diperbolehkan oleh pasal 1 UU
No. 39 Tahun 1947. Dari perkembangan bahasa kita mengenai istilah Tentara, dapat
disimpulkan bahwa sebelum Tahun 1945 (saat pembuatan undang-undang pertahanan)
istilah-istilah militer sudah mulai sedikit digunakan sebagai danti dari istilah tentara
dalam pengertian yang pertama (oknum).

2. Ruang Lingkup
Yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah Hukum Pidana Militer pada umumnya, kitab
undang-undang Hukum Pidana Militer Khususnya. Hukum Pidana Militer tidak hanya
dalam KUHPM dapat kita temukan, akan tetapi juga dalam perundang-undangan lainnya
termasuk putusan-putusan Mahkama Militer, bahkan juga dalam kesadaran hukum
masyarakat militer khususnya. Berbicara mengenai undang-undang hukum pidana militer
didalam pembahasannya selain daripada hubungannya dengan undang-undang yang telah
disebutkan diatas, mau tidak mau harus juga dikaitkan dengan perundang-undangan
tertentu yang ada hubungannya. Beberapa perundang-undangan mengenai hukum pidana
militer dan yang ada hubungannya yamg akan banyak disebut-sebut dalam uraian-uraian
berikut antara lain:
a. Peratulan disiplin militer, Perpem No. 24 tahun 1949
b. Undang-undang tentang susunaan dan kekuasaan peradilan militer. UU. No.5 Th.
1950 jo. UU. No.22 Th. 1965.
c. Undang-undang tentang hukum acara pidana militer. UU. No. 6 Th. 1950 jo UU
No. 1 Drt Th. 1958
d. Peraturan tentang permintaan dan bantuan militer. Perpem. No. 16 Th. 1960 LN.
NO. 45 Th. 1960
e. Undang-undang wajib militer darurat. UU. No. 39 Prp Th. 1960, dan lain-lain.

3. Metode Pendekatan
HPM yang kita warisi dari pemerintah penjajahan dalam banyak hal sudah tidak sesuai
lagi dengan kebutuhan kita, baik karena kesadaran hukum kita yang bertolak belakang
pangkal pada falsafah pancasila maupun karena perkembangan teknologi dan masyarakat
kita. Walaupun usaha menyempurnakan hpm itu masih jauh dari yang diharapkan, akan
tetapi hukum tersebut masih kita gunakan yang sejauh mungkin disesuaikan dengan
kesadaran hukum yang kita miliki dan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu kita
masih harus mempelajari undang-undang yang telah ada, demikian pula perkembangan-
perkembangan kesadaran hukum kita terutama sejak awal kemerdekaan.
Mempelajari suatu undang-undang (hukum) dapat ditempuh dengan beberapa jalan
seperti dari: segi filosofis, segi historis, segi hukum positif, segi fungsional, segi
pragmatis dan lain sebagainya. Dari manapun kita mempelajarinya, pada saatnya kita
akan selalu mengkaji, maksud dan tujuan dari pada undang-undang (hukum) itu bagi kita.

4. Cara Mempelajari Hukum Pidana Militer


Ada beberapa cara mempelajari hukum pidana militer antara lain sebagai berikut:
a) Dari peraturan disiplin militer ke hukum pidana militer.
Cara ini adalah yang paling lazim digunakan dipendidikan-pendidikan militer
terutama di pendidikan atau sekolah yang para siswanya digarapkan akan menjadi
salah seorang unsur komando atau pembantu unsur komando untuk menanggulangi
(hanteren) persoalan disiplin (termasuk pelanggaran dan kejahatan ringan)
terhadap bawahannya. Biasanya dimulai dengan mempelajari peraturan disiplin
militer, dilanjutkan kepada undang-undang hukum disiplin militer (UU. No. 40 Th.
1947) kemudian kepada hukum pidana militer disamping hukum militer lainnya
(hukum perang, hukum pemerintahan militer dan lain sebagainya). Bagi seorang
atasan yang berhak menghukum (ANKUM) harus mengetahui bagaimana
hubungannya dengan polisi militer (Provoost), oditur militer, hakim militer
terutama dalam penyelesaian perkara-perkara bawahannya yang melakukan suatu
tindak pidana.
b) Di Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer.
Sebagai lembaga yang mempelajari hukum pada umumnya, hukum militer
khususnya, cara yang dianut ialah terlebih dahulu mempelajari hukum umum
secara global (pengantar ilmu hukum), kemudian pada saatnya mempelajari hukum
pidana umum (sebagai lex specialis), termasuk hukum disiplin militer. Cara ini
adalah cara yang paling sesuai jika hendak mempelajari HPM secara ilmiah,
karena tanpa terlebih dahulu mempelajari hukum pidana umum, kita tidak akan
mungkin mengerti hukum pidana militer.
c) Sebagai cara yang ketiga ialah dengan mempelajari terlebih dahulu hukum militer
secara umum. Yaitu misalnya apakah hukum militer itu, mengapa perlu hukum
militer itu dan apa yang dapat dilakukan dengan hukum militer itu dan lain
sebagainya. Hukum militer indonesia berpangkal tolak dari tugas militer indonesia
(TNI) dan adalah merupakan bagian dan merupakan salah satu sistem dari hukum
nasional indonesia. Karenanya hukum militer indonesia mempunyai landasan
sumber-sumber dan cakupan yang sejalan dengan hukum nasional.
Landasan hukum militer Indonesia adalah:
1) Pancasila sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945
2) UUD'45
3) Sapta Marga
4) Sumpah Prajurit dan
5) Doktrin-doktrin militer indonesia (antara lain Doktrin Operasi Keamanan Dalam
Negri/OPSKAN DAGRI)
Sumber-sumber formalnya adalah:
1) UUD, UU dan peraturan-peraturan lainnya
2) Adat dan kebiasaan-kebiasaan (customs and usages)
3) Perjanjian-perjanjian internasional
4) Putusan-putusan hakim
5) Doktrin-doktrin militer indonesia.
Sedangkan cakupannya meliputi:
1) Hukum Disiplin Militer
2) Hukum Pidana Militer
3) Hukum Acara Pidana Militer
4) Hukum Kepenjaraan Militer
5) Hukum Pemerintahan Militer atau Hukum Tata Negara (darurat Militer)
6) Hukum Administrasi Militer
7) Hukum internasional (hukum perang)/hukum sengketa bersenjata
8) Hukum perdata militer.
Cara ini lebih banyak digunakan oleh mereka yang justru sudah merupakan serjana/ahli-
ahli hukum dalam rangka memperkembangkan hukum militer.
BAB II
SEJARAH BERLAKUNYA KUHPM
A. Asas konkordansi
Demi kepastian hukum sangat diharapkan adanya hukum yang terulis atau undang-
undang. Demikianlah pada awal kemerdekaan untuk mencegah ke vacuum-an hukum,
melalui UUD 1945, W.v.M.S. masih diberlakukan di R.I.W.v.M.S. yang berlaku dihindia
belanda. Terdapat beberapa penyimpangan-penyimpangan terhadap W.v.M.S di hindia
belanda. Beberapa kemungkinan penyimpangan-penyimpangan itu hanya diadakan dalam
hal-hal :
 Jika adanya kondisi khusus diindonesia yang mengkehendaki (penyimpangan)
demikian itu.
 Jika dalan praktek menunjukan adanya kebutuhan yang sangat untuk mengadakan
perubahan atau penambahan.
 Untuk memperjelas sesuatu pasal.

B. Riwayat singkat
Secara ringkas KUHPM dituturkan sebagai berikut :
a) Tahun 1799
KUHPM disamping KUHP direncanakan dan selesai pada tahun 1799. Isinya
terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama tentang jurisdiksi peradilan militer, bagian
kedua hanya memuat beberapa kejahatan militer saja dan tidak dinyatakan bahwa
KUHP berlaku juga bagi militer, bagian ketiga tentang hukum acaranya.
b) Tahun 1807
Suatu panitia berhasil membuat RUU WvMS dan hukum acara pidana militer AD.
Panitia ini pula yang merancang KUHPM bagi angkatan Laut. Jadi tidak dianut
kesatuan hukum bagi AD dan AL. Sementara itu AU belum dikenal
c) Tahun 1813
Pada tahun 1813 suatu panitia dibentuk untuk membuat RUU baru. Diselesaikan
pada tahun 1814. RUU ini terdiri dari KUHPM dan KUHDM yang akan berlaku
bagi AD dan AL.
d) Tahun 1886
Pada tahun 1886 kepada prof. Van Der Hoeven guru besar universitas di Leiden
ditugaskan untuk membuat serta menyusun KUHMP sesuai dengan sistematika
KUHP baru tersebut. Beliau berhasil membuat buku "Militair straf en Tuchrecht"
(yang terdiri dari 3 bagian)
e) Tahun 1903
Pada tahun ini dapat juga disebut sebagai awal dari hukum pidana militer yang
modern. Dengan keputusan raja pada tanggal 27-04-1903 dijadikan UU, akan
tetapi baru mulai berlaku pada tanggal 1 januari 1923 dinegri belanda
f) Tahun 1934
Setelah mengalami beberapa amandemen maka terjadilah KUHPM dan KUHDM
yang diundangkan dengan stb. 1934 Nr. 167 dan 168 yang hari mulai berlakunya
ditetapkan tanggal 1 oktober 1934 dengan keputusan gubernur jenderal tanggal 25
maret No.35 Bbl.1934 Nr. 337. Pada tahun ini juga mulai berlaku suatu ordinansi
baru tentang "ketentuan-ketentuan tentang kekuasaan kehakiman militer di hindia
belanda" LN.1934 Nr. 173, ordinansi No. 16 tanggal 28 maret 1934
g) Zaman penjajahan jepang
Pada zaman penjajahan jepang selama 3 tahun (1942-1945) KUHPM dan
KUHDM tidak diberlakukan.
h) Indonesia merdeka 17 agustus 1945
KUHPM dan KUHDM tersebut pada No. 7f berdasarkan pasal PERALIHAN
daru UUD 1945 dan perpem No.2 tahun 1945 berlaku diindonesia. Kemudian
diadakan perubahan, pengurangan dan penambahan terhadap kedua UU tersebut
dengn UU No. 39 dan 40 pada tahun 1947 hingga kini masih berlaku.

C. Era pembaharuan hukum militer


Seperti diutarakan pada pidato Dies Natalis AHM-PTHM ke-32 bahwa arah
pembangunan hukum militer indonesia harus memedomani setidak tidaknya tiga asas
kelompok atau prinsip kemiliteran yaitu :
a. Asas -asas dibidang penyelenggaraan pertahanan keamanan negara seperti :
1. Asas kesemestaan untuk melaksanakan pertahanan keamanan negara
(hankamneg)
2. Asas kerakyatan yang berati keikutsertaan seluruh rakyat warga negara
dalam hankamneg
3. Asas kewilayahan
4. Asas tidak mengenal menyerah
5. Asas mendahulukan kecintaan kepada tahan air dari pada kedamaian
6. Asas defensif-ofensif atau defensif-aktif
7. Asas setia kawan
b. Asas asas dibidanv pengorganisasian
1. Komando tunggal
2. Pembagian tugas yang serasi
3. Delegasi kekuasaan
4. Rentang dan penggunaan pengawasan
5. Rantai komando
6. Kekenyalan
7. Mobilitas
8. Keseserhanaan
9. Pemvekalan sendiri
c. Asas asas dibidang sengketa bersenjata antara lain :
1. Resiprositas
2. Pembalasan
3. Proporsionalitas
4. Kesamaan hak dan derajat
5. Tidak mengadakan intervensi
6. Menjunjung tinggi harkat manusia.
BAB III
HUKUM PIDANA MILITER DAN TINDAK PIDANA MILITER

A. Tindak Pidana Militer


i) jenis tindak Pedana/delik
Yaitu:tindak pidana umum,(commune delicta). Tindak pidana khusus ( delicta
propria) salah satu kelompok tindak pidana khusus adalah tindak Pidana Militer
ii) Tindak Pidana Militer
Terdapat dalam KUHPM yang dibagi menjadi dua bagian yaitu:
 Tindak pidana militer murni(zuiver militaire delict) adalah tindakan-tindakan
terlarang/diharuskan yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seorang
militer.karena keadaan nya yang bersifat khusus atau karena suatu kepentingan
militer menghendaki tindakan tersebut ditentukan sebagai tindak pidana. Contoh:
(KUHPM ps.73, KUHPM Ps.87 dan KUHPM Ps.118)
 Tindak pidana militer campuran (gemegde militaire delict) adalah tindakan
terlarang atau diharuskan yang pada pokoknya sudah ditentukan dalam
perundangan lain akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM. Karena adanya suatu
keadaan yang khas militer atau karena adanya suatu sifat yang lain sehingga
diperlukan ancaman pidana yang lebih berat, bahkan mungkin lebih berat dari
ancaman pidana pada kejahatan semula dengan pemberatan dalam pasal 52
KUHP.
iii) Militer sebagai subjek tindak Pidana
Terjadi tindakan pidana militer campuran (gemengde militaire delict) militer tersebut
secara berbarengan (eendaadse samenloop). Pada ketentuan pasal 1ayat 2 KUHP
yang pada prinsipnya menghendaki penerapan ketentuan pidana yang menguntungkan
bagi tersangka. Pada pasal 63 KUHP menentukan bahwa penerapan ketentuan pokok
pidana yang paling berat. Semua ketentuan pidana dalam hal ini pada delik campuran
yang diterapkan adalah ketentuan pidana yang tercantum dalam KUHPM sesuai
dengan ketentuan pasal 63 KUHP. Menurut Van Hamel,Simons,Noyon dan
Pompe.HR yang sejalan dengan pompe antar lain memutuskan bahwa walaupun pada
seseorang yang turut melakukan suatu tindakan pelaksanaan, tidak memenuhi unsur
keadaan pribadi. Bandingkan apabila seorang non-militer bersama -sama dengan
seorang militer dengan sengaja bertentangan dengan hukum merusak suatu perjanjian
dengan musuh: seorang yang non militer itu dibebaskan atau tidak
dipertanggungjawabkan atas tindakan yang sama-sama mereka lakukan, sedangkan
militer tersebut, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau
sementara maksimum dua puluh tahun (pasal 82 KUHPM).
BAB IV
JUSTISIABEL DAN JURISDIKSI PERADILAN MIULITER

A. Ketentuan-ketentuan mengenai juridiksi peradilan militer


Mengenai juridiksi(rechtsmach, kekuasaan memeriksa dan mengadili) dan justisiable
(orang-orang yang tunduk/ditunjukkan pada Kekuasaan suatu badan peradilan
tertentu)sebenarnya termasuk bidang hukum acara pidana dalam arti luas mempelajari
yuridiksi suatu badan peradilan juga berarti sekaligus mempelajari justisiable dari badan
peradilan tersebut. Suatu hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa persoalan juridiksi juga
meliputi kekuasaan mengadili perselisihan antara mahkamah mahkamah pengadilan-
pengadilan sesamanya, akan tetapi yang diutamakan dalam hal ini adalah orang-orang
atau badan hukum yang mencari keadilan dalam suatu perkara pidana.
a. Ketentuan mengenai juridiksi Peradilan Militer yang ada hubungannya dengan
subjek tindak pidana (kejahatan atau pelanggaran) tercantum dalam pasal 3 dan 4
UU Nomor 5 tahun 1950.
b. Sebagai perbandingan mengenai ketentuan juridiksi Peradilan Militer berikut ini
dikutipkan ketentuan dalam: berpaling betreffenderechtsmacth van de militairen
rechter in nederlandsch indie,yang konkordant dengan invoringswet militair
straftuchtrecht.
c. Pengalaman-pengalaman dalam negara kita sejak Perang Kemerdekaan, perang
pembebasan Irian dan penumpasan penumpasan pemberontak an sudah cukup
banyak untuk dijadikan sebagai dasar penilaian apakah bagi kita perlu
mengadakan perundang-undangan agar supaya kekuasaan peradilan militer lebih
diperluas lagi untuk dapat menanggulangi suatu tindak pidana yang dilakukan
oleh orang-orang tertentunon militer dalam keadaan perang danatau dalam suatu
bagian negara yangdinyatakan dalam suatu tingkatan keadaan bahaya tertentu,
atau dilakukan di suatu daerah musuhlawan yang telah dikuasai Angkatan Perang
kita.
d. Berbeda dengan hasil panel diskusi hukum militer yang diadakan pada tanggal
11-5-1972 sampai dengan 16-5-1972 di Jakarta, di mana dalam draft II RUU
tentang susunan dan kekuasaan pengadilan dan oditurat dalam lingkungan
peradilan militer pada ps. 12 dan 13 kurang mencerminkan kebutuhan akan
penegakkan hukumkeadilan, baik dalam keadaan damai terutama dalam keadaan
perang atau negara dalam keadaan bahaya dan maupun terhadap para justisiabel
peradilan militer di luar Indonesia sebagaimana tersimpulkan dalam ps.5 KUHPM
e. Adanya beberapa ketentuan perundang-undangan yang memperluas
jurisdiksi peradilan militer seperti tersebut pada :
1. Undang-Undang Milsuk (No. 19 Th 1958) ps. 4;
2. Undang-Undang Wamil (No. 66 Th. 1958) ps. 38, 45, 65, dan 66;
3. Undang-Undang Keadaan Bahaya (No. 23 Prp. Th 1959) ps. 41;
4. Undang-Undang Mobilisasi (No. 14 Th. 1962) ps. 12; 5) Perpem Cadnas
(No. 51 Th. 1963) ps. 5;
5. Undang-Undang MAHMILLUB (No. 16 Paps Th. 1963) ps. 1;
6. Undang-Undang "POLRI" (No. 3 Pnps. Th 1965) ps. 1;
7. Undang-Undang Kekuasaan Peradilan Militer (No. 5 Th. 1950)ps. 3 ayat 1
d, dan ps. 4.
8. Peraturan-peraturan tentang "koneksitas", para pelaku kejahatan sebagai
kelanjutan dari pasal 4 Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 dan ps. 89
KUHAP (UU. No. 8 T. 1981) seperti misalnya ps. 25 ayat 3 dari Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi (UU. No. 3 Th. 1971),

B. Ketentuan-ketentuan mengenai Justisiabel Peradilan Militer


Juridiksi mempersoalkan kekuasaan memeriksa dan mengadili, maka justisia bel
mempersoalkan orang-orang yang diperiksa dan diadili yang termasuk di dalam
kekuasaan tersebut. Dilihat dari sudut kemandirian Peradilan Militer dan hukum pidana
militer, seseorang dapat merupakan (ditentukan sebagai) justisiable Peradilan Militer
tetapi tidak selalu dapat menjadi subjek dari suatu tindak pidana militer.

C. Militer atau anggota Angkatan perang


Kata militer berasal dari Miles dari bahasa Yunani yang berarti seseorang yang
dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau peperangan
terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan negara. Dalam perundang-undangan
kita diperbedakan dua macam militer yaitu militer sukarela dan militer wajib.

D. Yang dipersamakan dengan militer


Sebenarnya mereka itu bukan yang berstatus militer dalam arti yang sesungguhnya, atau
tidak lagi berstatus yang sesungguhnya. Hanya dalam rangka penerapan hukum pidana
militer mereka dipersamakan titik dipersembahkannya seseorang dengan militer adanya
beberapa penyebab yaitu:
a. Militer wajib di luar dinas
b. Milsuk yang nonaktif dari dinas militer
c. Bekas militer
d. Bekas militer yang dipecat (diberhentikan dengan tidak hormat)
e. Anggota-anggota cadangan nasional yang dipandang dalam dinas militer
f. Seseorang yang menurut kenyataannya bekerja pada angkatan perang
g. Bekas atau pensiunan militer yang dipekerjakan lagi dalam dinas militer
h. Komisaris komisaris wajib militer
i. Pensiunan perwira anggota Peradilan Militer yang berpakaian seragam, setiap kali
mereka melakukan dinas sedemikian itu
j. Seseorang yang memakai pangkat tituler
k. Militer asing

E. Anggota dari suatu organisasi yang dipersamakan dengan Angkatan perang


Ada dua kali tindakan penyamaan yaitu pertama badan atau organisasi yang bersangkutan
dipersamakan atau dipandang sama dengan suatu satuan atau bagian dari angkatan darat
angkatan laut, atau Angkatan Udara. Kemudian oleh KUHPM pasal 49 anggota dari
badan atau organisasi tersebut dipersamakan dengan militer. Penyamaan atau
pengambilan atau pemakaian suatu badan atau organisasi dengan satuan bagian TNI
dapat dilakukan berdasarkan suatu undang-undang tertentu atau berdasarkan Pasal 37
atau 42 UUKB.

F. Non-Militer
Pada prinsipnya seseorang non militer adalah justisia bel dari badan-badan peradilan
umum dan hanya akan dihadapkan kemana persidangan pada pengadilan-pengadilan
umum. Non militer yang dinyatakan tunduk kepada kekuasaan Badan Peradilan Militer di
dalam perundang-undangan, maupun yang perlu ditundukkan adalah sebagai berikut:
a. Klausula “atas ketetapan men hankam dengan persetujuan men kehakiman”
b. Anggota-anggota sipil dan militer dalam perkara koneksitas
c. Subjek mahmillub
d. Orang-orang yang dalam hubungan dinas berada pada suatu Angkatan Perang
yang disiapsiagakan untuk perang, atau menyertainya mengikutinya dengan
persetujuan penguasa militer.
e. Setiap orang dalam keadaan perang
f. Pegawai Sipil dari angkatan bersenjata
g. Orang-orang yang dilindungi
h. Badan-badan hukum
BAB V
SISTEMATIKA KUHPM
A. Perbandingan Sistematika KUHP dan KUHPM
Sistematika yang di gunakan dalam KUHPM pada dasarnya identik dengan sistematika
yang di gunakan dalam KUHP, yaitu dimulai dengan ketentuan-ketentuan umum,
kemudian di ikuti dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana. Perbedaannya adalah jika
pada KUHP, tindak pidana di bagi dalam 2 buku yang terdiri dari kejahatan-kejahatan
dan pelanggaran-pelanggaran, dalam KUHPM hanya terdiri dari satu buku saja yang
memuat kejahatan-kejahatan. Buku 1 KUHP terdiri dari 9 bab, sedangkan KUHPM
hanya 7 bab, urutan-urutan judul bab-bab dalam buku kesatu KUHP di ikuti oleh
KUHPM kecuali judul "percobaan" dan "penyertaan" tidak ada. Selain dari pada itu
KUHPM mendahului Bab 1 di adakan suatu judul "PENDAHULUAN" yang terdiri dari
3 pasal. Isi dari bab-bab buku 1 KUHPM, pada umumnya berisikan penambahan,
pengurangan atau penyimpangan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada KUHP.
Tidak hanya bab "PERCOBAAN" dan bab "PENYERTAAN" dalam KUHPM, berarti
bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan dal KUHP diikuti, kecuali secara khusus
dalam pasal-pasal tindak pidana KUHPM di tentukan lain.
B. Isi KUHPM
a. Buku 1 KUHPM terdiri dari satu bab pendahuluan dan 7 bab yang kesemuanya
termasuk ketentuan-ketentuan umum. Bab-bab tersebut antara lain:
 BAB PENDAHULUAN : penerapan hukum pidana umum (ps. 1-3);
 BAB 1 : Batas-batas berlakunya ketentuan pidana dalam perundang-undangan
(ps. 4 dan 5);
 BAB 2 : Pidana (ps. 6 sd. 31);
 BAB 3 : Peniadaan, pengurangan dan penambahan pidana (ps. 32 sd. 38);
 BAB 4 : Perbarengan tindak pidana (ps. 39);
 BAB 5 : Pidana hanya dapat di tuntut karena pengaduan (ps. 40);
 BAB 6 : Hapusnya hak menuntut pidana dan menjalankan pidana (ps. 41 sd.
44);
 BAB 7 : Pengertian beberapa istilah dalam kitab undang-undang ini,
perluasan penerapan beberapa ketentuan (ps. 45 sd. 63)
b. Buku 2 terdiri dari 7 bab sebagai berikut:
 BAB 1 : Kejahatan terhadap keamanan negara (ps. 64 sd. 72);
 BAB 2 : Kejahatan dalam melaksanakan kewajiban perang, tanpa bermaksud
untuk memberikan bantuan kepada musuh atau merugikan negara untuk
kepentingan musuh (ps. 73 sd. 84)
 BAB 3 : Kejahatan yang merupakan suatu cara bagi seseorang militer untuk
menarik diri dari pelaksanaan kewajiban-kewajiban dinas (ps. 85 sd. 96);
 BAB 4 : Kejahatan terhadap pengabdian (ps. 97 sd. 117);
 BAB 5 : Kejahatan tentang pelbagau keharusan-keharusan dinas (ps. 118 sd.
139);
 BAB 6 : Pencurian dan penadahan (ps. 140 sd. 146);
 BAB 7 : Perusakan, pembinasaan atau penghilangan barang-barang keperluan
Angkatan Perang (ps. 147 sd. 149)
 KETENTUAN PENUTUP UMUM (ps. 150)
BAB VI
PRINSIP-PRINSIP UMUM
Prinsip-prinsip umum dalam KUHPM adalah sebagai berikut:
A. Kesatuan-hukum bagi militer:
KUHPM berlaku untu seluruh militer. Berarti baik mengenai norma-norma-nya maupun
mengenai sanksinya, diadakan penyatuan. Hal ini tidak berarti bahwa pembuat undang-undang
tidak menginsyafi perbedaan kematraan dari masing-masing Angkatan, tetapi justru
pertimbangan utama didasarkan pada suatu pendapat umum yang berbunyi, bahwa kesatuan
hukum lebih memberi pemuasan terhadap kesadaran-hukum dan lebih dapat mencegah kesulitan-
kesulitan dalam praktek (Eenheid van recht beviedigt het rechtsgevoel en voorkomt vele
moeilijkheden der practijk).
B. Kodifikasi tersendiri.
Ada sementara pendapat yang menghendaki supaya KUHPM disatukan saja dalam KUHP.
Alasan-alasan yang dikemukakan antara lain adalah:
a. Bahwa hukum pidana umum berlaku juga kepada setiap militer. Sekiranya sanksi-sanksi
pidana yang dicantumkan dalam pasal-pasal KUIIP dirasakan kurang berat, dapat
diperberat dengan penerapan pasal 52 KUHP;
b. Mengenai tindak pidana militer murni dapat diadakan tersendiri dalam satu bab pada
buku kedua KUHP seperti "Kejahatan jabatan" misalnya;
c. Mengenai tindakan-tindakan yang lebih merupakan pelanggaran tata kehidupan militer
dapat dimasukkan dalam Hukum Disiplin Militer.

C. Hukum acara pidana dan peradilan militer yang tersendiri.


Suatu kekhususan dalam penyelesaian suatu perkara yang dilakuk oleh seseorang militer ialah
bahwa peranan komandan dari yang bersangkut tidak boleh dikesampingkan, bahkan ada kalanya
(misalnya dalam daen pertempuran) lebih diutamakan dari pada peranan para petugas pené
hukum/keadilan (polisi militer, oditur militer, hakim militer). Sejauh man kah peranan para
komandan tersebut? Sebagai suatu negara yang menjunju tinggi hukum, tanpa mengabaikan salah
satu kepentingan sudah sewajarn apabila diadakan keseimbangan antara asas "kesatuan
Komando" (Unity Command) dan "kesatuan penuntutan" (de een en ondeelbaarheid van parket).
Selain daripamiliter, selama ia belum dipecat adalah merupakan pendidikan/pembinaan.
Maksudnya, setelah mereka selesai menjalani pidananya, mereka harus dapat menjadi militer
yang baik kembali dalam kesatuannya. Jika tidak demikian, pada saat pemidanaan itu sebaiknya
ia dipecat saja, yang berarti sejak pemecatan itu ia sudah bukan militer lagi.

D. Yurisdiksi tersendiri
Yurisdiksi badan-badan peradilan militer tidak sama dengan yurisdiksi peradilan umum. Hal ini
terutama adalah sebagai akibat dari pembagian daerah komando militer, di mana para pemegang
komando tersebut merupa kan perwira-penyerah-perkara dari sesuatu perkara kepada mahkamah
militer. Namun dalam keadaan darurat, jika badan peradilan umum sudah tidak dapat berfungsi
lagi, seharusnya dimungkinkan untuk ditampung oleh peradilan militer untuk mengadili para
yustisiabel yang seharusnya tunduk kepada kekuasaan peradilan umum. Pembedaan yurisdiksi
badan-badan peradilan militer juga sebagai akibat/konsekuensi dari penitikberatan pada asas
personalitas mengenai berlakunya ketentuan pidana untuk militer.
E. kemungkinan penyelesaian suatu tindak pidana secara hukum disiplin.
Perbedaan pokok antara tindak pidana dan pelanggaran disiplin ialah bahwa suatu tindak pidana
pada umumnya dirasakan sebagai mengganggu keseimbangan masyarakat, ketergangguan mana
hanya dapat dipulihkan dengan penjatuhan pidana sebagai alat terakhir/senjata pamungkas
(ult.mum remedium) kepada petindak. Sedangkan pelanggaran disiplin lebih merupakan
perbuatan yang (tidak pantas, yang dapat "diatasi" dengan cara pemberian tegoran atau hukuman
yang lebih bersifat mendidik. Dapat juga disebutkan sebagai perbedaannya: berat/ringannya sifat
suatu tindakan atau akibat- akibatnya. Akan tetapi dalam hal atau keadaan tertentu sering
ditemukan kesulitan-kesulitan untuk memperbedakan sifat-sifat tersebut

F. Penerapan ketentuan-ketentuan umum.


Asas-asas dan ajaran-ajaran umum yang tidak ditentukan dalam K tetapi berlaku pada Hukum
Pidana Umum, berlaku juga bagi Hukum Pidana Militer. Dengan demikian:
a. Asas-asas umum seperti:
 Actus' non facit reum nisi mens sit rea atau An act dom constitute itself guilt unless
the mind is guilty atau geen zonder schuld;
 In dubio pro reo,
b. Ajaran-ajaran seperti:
 kesalahan (schuld-lees);
 bersifat melawan hukum (wederrechtelijk);
 sebab-akibat (causaliteits-leer)
 cara-cara peng-interprctasian dan lain-lain, berlaku pula bagi Hukum Pidana Militer,
sepanjang tidak ditentukan i cara umum atau secara khusus.

G. Tidak mengenal pemidanaan kolektif.


Hukum Pidana Militer tidak mengenal pemidanaan secara walaupun beberapa tindak pidana
militer hanya mungkin terjadi apa atau lebih petindaknya. Misalnya pemberontakan militer,
pengacaan dan lain sebagainya. Dapat pula terjadi suatu regu
BAB VII

BERLAKUNYA HUKUM PIDANA UMUM BAGI MILITER

A. Peranan Ketentuan-Ketentuan Hukum Pidana Pada KUHPM.

Pasal 1

(Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Untuk penerapan kitab undang-undang ini berlaku ketentuan-
ketentuan hukum pidana umum, termasuk bab kesembilan dari buku pertama kitab undang-undang
hukum pidana, kecuali ada penyimpanan-penyimpangan yang di tetapkan dengan undang-ndang.
Sebenarnya ketentuan pada induk kalimat yang berbunyi "untuk penerapan undang-undang ini berlaku
ketentuan-ketentuan hukum pidana umum" dan hanya dilanjutkan dengan anak kalimat. Kecuali
penyimpangan-penyimpangan yang di tetapkan dengan undang-undang, maka bab lX buku 1 KUHP
sudah dengan sendirinya tercakup.

B. Penerapan Tindak Pidana di Luar KUHPM Kepada Justisiabel Peradilan Militer

Pasal 2

(Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947). Terhadap tindak pidana yang tidak tercantum dalam kitab
undang-undang ini, yang di lakukan oleh orang yang tunduk pada kekuasaan badan-badan peradilan
militer, di terapkan hukum pidana umum, kecuali ada penyimpangan-penyimpangan yang di tetapkan
dengan undang-undang. Petindak-petindak dari suatu tindak pidana umum (yang ada di dalam KUHPM)
adalah umum termasuk di dalamnya seseorang militer. Petindak seorang militer, sudah pasti ia termasuk
justisiabel dari dari badan-badan peradilan militer, sedangkan jika ia seorang nonmiliter, pada dasarnya
merupakan justisiabel dari badan-badan peradilan umum,tetapi mungkin juga dari badan-badan peradilan
militer. Sebenarnya ketentuan ini sudah disimpulkan dari bunyi Pasal 1 KUHPM. Kiranya ketentuan
penting dari Pasal 2 justru terdapat pada anak kalimatnya yang berbunyi "kecuali ada penyimpangan-
penyimpangan yang di tetapkan dengan undang-undang". Kalimat ini menegaskan bahwa baik
penyimpangan-penyimpangan yang terdapat pada hukum pidana umum maupun dalam hukum pidana
militer harus di perhitungan terhadap subjek yang di maksud.

Baik atas dasar Pasal 1 atau Pasal 2 KUHPM,kepada seseorang militer dapat juga di jatuhi pidana denda
sebagaimana diancamkan dalam Pasal 10 KUHP. Han ya perluh di perhatikan adalah kemungkinan atau
kebolehan penyelesaianya secara hukum disiplin militer (jadi di luar peradilan) jika sifat tindak pidana
tersebut demikian ringan atau lebih bersifat merugikan kepentingan disiplin militer dari pada kepentingan
umum.

C. Perahu Angkatan Perang

Pasal 3

(Diubah dengan UU No. 39 tahun 1947) Ketentuan-ketentuan mengedepankan tindakan-tindakan yang


tercantum dalam kitab undang-undang hukum pidana, yang di lakukan di atas kapal (schip) Indonesia
atau yang berhubungan dengan itu, diterapkan juga bagi tindakan-tindakan yang dilakukan di atas perahu
(vaartuig) angkatan perang atau yang berhubungan dengan itu, kecuali isi Ketentuan-ketentuan tersebut,
meniadakan penerapan ini, atau tindakan-tindakan tersebut termasuk dalam suatu ketentuan pidana yang
lebih berat. Ketentuan pasal 3 KUHPM umumnya merupakan perluasan dari ketentuan yang tercantum
dalam pasal-pasal KUHP, sepanjang menggunakan istilah kapal Indonesia, istilah yang digunakan Pasal 3
KUHP adalah perahu Indonesia yang mempunyai arti yang lebih luas dari istilah kapal.

Maka untuk membahas Pasal 3 KUHPM ini berdasarkan jalan fikiran yang bersamaan digunakan
penafsiran secara analogi tersebut. Jika fikiran itu antara lain adalah sebagai berikut:

a. Sekiranya pada zamannya pembuat undang-undang sudah mengenal adanya pesawat terbang,
sudah barang tentu "tempat" ini pun akan di masukan dalam ketentuan mengenai tempat berlaku
hukum pidana dalam rangka atas teritorial.
b. Sejalan dengan uraian di atas, bahwa perahu adalah suatu pengangkut di mana di sediakan suatu
"tempat", untuk orang-orang yang di angkut, pesawat udara/terbang adalah juga demikian, hanya
berdasarkan mengenai "jalan" yang digunakan saja.
c. Bahwa Pasal 3 KUHPM sudah di ubah dengan UU No. 39 tahun 1947. Tetapkan istilah yang
digunakan adalah perahu angkatan perang, kiranya pembuat undang-undang pada waktu itu
bukanlah tidak mengenal adanya pesawat udara Indonesia tetapi merasa cukup hanya mengaitkan
Pasal 3 KUHPM dengan KUHP pada umumnya (dalam hal Pasal 3 KUHP)
d. Khusus mengenai Pasal 3 KUHPM di hubungkan dengan Pasal 57 KUHPM terasa ada
keganjilan, yaitu mengapa pada Pasal 57 sudah diadakan ayat tambahkan yang mencantumkan
pengertian pesawat udara perahu, sedangkan dalam Pasal 3 tidak diadakan penambahan? Kiranya
hal ini bukan suatu kekhilafan, melainkan pembuat undang-undang tersebut pada ketika itu sudah
menafsirkan Pasal 3 KUHP sebagai diperluas pengertian dengan pesawat udara. Karena
perumusan pada KUHPM cukup hanya disesuaikan saja dalam pengkaitannya dengan Pasal 3
KUHP.
e. Sekedar mengenai apakah boleh atau tidak menggunakan penafsiran secara analogi, penulis
cenderung mengikuti pendapat yang membolehkan penggunaan analogi itu asalkan saja secara
terbatas selama dengan kebutuhan akan hukum.

Menurut MR. W.P.J POMPE. Bahwa Pasal 1 KUHP melarang penggunaan analogi terhadap dapat di
pidananya suatu tindakan sedangkan Pasal 3 bukan mempersoalkan pemidanaan, melainkan menentukan
tentang dapat dituntutnya suatu tindak pidana dihubungkan dengan tempat kejadian.

Anda mungkin juga menyukai