Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH PERKEMBANGAN SISTEM DAN SUSUNAN PERADILAN MILITER

DAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA


DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS DISKUSI KELOMPOK

MATA PERADILAN INDONESIA

DOSEN PEMBIMBING: IBU DR. HJ. AAH TSAMROTUL FUADAH, M.AG

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK
RITA PERMATASARI
(1203030108)
SYAM MUHAMMAD HASBI (1203030120)
ULFA UMIL. F
(1203030124)
ZALFA VIOLINA ADDYSA (1203030134)

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penukis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan
rahmat dan karunia – Nya penulis dapat menyusun makalah ini tepat pada wakyunya.
Makalah ini membahas Perkembangan Sistem dan Susunan Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun banyak tantangan dan
hambatan akan tetapi akan tetapi dengan bantuan dengan berbagai pihak tantangan itu bisa
teratasi. Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
semua kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan maklah ini, semoga
bantuannya mendapat balasan setimpal dari Allah SWT. Kami sangat berharap makalah ini
dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai
Perkembangan Sistem dan Susunan Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.
Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan
dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna
tanpa adanya sarana yang membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi makalah
ini.

Bandung, Oktober 2021


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Peradilan Militer
2.2. Peradilan Militer Sebagai Pelaksana Kekuasaan
2.3. Peradilan Tata Usaha Negara
2.4. Perkembangan Sistem Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Di mana negara yang
penyelenggaraan kekuasaan pemerintahannya didasarkan atas hukum. Dalam negara hukum,
kekuasaan menjalankan pemerintahan berdasarkan kedaulatan hukum dan bertujuan untuk
menjalankan ketertiban hukum. Dalam sebuah negara hukum salah satu aspek yang paling
penting adalah persamaan di depan hukum (equality before the law). Dalam terbentuknya
persamaan di depan hukum, maka diperlukan badan peradilan. Pelaksanaan penegakan
hukum dilakukan oleh badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang merupakan
alat kekuasaan kehakiman sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945, bahwa: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa hakikat peradilan militer?
2. Bagaimana peradilan militer sebagai pelaksana kekuasaan?
3. Apa yang yang dimaksud dengan peradilan tata usaha negara?
4. Bagaimana perkembangan system peradilabn militer dan peradilan tata usaha negara?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Peradilan Militer


Militer sebagai suatu komuniti khusus mempunyai budaya tersendiri terpisah dari
Budaya masyarakat pada umumnya, misalnya budaya bahwa setiap bawahan harus hormat
pada atasan dan ada sanksi hukumannya apabila bawahan tidak hormat pada atasan. Contoh
lain adalah budaya rela mati untuk membela nusa dan bangsanya, selain itu ada Doktrin to
killor not to be killed dan memang militer dilatih untuk itu. Prinsipnya bahwa budaya hukum
di lingkungan militer harus dilihat dari sikap prajurit itu sendiri dalam keseharian. Karena
militer mempunyai budaya tersendiri maka militer mempunyai hukum sendiri, di samping
hukum yang bersifat umum. dalam rangka penegakan hukum di lingkungan militer tersebut
dibutuhkan peradilan militer tersendiri tidak hanya menegakkan hukum militer murni tapi
juga hukum umum yang juga berlaku bagi militer. Upaya penegakan hukum melalui
pengadilan militer tersebut merupakan upaya pilihan terakhir (ultimum Remidium) jika upaya
pembinaan disiplin dan penegakan hukum disiplin yang sudah dilakukan setiap Komandan
tidak mampu lagi mengatasinya. Dengan demikian pengadilan militer merupakan alat yang
ampuh dalam menjaga dan meningkatkan disiplin prajurit sehingga setiap prajurit selalu
dalam keadaan siap sedia untuk dikerahkan dalam setiap penugasan kapan saja dan dimana
saja.1
Sejak berdirinya negara Republik Indonesia telah diinsyafi perlunya Peradilan Militer
yang secara organisasi berdiri terpisah dari Peradilan Umum . Ada beberapa alasan mengapa
perlu dibentuk peradilan militer yang berdiri terpisah dari peradilan umum, yaitu:
a) Adanya tugas pokok yang berat untuk melindungi, membela dan
Mempertahankan integritas serta kedaulatan bangsa dan negara yang jika
perlu diilakukan dengan kekuatan senjata dan cara berperang.
b) Diperlukannya organisasi yang istimewa dan pemeliharaan serta pendidikan
ykhusus berkenan dengan tugas pokok mereka yang penting dan berat.
c) Diperkenankannya mempergunakan alat-alat senjata dan mesiu dalam
Pelaksanaan tugas yang dibebankan kepadanya.
d) Diperlukannya dan kemudian diberlakukannya terhadap mereka aturan-aturan
dan norma-norma hukum yang keras, berat dan khas serta didukung oleh
sanksi-sanksi pidana yang berat pula sebagai sarana pengawasan dan
pengendalian terhadap setiap anggota militer agar bersikap dan bertindak serta
bertingkah laku Sesuai dengan apa yang dituntut oleh tugas pokok.2

1
Tiarsen Buaton, Peradilan Militer di Indonesia di Bawah Kekuasaan Makamah Agung dalam Demi Keadilan.
Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana, Editor Jufrina Rizal, Suhariyono AR (Jakarta : Pustaka
Kemang, 2016) Hal. 378
2
Pasal 5 Ayat (1) UU Peradilan Militer
Dalam norma-norma hukum militer penting dan mutlak untuk dipahami Hakim
Militer, sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan UU Peradilan Militer ditentukan bahwa
hakim militer selain berpedoman pada asas-asas yang sebagaimana yang tercantum dalam
UU kekuasaan kehakiman, juga harus memperhatikan asas dan ciri-ciri tata kehidupan
militer.
Hukum Militer berkaitan erat dengan perang, dan secara historis peranglah yang
melahirkan angkatan bersenjata. Sejarah perang membuktikan bahwa angkatan bersenjata
yang baik organisasinya dan yang disiplinnya tinggi selalu unggul dalam pertempuran dengan
demikian dalam hukum militer terefleksi asas-asas perang, asas-asas porganisasi militer,
Asas-asas disiplin militer dan asas-asas hukum militer.3
 Asas-asas Perang
Penelitian sejarah perang telah melahirkan sembilan asas perang yang sepanjang
sejarah membawa kemenangan apabila asas-asas itu diperhatikan dan yang membawa
kekalahan apabila asas-asas itu diabaikan atau dilangggar.
Kesembilan asas itu adalah :
1) The maintenance of the objective , artinya bahwa apapun yang terjadi harus selalu
diingat apa yang menjadi tujuan atau sasaran;
2) Offensive, artinya bahwa serangan merupakan faktor yang menentukan;
3) Mobility, artinya mobilitas atau kemampuan untuk secara cepat bergerak merupakan
faktor yang menentukan;
4) Surprise, artinya bahwa menghadapkan musuh kepada pendadakan atau keadaan yang
tidak diduganya, membuat musuh kebingungan dan kehilangan ketenangan;
5) Concentration atau memusatkan kekuatan yang sebesar mungkin di tempat dan pada
waktu tertentu merupakan faktor yang menentukan;
6) Co-operation atau kerjasama antara satuan-satuan merupakan suatu keharusan;
7) Economy of force atau penggunaan kekuatan secara efisien mungkin;
8) Security atau pengamanan pihak sendiri, pengamanan pangkalan, logistik dan
sebagainya, terhadap kemungkinan serangan musuh atau kemungkinan sabotase dan
subversi.
9) Simplicity atau kesederhanaan artinya semua rencana harus sedemikian rupa sehingga
dapat secara mudah dipahami dan diingat.

 Asas-asas Organisasi Militer


Asas-asas perang tersebut mempengaruhi pengorganisasian angkatan bersenjata.
Pengalaman menunjukkan bahwa supaya rencana operasi atau perintah militer dapat
terlaksana secara secepat dan seefisien mungkin maka organisasi militer diliputi oleh asas-
asas sebagai berikut:

3
ASS Tambunan, Hukum Militer Indonesia, Suatu Pengantar (Jakarta : Pusat Studi Hukum Militer STHM,
2005) Hal. 50
1) Asas kesatuan komando yaitu yaitu bahwa dalam kehidupan militer dengan struktur
organisasinya, seorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan bertanggung
jawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya.
2) Asas hirarki atau struktur yang berjenjang, atas asas hubungan atasan-bawahan dan
asas komandan bertanggung jawab terhadap anak buahnya. Asas ini adalah
merupakan kelanjutan dari asas kesatuan komando. Dalam Tata kehidupan dan ciri-
ciri organisasi Angkatan Bersenjata, komandan berfungsi sebagai pimpinan, guru,
bapak, dan pelatih, sehingga seorang komandan harus bertanggung jawab penuh
terhadap kesatuan dan anak buahnya.
3) Asas kepentingan militer artinya untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan
negara, kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan golongan dan
perorangan. Namun, khusus dalam proses peradilan (penegakan hukum) bahwa
kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan kepentingan hukum.

 Asas-asas Disiplin Militer


1) Disiplin militer adalah jiwa militer, tanpa disiplin suatu angkatan bersenjata tidak
lebih daripada gerombolan bersenjata. Sehubungan peran TNI yang sangat
menentukan dalam rangka fungsi eksistensi/kelangsungan hidup negara dan fungsi
integrasi negara, maka dapat pula dikatakan bahwa disiplin militer merupakan tiang
penegak negara.
2) Perkembangan pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi
cara berperang dan penyelenggaraan angkatan bersenjata. perkembangan itu juga
menyebabkan ditinggalkannya pengertian disiplin militer yang lama yaitu ketaatan
mutlak prajurit kepada atasan dan perintahnya. Sekarang ini disiplin militer diartikan
sebagai pengerahan jiwa-raga prajurit kepada pelaksanaan tugas kewajibannya
berdasarkan keyakinan bahwa begitulah seharusnya (motivasi).
3) Setiap prajurit, baik perwira, bintara atau tamtama harus mengerti betul tugas
kewajibannya. Dapatlah dipahami bahwa selain faktor kepemimpinan (leader-ship),
unsur motivasi sangat penting dalam pembinaan disiplin militer.
Hal ini sangat mempengaruhi hubungan atasan-bawahan yang ditandai oleh dua hal
yaitu kewibawaan dari atas dan ketaatan dari bawah wibawa atasan tercipta karena
kepemimpinannya, pengetahuan, pengalaman, ketrampilan dan keteladanan yang
ditunjukannya sehingga bawahannya patuh kepadanya. Oleh sebab itu disiplin selalu dimulai
dari atas.
Asas-asas Hukum Militer terdiri dari:
1) Asas personalitas/perorangan yang berarti bahwa bilamanapun dan kemanapun diri
militer (subjek) pergi maka hukum militer tetap mengikuti dirinya
2) Asas ekstra-teritorialitas berarti bahwa pada prinsipnya pengadilan negara asing tidak
dapat mengadili militer Indonesia, yang berarti pula bahwa pengadilan militer
Indonesia dapat bersidang untuk memeriksa dan memutus perkara di negara lain.
3) Asas hukum militer bersifat keras, tegas dan bijaksana.
4) Asas hukum militer terdapat keseimbangan antara Rechmatigheid (Kepentingan
Hukum) dengan Doelmatigheid (Kegunaan/Tujuan Hukum). dalam penegakkan
dominan Faktor Doelmatigheid.
5) Bahwa dalam asas hukum militer yang menjadi inti (pusat, middelpunt) adalah diri
militer (subjek) dan Keamanan Negara dan Bangsa, yang tidak terpisahkan.4
Dengan demikian di dalam suatu angkatan perang diperlukan suatu badan peradilan
militer yang berdiri sendiri yang dalam melaksanakan tugasnya mampu menegakkan hukum
dan keadilan tanpa merugikan kepentingan militer.
2.2. Peradilan Militer Sebagai Pelaksana Kekuasaan
Militer merupakan salah satu bagian dari masyarakat negara yang menyelenggarakan
sub sistem hukum negara berkaitan dengan pembelaan serta pertahanan negara. Dalam
penegakan suatu disiplin militer diperlukan aturan atau norma yang memiliki sanksi yang
tegas dan jelas terhadap anggota militer yang dilatih khusus untuk membela dan menjaga
keamanan dan pertahanan negara namun tetap dapat membela dan menjaga hak mereka
sebagai warga negara. Oleh karena itu diperlukan suatu sistem peradilan militer bagi anggota
militer yang merupakan suatu sistem peradilan yang berada dalam tubuh institusi militer
sebagai badan yang mengemban tugas mewujudkan proses hukum yang adil bagi anggota
militer (due process of law), dan penegakan disiplin anggota militer dimana peradilan militer
ini harus mampu menjamin bahwa mekanisme hukum tersebut juga melindungi hak-hak sipil
anggota militer tersebut.
A. Pengertian Peradilan Militer sebagai Pelaksana Kekuasaan
Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dilingkungan angkatan
bersenjata yang mana untuk menegakkan hukum serta keadilan dengan memperhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Keuasaan pengadilan militer
telah diatur diatur didalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 47 Undang Undang Peradilam
Militer (KUHPM).
Peradilan Militer juga merupakan salah satu pilar kekuasaan kehakiman di samping
lingkungan peradilan lain seperti di maksud pasal 10 ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970.
Keberadaan Peradilan Militer merupakan konsekuensi logis adanya atatus subyek tindak
pidana itu yakni seseorang berstatus militer. Dalam hal terjadi kasus demikian maka akan
berlaku hukum pidana militer yang idatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Peradilan
Militer (KUHPM) sebagai Hukum materiil.
B. Dasar Hukum Peradailan Militer
Landasan hukum yang cukup penting dalam memberikan hukuman kepada militer
yang melakukan pelanggaran dapat dilihat dalam UU Nomor 26 Tahun 1997 tentang
Hukum Disiplin Prajurit. Dalam UU tersebut Komandan adalah atasan yang oleh atau
atas dasar UU tersebut diberi kewenangan menjatuhkan hukuman disiplin kepada setiap
Prajurit TNI yang berada di bawah wewenang komandonya apabila Prajurit TNI tersebut
melakukan pelanggaran hukum disiplin.
C. Susunan Badan Peradilan Militer
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer.
Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan
4
Lihat Pasal 4 KUHPM yang memberlakukan asas personalitas bagi militer di luar wilayah Republik Indonesia
Dan Pasal 5 KUHPM yang merupakan dasar hukum kekuasaan peradilan militer di luar negeri.
militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan
semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 menentukan bahwa:
Pasal 9
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan
tindak pidana adalah
2) Memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata.
3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan
atas permintaan dari pihakyang dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak
pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus kedua perkara tersebut
dalam satu putusan.
Pasal 10
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 angka 1 yang:
a. tempat kejadiannya berada di daerah hukumnya; atau
b. terdakwanya termasuk suatu kesatuan yang berada di daerah hukumnya.
Pasal 11
Apabila lebih dari 1 (satu) pengadilan berkuasa mengadili suatu perkara dengan
syarat-syarat yang sama kuatnya, pengadilan yang menerima perkara itu lebih dahulu
harus mengadili perkara tersebut. Susunan Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
terdiri dari:
a. Pengadilan Militer;
b. Pengadilan Militer Tinggi;
c. Pengadilan Militer Utama; dan
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Adapun wewenang pengadilan dalam lingkungan peradilan militer, yaitu sebagai berikut:
1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang prajurit atau anggota yang
pada wakti itu melakukan suatu tinda pidana
2) Memeriksa, memutus, serta menyelesaikan sengketa tata usaha angkatan
bersenjata
3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi didalam perkara pidana yang
bersangkutan atas permintaan dari pihak yang dirugikan sebagai akibat yang
ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus
memutus kedua perkara tersebut dalam satu putusan.

D. Hakim Peradilan Militer


Didalam Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer, disebutkan bahwa :
a) Hakim Ketua didalam persidangan pengadilan militer paling rendah yaitu
berpangkat mayor, sedangkan hakim anggota dan oditur militer paling rendah
yaitu berpangkat kapten.
b) Hakim ketua didalam persidangan pengadilan militer tinggi paling rendah
berpangkat kolonel, sedangkan hakim anggota dan oditur militer paling rendah
berpangkat letnan kolonel.
c) Hakim Ketua dalam persidangan Pengadilan Militer Utama paling rendah
berpangkat Brigadir Jenderal/Laksamana Pertama/ Marsekal Pertama, sedangkan
Hakim Anggota paling rendah berpangkat Kolonel.
d) Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan
Hakim Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling rendah berpangkat
setingkat lebih tinggi dari pada pangkat Terdakwa yang diadili.
e) Hakim Anggota dan Oditur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan
Hakim Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling rendah berpangkat
setingkat lebih tinggi dari pada pangkat Terdakwa yang diadili.

E. Panitera Peradilan Militer


Didalam Pasal 16 ayat 6 Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer disebutkan bahwa:
Kepangkatan Panitera dalam persidangan adalah:
1) Pengadilan militer paling rendah berpangkat pembantu letnan dua dan paling
tinggi berpangkat kapten.
2) Pengadilan militer tinggi paling rendah berpangkat kapten dan paling tinggi
berpangkat mayor
3) Pengadilan Militer Utama paling rendah berpangkat Mayor dan paling tinggi
berpangkat Kolonel.
Dalam Pasal 29 Undang-Undang Republik Indonesia No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer di katakan: “Panitera diangkat dan diberhentikan oleh Panglima”.
2.3. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu peradilan yang ada di
Indonesia yang berwenanga untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan
Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9 Tahun 2004
tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), bahwasannya peradilan tata usaha negara
diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan,
ataupun sengketa antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga masyarakat. UU
PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang
penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
1. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986, diuraikan tentang pengertian-
pengertian yang berkaitan dengan Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu:
a) Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
b) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat yang
melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
c) Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan
hukum tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
d) Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e) Gugatan Tata Usaha Negara adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke pengadilan untuk
mendapatkan keputusan.
f) Tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
g) Penggugat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 adalah Setiap Orang atau Badan Hukum Perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha
Negara.
h) Gugatan Perwakilan Kelompok adalah suatu tata cara pengajuan gugatan, dalam
mana satu orang atau lebih yang mewakili kelompok mengajukan gugatan untuk
diri atau diri-diri mereka sendiri dan sekaligus mewakili sekelompok orang yang
jumlahnya banyak, yang memiliki kesamaan fakta atau dasar hukum antara wakil
kelompok dan anggota kelompok dimaksud (Pasal 1 huruf a Peraturan Mahkamah
Agung RI Nomor 1 Tahun 2002).
2. Subyek dan Objek Peradilan Tata Usaha Negara
Subyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut:
a) Penggugat
Pihak yang dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
adalah:
- Orang yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara (KTUN).
- Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).
b) Tergugat
Yang dapat digugat atau dijadikan tergugat sebagaimana diuraikan dalam
pengertian tergugat diatas adalah jabatan yang ada pada Badan Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan KTUN berdasarkan wewenang dari Badan TUN itu atau
wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Hal ini mengandung arti bahwa bukanlah
orangnya secara pribadi yang digugat tetapi jabatan yang melekat kepada orang
tersebut.
Obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu sebagai berikut: Yang menjadi
obyek dalam Peradilan Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN). Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.
3. Penyelesaian Sengketa TUN
Dalam Pasal 48 UU No 5 Tahun 1986 tentang UU PTUN menyebutkan:
1) Dalam suatu badan atau pejabat tata usaha Negara diberi wewenang oleh atau
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha
Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.
2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan
sengketa tata usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, jika selutuh
upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
Dengan demikian upaya administatif itu merupakan prosedur yang digunakan dalam
suatu peraturan perundang-undangan untuk menyelesaiakan sengketa TUN yang
dilakssanakan di lingkungan pemerintah sendiri (bukan oleh peradilan yang bebas). Yang
terdiri dari prosedur keberatan dan prosedur banding administratif.
4. Susunan Peradilan Tata Usaha Negara
Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara telah menentukan kekuasaan Peradilan
Tata Usaha Negara meliputi:
a) PTUN, yang merupakan pengadilan tingkat pertama
b) PTUN, yang merupakan pengadilan tingkat banding
Tempat kedudukan pengadilan berdasarkan pasal 6 UUPTUN, meliputi:
1) PTUN berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah kabupaten/kota
2) PTUN berkedudukan di ibu kota provinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah
provinsi
Pembentukan PTUN dilakukan melalui Kepres, sedangkan untuk membentuk PTTUN
dilakukan melalui undang-undang. Di lingkungan pengadilan dapat dibentuk pengadilan
khusus yang diatur dengan undang-undang. Pada pengadilan khusus dapat diangkat
hakim ad hoc untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang membutuhkan
keahlian dan pengalaman dalam bidang tertentu dengan jangka waktu tertentu. Ketentuan
mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian serta tunjangan hakim ad
hoc diatur dengan peraturan perundang undangan.
2.4. Perkembangan Sistem Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara
A. Perkembangan Peradilan Militer
Peradilan militer untuk pertama kali, berlaku melalui Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara. Pengadilan tentara ini
memiliki wewenang mengadili berdasarkan kompetensi absolut terhadap prajurit tentara, baik
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara serta orang-orang sipil yang
berhubungan dengan kepentingan ketentaraan. Sementara susunan pengadilan terdiri dari
Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung. Peradilan militer juga tidak terpisah
sepenuhnya dari peradilan biasa yang ditunjukkan dengan pejabat-pejabat yang berwenang di
lingkungan peradilan tentara. Ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung otomatis menjadi
Ketua Mahkamah Tentara Agung dan Jaksa Tentara Agung. Selain itu, hukum acara yang
digunakan berdasar pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1946 tentang Hukum Acara
Pidana Guna Peradilan Tentara yang mengatur pengusutan dan penyerahan perkara ada pada
jaksa.
Tahun 1948 terjadi perubahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948
tentang jo. Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1948 tentang Pemberian Kekuasaan Penuh
kepada Presiden dalam Keadaan Bahaya. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948
mengatur perubahan ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur
sebelumnya. Kompetensi absolut peradilan militer ini meluas kepada prajurit TNI, orang
yang ditetapkan sama dengan prajurit TNI melalui Penetapan Presiden, anggota suatu
golongan atau jabatan yang dipersamakan atau dianggap tentara oleh atau undang-undang
atau orang-orang yang ditetapkan langsung oleh Menteri Pertahanan dan disetujui oleh
Menteri Kehakiman serta terdakwa yang termasuk dalam kejahatan yang dinyatakan dalam
keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 UUD 1945.
Di masa Agresi Belanda II muncul Peraturan Darurat Nomor 46/MBDK/49 tahun
1949 tentang Menghapus Pengadilan Tentara di seluruh Jawa Madura dan mengganti dengan
Pengadilan Tentara Pemerintah Militer. Kompetensi absolut pengadilan ini meliputi
Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, anggota pasukan yang telah dimiliterisir
serta pegawai tetap yang bekerja pada angkatan perang.
Di masa Republik Indonesia Serikat (RIS), peraturan diganti kembali menjadi
Peraturan Presiden Pengganti UndangUndang Nomor 36 Tahun 1949. Akan tetapi,
kompetensi absolut, susunan pengadilan dan hukum acaranya masih sama dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948. Pada masa UUDS 1950, peraturan mengenai peradilan
militer diganti kembali menjadi Undang-Undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950, yang
kemudian ditetapkan menjadi UndangUndang Nomor 5 Tahun 1950. Penggunaan Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1950 membuat Independensi pengadilan lebih baik karena apabila
ada perselisihan mengenai kewenangan mengadili antara pengadilan di lingkungan peradilan
tentara dengan pengadilan biasa akan diputuskan oleh Mahkamah Agung Indonesia.
Sejak tahun 1964, seluruh sistem pengadilan berada dalam satu atap di bawah
Mahkamah Agung yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Walaupun demikian, pengadilan-pengadilan ini belum
sepenuhnya independen dari kekuasaan lain karena untuk beberapa hal masih berada di
bawah kekuasaan eksekutif, seperti di bawah pimpinan Mahkamah Agung, organisatoris,
administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen
Keagamaan dan departemen-departemen dalam lingkungan angkatan bersenjata.
Tahun 1965, kontrol militer terhadap peradilan militer semakin besar melalui PNPS
Nomor 22 Tahun 1965 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950. Melalui
peraturan ini pejabat utama pada badan-badan peradilan militer dijabat oleh kalangan militer
sendiri. PNPS ini diikuti oleh Surat Keputusan Bersama Menteri/Jaksa Agung dan Menteri
Kepala Staf Angkatan Darat Nomor MK/KPTS189/9/196174/UP/DKT/A/11022/181/P en,
yang menyatakan pengalihan wewenang administratif termasuk pengangkatan, penghentian
jaksa tentara dan penentuan kebijaksanaan dalam kejaksaan militer kepada Menteri/Kepala
Staf Angkatan Darat (KSAD).
B. Perkembangan Peradilan Tata Usaha Negara
Cita-cita terbentuknya Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara sudah dimulai
sejak lahirnya UUD 1945, hal ini dapat diketahui dari ketentuan pasal 24 menyatakan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh suatu Mahkama Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut Undang-Undang. Susunan dan badan kehakiman diatur dengan Undang-Undang.
Peradilan Tata Usaha Negara sebagai peradilan yang terkhir dibentuk, yang ditandai
dengan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986,
dalam konsideran “menimbag” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan
dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata
kehidupan Negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tentran serta tertip yang menjamin
kehidupan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang
serasi, seimbang serta selaras antara aparatur dibidang Tata Usaha Negara dan para warga
masyarakat. Dengan demikian, lahirnya PERATUN yang menjadi bukti bahwa Indonesia
adalah Negara hukum, yang menjunjung tinggi nilainilai keadilan. Kepastian hukum hak
asasi manusia (HAM).
Sejak mulai di operasionalkannya peratun pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan
peraturan pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya
tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan dan Ujung Pandang,
kemudian berkembang dengan didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
diseluruh ibu kota Privinsi sebagai pengadilan tinggat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan
peratun sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang
memeriksa, mengadili dan memutus sengketa tata usaha Negara antara anggota masyarakat
dan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan
kontribusi dan sumbangsih didalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat
serta menciptakan perilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serata sadar akan tugas dan
fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pada dasarnya reformasi peradilan militer merupakan semangat dari demokrasi yang
dijalankan dalam sistem pemerintahan Indonesia, dimana menurut ketentuan Undang-undang
Nomor 65 ayat 2 tentang Tentara Nasional Indonesia dan pasal 25 ayat 4Undang-Undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman mengamanatkan bagi prajurit yang
melakukan tindak pidana militer tunduk pada peradilanmiliter, sedangkan bagi prajurit yang
melakukan tindak pidana umum tunduk pada peradilan umum .
Mekanisme peradilan militer yang dipraktekkan selama ini sesungguhnya telah
memadai, Pengadilan militer dibentuk untuk mengakomodasi kepentingan militer dan
keadilan di lingkungan militer, oleh karena itu tugas dan peran peradilan militer dikhususkan
untuk anggota militer yang melakukan tindak pidana umum dan tindak pidana militer.
Eksistensi peradilan militer di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah kemerdekaan
bangsa ini, dimana pada saat itu TNI (dulu disebut sebagai BKR) berjuang hingga titik darah
penghabisan untuk merebut kemerdekaan dari kaum penjajah, sehingga dalam setiap tindak
pidana yang dilakukan oleh prajurit BKR pada saat itu baik tindak pidana umum maupun
tindak pidana militer, tetap diproses di pengadilan militer (dulu disebut sebagai pengadilan
militer. Hal tersebut adalah warisan dari sejarah berdirinya bangsa Indonesia yang
mempunyai latar belakang sejarah yang berbeda dengan bangsa-bangsa lainnya, sehingga
dalam segi kedudukan peradilan militernya pun berbeda dengan Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Tambunan, ASS. Hukum Disiplin Militer, Suatu Kerangka Teori (Jakarta: Pusat Studi Hukum Militer
STHM, 2005).
Sianturi, SR. Hukum Pidana Militer di Indonesia (Jakarta : Alumni AHM-PTHM,1985)
Soegiri SH, dkk. 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia (Jakarta :
CV. Indra Djaya, 1976)
Indroharto, 1993, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Buku II),
Sinar Harapan, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai