DISUSUN OLEH :
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI ............................................................................................. iii
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu menimbulkan keresahan serta
rasa tidak aman pada masyarakat. Tindak pidana yang terjadi di Indonesia juga semakin
beragam baik dari jenis tindak pidana itu sendiri maupun dari sisi pelaku. Terlebih lagi tindak
pidana tidak hanya dilakukan oleh warga sipil, melainkan seorang anggota militer dengan sapta
marga dan sumpah prajuritnya sebagai bhayangkari negara dan bangsa dalam bidang
pertahanan keamanan negara, penyelamat bangsa dan negara, serta sebagai pelatih rakyat guna
menyiapkan kekuatan dalam menghadapi setiap bentuk ancaman musuh atau lawan justru tidak
jarang turut melakukan suatu tindak pidana terhadap masyarakat atau warga sipil.
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen keempat telah menyatakan: “segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Melalui isi pasal tersebut dapat
disimpulkan bahwa hukum tidak akan membeda-bedakan masyarakat baik dari suku, agama,
ras, dan antar golongan. Namun pasal tersebut ternyata tidak serta-merta membuat segenap
Warga Negara Indonesia yang melakukan suatu tindak pidana diadili dalam satu peradilan yang
sama.
1
B. Rumusan Masalah
2. Bagaimana perbedaan antara tindak pidana militer dengan tindak pidana umum?
C. Tujuan Masalah
2. Memahami perbedaan antara tindak pidana militer dengan tindak pidana umum
2
BAB II
PEMBAHASAN
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan tindak pidana militer, maka menurut Sianturi, tindak pidana militer dibagi
menjadi dua, yaitu:
Tindak Pidana Militer murni, adalah tindakan-tindakan terlarang atau diharuskan yang
pada prinsipnya hanya mungkin dilanggar oleh seseorang militer, atau dengan kata lain, tindak
pidana yang dilakukan oleh militer, karena keadaannya yang bersifat khusus.18misalnya
tentang desersi yang diatur dalam pasal 87 KUHPM atau Insubordinasi yang diatur dalam pasal
107 KUHPM.
1
Moeljatno dan Marliman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Jilid 2,cet.3,
Jakarta: Pradnya Paramita,1997, hal. 5
3
2. Tindak Pidana Militer Campuran
Sebelum dijelaskan tentang proses peradilan pidana militer, akan dijelaskan terlebih
dahulu sistem peradilan pidana (yang berlaku Umum) sebagai pembanding, khususnya
berkaitan dengan komponen atau sub-sistem peradilan pidana yang meliputi Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga pemasyarakatan (LP). Sebagaimana diketahui, keempat
lembaga tersebut masingmasing secara administratif berdiri sendiri. Kepolisian saat ini
kedudukannya langsung dibawah Presiden. Kejaksaan berpuncak pada kejaksaan agung,
Pengadilan (berdasarkan UURI Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasan Kehakiman) paling lambat dalam waktu 5 (lima) tahun sejak tanggal 31 Agustus
1999, secara organisasi administrasi dan finansial beralih kepada Mahkamah Agung.
Kemudian Lembaga Pemasyarakatan (LP) berada dalam struktur organisasi Departemen
Kehakiman, yaitu dibawah Ditjen Pemasyarakatan. Ke-empat komponen atau subsistem
peradilan pidana tersebut menurut Mardjono Reksodiputro, memiliki keterkaitan antara sub-
sistem satu dengan lainnya ibarat bejana berhubungan , dan diharapkan bekerjasama
membentuk apa yang dikenal dengan nama suatu integrated criminal justice administration.2
Demikian halnya dengan sistem peradilan pidana militer, memiliki komponen atau
subsistem peradilan pidana militer, pengadilan militer dan pemasyarakatan militer serta yang
tidak kalah penting adalah Ankum dan Papera. Dalam sistem peradilan pidana, kepolisian
memiliki kewenangan melakukan penyidikan, Kejaksaan memiliki kewenangan penuntutan
2
Mardjono Reksodiputro., Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana., cet. III., Jakarta, 1999, hal. 85-
89
4
(untuk kasus-kasus tertentu selaku penyidik, seperti kausu korupsi), pengadilan memiliki
kewenangan mengadili serta pemasyarakatan, tempat dimana narapidana menjalankan
pidananya.
Kekhususan hukum serta peradilan yang dimiliki anggota militer tidak pula membuat
hukum pidana umum menjadi tidak berlaku bagi anggota militer. Hukum pidana umum tetap
berlaku bagi anggota militer dan akan disebut sebagai tindak pidana campuran apabila
pelakunya merupakan anggota militer, hanya saja hukum pidana militer memuat peraturan-
peraturan yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang telah di atur di dalam hukum
pidana umum dan hanya berlaku bagi golongan khusus (militer) atau orang-orang karena
peraturan perundang- undangan tersebut ditundukkan padanya.3 Karena kekhususan yang
terdapat dalam KUHPM tersebut, maka terjadi pengurangan, penambahan, atau penyimpangan
dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP).4
Adapun yang merupakan tindak pidana militer yang termasuk dalam yurisdiksi
peradilan militer yaitu tindak pidana umum atau tindak pidana yang telah dikodifikasi dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) apabila dilakukan oleh anggota militer,
maupun tindak pidana khusus (diluar kodifikasi) yang diatur dalam peraturan
perundangundangan pidana lain, serta tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Militer (KUHPM). Tindak pidana pembunuhan misalnya, tindak pidana
pembunuhan merupakan tindak pidana umum karena telah diatur dalam Pasal 338 KUHP
“barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan,
dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”.5 Apabila tindak pidana pembunuhan
tersebut dilakukan oleh anggota militer, maka perkara tersebut akan diadili di peradilan militer.
Selain itu tindak pidana yang bukan merupakan tindak pidana umum atau diluar kodifikasi,
misalnya penyalahgunaan narkotika, serta tindak pidana yang diatur dalam KUHPM, misalnya
disersi juga akan diadili di peradilan militer. Selain ketiga bentuk tindak pidana tersebut,
kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer tidak akan diselesaikan melalui sidang pidana
militer melainkan melalui sidang disiplin militer.
Meskipun tindak pidana yang dilakukan merupakan tindak pidana umum, misalnya
tindak pidana pembunuhan, namun apabila dilakukan oleh anggota militer maka akan diadili
3
Ibid, hlm. 30.
4
Ibid, hlm. 42.
5
Moeljanto, 2001, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 122.
5
di peradilan militer karena merupakan tindak pidana campuran dalam hukum pidana militer.
Hukum pidana militer memiliki aturan tersendiri bagaimana anggota militer harus
mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer, karena
pertanggungjawaban tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh anggota militer akan
berbeda dengan pertanggungjawaban tindak pidana pembunuhan yang dilakukan oleh warga
sipil.
Dihadapan hukum semuanya adalah sama atau setara (Equality before the law), hal ini
lebih ditegaskan lagi dalam pasal 27 ayat (1) UUD 1945 amandemen ke-empat yang
menyatakan bahwa warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
dengan tidak ada pengecualian. Sebagai warga negara, anggota militer sama dengan warga
negara lainnya di dalam hukum, sebaliknya hukum yang berlaku bagi masyarakat sipil juga
berlaku bagi militer, sehingga militer dapat menjadi dua subyek tindak pidana sekaligus,
seorang militer pada dasarnya termasuk dalam dua subjek pidana yaitu subjek tindak pidana
umum dan subjek tindak pidana militer. Untuk kalangan militer selain hukum yang bersifat
umum (lex generalis) juga diberlakukan hukum yang bersifat khusus (lex specialis).6
Hukum pidana umum merupakan lex generanis, berlakunya hukum pidana umum bagi
kalangan militer didasari oleh Pasal 103 KUHP dan pasal 1 dan pasal 2 KUHPM. Hukum
pidana materiil secara umum ialah hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
Kekhususan tersebut didasarkan pada suatu materi tertentu atau pada golongan yustisiabel
tertentu yaitu yang berlaku bagi golongan militer misalnya, hukum pidana militer.7
Berikut adalah perbandingan detail antara tindak pidana militer dan tindak pidana
umum:
1. Subjek Hukum
Tindak pidana militer: Dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI), baik
saat bertugas maupun tidak bertugas.
Tindak pidana umum: Dilakukan oleh setiap orang, termasuk prajurit TNI saat tidak
bertugas.
6
KontraS. (2009). Menerobos Jalan Buntu: Kajian Terhadap Sistem Peradilan Militer, (Jakarta: Rinam
Antartika), hlm. 43
7
Utami, N. S. B, & Supriyadi, Op. Cit., hlm. 104
6
2. Dasar Hukum
Tindak pidana militer: Diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer
(KUHPM) dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di lingkungan TNI.
Tindak pidana umum: Diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di masyarakat umum.
3. Jenis Perkara
Tindak pidana militer: Terdiri dari tindak pidana khusus militer (hanya dapat dilakukan
oleh prajurit TNI) dan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI.
Tindak pidana umum: Berbagai macam jenis pelanggaran hukum yang diatur dalam
KUHP dan peraturan perundang-undangan lainnya.
4. Alat Bukti
Tindak pidana militer: Alat bukti diatur dalam KUHPM dan peraturan perundang-
undangan lainnya yang berlaku di lingkungan TNI.
5. Acara Sidang
6. Pidana
Tindak pidana militer: Pidana yang dapat dijatuhkan diatur dalam KUHPM dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di lingkungan TNI, termasuk hukuman
mati.
Tindak pidana umum: Pidana yang dapat dijatuhkan diatur dalam KUHP dan peraturan
perundang-undangan lainnya, tidak termasuk hukuman mati.
7
7. Upaya Hukum
Tindak pidana militer: Upaya hukum yang dapat dilakukan diatur dalam KUHPM dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku di lingkungan TNI.
Tindak pidana umum: Upaya hukum yang dapat dilakukan diatur dalam KUHAP.
Contoh:
Seorang prajurit TNI yang melakukan desersi (meninggalkan tugas tanpa izin) akan
dihukum berdasarkan KUHPM.
Seorang prajurit TNI yang melakukan pencurian di luar dinas akan dihukum
berdasarkan KUHP.8
8
Chairul Huda, S.H., M.H, Hukum Pidana Militer, (Jakarta: Rajawali Pers), hlm 19
8
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari bunyi Pasal 1 KUHP Militer tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum pidana
umum tetap berlaku bagi anggota militer, kecuali ada penyimpangan. KUH Pidana sebagai lex
generalis (Hukum Pidana Umum) sedangkan KUHP Militer sebagai lex specialis. Dalam hal
ini berlaku adagium lex specialis drogat lex generalis (ketentuan khusus mengenyampingkan
hukum pidana umum). Tindak pidana militer dan tindak pidana umum memiliki perbedaan
dalam hal subjek hukum, dasar hukum, jenis perkara, alat bukti, acara sidang, pidana, dan
upaya hukum. Perbedaan ini disebabkan oleh kedudukan prajurit TNI yang khusus dan
kebutuhan untuk menjaga disiplin dan ketaatan dalam lingkungan TNI.
9
DAFTAR PUSTAKA
Akub, S. M., & Baharu, B. (2012). Wawasan Due Proses of Law Dalam Sistem Peradilan
Pidana. (A. Ilyas, Penyunt.) Yogyakarta: Rangkang Education.
Budi, N. S., & Supriyadi. (2014, Mei). Yurisdiksi Peradilan Militer Terhadap Prajurit Tentara
Nasional Indonesia Sebagai Pelaku Tindak Pidana. Yustisia, 3(2).
Chairul Huda, S.H., M.H. (2020). Hukum Pidana Militer. Jakarta: Rajawali Pers.
KontraS. (2009). Menerobos Jalan Buntu: Kajian Terhadap Sistem Peradilan Militer. Jakarta:
Rinam Antartika
Moeljatno, S. (2007). Hukum Pidana Militer. Bandung: Alumni.
Moeljanto, 2001, KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, PT Bumi Aksara, Jakarta
Soedarto, S. (2012). Hukum Acara Pidana Militer. Jakarta: Sinar Grafika.
Salam, M. F. (2002). Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia. Bandung: Mandar Maju
10