Anda di halaman 1dari 21

RAHASIA

MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT Lampiran II Keputusan Dirkumad


DIREKTORAT HUKUM Nomor Kep/ 48 / XII /2018
Tanggal 21 Desember 2018

HUKUM PIDANA MILITER

BAB I
PENDAHULUAN

1. Umum.

a. Militer adalah kekuatan angkatan perang dari suatu negara yang diatur
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dipersiapkan dan dipersenjatai
untuk tugas-tugas pertahanan negara guna menghadapi ancaman militer negara lain
maupun ancaman bersenjata lainnya.

b. Setiap anggota militer dalam kehidupannya memiliki dua kedudukan sekaligus,


yaitu sebagai warga negara dan sebagai prajurit. Sebagai warga negara, anggota
militer tunduk kepada semua aturan hukum yang berlaku secara umum, termasuk
hukum pidana. Disisi lain, sebagai prajurit, anggota militer juga terikat kepada hukum-
hukum militer. Di samping hukum disiplin militer yang mutlak harus ditegakkan dalam
kehidupan militer, salah satu hukum militer yang juga mutlak dipahami setiap anggota
militer adalah hukum pidana militer (HPM). Keberadaan HPM menjadi unsur yang
sangat penting dalam menegakkan dan memelihara kehidupan militer, sehingga
setiap tugas-tugas yang diwajibkan dapat dilaksanakan dengan sempurna.

c. Salah satu upaya dalam rangka penegakan sendi-sendi kehidupan militer


adalah dengan meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dibidang hukum,
khususnya HPM terhadap setiap prajurit melalui lembaga pendidikan, oleh karena itu,
Pasis Secapaad yang dipersiapkan menjadi seorang Perwira memiliki kewajiban
untuk mengerti HPM dalam rangka mendukung tugas di satuan.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Naskah Sekolah ini disusun sebagai pedoman bagi Gadik dan
Pasis dalam proses belajar mengajar Pendidikan Perwira TNI AD.

b. Tujuan. Agar Pasis Pendidikan Perwira TNI AD mengerti tentang Hukum


Pidana Militer sebagai bekal dalam pelaksanaan tugas di satuan.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut.


a. Bab I Pendahuluan.
b. Bab II Ketentuan Umum KUHPM.
c. Bab III Kejahatan Terhadap Keamanan Negara.
d. Bab IV Kejahatan Terhadap Pengabdian.
e. Bab V Kejahatan Terhadap Keharusan Dinas dan menarik diri dari
pelaksanaan kewajiban dinas.
RAHASIA
2
f. Bab VI Penutup.

4. Referensi.

a. Hukum Pidana Militer Di Indonesia S.R. Sianturi, S.H. Penerbit : Babinkum


TNI, 2010.
b. Hukum Pidana I, Prof. Sudarto, S.H. Penerbit : Yayasan Sudarto d/a Fakultas
Hukum Undip Semarang, Cetakan II Tahun 1990.
c. Undang-Undang No. 39 Tahun 1947 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana Militer (KUHPM).

5. Pengertian.

a. Hukum pidana militer (HPM) adalah bagian dari hukum positif yang berlaku
bagi yurisdiksi peradilan militer, yang menentukan dasar-dasar dan peraturan-
peraturan tentang tindakan-tindakan yang merupakan larangan dan keharusan serta
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.

b. Hukum pidana umum (HPU) adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan


yang menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana,
serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang
melakukannya.

c. Pengadilan Militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman


di lingkungan peradilan militer yang meliputi pengadilan militer, pengadilan militer
tinggi, pengadilan militer utama dan pengadilan militer pertempuran.

d. Hakim militer, hakim militer tinggi, hakim militer utama yang selanjutnya
disebut hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan
kehakiman pada pengadilan.

e. Perkara koneksitas adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh


mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer,
diperiksa dan di adili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika
menurut keputusan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman
perkara itu harus diperiksa dan di adili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
militer.
3
BAB II
KETENTUAN UMUM

6. Umum. Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa setiap anggota militer dalam


kehidupannya memiliki dua kedudukan sekaligus, yaitu sebagai warga negara dan sebagai
prajurit. Sebagai warga negara, anggota militer tunduk kepada semua aturan hukum yang
berlaku secara umum, termasuk hukum pidana, sedangkan sebagai anggota militer secara
khusus berlaku semua ketentuan dan hukum militer. Berkenaan dengan hal tersebut, maka
perlu kiranya sebelum membahas HPM kita mengetahui terlebih dahulu alasan dan prinsip
berlakunya HPM.

7. Alasan berlakunya HPM. Sebagai warga negara setiap anggota militer atau
prajurit TNI tunduk kepada hukum pidana umum namun disamping itu juga harus tunduk
pada hukum pidana militer. Hal tersebut tentunya menimbulkan pertanyaan kenapa harus
ada HPM kalau sudah ada hukum pidana umum. Berlakunya HPM yang khusus bagi militer
disebabkan beberapa alasan sebagai berikut:

a. Militer merupakan satuan yang dalam melaksanakan tugasnya dipersenjatai,


dan hal tersebut memerlukan kesatuan berpikir dan bertindak. Oleh karena itu harus
tunduk kepada ketentuan-ketentuan khusus sehingga diperlukan ketentuan hukum
pidana tersendiri;

b. Dalam kehidupan militer terdapat pengertian cara berpikir dan pandangan-


pandangan yang khas militer, dimana seorang militer dididik dan dilatih secara
khusus dan selanjutnya diperlukan pemeliharaan dengan aturan yang khusus;

c. Terdapat beberapa peristiwa yang merupakan tindak pidana militer murni,


misalnya desersi, tidak melaksanakan perintah dinas (insubordinasi), yang mana hal-
hal tersebut sebenarnya bukan merupakan tindak pidana apabila dilakukan oleh
orang sipil, akan tetapi menjadi tindak pidana apabila dilakukan oleh anggota militer;

d. Ancaman pidana yang ada di hukum pidana umum dalam kejahatan tertentu
terlalu ringan bagi TNI; dan

e. Memasukkan HPM ke hukum pidana umum menyulitkan penggunaan hukum


pidana itu sendiri.

8. Prinsip-prinsip Hukum Pidana Militer.

a. Kesatuan hukum bagi militer. Kesatuan hukum disini mengandung makna


bahwa seluruh norma dan sanksi dalam hukum pidana militer diberlakukannya
dengan sama untuk seluruh angkatan yang terdapat dalam militer, baik angkatan
darat, angkatan laut maupun angkatan udara.
4
b. Kodifikasi tersendiri bagi hukum militer. Hal ini mempunyai pemahaman bahwa
secara khusus perlu adanya sebuah Kitab Undang-undang tersendiri tentang pidana
militer sehubungan dengan adanya sendi-sendi khusus kehidupan militer.

c. Hukum pidana militer perlu ditegakkan melalui acara pidana dan peradlian
militer tersendiri. Prinsip ini mempunyai makna bahwa dalam rangka acara
persidangan tindak pidana militer, perlu adanya pertimbangan militer khusus dari
seorang Komandan terkait dengan pola pembinaan bagi pelaku kejahatan militer
yang dikedepankan oleh hukum pidana militer, misalnya sanksi yang dijatuhkan oleh
hakim persidangan militer selalu mengandung unsur pembinaan, dan terhadap
terhukumpun bisa dilanjutkan kariernya setelah menjalani masa peninjauan.

d. Yurisdiksi tersendiri. Yurisdiksi peradilan militer tidak sama dengan yurisdiksi


peradilan militer. Dimana untuk subyek tindak pidana militer merupakan yurisdiksi
badan peradilan militer, kecuali perkara koneksitas yang harus diadili di pengadilan
umum.

e. Dimungkinkannya penyelesaian suatu tindak pidana secara hukum disiplin.


Prinsip ini mempunyai pengertian bahwa terhadap suatu tindak pidana bisa
disalurkan melalui saluran hukum disiplin apabila di persidangan ternyata hakim
mengapresiasikan tindak pidana yang dilanggar tersebut bersifat ringan dan disertai
pertimbangan militer khusus. Penjatuhan sanksi dalam hukum pidana militer adalah
merupakan langkah terakhir (ultimum remedium).

f. Penerapan ketentuan-ketentuan umum. Asas-asas dan ajaran-ajaran umum


yang tidak ditentukan dalam KUHP tetapi berlaku pada hukum Pidana umum, berlaku
juga bagi hukum Pidana Militer, contoh:

1) Asas umum seperti:

a) ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi


poenali”, (Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana
yang mendahuluinya).

b) “Presumption of innocence”, (praduga tak bersalah).

2) Ajaran-ajaran seperti:

a) Ajaran sebab-akibat (Causaliteits-leer)

b) Bersifat melawan hukum (wedherrechtelijk)

g. Hukum pidana militer tidak mengenal pemidanaan secara kolektif. Setiap


orang sebagai subyek tindak pidana militer harus bertanggung jawab secara pidana
sesuai peran dan perbuatan pada kejahatan yang dilakukannya. Sebagai contoh
apabila satu regu secara bersama-sama melakukan pemberontakan militer, maka
terhadap masing-masing pelaku dalam regu tersebut akan dijatuhi sanksi yang
berbeda-beda disesuaikan dengan tingkat keterlibatannya dalam pemberontakan
tersebut.
5

9. Tindak pidana militer. Tindak pidana militer adalah merupakan tindak pidana
khusus (delicta propia), yang pada umumnya diatur dalam KUHPM dapat dibagi menjadi
dua bagian yaitu:

a. Tindak pidana militer murni. Tindak pidana militer murni adalah tindakan-
tindakan terlarang atau diharuskan, yang pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar
oleh seorang militer, karena keadaanya yang bersifat khusus atau karena suatu
kepentingan militer menghendaki sebagai tindak pidana. Contoh tindak pidana militer
murni antara lain adalah:

1) Seorang militer dalam keadaan perang dengan sengaja menyerahkan


seluruhnya atau sebagian dari suatu pos yang diperkuat kepada musuh tanpa
ada usaha mempertahankannya sebagaimana dituntut dan diharuskan
padanya (pasal 73 KUHPM);

2) Kejahatan desersi (pasal 87 KUHPM); dan

3) Meninggalkan pos penjagaan (pasal 118 KUHPM).

b. Tindak pidana militer campuran. Tindak pidana militer campuran adalah


tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan, yang pada pokoknya sudah ditentukan
dalam Undang-undang lain, akan tetapi diatur lagi dalam KUHPM karena adanya
suatu keadaan yang khas militer atau karena adanya sesuatu sifat yang lain,
sehingga diperlukan ancaman pidana yang lebih berat dari ancaman pidana umum.
Contoh tindak pidana militer campuran antara lain adalah:

1) Pemberontakan militer (Pasal 65 KUHPM), di mana seorang militer


yang dipersenjatai untuk menjaga keamanan, tetapi justru dipergunakan untuk
memberontak. Untuk pemberontakan sebenarnya sudah diatur dalam pasal
104 dan 107 KUHP; dan

2) Pencurian militer (Pasal 140 dan 141 KUHPM). Untuk pencurian


sebenarnya sudah diatur dalam pasal 362 – 367 KUHP.

10. Subyek tindak pidana militer. Subyek tindak pidana militer adalah orang-orang
yang tunduk atau ditundukkan pada kekuasaan badan peradilan militer atau dikenal dengan
istilah yustisiabel badan peradilan militer. Sedangkan kekuasaan memeriksa atau mengadili
dari badan peradilan dikenal dengan istilah yurisdiksi. Ketentuan mengenai yurisdiksi
peradilan militer yang ada hubungannya dengan subjek tindak pidana (kejahatan dan
pelanggaran) adalah sebagai berikut:

a. Dalam pasal 3 ayat (1) Undang-Undnag Nomor 5 Tahun 1950 tentang


undang-undang darurat tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan
dalam lingkungan peradilan ketentaraan: “Yang masuk kekuasaan kehakiman dalam
peradilan ketentaraan ialah memeriksa dan memutus perkara pidana terhadap
kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh :
6
1) Seorang yang pada waktu itu adalah anggota angkatan perang.

2) Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang dengan undang-
undang atau dengan peraturan pemerintah ditetapkan sama denagn Angkatan
Perang Republik Indonesia.

3) Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau
jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai anggota Angkatan Perang
Republik Indonesia oleh atau berdasarkan undang-undang.

4) Seorang yag tidak termasuk golongan 1, 2, dan 3 tetapi atas ketetapan


Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu pengadilan dalam lingkungan peradilan ketentaraan.

b. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang


Peradilan Militer, ketentuan mengenai yustisiabel dan yurisdiksi peradilan militer
ditentukan dalam pasal 9 dari undang-undang tersebut yang menyebutkan
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang :

1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada


waktu melakukan tindak pidana adalah :

a) Prajurit;

b) Yang berdasarkan undang-undang dipersamakan dengan


Prajurit;

c) Anggota suatu golongan atau jawatan atau badan atau yang


dipersamakan atau dianggap sebagai Prajurit berdasarkan undang-
undang;

d) Seseorang yang tidak masuk golongan pada huruf a, huruf b,


dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri
Kehakiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer.

2) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha


Angkatan Bersenjata.

3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang


bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

c. Menurut Sianturi dalam bukunya Hukum Pidana Militer di Indonesia


menjelaskan dari penggabungan ketentuan-ketentuan mengenai yustisiabel peradilan
militer dengan pengertian-pengertian dari subyek tindak pidana militer maka dapat
diadakan 3 (tiga) penggolongan besar dari subyek tersebut, yaitu: Militer atau
anggota angkatan perang, yang dipersamakan dengan militer dan non militer.
7
1) Militer atau anggota angkatan perang. Militer adalah seseorang yang
dipersenjatai dan disiapkan untuk melakukan pertempuran-pertempuran atau
peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan negara. Dalam
Perundang-undangan kita bedakan macam-macam militer antara lain:

a) Militer sukarela. Seseorang berstatus militer setelah ia


menandatangani surat ikatan dinas untuk waktu tertentu.

b) Militer wajib. Seseorang berstatus militer (dalam dinas) sejak


mulai hari laporan datang yang ditentukan oleh Dansat.

c) Sukarelawan lainnya. Dalam keadan perang ia atas kesadaran


sendiri baik karena ada anjuran dari pemerintah maupun karena merasa
terpanggil sebagai warga negara yang baik.

d) Militer sukarela yang dilarang melakukan jabatan, diberhentikan


sementara dari jabatan atau dinyatakan non aktif dari jabatan. Hal ini
masih tetap berada dalam hubungan organik dan administratif angkatan
perang dan baginya tetap berlaku hukum pidana dan disiplin militer dan
ia tetap dalam yurisdiksi peradilan militer.

2) Yang dipersamakan dengan militer. Sebenarnya mereka itu bukan


yang berstatus militer dalam arti yang sesungguhnya, hanya dalam rangka
penerapan hukum pidana militer mereka dipersamakan dengan militer.
Seseorang yang dipersamakan dengan militer adalah:

a) militer wajib di luar dinas. Militer wajib di luar dinas dipersamakan


dengan militer apabila:

(1) Ia hadir sebagai terdakwa dalam suatu pemeriksaan


karena tersangkut dalam suatu perkara pidana militer;

(2) Ia memakai pakaian seragam atau memakai tanda-tanda


pengenal militer yang berlaku baginya; dan

(3) Ia melakukan salah satu kejahatan tersebut pasal 97, 99,


139 KUHPM.

b) militer sukarela yang non aktif dari dinas militer;

c) bekas militer, mereka adalah bekas militer (yang diberhentikan


atau pensiun) yang melakukan kejahatan penghinaan atau tindakan-
tindakan nyata terhadap atasannya;

d) bekas militer yang dipecat;

e) anggota-anggota cadangan nasional yang dipandang dalam


dinas militer;
8
f) seseorang yang menurut kenyataannya bekerja pada angkatan
perang;

g) bekas/pensiunan militer yang dipekerjakan lagi dalam dinas


militer;

h) Komisaris-komisaris wajib militer;

i) pensiunan Perwira anggota peradilan militer yang berpakaian


seragam, setiap kali mereka melakukan sedemikian itu;

j) Seseorang yang memakai pangkat tituler. Pemberian pangkat


tituler diberikan kepada non milsuk atau non milwa yang memangku
jabatan militer berdasarkan undang-undang (para Hakim, Jaksa dan
Panitera non militer pada Mahkamah militer/Oditur militer) atau
peraturan pemerintah (Pegawai negeri sipil pada angkatan perang yang
memangku jabatan militer, pegawai negeri sipil yang merangkap
jabatan militer, mereka yang dipanggil atau yang
diwajibkan/militerisasi); dan

k) militer asing.

(1) Militer asing yang mengikuti menyertai angkatan perang


yang sedang disiap-siagakan untuk perang.

(2) Tawanan perang.

(3) Militer Interniran yaitu militer asing yang sedang


berperang dimana Indonesia tidak terlibat, yang karena
melarikan diri ke daerah Indonesia, lalu diamankan, termasuk
yang sudah dibebaskan secara bersyarat atau dengan perjanjian
dari penginterniran itu.

(4) Militer asing interniran yang oleh penguasa RI ditetapkan


jadi pimpinan terhadap sesamanya.

3) Seseorang anggota dari suatu badan/organisasi yang dipersamakan


dengan (bagian/satuan dari) angkatan perang. Dalam hal ini yang
dipersamakan adalah wadahnya, oleh karena itu ada dua kali tindakan
penyamaan, yaitu badan/organisasi yang bersangkutan dipersamakan dengan
suatu satuan atau bagian dari AD, AL atau AU dan anggota dari badan atau
organisasi tersebut dipersamakan dengan militer (pasal 49 KUHPM).
Penyamaan tersebut di atas didasarkan pada pasal 37 atau pasal 42 Undang-
undang keadaan bahaya. Adapun yang termasuk dalam hal ini antara lain:

a) Pegawai atau buruh dari suatu perusahaan, pabrik, jawatan


buruh atau pegawai dari suatu organisasi tanpa pandang warga negara
dapat dipaksa untuk memberikan tenaganya kepada angkatan perang,
walaupun itu tidak dipersamakan dengan militer (pasal 37 Undang-
undang keadaan bahaya);
9

b) Tamtama, Bintara dan Perwira Polri. Hal ini didasarkan pada


pasal 30 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “Tiap-tiap warga negara
berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”, oleh
karena itu Pa/ Ba/ Ta Polri dapat diikutsertakan dalam usaha
pertahanan tersebut, maka oknum-oknum yang bersangkutan harus
dipersamakan dengan militer; dan

c) Anggota-anggota Hansip, Wankamra dan Menwa. Bagi mereka


itu sejak dipanggil untuk dan selama mengikuti latihan-latihan
melakukan pekerjaan/kewajiban berupa perlawanan rakyat bersenjata
terhadap musuh, membantu operasi militer dan tugas perlindungan
masyarakat, berlaku peraturan-peraturan hukum pidana militer dan
hukum disiplin militer dan bagi yang melakukan tindak pidana diadili di
peradilan militer.

4) Non Militer. Pada prinsipnya seseorang non militer adalah


yustisiabel dari badan-badan peradilan umum dan hanya akan dihadapkan ke
muka persidangan pada pengadilan umum, akan tetapi apabila dalam
keadaan tertentu/negara dalam keadaan bahaya, dimana pemerintahan
dikendalikan oleh penguasa-penguasa militer, maka non militer tersebut dapat
diadili di peradilan militer baik karena sifat suatu tindakan tertentu atau sifat
kerugian yang ditimbulkannya (keadaan damai/tertib sipil) maupun karena
keadaan negara dalam keadaan darurat atau penguasaan suatu daerah
tertentu. Non militer yang dinyatakan tunduk kepada kekuasaan badan
peradilan militer di dalam perundang-undangan, maupun yang perlu
ditundukkan adalah sebagai berikut:

a) Klausula atas ketetapan Menhankam dengan persetujuan


Menteri Kehakiman.

b) Anggota-anggota sipil dan militer dalam perkara koneksitas.

c) Anggota-anggota yang tersangkut dalam suatu perkara khusus


yang ditetapkan oleh Presiden RI (Subyek Mahmillub).

d) Orang-orang yang dalam hubungan dinas berada pada suatu


angkatan perang yang disiap-siagakan untuk perang, atau
menyertainya atau mengikutinya dengan persetujuan penguasa militer.

e) Setiap orang dalam keadaan perang.

f) Pegawai sipil dari angkatan bersenjata.

g) Orang-orang yang dilindungi dalam suatu peperangan.

h) Badan-badan hukum. Suatu “badan hukum” yang menjadi


subyek dari suatu tindakan pidana yang dengan jalan pikiran yang
ditentukan dalam “peraturan koneksitas”.
10

Dilihat dari kemandirian peradilan militer dan hukum pidana militer, seseorang dapat
merupakan (ditentukan) sebagai yustisiabel peradilan militer, tetapi tidak selalu dapat
menjadi subjek dari suatu tindak pidana militer. Sebaliknya seseorang yang dapat
melakukan tindak pidana militer selalu merupakan yustisiabel peradilan militer.

11. Subyek tindak pidana pada perkara koneksitas. Pengertian Koneksitas menurut
arti kata berasal dari bahasa latin Connexio  yang berarti adanya suatu hubungan dalam
bertindak, yang penyelesaiannya dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Dalam arti hukum yaitu perkara pidana yang di periksa oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan umum terhadap mereka yang bersama-sama melakukan tindak
pidana yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer,
kecuali jika kerugian yang ditimbulkan oleh delik tersebut terletak pada kepentingan
militer, maka segera diadili oleh peradilan militer.

b. Sedangkan pengertian koneksitas yang ditegaskan dalam KUHAP pasal 89


adalah yurisdiksi suatu peradilan terhadap tindak pidana yang dilakukan bersama-
sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan
peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum
kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan
Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.

Jadi yang merupakan subyek tindak pidana pada perkara koneksitas adalah orang sipil dan
prajurit yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Dalam perkara koneksitas
cara bekerja tim penyidik disesuaikan dengan kewenangan yang ada pada masing-masing
unsur tim. Bila dilihat dari segi wewenang masing-masing unsur tim, maka :

a. Tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri.

b. Sedangkan tersangka pelaku anggota TNI (prajurit) diperiksa oleh penyidik


dari polisi Militer dan Oditur Militer.

Susunan Majelis Hakim peradilan perkara koneksitas disesuaikan dengan lingkungan


peradilan yang mengadili perkara tersebut :

a. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan peradilan


umum, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :

1) Sekurang-kurangnya Majelis Hakim terdiri dari tiga orang.


2) Hakim Ketua diambil dari Hakim Peradilan Umum (Pengadilan negeri).
3) Hakim Anggota ditentukan secara berimbang antara lingkungan
peradilan umum dengan lingkungan peradilan militer.

b. Apabila perkara koneksitas diperiksa dan diadili oleh lingkungan Peradilan


Militer, maka susunan Majelis Hakimnya adalah :
11

1) Hakim Ketua dari lingkungan Peradilan Militer.

2) Hakim Anggota diambil secara berimbang dari hakim Peradilan Umum


dan Peradilan Militer.

3) Hakim Anggota yang berasal dari lingkungan Peradilan Umum diberi pangkat
militer “tituler”.
 
Yang mengusulkan Hakim Anggota adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
bersama dengan Menteri Pertahanan. Susunan ini juga berlaku pada susunan Majelis
Hakim pada tingkat Banding.

12. Pidana dalam HPM. Dalam hukum pidana militer telah ditentukan jenis-jenis
pidana/hukuman yang harus diterapkan kepada setiap anggota militer yang melakukan
pelanggaran hukum pidana/tindak pidana. Pidana atau hukuman tersebut merupakan suatu
bentuk sanksi sebagai wujud rasa keadilan terhadap yang bersalah. Jenis-jenis pidana atau
hukuman dalam KUHPM sebagaimana diatur dalam pasal 6 KUHPM, adalah sebagai
berikut:

a. Pidana pokok atau utama.

1) pidana mati adalah mengakhiri hidup terpidana dijalankan oleh algojo di


tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan
pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri,
memenggal leher dengan kampak yang dijatuhkan, di depan regu tembak,
jarum suntik, di kursi listrik dan kamar gas;

2) pidana penjara, terdiri dari:

a) Pidana penjara seumur hidup adalah pidana penjara selama


hayat di kandung badan terpidana berada di dalam penjara.

b) Pidana penjara sementara adalah pidana penjara selama waktu


tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun
berturut-turut, dalam hal diperberat pidana penjara dapat ditambah
menjadi dua puluh tahun.

3) pidana kurungan adalah pidana kurungan paling sedikit satu hari dan
paling lama satu tahun, dalam hal diperberat pidana kurungan dapat ditambah
menjadi satu tahun empat bulan; dan

4) pidana tutupan (Undang-undang No. 20 tahun 1946).

b. Pidana tambahan.

1) pemecatan dari dinas militer, dengan atau tanpa pencabutan haknya


untuk memasuki TNI;
12

2) penurunan pangkat;

3) pencabutan hak-hak tertentu, yaitu:

a) hak memegang jabatan;


b) hak memasuki angkatan bersenjata; dan
c) hak memilih dan dipilih pada pemilihan yang dilakukan menurut
undang-undang umum.

BAB III
KEJAHATAN TERHADAP KEAMANAN NEGARA

13. Umum. Tidak dapat disangkal bahwa seorang militer harus merupakan warga
negara yang baik, bahkan seharusnya yang terbaik. Dalam pelaksanaan tugas yang
dibebankan ke pundaknya, maka selain sebagai warga negara yang baik ia harus
mempunyai kemampuan dan sifat-sifat ksatria, patriotik, tabah, menjunjung tinggi sikap
keprajuritan, menguasai tugas, sederhana dalam penampilan, dan peduli untuk memelihara
harta negara yang dipercayakan kepadanya.

Tindakan-tindakan yang bertentangan dengan yang diuraikan diatas sangat tidak


diharapkan dari seorang militer. Tumpuan harapan untuk membela negara dan martabat
bangsa, tentunya dialamatkan kepada para militer. Kepercayaan ini harus dipelihara sebaik-
baiknya. Karenanya tindakan-tindakan tercela yang dapat mengakibatkan hilangnya
kepercayaan harus dihindarkan, dan jika perlu dengan pemberatan ancaman pidana.

14. Penghianatan Militer. Perumusan pengkhianatan militer mirip sekali dengan


perumusan Pasal 124 dan Pasal 125 KUHP, bedanya hanya terletak pada subjek dan
ancaman pidananya. Jika ancaman pidana dalam KUHP adalah maksimum 15 tahun pidana
penjara, dalam Pasal 64 KUHPM ini tentu jauh lebih berat. Hal ini wajar mengingat bahwa
seseorang militer telah merusak dua macam kesetiaannya sekaligus. Pertama,
kesetiaannya sebagai warga negara yang menentang organ sendiri dimana ia merupakan
salah seorang anggota dari organ itu. Sebagai warga negara ia berkewajiban untuk turut
serta membela negara. Kedua, ialah kesetiaannya sebagai warga militer, yang seharusnya
ia berkewajiban untuk mengutamakan tugas pembelaan dan pengamanan negaranya.

Tindakan berupa memberi bantuan kepada musuh harus memenuhi syarat-syarat,


bahwa tindakan itu dapat mengganggu keamanan negara atau terancam dan sekaligus
musuh dapat diuntungkan.
a. Yang dapat digolongkan sebagai pengkhianatan militer Adalah :

1) Memasukkan benda-benda yang digunakan oleh Angkatan Perang


untuk melawan musuh, memperlemah atau menggagalkan suatu operasi
militer untuk memperlancar pelaksanaaan oprasi musuh.

2) Mengadakan kekacauan dalam satuan perlawanan rakyat, perlawanan


nyata bersama atau desersi.
13

3) Menyebarluaskan propaganda musuh.

4)
Membantu musuh dengan mata-mata, penculikan dan sebagainya.
f) Melakukan pembunuhan terhadap pemimpin-pemimpin kita yang
disegani musuh.

b. Ancaman pidananya:
1) pidana penjara seumur hidup;

2) pidana penjara sementara selama-lamanya 20 tahun; dan

3) apabila dilakukan dalam waktu perang, ancaman pidananya diperberat


menjadi pidana mati, demikian pula terhadap para pemimpinnya.

15. Pemberontakan Militer. Subjek pemberontakan pada umumnya selalu terjadi


gabungan antara orang-orang sipil dan oknum satuan militer. Dari ayat (3) Pasal 65 KUHPM
dapat diambil kesimpulan bahwa pemberontakan militer harus dilakukan oleh banyak orang
yang terorganisasi. Apakah organisasi tersebut resmi, atau tidak, tidak menjadi persoalan.
Pemberontakan adalah perlawanan bersenjata yang dilakukan oleh anggota-anggota dari
suatu organisasi terhadap pemerintah pusat / daerah, termasuk terhadap pimpinan satuan
angkatan bersenjata. Para pelaku dari pemberontakan tidak harus semuanya bersenjata,
akan tetapi sebagian dari mereka harus ada senjata yang digunakan untuk memberontak.
Dilihat dari sudut persenjataannya, para pemberontak itu terdiri dari :

a. Anggota yang bersenjata yang langsung atau tidak langsung dapat melakukan
perlawanan bersenjata,

b. Anggota yang tidak bersenjata yang turut serta dalam pemberontakan dengan
tujuan sama yaitu mengadakan perlawanan bersenjata.

Sudah barang tentu dalam pemeriksaan dan penentuan pidana kepada mereka
masing-masing diperhitungkan aktifitas masing-masing.

16. Pemata-mataan. Pemata-mataan ini diatur dalam Pasal 67 KUHPM. Ketentuan ini
ada persamaan dengan Pasal 124 (2) jo.Pasal 113 KUHP yaitu subjeknya adalah Barang
siapa, yang berarti berlaku tidak hanya kepada militer saja, tetapi juga bagi orang-orang
yang tunduk kepada kekuasaan peradilan militer.

Seseorang militer musuh beruniform lengkap yang masuk ke daerah kita dan
melakukan pemata-mataan, apabila ia tertangkap, tidak dapat diajukan ke Pengadilan
Umum atau Pengadilan Militer, melainkan ia harus diperlakukan sebagai tawanan perang.
Sedangkan militer seorang musuh yang dalam hal tersebut tidak beruniform atau orang-
orang sipil musuh dapat diajukan ke Pengadilan Militer.
14

Penafsiran tersebut diatas mendasari ketentuan Hukum Internasional mengenai


Hukum Perang dimana Republik Indonesia berdasarkan UU No.59 Tahun 1958, LN
No.109/1958, menyatakan ikut serta dalam seluruh konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus
1949 mengenai perlindungan korban perang atau yang dikenal dengan nama Konvensi
Palang Merah Internasional.

17. Tawanan Perang Yang Dibebaskan Melarikan Diri. Ketentuan ini diatur dalam
Pasal 68 KUHPM, yang sangat erat hubungannya dengan Hukum Perang (Internasional)
mengenai perlakukan terhadap tawanan perang. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan
bahwa seorang tawanan dapat dibebaskan dari penawanannya dengan suatu perjanjian
atau persyaratan. Jika dipersyaratkan tidak boleh meninggalkan suatu daerah yang
ditentukan, lalu tawanan tersebut meninggalkan daerah itu, maka kepadanya dapat
diterapkan Pasal 68 KUHPM ini. Dalam hal ini ia merupakan justisiable Peradilan Militer.

18. Militer Interniran. Militer interniran adalah dalam hal terjadi suatu perang dimana
Indonesia tidak terlibat, maka militer dari salah satu Negara yang berperang berada di
wilayah Indonesia. Apabila militer interniran tersebut melanggar suatu janji atau persyaratan
yang diberikan atau mengadakan permufakatan jahat, maka kepadanya dapat diterapkan
Pasal 69 KUHPM.

Pasal 69 KUHPM ini sangat erat hubungannya dengan Konvensi Den Haag dimana
ditentukan bahwa suatu Negara netral tidak boleh memihak dan tidak boleh membiarkan
negaranya dipakai oleh salah satu fihak yang berperang untuk kepentingan operasi militer
mereka.

19. Perbuatan Yang Dapat Mendatangkan Bahaya Timbulnya Perang. Maksud dari
ketentuan Pasal 70 KUHPM ini adalah supaya jangan sampai terjadi suatu peperangan
antara Negara kita dengan suatu Negara lain, atau pemutusan hubungan baik antara
Negara kita dengan salah satu Negara sahabat, sebagai akibat dari tingkah laku seseorang
militer kita yang sering menyakiti hati fihak lain dengan mengejek terhadap sesuatu yang
sangat dihormati fihak lain yang mungkin menjurus ke kancah peperangan.

20. Membocorkan Rahasia Upaya Pertahanan (Anti Spionase). Pasal 71 KUHPM


hampir sama isinya dengan Pasal 112 KUHP. Perbedaannya antara lain pada rumusan
perbuatan material. Pada Pasal 112 KUHP menggunakan rumusan mengumumkan, yang
mempunyai pengertian pemberitahuan kepada lebih dari satu orang lain, sedangkan Pasal
71 KUHPM menggunakan istilah/ rumusan memberitahukan , yang berarti dapat dilakukan
hanya kepada satu orang lain saja. Misalnya seseorang memberitahukan sesuatu
keterangan tentang susunan/ formula dari senjata mutahir yang baru saja ditemukan,
akibatnya akan berbahaya jika seseorang lain tersebut yang kemungkinan sekali dapat
meneruskan kepada mata-mata musuh.
15

BAB IV
KEJAHATAN TERHADAP PENGABDIAN

21. Umum. Angkatan perang adalah suatu organisasi yang secara khusus diadakan dan
dibiayai yang merupakan alat pengabdian bagi kepentingan-kepentingan nusa dan bangsa.
Perwujudan pengabdian dalam kehidupan militer pada tingkat permulaan ditandai dengan
penghormatan, ketaatan dan sikap dari seseorang bawahan terhadap seseorang atasan.
Sudah barang tentu penghormatan, ketaatan dan sikap itu bukanlah ditujukan kepada
pribadi-pribadi seseorang terlepas dari predikat atasan, melainkan justru predikat atasan
itulah yang lebih diutamakan.

22. Menghina Terhadap Atasan. Yang dimaksud menghina, ialah menyerang atau
merusak kehormatan atau nama baik seseorang. Ukuran mengenai rusaknya kehormatan
seseorang itu tidak didasarkan kepada perasaan seseorang yang dihina, melainkan kepada
nilai-nilai kesusilaan manusia pada umumnya secara wajar. Demikian juga ukuran mengenai
rusaknya nama baik seseorang harus memedomani kewajaran pada umunya. Perbuatan
menghina atau mengancam dengan perbuatan jahat itu harus terjadi di tempat umum. Tidak
menjadi persoalan atasan yang dihina itu berada pada tempat tersebut atau tidak. Sudah
barang tentu bahwa isi dari ucapan-ucapan (lisan), tulisan atau lukisan itu harus merupakan
penghinaan terhadap atasan yang bersangkutan. Ketentuan mengenai penghinaan
terhadap atasan diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 100 KUHPM.

23. Menantang Untuk Berkelahi (Duel). Rumusan ini terdapat dalam Pasal 101
KUHPM. Penantangan itu sendiri pada kenyataannya bila dihubungkan dengan kejahatan
pengabdian adalah merupakan pengingkaran terhadap pengabdian, selain daripada dapat
menurunkan martabat sang atasan tersebut. Menantang berkelahi tehadap atasan bukan
merupakan kejahatan, tetapi akan dapat merusak disiplin militer, walaupun mungkin
tindakan itu dapat dihukum secara Hukum Disiplin Militer, akan tetapi tentunya akan
terdapat ketidakseimbangan peraturan, apabila seseorang bawahan yang menyindir atasan
saja sudah merupakan kejahatan, sedangkan tindakan penantangan tersebut bukan
merupakan suatu kejahatan.

24. Pembangkangan Militer Terhadap Perintah Dinas. Kejahatan yang dirumuskan


dalam Pasal 103 KUHPM ini lazim disebut sebagai kejahatan pembangkangan, walaupun
dalam pasalnya telah diberi nama sebagai ketidaktaatan yang disengaja.
Perintah dinas adalah suatu kehendak yang berhubungan dengan kepentingan dinas militer,
dari seorang atasan yang berstatus militer, yang disampaikan kepada seseorang bawahan
yang juga berstatus militer, untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Perintah dinas mempunyai
syarat-syarat sebagai berikut:

a. Materinya harus merupakan suatu kehendak (perintah) yang berhubungan


dengan kepentingan dinas militer.
16

b. Pemberi perintah maupun pelaksananya harus yang berstatus militer dalam


hubungan mereka sebagai atasan dan bawahan.

c. Materi perintah harus termasuk dalam lingkungan kewenangan dari atasan yang
bersangkutan dan mempunyai kewenangan memberikan perintah sedemikian itu.

25. Insubordinasi Dengan Tindakan Nyata. Tindakan terlarang yang dirumuskan


dalam Pasal 106 KUHPM adalah dengan tindakan nyata menyerang, melawan dengan
kekerasan atau ancaman kekerasan, merampas kemerdekaan bertindak atau memaksa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melaksanakan atau mengabaikan suatu
pekerjaan dinas. Menyerang adalah suatu perbuatan terhadap atasan dimana aktifitas dari
atasan tersebut kepada bawahan yang bersangkutan belum ada, misalnya : memukul,
menendang, menubrukkan diri sendiri atau orang lain sehingga mengenai atasan.

Sedangkan melawan adalah suatu perbuatan sebagai reaksi terhadap tindakan dari
seseorang atasan, misalnya : seseorang atasan menangkap seseorang bawahan yang
diduga telah melakukan suatu tindak pidana. Dalam hal ini reaksi bawahan tersebut dapat
berupa perlawanan dengan kekerasan, yaitu berusaha melepaskan diri dengan memukul,
meronta-ronta dan lain sebagainya.

Melawan dengan kekerasan pada dasarnya berarti melakukan suatu reaksi atau
tindakan orang lain (atasan). Reaksi tersebut dapat berwujud memukul atasan agar ia
terlepas dari pegangannya. Melawan dengan ancaman kekerasan dapat terjadi dengan
membidikkan senjata api, menghunus senjata tajam/pedang, melempar dengan sesuatu
benda, menendang dan lain sebagainya akan tetapi belum mengenai atasan tersebut.

Merampas kemerdekaan bertindak tidak terbatas pada kemerdekaan bergerak saja,


melainkan kemerdekaan mengeluarkan perintah-perintah, misalnya : bawahan
menyuguhkan obat tidur/membius, mengurung orang yang sedang tidur, seorang bawahan
dengan suara keras memegang lengan baju atasan dan menarik atasan itu mengikuti
bawahan tersebut untuk dihadapkan kepada orang ketiga. Tindakan ini sudah merupakan
perampasan kemerdekaan bertindak.

26. Pengacauan Militer (Militer Oproer). Dapat dikatakan kejahatan ini merupakan
perbuatan kolektif dari para pelaku yang terdiri minimal 5 (lima) orang militer. Apabila
petindaknya terdiri dari 4 (empat) orang militer dan 1 (satu) orang non militer, maka Pasal
113 sampai dengan 115 KUHPM tidak dapat diterapkan kepada mereka, karena tidak
memenuhi keadaan unsur subjek. Tetapi apabila kelima petindaknya militer maka pasal-
pasal tersebut dapat diterapkan.

Namun demikian pada Hukum Pidana Militer tidak dikenal pemidanaan secara
kolektif. Para petindak tersebut akan dipertanggungjawabkan satu demi satu sesuai dengan
tindakan yang mereka lakukan masing-masing. Tujuan berkelompok jahat itu ditujukan
terhadap pengabdian, maka tiada lain bahwa kejahatan ini harus ditujukan kepada atasan
dalam arti luas.
17
Artinya tidak saja kepada seseorang atasan yang berstatus militer saja, akan tetapi juga
kepada penguasa. Jadi sekiranya suatu pasukan diperbantukan kepada penguasa sipil
(gubernur) dan kejahatan ini ditujukan kepada gubernur tersebut.

BAB V
KEJAHATAN TERHADAP KEHARUSAN DINAS DAN MENARIK DIRI DARI
PELAKSANAAN KEWAJIBAN DINAS

27. Umum. Peraturan-peraturan kedinasan militer dikeluarkan oleh penguasa yang


berwenang. Penguasa yang berwenang adalah presiden atau pucuk pimpinan militer yang
mendapat hak untuk membuatnya atas nama presiden. Dalam rangka pembangkangan
terhadap peraturan dinas, harus sedemikian beratnya sehingga lebih dirasakan sebagai
suatu kejahatan yang sudah selayaknya dipidana.

28. Tugas Penjaga Pada Umumnya dan Pelanggarannya. Menurut Pasal 55


KUHPM penjaga adalah setiap militer yang bersenjata dan atau memakai tanda pengenal
yang ditetapkan oleh Menhankam yang ditempatkan pada suatu pos atau tempat
peninjauan.

Seorang penjaga harus selalu waspada, karena keselamatan pasukan lainnya


diutamakan dipercayakan kepada seorang penjaga. Sudah barang tentu bagi seorang
penjaga menjadi keharusan untuk tidak meninggalkan posnya. Tugas-tugas yang
merupakan keharusan bagi seorang penjaga telah diadakan antara lain adalah untuk
mengamati setiap gerakan orang yang berada di dekat atau mendekati pos yang menjadi
tanggungjawabnya. Bahkan dalam saat-saat genting dengan menggunakan sandi-sandi
suara, menegur orang lain untuk mengetahui apakah seseorang yang dilihatnya adalah
kawan atau lawan.

Tindakan penjaga yang membuat atau yang membiarkan dirinya dalam suatu
keadaan dimana dia tidak mampu menjalankan tugasnya, misalnya dengan sengaja
meminum/memakan supaya perutnya mulas, panas dingin atau mabuk, termasuk terlena
sehingga tertidur, sehingga ia tidak mampu menjalankan tugasnya, maka dapat diterapkan
Pasal 118 KUHPM.

Tempat-tempat penjagaan yang sedemikian penting, bahkan sangat berbahaya atau


akan dapat membahayakan keseluruhan pelaksanaan tugas-tugas apabila tidak
dilaksanakan tugas penjagaan, perlu diancam dengan ancaman yang paling maksimum.
Tempat-tempat yang dimaksud adalah :

a. Perahu atau pesawat terbang yang berada dalam keadaan darurat

b. Pasukan dalam keadaan perang.

c. Perahu atau pesawat terbang yang ditugaskan dengan dinas keamanan.

d. Tempat atau Pos yang diserang atau terancam serangan musuh.


18
29. Menarik Diri Dari Suatu Dinas Yang Berbahaya. Maksud rumusan dari Pasal
119 KUHPM ini dalam hal “ dinas yang berbahaya “ ialah bahwa dinas itu memang
berbahaya akan tetapi tidak dalam suatu pertempuran. Dinas yang berbahaya tersebut
dapat terjadi waktu damai dan dapat juga dalam waktu perang. Dalam waktu damai
misalnya ditugaskan untuk membantu memadamkan kebakaran, banjir, latihan-latihan yang
berbahaya, percobaan-percobaan kemampuan senjata, mengamankan ranjau, melakukan
penyelaman dan lain-lain.

Cara-cara menarik diri tersebut di tentukan secara limitative, yaitu dengan sembunyi-
sembunyi, akal-akalan/ akal bulus, rangkaian karangan bohong, membuat mabuk diri
sendiri, membuat cacat diri sendiri dan lain-lain.

Ancaman pidana bagi pasal 119 KUHPM ini relative cukup berat, karena menyangkut
kekesatriaan yang harus dimiliki seorang prajurit dan tidak pantas bagi seorang prajurit
mempunyai jiwa pengecut.

30. Penyalahgunaan Kekuasaan. Subjek dari kejahatan-kejahatan tersebut adalah


seseorang atasan (militer) dan objek dari pasal 126 KUHPM ini dirumuskan sebagai
seseorang yang subjeknya militer. Dalam hal ini objek yang di lindungi tidak terbatas kepada
seorang militer yang dapat tergolong setara dengan militer bawahan di tinjau dari sudut
kekuasaan yang disalahgunakan. Kekuasaan tersebut harus ada hubungannya dengan
jabatan dari subjek yang bersangkutan. Misalnya kekuasaan untuk mengeluarkan uang dari
seseorang pemegang kas militer, tidak ada aturan sebagi pemegang kas militer. Tidaklah
benar jika seseorang pemegang kas militer mendalihkan pembelaannya bahwa ia telah
mengeluarkan sejumlah uang karena penyalahgunaan kekuasaan seorang atasan.

31. Penganiayaan Terhadap Bawahan. Penganiayaan terhadap bawahan dalam


rumusan pasal 131 KUHPM dibatasi dengan kata “menyakiti“, berarti bahwa perbutan
memukul, menumbuk atau dengan cara lain tersebut harus mengakibatkan sakit pada
bawahan itu. Jika penganiayaan ringan seperti termasuk dalam pasal 352 KUHP tidak
termasuk dalm pasal ini.

Yang dimaksud dengan “dengan cara lain menyakiti” adalah dapat terjadi secara
langsung atau tidak langsung. Secara langsung misalnya menubrukkan kepada bagian
badan yang rawan dari objek, menendang, melempar bawahan dan sebagainya. Secara
tidak langsung, misalnya dengan mendorong bawahan sehingga terjatuh akibatnya
menderita sakit karena benturan suatu benda keras.

32. Menganjurkan Bawahan Melakukan Kejahatan atau Jadi Saksi Suatu Kejahatan.
Pasal 132 KUHPM ini merumuskan tindakan larangan dan tindakan keharusan.
Tindakan Larangan ialah mengijinkan seseorang bawahan melakukan kejahatan dan
tindakan keharusan ialah tidak mencegah seorang bawahan melakukan kejahatan yang
disaksikannya.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setiap atasan diharuskan mengamati tingkah
laku seorang bawahan dan mencegah apabila bawahan itu melakukan suatu kejahatan.
19
Dalam hubungannya dengan pasal ini berarti bahwa apabila seseorang atasan melanggar
pasal ini, tidak hanya sekedar mengijinkan atau tidak mencegah seseorang bawahan
melakukan suatu kejahatan, melainkan sekaligus mengabaikan suatu tugas kesatriaan yang
dipercayakan kepadanya.

33. Kewajiban Memberitahukan (Melaporkan) Kejahatan Tertentu. Kewajiban


untuk memberitahukan (melaporkan) adanya suatu permufakatan jahat untuk melakukan
kajahatan tertentu dan adanya suatu niat untuk melakukan kajahatan, ditentukan dalam
pasal 133 KUHPM, selain kewajiban tersebut diatas, bagi seseorang justisiable peradilan
militer juga mempunyai kewajiban untuk memberitahukan (melaporkan) kepada penguasa
atau siterancam, apabila ia mengetahui adanya :

a. Permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan yang diancam dengan pidana


dalam KUHPM.

b. Niat untuk melakukan kejahatan yang dirumuskan dalam KUHPM, Yaitu :

1) Melakukan pemberatan militer dalam waktu damai

2) Desersi dalam waktu damai

3) Insubordinasi dengan tidak nyata

4) Pengacuan militer (militer oproer)

Apabila kewajiban melaporkan tersebut diabaikan dan kemudian kejahatan terjadi,


maka pengabaian kewajiban tersebut adalah suatu kejahatan yang diatur dalan pasal 133
KUHPM.

34. Kejahatan Terhadap Pelaksanaan Kewajiban Dinas. Dalam kehidupan sehari-


hari dari seorang militer, disamping harus berjiwa Pancasila, pejuang serta pengawal
Negara Kesatuan Republik Indonesia, berkelakuan baik dan sebagainya, harus selalu
tercermin dari sikap dan tingkah lakunya tentang kesiapsiagaannya di tempat dimana ia
berada. Tanpa itu sukar diharapkan dari padanya untuk menjadi militer yang mau dan
mampu menjalankan tugasnya. Kejahatan ketidakhadiran tanpa ijin pada tingkat permulaan
umumnya lebih cenderung merupakan suatu perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam
kehidupan militer. Lazim disebut sebagai pelanggaran Disiplin Militer. Akan tetapi
mengingat pentingnya tujuan perbuatan yang tidak boleh terjadi dalam kehidupan militer, itu
dilakukan dalam tingkat yang lebih tinggi maka penyelesaian/penindakan secara Hukum
Disiplin Militer sudah kurang memadai. Oleh karena itu ia ditentukan sebagai kejahatan
yang diancam dengan pidana sekaligus merupakan alat pemaksa tertinggi (ultimum
remedium) untuk penaatan suatu kehidupan berdisiplin.

a. Ketidakhadiran tanpa ijin karena salahnya (Pasal 85 KUHPM).


Ketidakhadiran tanpa ijin harus karena salahnya. Ada tiga persoalan yang harus
diperhatikan yaitu ketidakhadiran tanpa ijin, adanya tindakan/perbuatan (aktif/pasif)
dan kealpaan (culpa). Seseorang dikatakan tidak hadir tanpa ijin jika ia tidak berada
pada suatu tempat dimana ia seharusnya berada untuk melaksanakan suatu tugas
yang dipercayakan kepadanya (Pasal 95 KUHPM). Misalnya seorang militer yang
20
salah menghitung masa cutinya sehingga ia terlambat ke kesatuannya, atau
seseorang militer yang hendak bepergian keluar pulau salah memasuki kereta api
yang akan membawanya ke pelabuhan, sehingga saat ia tiba di pelabuhan kapalnya
sudah berlayar. Dari contoh tersebut, kealpaannya ialah : salah menghitung masa
cutinya, dan salah naik kereta api. Pada Pasal 85 ke-1 KUHPM, waktu
minimum ditentukan satu hari 24 jam (Pasal 97 KUHP). Awal perhitungannya dimulai
dari jam berapa ia seharusnya berada ditempat yang ditentukan, sampai keesokan
harinya setelah 24 jam. Karena pengecekan hadir / tidaknya seseorang militer yang
tidak bertugas khusus biasanya pada waktu apel (pagi, siang atau malam), maka jam
apel itulah sebagai awal perhitungan baginya, sedangkan bagi mereka yang hanya
wajib tanda tangan/ paraf suatu daftar hadir, jam penandatanganan/ paraf itu
dijadikan awal perhitungan. Dengan demikian mulai terjadinya kejahatan
ketidakhadiran tanpa ijin adalah setelah 24 jam dia tidak berada di tempat yang
ditentukan baginya. Untuk menentukan saat berhentinya kejahatan ketidakhadiran
tanpa ijin, pada penerapan Hukum Pidana Militer di Indonesia menggunakan ukuran,
yaitu : saat kembalinya petindak dengan sukarela/ kesadaran sendiri atau saat ia
ditangkap oleh petugas militer karena kejahatan itu. Apabila ia mengetahui
kealpaannya itu sebelum satu hari, kemudian ia segera melapor, dengan demikian
dia baru hanya melakukan suatu pelanggaran disiplin yang murni. Dengan perkataan
lain bukan merupakan suatu tindak pidana, melainkan pelanggaran Hukum Disiplin
Militer.

b. Ketidakhadiran tanpa ijin dengan sengaja (Pasal 86 ke-1). Minimum


ketidakhadiran adalah 1(satu hari). Jika kurang dari satu hari, maka tindakan itu
bukan merupakan kejahatan, melainkan suatu tindakan pelanggaran Hukum Disiplin
Militer. Maksimumnya adalah 30 (tiga puluh) hari berlanjut. Jika lebih dari 30 hari
tindakan itu berubah menjadi kejahatan desersi. Apabila seseorang militer
benar-benar hendak melakukan kejahatan pasal 86 ke-1, tetapi sebelum sampai satu
hari ia ditangkap oleh Polisi Militer, maka tindakannya itu adalah percobaan untuk
melakukan kejahatan ketidakhadiran tanpa ijin dengan sengaja. Maka kejahatan
tersebut dapat diselesaikan secara Hukum Disiplin Militer. Ketidakhadiran tanpa ijin
dengan sengaja pada waktu perang (Pasal 86 ke-2), tidak ditentukan batas waktu
minimumnya seperti pada sub ke-1. Mengingat situasi dalam waktu perang setiap
prajurit harus selalu siap siaga dan persoalan waktu memegang peranan penting.
Karenanya walaupun ketidakhadiran itu belum ada 1 (satu) hari namun tindakan itu
telah memenuhi unsure kejahatan ini. Batas maksimumnya adalah 4 (empat) hari
berlanjut, yang jika dilewati berubah menjadi kejahatan desersi.

c. Desersi. Dari perumusan Pasal 87 KUHPM dapat disimpulkan ada dua


bentuk desersi yaitu : desersi murni (pasal 87 ayat 1 ke-1) dan desersi sebagai
peningkatan dari kejahatan ketidakhadiran tanpa ijin (Pasal 87 ayat 1 ke-2 dan ke-3).
Ada 4 macam cara atau keadaan yang dirumuskan sebagai bentuk desersi murni
yaitu :

a) Militer yang pergi dengan maksud untuk menarik diri untuk selamanya
dari kewajiban-kewajiban dinasnya.

b) Militer yang pergi dengan maksud untuk menghindari bahaya perang.


RAHASIA
21
c) Militer yang pergi dengan maksud untuk menyebrang ke musuh.

d) Militer yang pergi dengan maksud untuk memasuki dinas militer pada
suatu Negara atau kekuasaan lain tanpa dibenarkan untuk itu.

Dalam Pasal 87 ayat 2 dirumuskan bahwa ketidakhadiran melebihi 30 hari


dalam waktu damai, yang dilakukan dengan sengaja oleh petindak diancam dengan
pidana penjara maksimum 2 tahun 8 bulan. Sedangkan pada Pasal 87 ayat 3,
ketidakhadiran melebihi dari 4 hari dalam waktu perang yang dilakukan dengan
sengaja oleh petindak, diancam dengan pidana penjara maksimum 8 tahun 6 bulan.
Ketidakhadiran dengan sengaja dan karenanya tidak mengikuti sebagian atau
seluruhnya dari suatu perjalanan yang diperintahkan (Pasal 87 ayat 1 ke-3). Dengan
tidak ikut sertanya petindak dalam perjalanan tersebut maka jika tindakan yang
dilakukan dalam waktu damai ancaman pidana yang diterapkan Pasal 87 ayat 2, jika
dilakukan dalam waktu perang ancaman pidana yang diterapkan Pasal 87 ayat 3.

d. Desersi ke musuh (Pasal 89 KUHPM). Pengertian desersi ke musuh tidak


sama dengan pengertian desersi ke daerah musuh. Desersi ke musuh berarti harus
ada kaitan yang nyata dengan kekuatan bersenjata dari musuh. Menurut Hukum
Perang, yang berperang bukan orang perorangan melainkan Negara dengan
kekuatan bersenjatanya. Misalnya : seorang militer yang berasal dari Minahasa pada
tahun 1960 melarikan diri dari satuannya lalu menggabungkan diri dengan kekuatan
bersenjata dari pemberontak PERMESTA, tindakan ini adalah desersi ke musuh.
Tetapi apabila ia melarikan diri dari kesatuannya, lalu pergi ke kampong halamannya
tanpa menggabungkan diri dengan kekuatan bersenjata PERMESTA, itu tidak
termasuk desersi ke musuh. Tindakan tersebut merupakan kejahatan Pasal 86 atau
Pasal 87 ke-2 KUHPM

BAB VII
PENUTUP

35. Penutup. Demikian Naskah Sekolah ini disusun sebagai bahan ajaran untuk
pedoman bagi tenaga pendidik dan Pasis dalam proses belajar mengajar materi pelajaran
Hukum Pidana Militer pada Pendidikan Perwira TNI AD.

Direktur Hukum Angkatan Darat,

W. Indrajit, S.H., M.H.


Brigadir Jenderal TNI

RAHASIA

RAHASIA

Anda mungkin juga menyukai