Anda di halaman 1dari 10

PERADILAN MILITER

Disusun Guna Memenuhi Tugas

Mata Kuliah Sistem Peradilan di Indonesia

Disusun Oleh :

Ade Siska Ros Amanda 2102056121

Lailatun Nafis 2102056149

Muhammad Rifa’i 2102056151

Dosen Pengampu :

Daud Rismana, S.H.I., M.H., Dr.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan
jasmani dan rohani sehingga kita masih tetap bisa menikmati indahnya alam ciptaan-Nya.
Sholawat dan salam tetaplah kita curahkan kepada baginda Rasulullah Muhammad Saw. yang
telah menunjukkan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama yang sempurna dengan
bahasa yang sangat indah.

Penulis merasa sangat bersyukur karena telah menyelesaikan makalah yang diberi judul
Peradilan Militer. Dalam makalah ini penulis mencoba untuk menjelaskan tentang
pengertian, dasar hukum, tugas dan wewenang dari peradilan militer.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Daud Rismana, S.H.I., M.H., Dr.
Selaku pembimbing Mata Kuliah Sistem Peradilan di Indonesia dan penulis memahami jika
makalah ini tentu jauh dari kesempurnaan maka kritik dan saran sangat penulis butuhkan
guna memperbaiki makalah ini dilain waktu.

Semarang, 31 Agustus 2022

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang
Kata militer dari kata miles yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti
seseorang yang dipersenjatai atau disiapkan untuk melakukan pertempuran-
pertempuran atau peperangan terutama dalam rangka pertahanan dan keamanan
Negara. Untuk menjaga keutuhan dari kedaulatan suatu negara, maka kekuatan militer
mutlak diperlukan oleh setiap negara, kekuatan militer juga meupakan sebuah
identitas negara tersebut.
Pertahanan negara sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara Indonesia
merupakan faktor yang sangat hakiki dalam kehidupan bernegara, yaitu menjamin
kelangsungan hidup negara Indonesia. Alat negara yang mempunyai peran dan tugas
penting dalam rangka penyelenggaraan sistem pertahanan negara adalah militer,
dalam hal ini Tentara Nasional Indonesia.
Dalam rangka mendukung dan menjamin terlaksananya peran tugas TNI
tersebut, maka telah diadakan dan di berlakukan peraturan-peraturan khusus yang
hanya berlaku bagi prajurit TNI, di samping peraturan-perarturan yang bersifat umum.
Peraturan-peraturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku bagi prajurit TNI inilah
yang dikenal dengan hukum militer.
Salah satu peraturan yang bersifat khusus dan hanya berlaku bagi prajurit TNI
adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang di
dalamnya mengatur ketentuan mengenai eradilan yang berwenang mengadili
(yurisdiksi peradilan) terhadap prajurit Tni yang melakukan tindak pidana. Ketentuan
mengenai yurisdiksi peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana,
ketentuan mengenai yurisdiksi peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tidnak
pidana tersebut terdapat dalam Pasal 9 angka 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 yang pada dasarnya menegaskna bahwa peradilan yang berwenang mengadili
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana adalah Peradilan Militer.1
Negara Republik Indonesia memiliki dua sistem peradilan pidana permanen
untuk yustisiabel yang berbeda, yaitu peradilan pidana untuk orang sipil dan peradilan
militer untuk militer yang masing-masing memiliki yurisdiksi dan yustisiabel yang
berbeda. Masing-masing lingkungan peradilan tersebut memiliki kompetensi dan
wewenang mengadili yang berdiri sendiri dan terpisah satu sama lain.
Masing-masing memiliki kompetensi absolut, sehingga secara mutlak satu
lingkungan peradilan tidak boleh dimasuki dan dicampuri oleh lingkungan peradilan
yang lain. Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Militer (juga Peradilan Agama
dan Peradilan Tata Usaha Negara) masing-masing berdiri sendiri dengan fungsi dan
wewenang mutlak, tidak bisa dicampuri oleh lingkungan peradilan yang lain.
Keberadaan peradilan militer diperlukan mengingat pada asalnya TNI juga
merupakan manusia sosial biasa yang tidak luput dari berbagai kesalahan yang telah
diperbuatnya dalam kehidupan sehari-hri baik pada saat dinas maupun di luar dinas.

1
Al Araf, dkk, 2007,Reformasi Peradilan Militer di Indonesia, Jakarta: Imparsial.
Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan angkatan
bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan Negara.
Dipandang dari segi hukum, maka anggota militer mempunyai kedudukan
yang sama dengan anggota masyarakat biasa, artinya bahwa sebagai warga negara,
baginya pun berlaku semua ketentuan hukum yang berlaku, baik hukum pidana,
perdata, acara pidana dan acara perdata. Perbedaannya terlihat hanya karena adanya
beban kewajiban yang lebih banyak dimandatkan oleh negara kepada TNI dari pada
masyarakat biasa dalam hal pertahanan negara.2

II. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari peradilan militer?
2. Apa saja dasar hukum dari peradilan militer?
3. Apa saja tugas dan juga wewenang dari peradilan militer?
III. Tujuan
1. Mengetahui tentang pengertian dari peradilan militer.
2. Mengetahui apa saja dasar hukum dari peradilan militer.
3. Mengetahui apa saja tugas dan juga wewenang dari peradilan militer.

2
Moch. Faisal Salam, 1994,Peradilan Militer Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Peradilan Militer


Peradilan Militer merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang
memiliki kompetensi yang mengadili pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan
oleh seseorang yang berstatus sebagai anggota militer atau yang dipersamakan dengan
itu. Berdasarkan pasal 12 undang-undang nomor 31 tahun 1997, kekuasaan
kehakiman dilingkungan peradilan dilakukan oleh :
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran
Peradilan Militer sudah dibentuk tersendiri sejak awal masa kemerdekaan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peradilan Militer memilik pengertian yang
sangat luas. Pengadilan Militer ini dalam sejarahnya memiliki istilah, yaitu Peradilan
Tentara, Mahkamah Tentara Tinggi, dan sebagainya. Konsideran peraturan yang
pertama kali dikeluarkan mengenai hal ini, yaitu dalam UndangUndang Nomor 7
Tahun 1946 tentang Pengadilan Tentara , sudah ditegaskan mengenai pentingnya
Peradilan Militer ini dibentuk tersendiri diluar Peradilan Umum. Peradilan Militer
perlu dibentuk sendiri karena adanya kekhususan yang terdapat dalam kehidupan para
anggota militer, yaitu:
a. Adanya tugas pokok yang berat yaitu untuk melindungi, membela, dan
mempertahankan integritas serta kedaulatan bangsa dan negara yang jika perlu
dilakukan dengan kekuatan senjata dan dengan cara berperang;
b. Dibutuhkan organisasi yang istimewa dan pemeliharaan serta Pendidikan yang
khusus berkenaan dengan tugas pokok mereka yang penting dan berat itu;
c. Diperbolehkannya menggunakan alat-alat senjata dan mesiu dalam
pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya;
d. Dibutuhkannya aturan-aturan dan norma-norma hukum yang sangat keras,
berat, dan khas serta didukung oleh sanksi pidana yang berat pula sebagai
sarana pengawasan dan pengendalian terhadap setiap anggota militer agar
besikap dan bertindak serta bertingkah laku sesuai dengan apa yang dituntut
oleh tugas pokok yang telah diberikan.

Alasan tersebut yang menjadinya pokok dibutuhkannya adanya badan


peradilan, yang disamping memenuhi syarat-syarat seperti lazimnya badan-badan
peradilan umumnya, juga mempunyai kemampuan untuk menilai segala sesuatu yang
berhubungan dengan tujuan pembentukan suatu angkatan perang dalam rangka
menegakkan hukum dan keadilan, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan
perang.3 Peradilan militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997
tentang peradilan militer. Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang

3
Sudikno Mertokusumo, 2010, Mengenal Hukum, Penerbit Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta.
mengadili perkara tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit atau yang disamakan
dengan prajurit dan mengadili sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.

Pengadilan Militer adalah pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan


Peradilan Militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi,
Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. Peradilan Militer
adalah pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk
menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan
penyelenggaraan pertahanan dan keamanan negara. 10 Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan
dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh
sebuah Mahkamah Konstitusi.

2. Dasar Hukum Peradilan Militer


Peradilan Militer diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer. Dalam undang-undang ini diatur tentang ketentuan-ketentuan umum, susunan
pengadilan, kekuasaan oditurat, hukum acara Pidana Militer, hukum acara Tata Usaha
Militer, dan ketentuan-ketentuan lain.
Berlakunya Hukum Pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) apabila dihubungkan dengan tempat dan orang mengenai beberapa asas,
dimana menurut Prof. Moelyatno dalam seminar Hukum Nasional pada tahun 1963,
yang sejalan dengan pendapat Pompe mengatakan bahwa asa-sasas yang terdapat
dalam pasal 2 sampai dengan pasal 8 KUHP, dianggap sebagai batas perlintasan
antara hukum pidana dan hukum acara pidana, dikatakan bahwa berlakunya ketentuan
dalam pasal 1 KUHP dihubungkan dengan waktu, dan dalam pasal 2 KUHP sampai
pasal 8 KUHP, dihubungkan dengan tempat dan orang/pelakunya.4
Menurut sejarah hukum, pertama kali dikenal mengenai pengkaitan
berlakunya hukum (pidana) adalah kepada orang yang disebut sebagai asas
personalitas, selanjutnya berkembang berkaitan dengan wilayah , yang disebut dengan
asas teritoritas. Dalam perkembangan selanjutnya, dikaitkan dengan kepentingan
negara/masyarakat yang harus dilindungi yang disebut dengan asas perlindungan,
kemudian karena terjalinnya hubungan antar negara yang sudah semakin dekat
dimana beberapa hak tertentu dianggap sebagai suatu kepentingan bersama yang perlu
dilindungi, maka batas negara, orang dan kepentingan negara sendiri seakan-akan
ditiadakan, dalam kaitan hal-hal yang perlu dilindungi secara bersama ini disebut
sebagai asas universalitas.
Sebagaimana kita ketahui bahwa KUHP yang berlaku di Indonesia menganut
asas personalitas terbatas, artinya bahwa berlakunya hukum pidana di Indonesia
terkait dengan orangnya, dalam hal ini warga negara Indonesia tanpa mempersoalkan
dimana dia berada, yaitu didalam ataupun diluar wilayah Negara Indonesia, akan

4
Moch. Faisal Salam, 2006, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
tetapi agar tidak melanggar kedaulatan negara asingmaka asas ini menggunakan
batas-batas tertentu, yaitu yang berhubungan dengan :
a. Kesetiaan yang diharapkan dari seseorang warga negara terhadap Negara dan
Pemerintahnya.
b. Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak melakukan suatu tindak
pidana diluar negeri dimana tindakan itu merupakan kejahatan ditanah air;
c. Diperluas dengan pejabat-pejabat (pegawai negeri) yang pada umumnya
adalah warga negara yang disamping kesetiaannya sebagai warga negara, juga
diharapkan kesetiaannya sebagai tugas/jabatan yang dipercayakan kepadanya.

Dalam KUHP tidak memberi pengertian yang otentik siapa yang dimaksud
dengan pejabat (pegawai negeri) akan tetapi batasan dalam pasal 92 ayat (3) KUHP
berbunyi : “Semua anggota angkatan perang juga dianggap sebagai pejabat. Dengan
demikian, KUHP juga diberlakukan kepada anggota angkatan perang, anggota
Angkatan Bersenjata, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau anggota Militer,
selain itu juga dikenal peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi militer yaitu
wetboek van Militair Strafrecht (W.v. M.s.)/Stb.1934 Nomor 167 jo UURI Nomor 39
Tahun 1947, yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Militer (KUHPM).
Pemberlakuannya sama halnya dengan pemberlakuan dalam hukum di
Indonesia, apabila KUHPM sebagai hukum pidana materiil, maka Undang undang
Nomor 6 Tahun 1950 jo Undangundang Nomor 1 Drt Tahun 1958 tentang Hukum
Acara Pidana Militer yang kemudian diperbaiki dan dituangkan dalam Bab IV dari
pasal 264 Undang-undang tentang Peradilan Militer, sedangkan Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1997 berlaku sebagai hukum pidana formil. Hukum Militer
Indonesia mempunyai landasan, sumber-sumber dan cakupan yang sejalan dengan
hukum nasional.

Landasan hukum Militer Nasional adalah:


1) Pancasila;
2) UUD 1945;
3) Saptamarga;
4) Sumpah Prajurit dan;
5) Doktri-doktrin Militer yang berlaku bagi TNI.

Sumber-sumber formilnya adalah :

1) UUD, UU dan Peraturan-peraturan lainnya;


2) Adat dan kebiasaan-kebiasaan;
3) Perjanjian-perjanjian Internasional;
4) Doktrin-doktrin Militer Indonesia.

Sedangkan cakupannya meliputi:

1) Hukum Disiplin Prajurit;


2) Hukum Pidana Militer;
3) Hukum Acara Pidana Militer;
4) Hukum Kepenjaraan Militer;
5) Hukum pemerintahan Militer atau Hukum Tata Negara (darurat) Militer;
6) Hukum Administrasi Militer;
7) Hukum Internasional (Hukum perang/Hukum sengketa Bersenjata);
8) Hukum Perdata MiliteR.

Demi kepastian hukum maka untuk mencegah kevakuman hukum pada awal
kemerdekaan, maka melalui pasal peralihan Undang-undang Dasar 1945 dan
Peraturan Pemerintah No.2 Tahun 1945, maka W.v.M.S. yang berlaku di negeri
Belanda dan Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer disingkat KUHDM
dinyatakan masih berlaku di Republik Indonesia dengan beberapa perubahan-
perubahan, pengurangan dan penambahan terhadap kedua undang-undang tersebut
dalam UU Nomor 39 dan 40 pada tahun 1947. Undang-undang pelaksanaan dari
KUHPM yang dibuat pada tahun 1946, diperbaharui pada tahun 1950 dengan UU Drt.
Nomor 16 Tahun 1959 jo UURI Nomor 5 Tahun 1950 LN Nomor 52 Tahun 1950
tentang susunan dan kekuasaan Peradilan dan kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan
Militer.

3. Tugas dan Kewenangan dari Peradilan Militer

a. Memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai


dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
b. Mengadili tindak pidana yan dilakukan oleh seseorang yang pada waktu
melakukan tindak pidana adalah : Prajurit, jabatan yang berdasarkan undang-
undang yang dipersamakan dengan prajurit, anggota suatu golongan atau
jabatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit
berdasarkan undang-undang, dan seseorang yang tidak masuk golongan pada
huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan Panglima dengan
persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh suatu pengadilan dalam
lingkungan peradilan militer.
c. Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan
Bersenjata.
d. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang
bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

Selain berwenang mengadili pada masa damai, pengadilan militer juga


berwenang memeriksa dan mengadili setiap orang dalam keadaan perang di daerah
Hindia Belanda maupun di daerah musuh yang dikuasai oleh Angkatan Perang,
sebagaimana tercantum dalam pasal 3 ke-1, ke-2 dan ke-3 BepalingenBetreffende de
Rechtsnacht van de Militairen Rechter in Nederlandsch Indie(Stb. 1921No. 841.Titel
VIII art. 76,77,78).

Pasal 3 Selanjutnya, hakim militer, sepanjang tidak ditentukan lain dalam


salah satu dari dua pasal terdahulu, berwenang mengadili:

a. Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh setiap orangdalam


keadaan perang di suatu daerah Hindia Belandayang dinyatakan dalam
keadaan bahaya, sepanjang kejahatankejahatan itu termasuk salah satu dari
Bab I,Bab II Buku kedua KUHP atau dari KUHPM.
b. Tindak-tindak pidana dalam keadaan perang yangdilakukan di
suatu daerah Hindia Belanda yangdinyatakan dalam keadaan bahaya, apabila
hakim sipilyang menurut perundangundangan harus mengadilinya pada
tingkat pertama, tidak mampu memeriksanya;
c. Tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang
didaerah musuh yang dikuasai oleh Angkatan Perang, apabila karenanya dapat
merugikan kepentingan Belanda atau Hindia Belanda, kecuali jika
perangberakhir dan tindakan tersebut ditentukan tidak diancam pidana dalam
KUHP.

Peradilan Militer berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997.


Berdasarkan undang-undang ini, maka undang-undang yang berkaitan dengan
Peradilan Militer maupun hukum acaranya, seperti UURI Nomor 5 tahun 1950, UURI
Nomor 6 tahun 1950, UU Dtr Nomor 1 tahun 1958, UU Nomor 5 Pnps tahun 1965,
UU Nomor 3 Pnps tahun 1965, UU Nomor 23 Pnps tahun 1965,dinyatakan tidak
berlaku. Undang-Undang ini selain mengatur (memuat) tentang susunan dan
kekuasaan pengadilan serta Oditurat (Kejaksaan) dilingkungan peradilan militer juga
hukum acara pidana militer.

Hal paling baru yang tidak ada pada ketentuan-ketentuan sebelumnya adalah
masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan perkara gugatan ganti rugi
dalam perkara pidana sehingga memuat materi lebih luas dari pada ketentuan-
ketentuan sebelumnya. Berkaitan penerapannya diatur dengan peraturan pemerintah
selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak undang-undang ini diundangkan (pasal 353),
dan sampai saat ini setelah 3 (tiga) tahun undang-undang ini diundangkan, peraturan
pemerintah sebagaimana dimaksud belum dikeluarkan. Pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer terdiri dari:

1) Pengadilan Militer.
2) Pengadilan Militer Tinggi.
3) Pengadilan Militer Utama.
4) Pengadilan Militer Pertempuran.

Kekuasaan pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan


Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam
ketentuan sebelumnya, hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan
mengabungkan gugatan ganti rugi. Sedangkan Pengadilan Militer Utama,sebelumnya
bernama Mahkamah Militer Utama, sebelumnya bernama Mahkamah Tentara Agung
dengan kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk memutus
perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur berkaitan dengan
diajukannya perkara ke Pengadilan (pasal 43).

Sedangkan Pengadilan Militer Pertempuran memiliki kekuasaan memeriksa


dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang hanya dilakukan
oleh prajurit militer di daerah pertempuran serta bersifat mobil mengikuti gerakan
pasukan, berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (pasal 45 dan
46).

Berdasarkan pasal 9, Pengadilan Militer berwenang mengadili tindak pidana


yang dilakukan oleh Prajurit ABRI atauyang dipersamakan berdasarkan undang-
undang atau seseorang yang berdasarkan keputusan Panglima dengan persetujuan
Menteri kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus
dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata serta menggabungkan
perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu putusan. Selain itu,
pembinaan teknis pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.

Sedangkan pembinaan organisasi dan prosedur administrasi, finansial badan


badan pengadilan dan Oditurat dilakukan oleh Panglima, dan hal yang palingpenting,
adalah Peradilan Militer bukan badan Peradilan yang terpisah dari Mahkamah Agung
tetapi berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara tertinggi (pasal
6,7, dan 8). Hukum Acara Pidana yang dipakai, adalah sebagaimana terdapat dalam
undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai
kekhususan, seperti kewenangan komandan (Atasan yang Berhak Menghukum/
Ankum) melakukan penyidikan, penahanan serta penyerahan perkara (pasal 69
sampai dengan pasal 131).

Anda mungkin juga menyukai