BAB I
PENDAHULUAN
1. Umum.
a. Militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu negara yang diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipersiapkan dan dipersenjatai
untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer negara lain
maupun ancaman bersenjata lainnya.
a. Maksud. Naskah Sekolah ini disusun sebagai pedoman bagi Gadik dan
Pasis dalam proses belajar mengajar Pendidikan Perwira TNI AD.
4. Referensi.
5. Pengertian.
a. Hukum pidana militer (HPM) adalah bagian dari hukum positif yang berlaku
bagi yurisdiksi peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-
peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.
d. Hakim militer, hakim militer tinggi, hakim militer utama yang selanjutnya
disebut hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan
kehakiman pada pengadilan.
7. Alasan berlakunya HPM. Sebagai warga negara setiap anggota militer atau
prajurit TNI tunduk kepada hukum pidana umum namun disamping itu juga harus tunduk
pada hukum pidana militer. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kenapa harus
ada HPM kalau sudah ada hukum pidana umum. Berlakunya HPM yang khusus bagi militer
disebabkan beberapa alasan sebagai berikut:
d. Ancaman pidana yang ada di hukum pidana umum dalam kejahatan tertentu
terlalu ringan bagi TNI; dan
c. Hukum pidana militer perlu ditegakkan melalui acara pidana dan peradlian
militer tersendiri. Prinsip ini mempunyai makna bahwa dalam rangka acara
persidangan tindak pidana militer, perlu adanya pertimbangan militer khusus dari
seorang Komandan terkait dengan pola pembinaan bagi pelaku kejahatan militer
yang dikedepankan oleh hukum pidana militer, misalnya sanksi yang dijatuhkan oleh
hakim persidangan militer selalu mengandung unsur pembinaan, dan terhadap
terhukumpun bisa dilanjutkan kariernya setelah menjalani masa peninjauan.
2) Ajaran-ajaran seperti:
9. Tindak pidana militer. Tindak pidana militer adalah merupakan tindak pidana
khusus (delicta propia), yang pada umumnya diatur dalam KUHPM dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu:
a. Tindak pidana militer murni. Tindak pidana militer murni adalah tindakan-
tindakan terlarang atau diharuskan, yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar
oleh seorang militer, karena keadaanya yang bersifat khusus atau karena suatu
kepentingan militer menghendaki sebagai tindak pidana. Contoh tindak pidana militer
murni antara lain adalah:
10. Subyek tindak pidana militer. Subyek tindak pidana militer adalah orang-orang
yang tunduk atau ditundukkan pada kekuasaan badan peradilan militer atau dikenal dengan
istilah yustisiabel badan peradilan militer. Sedangkan kekuasaan memeriksa atau mengadili
dari badan peradilan dikenal dengan istilah yurisdiksi. Ketentuan mengenai yurisdiksi
peradilan militer yang ada hubungannya dengan subjek tindak pidana (kejahatan dan
pelanggaran) adalah sebagai berikut:
2) Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang dengan undang-
undang atau dengan peraturan pemerintah ditetapkan sama denagn Angkatan
Perang Republik Indonesia.
3) Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau
jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai anggota Angkatan Perang
Republik Indonesia oleh atau berdasarkan undang-undang.
a) Prajurit;
k) militer asing.
Dilihat dari kemandirian peradilan militer dan hukum pidana militer, seseorang dapat
merupakan (ditentukan) sebagai yustisiabel peradilan militer, tetapi tidak selalu dapat
menjadi subjek dari suatu tindak pidana militer. Sebaliknya seseorang yang dapat
melakukan tindak pidana militer selalu merupakan yustisiabel peradilan militer.
11. Subyek tindak pidana pada perkara koneksitas. Pengertian Koneksitas menurut
arti kata berasal dari bahasa latin Connexio yang berarti adanya suatu hubungan dalam
bertindak, yang penyelesaiannya dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Dalam arti hukum yaitu perkara pidana yang di periksa oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum terhadap mereka yang bersama-sama melakukan tindak
pidana yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer,
kecuali jika kerugian yang ditimbulkan oleh delik tersebut terletak pada kepentingan
militer, maka segera diadili oleh peradilan militer.
Jadi yang merupakan subyek tindak pidana pada perkara koneksitas adalah orang sipil dan
prajurit yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Dalam perkara koneksitas
cara bekerja tim penyidik disesuaikan dengan kewenangan yang ada pada masing-masing
unsur tim. Bila dilihat dari segi wewenang masing-masing unsur tim, maka :
3) Hakim Anggota yang berasal dari lingkungan Peradilan Umum diberi pangkat
militer “tituler”.
Yang mengusulkan Hakim Anggota adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
bersama dengan Menteri Pertahanan. Susunan ini juga berlaku pada susunan Majelis
Hakim pada tingkat Banding.
12. Pidana dalam HPM. Dalam hukum pidana militer telah ditentukan jenis-jenis
pidana/hukuman yang harus diterapkan kepada setiap anggota militer yang melakukan
pelanggaran hukum pidana/tindak pidana. Pidana atau hukuman tersebut merupakan suatu
bentuk sanksi sebagai wujud rasa keadilan terhadap yang bersalah. Jenis-jenis pidana atau
hukuman dalam KUHPM sebagaimana diatur dalam pasal 6 KUHPM, adalah sebagai
berikut:
3) pidana kurungan adalah pidana kurungan paling sedikit satu hari dan
paling lama satu tahun, dalam hal diperberat pidana kurungan dapat ditambah
menjadi satu tahun empat bulan; dan
b. Pidana tambahan.
2) penurunan pangkat;
BAB III
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA
13. Umum. Tidak dapat disangkal bahwa seorang militer harus merupakan warga
negara yang baik, bahkan seharusnya yang terbaik. Dalam pelaksanaan tugas yang
dibebankan ke pundaknya, maka selain sebagai warga negara yang baik ia harus
mempunyai kemampuan dan sifat-sifat ksatria, patriotik, tabah, menjunjung tinggi sikap
keprajuritan, menguasai tugas, sederhana dalam penampilan, dan peduli untuk memelihara
harta negara yang dipercayakan kepadanya.
4)
Membantu musuh dengan mata-mata, penculikan dan sebagainya.
f) Melakukan pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin kita yang
disegani musuh.
b. Ancaman pidananya:
1) pidana penjara seumur hidup;
a. Anggota yang bersenjata yang langsung atau tidak langsung dapat melakukan
perlawanan bersenjata,
b. Anggota yang tidak bersenjata yang turut serta dalam pemberontakan dengan
tujuan sama yaitu mengadakan perlawanan bersenjata.
Sudah barang tentu dalam pemeriksaan dan penentuan pidana kepada mereka
masing-masing diperhitungkan aktifitas masing-masing.
16. Pemata-mataan. Pemata-mataan ini diatur dalam Pasal 67 KUHPM. Ketentuan ini
ada persamaan dengan Pasal 124 (2) jo.Pasal 113 KUHP yaitu subjeknya adalah Barang
siapa, yang berarti berlaku tidak hanya kepada militer saja, tetapi juga bagi orang-orang
yang tunduk kepada kekuasaan peradilan militer.
Seseorang militer musuh beruniform lengkap yang masuk ke daerah kita dan
melakukan pemata-mataan, apabila ia tertangkap, tidak dapat diajukan ke Pengadilan
Umum atau Pengadilan Militer, melainkan ia harus diperlakukan sebagai tawanan perang.
Sedangkan militer seorang musuh yang dalam hal tersebut tidak beruniform atau orang-
orang sipil musuh dapat diajukan ke Pengadilan Militer.
14
17. Tawanan Perang Yang Dibebaskan Melarikan Diri. Ketentuan ini diatur dalam
Pasal 68 KUHPM, yang sangat erat hubungannya dengan Hukum Perang (Internasional)
mengenai perlakukan terhadap tawanan perang. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa seorang tawanan dapat dibebaskan dari penawanannya dengan suatu perjanjian
atau persyaratan. Jika dipersyaratkan tidak boleh meninggalkan suatu daerah yang
ditentukan, lalu tawanan tersebut meninggalkan daerah itu, maka kepadanya dapat
diterapkan Pasal 68 KUHPM ini. Dalam hal ini ia merupakan justisiable Peradilan Militer.
18. Militer Interniran. Militer interniran adalah dalam hal terjadi suatu perang dimana
Indonesia tidak terlibat, maka militer dari salah satu Negara yang berperang berada di
wilayah Indonesia. Apabila militer interniran tersebut melanggar suatu janji atau persyaratan
yang diberikan atau mengadakan permufakatan jahat, maka kepadanya dapat diterapkan
Pasal 69 KUHPM.
Pasal 69 KUHPM ini sangat erat hubungannya dengan Konvensi Den Haag dimana
ditentukan bahwa suatu Negara netral tidak boleh memihak dan tidak boleh membiarkan
negaranya dipakai oleh salah satu fihak yang berperang untuk kepentingan operasi militer
mereka.
19. Perbuatan Yang Dapat Mendatangkan Bahaya Timbulnya Perang. Maksud dari
ketentuan Pasal 70 KUHPM ini adalah supaya jangan sampai terjadi suatu peperangan
antara Negara kita dengan suatu Negara lain, atau pemutusan hubungan baik antara
Negara kita dengan salah satu Negara sahabat, sebagai akibat dari tingkah laku seseorang
militer kita yang sering menyakiti hati fihak lain dengan mengejek terhadap sesuatu yang
sangat dihormati fihak lain yang mungkin menjurus ke kancah peperangan.
BAB IV
KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN
21. Umum. Angkatan perang adalah suatu organisasi yang secara khusus diadakan dan
dibiayai yang merupakan alat pengabdian bagi kepentingan-kepentingan nusa dan bangsa.
Perwujudan pengabdian dalam kehidupan militer pada tingkat permulaan ditandai dengan
penghormatan, ketaatan dan sikap dari seseorang bawahan terhadap seseorang atasan.
Sudah barang tentu penghormatan, ketaatan dan sikap itu bukanlah ditujukan kepada
pribadi-pribadi seseorang terlepas dari predikat atasan, melainkan justru predikat atasan
itulah yang lebih diutamakan.
22. Menghina Terhadap Atasan. Yang dimaksud menghina, ialah menyerang atau
merusak kehormatan atau nama baik seseorang. Ukuran mengenai rusaknya kehormatan
seseorang itu tidak didasarkan kepada perasaan seseorang yang dihina, melainkan kepada
nilai-nilai kesusilaan manusia pada umumnya secara wajar. Demikian juga ukuran mengenai
rusaknya nama baik seseorang harus memedomani kewajaran pada umunya. Perbuatan
menghina atau mengancam dengan perbuatan jahat itu harus terjadi di tempat umum. Tidak
menjadi persoalan atasan yang dihina itu berada pada tempat tersebut atau tidak. Sudah
barang tentu bahwa isi dari ucapan-ucapan (lisan), tulisan atau lukisan itu harus merupakan
penghinaan terhadap atasan yang bersangkutan. Ketentuan mengenai penghinaan
terhadap atasan diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 100 KUHPM.
23. Menantang Untuk Berkelahi (Duel). Rumusan ini terdapat dalam Pasal 101
KUHPM. Penantangan itu sendiri pada kenyataannya bila dihubungkan dengan kejahatan
pengabdian adalah merupakan pengingkaran terhadap pengabdian, selain daripada dapat
menurunkan martabat sang atasan tersebut. Menantang berkelahi tehadap atasan bukan
merupakan kejahatan, tetapi akan dapat merusak disiplin militer, walaupun mungkin
tindakan itu dapat dihukum secara Hukum Disiplin Militer, akan tetapi tentunya akan
terdapat ketidakseimbangan peraturan, apabila seseorang bawahan yang menyindir atasan
saja sudah merupakan kejahatan, sedangkan tindakan penantangan tersebut bukan
merupakan suatu kejahatan.
c. Materi perintah harus termasuk dalam lingkungan kewenangan dari atasan yang
bersangkutan dan mempunyai kewenangan memberikan perintah sedemikian itu.
Sedangkan melawan adalah suatu perbuatan sebagai reaksi terhadap tindakan dari
seseorang atasan, misalnya : seseorang atasan menangkap seseorang bawahan yang
diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini reaksi bawahan tersebut dapat
berupa perlawanan dengan kekerasan, yaitu berusaha melepaskan diri dengan memukul,
meronta-ronta dan lain sebagainya.
Melawan dengan kekerasan pada dasarnya berarti melakukan suatu reaksi atau
tindakan orang lain (atasan). Reaksi tersebut dapat berwujud memukul atasan agar ia
terlepas dari pegangannya. Melawan dengan ancaman kekerasan dapat terjadi dengan
membidikkan senjata api, menghunus senjata tajam/pedang, melempar dengan sesuatu
benda, menendang dan lain sebagainya akan tetapi belum mengenai atasan tersebut.
26. Pengacauan Militer (Militer Oproer). Dapat dikatakan kejahatan ini merupakan
perbuatan kolektif dari para pelaku yang terdiri minimal 5 (lima) orang militer. Apabila
petindaknya terdiri dari 4 (empat) orang militer dan 1 (satu) orang non militer, maka Pasal
113 sampai dengan 115 KUHPM tidak dapat diterapkan kepada mereka, karena tidak
memenuhi keadaan unsur subjek. Tetapi apabila kelima petindaknya militer maka pasal-
pasal tersebut dapat diterapkan.
Namun demikian pada Hukum Pidana Militer tidak dikenal pemidanaan secara
kolektif. Para petindak tersebut akan dipertanggungjawabkan satu demi satu sesuai dengan
tindakan yang mereka lakukan masing-masing. Tujuan berkelompok jahat itu ditujukan
terhadap pengabdian, maka tiada lain bahwa kejahatan ini harus ditujukan kepada atasan
dalam arti luas.
17
Artinya tidak saja kepada seseorang atasan yang berstatus militer saja, akan tetapi juga
kepada penguasa. Jadi sekiranya suatu pasukan diperbantukan kepada penguasa sipil
(gubernur) dan kejahatan ini ditujukan kepada gubernur tersebut.
BAB V
KEJAHATAN TERHADAP KEHARUSAN DINAS DAN MENARIK DIRI DARI
PELAKSANAAN KEWAJIBAN DINAS
Tindakan penjaga yang membuat atau yang membiarkan dirinya dalam suatu
keadaan dimana dia tidak mampu menjalankan tugasnya, misalnya dengan sengaja
meminum/memakan supaya perutnya mulas, panas dingin atau mabuk, termasuk terlena
sehingga tertidur, sehingga ia tidak mampu menjalankan tugasnya, maka dapat diterapkan
Pasal 118 KUHPM.
Cara-cara menarik diri tersebut di tentukan secara limitative, yaitu dengan sembunyi-
sembunyi, akal-akalan/ akal bulus, rangkaian karangan bohong, membuat mabuk diri
sendiri, membuat cacat diri sendiri dan lain-lain.
Ancaman pidana bagi pasal 119 KUHPM ini relative cukup berat, karena menyangkut
kekesatriaan yang harus dimiliki seorang prajurit dan tidak pantas bagi seorang prajurit
mempunyai jiwa pengecut.
Yang dimaksud dengan “dengan cara lain menyakiti” adalah dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung misalnya menubrukkan kepada bagian
badan yang rawan dari objek, menendang, melempar bawahan dan sebagainya. Secara
tidak langsung, misalnya dengan mendorong bawahan sehingga terjatuh akibatnya
menderita sakit karena benturan suatu benda keras.
32. Menganjurkan Bawahan Melakukan Kejahatan atau Jadi Saksi Suatu Kejahatan.
Pasal 132 KUHPM ini merumuskan tindakan larangan dan tindakan keharusan.
Tindakan Larangan ialah mengijinkan seseorang bawahan melakukan kejahatan dan
tindakan keharusan ialah tidak mencegah seorang bawahan melakukan kejahatan yang
disaksikannya.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap atasan diharuskan mengamati tingkah
laku seorang bawahan dan mencegah apabila bawahan itu melakukan suatu kejahatan.
19
Dalam hubungannya dengan pasal ini berarti bahwa apabila seseorang atasan melanggar
pasal ini, tidak hanya sekedar mengijinkan atau tidak mencegah seseorang bawahan
melakukan suatu kejahatan, melainkan sekaligus mengabaikan suatu tugas kesatriaan yang
dipercayakan kepadanya.
a) Militer yang pergi dengan maksud untuk menarik diri untuk selamanya
dari kewajiban-kewajiban dinasnya.
d) Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada
suatu Negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.
BAB VII
PENUTUP
35. Penutup. Demikian Naskah Sekolah ini disusun sebagai bahan ajaran untuk
pedoman bagi tenaga pendidik dan Pasis dalam proses belajar mengajar materi pelajaran
Hukum Pidana Militer pada Pendidikan Perwira TNI AD.
RAHASIA
RAHASIA