Disusun Oleh:
Sem. II/PGMI A
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami ucapkan rasa syukur atas kehadirat Allah yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
Makalah ini telah di susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu
dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar
Pemakalah
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
keilmuan menyebabkan otak anak menjadi sebuah memori komputer yang
tidak memiliki kemampuan berkreasi. Pendidikan di Indonesia, baik formal,
nonformal, maupun informal merupakan proses yang dengan sengaja
dilakukan untuk tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengembangkan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, bernilai luhur, berkepribadian yang mantap, mandiri, dan
bertanggung jawab.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Nilai
Nilai diambil dari bahasa Inggris yaitu Value yang berarti berharga dengan
demikina ialah pendidikan nilai ialah niai yang berharga dalam pendidikan
seperti menurut para ahli mendefinisikan yaitu satraprateja mendefinisikan
pendidikan nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai dalam diri
seseorang, pendidikan nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar
menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral
dalam keseluruhan hidupnya.1 Menurut peranan nilai sosial, dari buku sosiologi
mendefinisikan nilai merupakan suatu sarana untuk menimbang pendidikan nilai
masyarakat dalam memenuhi peran sosial dan pemersatu individu-individu
dalam suatu kelompok.
1
David Berry, Pokok pokok Pikiran Sosiologi, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1995),
hlm 21
3
Nicolai Hartmann, bahwa nilai adalah esensi dan ide platonik. Nilai
selalu berhubungan dengan benda yang menjadi pendukungnya.
e. Menurut H.M. Rasjidi, penilaian seseorang dipengaruhi oleh fakta-fakta.
Artinya, jika fakta-fakta atau keadaan berubah, penilaian juga biasanya
berubah. Hal ini berarti juga bahwa pertimbangan nilai seseorang
bergantung pada fakta.
f. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa nilai yang ada pada seseorang
dipengaruhi oleh adanya adat istiadat, etika, kepercayaan, dan agama
yang dianutnya. Semua itu memengaruhi sikap, pendapat, dan
pandangan individu yang selanjutnya tercermin dalam cara bertindak dan
bertingkah laku dalam memberikan penilaian.
g. Dalam Encyclopedia Britannica dinyatakan bahwa: “…. value is
determination or quality of an object which involves any sort or
appreciation or interest.” Artinya, “Nilai adalah suatu penetapan, atau
suatu kualitas objek yang menyangkut segala jenis apresiasi atau minat.”
h. Mulyana menyatakan bahwa nilai adalah keyakinan dalam menentukan
pilihan.
2
Sanjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012), hlm 37-49
4
pelajaran sehinnga apa yang dicita-citakan oleh semua pihak tercapai yaitu
menjadinya manusia yang berahlak mulia
Ada dua tujuan pendidikan nilai apabila dilihat dari pendekatan anlisa
nilai tujuan tersebut adalah pertama adalah membantu siswa untuk
menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmmiah dan penemuan
ilmiah dalam menganalisa sosial. Kedua, membantu siswa untuk menggunakan
proses berpikir rasional dan analitik dalam menghubung-hubungkan dan
merumuskan konsep tentang nilai nilai-nilai mereka.3 Tujuan pendidikan nilai
menurut pendekatan klarifikasi nilai ini ada tiga;
Nilai merupakan filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-
ajaran, norma-norma, nilai-nilai serta kebiasaan-kebiasaan dan pandangan moral
secara kritis. Menurut Kattsoff dalam Sumargono mengungkapkan bahwa
hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:
3
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), hlm 18
5
adalah suatu pemuasan terhadap keinginan atau kemauan. Menurut kaum
hedonisme, hakikat nilai adalah “pleasure” atau kesenangan, sedangkan
menurut formalisme, nilai adalah sesuatu yang dihubungkan pada akal
rasional dan menurut pragmatisme, nilai itu baik apabila memenuhi
kebutuhan dan nilai instrumental yaitu sebagai alat untuk mencapai
tujuan. Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa
hakikat dan makna nilai adalah sesuatu hal sesuatu hal yang dihubungkan
dengan akal rasional, logis dan bergantung pada pengalaman manusia
pemberi nilai itu sendiri.
Nilai merupakan suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang
bersifat tersembunyi, nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang
baik dan buruk, indah dan tidak indah dan lain sebagainya. Dengan demikian
pendidikan nilai pada hakikatnya proses penanaman nilai kepada peserta didik
yang diharapkan, oleh karena itu siswa dapat berprilaku sesuai dengan
pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku dimasyarakat tersebut Dari sekian banyak unsur pendukung
tersebut pada hakikatnya bermuara pada tujuan pendidikan nasional yang dimuat
dalam undang-undang RI tentang system pendidikan Nasional atau UUSPN 28
Agustus 2003 memuat tujuan menjadi manusia beriman, bertaqwa kepada tuhan
yang maha esa, berahlak mulia, sehat jasmani dan rohani, kerja keras, mandiri,
estetis berilmu, kreatif, produktif, mampu bersaing, cakap, demokratis memiliki
wawasan keunggulan, harmonis dengan lingkungan alam, memiliki tanggung
jawab sosial, dan memiliki semangat kebangsaan dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.4
4
Mawardi Lubis, Evaluasi Pendidikan Nilai, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2008), hlm
105
6
B. Hakikat Pendidikan Nilai
Dari kondisi faktual tersebut, disadari bahwa salah satu sektor yang kurang
diperhatikan adalah dunia afeksi pendidikan yang semakin termarginalkan. Hal
itu disebabkan telah bergesernya landasan dan tujuan pendidikan kita saat ini
yang lebih mengedepankan dunia kognisi. Disadari atau tidak arah kebijakan
pendidikan kita telah membawa tingkat degradasi moral bangsa semakin
terpuruk karena salah satunya kurang memerhatikan nilai-nilai moralitas bangsa
yang dahulu masih dimiliki, tetapi sekarang semakin jauh dari napas kehidupan
berbangsa dan bernegara
5
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta,
2005), hlm 79-94
7
yang beriman, bertakwa, kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Pendidikan nilai akan membuat anak didik tumbuh menjadi pribadi yang
mengerti sopan santun, memiliki cita rasa seni, sastra, dan keindahan pada
umumnya, mampu menghargai diri sendiri dan orang lain, bersikap hormat
terhadap keluhuran martabat manusia, serta memiliki cita rasa moral dan rohani.
Hakikat pendidikan tidak akan terlepas dari hakikat manusia sebab urusan
utama pendidikan adalah manusia. Wawasan yang dianut oleh pendidik dalam
hal ini guru, tentang manusia akan memengaruhi strategi atau metode yang
digunakan dalam melaksanakan tugas-tugasnya. Di samping itu, konsep
pendidikan yang dianut saling berkaitan erat dengan hakikat pendidikan.
8
e. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.6
Pada dasarnya pendidikan harus dilihat sebagai proses dan sekaligus sebagai
tujuan. Asumsi dasar pendidikan tersebut memandang pendidikan sebagai
kegiatan kehidupan dalam masyarakat untuk mencapai perwujudan manusia
seutuhnya yang berlangsung sepanjang hayat. Pendidikan sebagai kegiatan
kehidupan dalam masyarakat memiliki arti penting bagi individu dan masyarakat
sebab masyarakat dan individu saling berkaitan.
Individu menjadi manusia seperti saat ini adalah karena proses belajar atau
proses interaksi manusiawi dengan manusia lain nya. Artinya manusia tidak
akan menjadi manusia tanpa di manusiakan. Dengan kata lain, perkembangan
manusia yang manusiawi hanya dapat terjadi dalam lingkungan masyarakatnya.
Sebaliknya, masyarakat sebagai wujud kehidupan bersama tidak mungkin
berkembang jika tidak didukung oleh kemajuan individu-individu anggotanya.
6
Ace Suryadi dan Dasim Budimansyah, Pendidikan Nasional Menuju Masyarakat
Indonesia Baru, (Bandung: Genesindo 2004), hlm 3
7
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional 1998), hlm 22
9
C. Pentingnya Pendidikan Nilai dalam IPS
8
Nasution Toni dan Lubis Maulana Arafat, Konsep Dasar IPS, (Yogyakarta, Samudra
Biru, 2018), hlm 42
10
IPS adalah suatu synthetic discipline yang berusaha untuk
mengorganisasikan dan mengembangkan substansi ilmu-ilmu sosial secara
ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan. Makna synthetic discipline,
bahwa IPS bukan sekedar mensistesiskan konsep-konsep yang relevan antara
ilmu-ilmu pendidikan dan ilmu-ilmu sosial, tetapi juga mengkorelasikan dengan
masalah-masalah kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan. Secara lebih
tegas, bahwa Pendidikan IPS memuat tiga sub tujuan, yaitu; Sebagai pendidikan
kewarganegaraan, sebagai ilmu yang konsep dan generalisasinya dalam disiplin
ilmu-ilmu sosial, dan sebagai ilmu yang menyerap bahan pendidikan dari
kehidupan nyata dalam masyarakat kemudian dikaji secara reflektif.
9
Ahmad Susanto, Pengembangan Pembelajaran IPS, (Jakarta:prenada Media 2014), hlm
68-75
11
2. Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan
metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat
digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3. Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat
keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di
masyarakat.
4. Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta
mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil
tindakan yang tepat.
5. Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu
membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab
membangun masyarakat.
12
kesatria, komitmen, kooperatif, kospmopolitan (mendunia), kreatif, kukuh hati,
lugas, mandiri, manusiawi, mawas diri, mencintai ilmu, menghargai karya
orang lain, menghargai kesehatan, menghargai pendapat orang lain, menghargai
waktu, patriotik, pemaaf, pemurah, pengabdian, berpengendalian diri,
produktif, rajin, ramah, rasa indah, rasa kasih sayang, rasa keterikatan, rasa
malu, rasa memiliki, rasa percaya diri, rela berkorban, rendah hati, sabar,
semangat kebersamaan, setia, siap mental, sikap adil, hormat, nalar, tertib,
sopan santun, sportif, susila, taat asas, takut bersalah, tangguh, tawakal, tegar,
tegas, tekun, tepat janji, terbuka, ulet, dan sejenisnya.
10
Mawardi Lubis, Evaluasi Pendidikan Nilai, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 2008), hlm
12
13
discimus (belajar bukan untuk kehidupan, melainkan untuk sekolah).
Pendidikan harus bercorak non scholae sed vitae discimus, kita belajar bukan
untuk sekolah, melainkan untuk kehidupan.
Kemanfaatan teori pendidikan nilai tidak hanya perlu sebagai ilmu yang
otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya
bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh
karena itu, nilai pendidikan nilai tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu
seperti seni untuk seni, tetapi juga nilai ekstrinsik. Ilmu pun digunakan untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktik melalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan.
IPS dengan pendidikan nilai bagai dua sisi mata uang yang tak dapat
dipisahkan. Nilai dipelajari sebagai hasil dari pergaulan atau komunikasi antar
individu dalam kelompok seperti keluarga, himpunan keagamaan, kelompok
masyarakat atau persatuan dari orang-orang yang satu tujuan. Tidak dipungkiri
bahwa nilai tertentu muncul dengan kekuatan yang sama dimasyarakat dan
menjadi pembelajaran yang baik serta menjadi pelindung dari berbagai
penyimpangan dan pengaruh luar. Istilah IPS disekolah dasar merupakan nama
mata pelajaran yang berdiri sendiri sebagai intergrasi dari sejumlah konsep
disiplin ilmu sosial, humaniora, sains bahkan berbagai isu dan masalah sosial
kehidupan. Materi IPS sekolah dasar lebih mementingkan dimensi pedagogik
dan psikologis serta karakteristik kemampuan berpikir peserta didik yang
bersifat holistik.
14
Tujuan mata pelajaran IPS disekolah dasar adalah a) Membekali anak
didik dengan pengetahuan sosial yang berguna dalam kehidupan kelak
dimasyarakat, b) Membekali siswa dengan kemampuan mengidentifikasi,
menganalisis dan menyusun alternative pemecahan masalah sosial yang terjadi
dalam kehdupan dimasyarakat, c) Membekali siswa dengan kemampuan
berkomunikasi dengan sesama warga masyarakat dan berbagai bidang keilmuan
serta bidang bidang keahlian, d) Membekali siswa dengan kesadaran, sikap
mental yang positif dan keteramplan terhadap pemanfaatan lingkungan hidup
yang menjadi bagian dari kehidupan tersebut, e) Membekali siswa dengan
kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keilmuan IPS sesuai dengan
perkembangan kehidupan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi.11
11
Sardjiyo dkk, Pendidikan IPS di SD, (Jakarta: Universitas terbuka, 2008), hlm 14
15
pendidikan nilai sebagai bidang yang sarat nilai. Oleh sebab itu, pendidikan
nilai memerlukan teknologi, tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek.
Walaupun demikian, harus diakui bahwa pertumbuhan pendidikan nilai belum
jauh dibandingkan dengan ilmu sosial dan ilmu perilaku pada umumnya.
D. Pendidikan Karakter
16
laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati dan menghargai orang
lain, dan karakter-karakter mulia lainnya.
Ki Hadjar Dewantara memandang karakter sebagai watak atau budi
pekerti. Menurut Ki Hadjar Dewantara, budi pekerti adalah bersatunya antara
gerak fikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan, yang kemudian
menimbulkan tenaga. Karakter menjadi penanda sesorang. Misalnya apakah
orang tersebut berkarakter baik, atau berkarakter buruk.
Sedangkan pendidikan karakter menurut Kemendiknas adalah usaha
menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik (habituation) sehingga peserta
didik mampu bersikap dan bertindak berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi
kepribadiannya. Dengan kata lain pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan pengetahuan yang baik (moral knowing), perasaan yang baik atau
loving good (moral feeling) dan perilaku yang baik (moral action) sehingga
terbentuk perwujudan kesatuan perilaku dan sikap hidup peserta didik.
17
Pendidikan karakter bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang
membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila, meliputi:
1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik.
2) membangun bangsa yang berkarakter Pancasila
3) mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap
percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta
mencintai umat manusia.
Sedangkan fungsi dari pendidikan karakter adalah :
1) membangun kehidupan kebangsaan yang multikultural
2) membangun peradaban bangsa yang cerdas, berbudaya luhur,
dan berperilaku baik.12
E. Klasifikasi Nilai
Nilai adalah sesuatu yang dipentingkan manusia sebagai subjek,
menyangkut segala sesuatu yang baik atau yang buruk, sebagai abstraksi,
pandangan atau maksud dari berbagai pengalaman dalam seleksi perilaku yang
ketat. nilai merupakan sesuatu yang berguna bagi manusia baik jasmani maupun
rohani, nilai dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat
dalam kehidupan manusia dan harus dimiliki setiap manusia untuk dipandang
dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai-nilai yang dimiliki setiap manusia
tersebut sangat beragam bergantung pada kesepakatan masyarakatnya. Nilai-
nilai tersebut seperti nilai moral, nilai religi, nilai estetika (keindahan), dan
sebagainya.
Nilai adalah standar atau ukuran (norma) yang kita gunakan untuk
mengukur segala sesuatu. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, nilai adalah sifat-
sifat (hal-hal) yang penting dan berguna bagi kemanusian. Atau sesuatu yang
menyempurnakan manusia sesuai dengan hahikatnya. Misalnya nilai etik, yakni
12
Wibowo, A dan Hamrin, Menjadi Guru Berkarakter, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hlm 37-45
18
nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, seperti kejujuran, yang berkaitan
dengan akhlak, benar salah yang dianut sekelompok manusia.13
Klasifikasi Nilai terbagi menjadi dua klasifikasi, yaitu:
1. Nilai Dominan
Klasifikasi yang kedua adalah nilai mendarah daging, yaitu nilai yang
menjadi kebiasaan dan kepribadian seseorang sehingga apabila
melakukannya, seseorang tidak perlu berpikir atau menimbangnya lagi.
Umumnya, nilai ini sudah tertanam sejak kecil. Bahkan, ia akan merasa malu
atau bersalah jika tidak melakukan nilai tersebut.14
13
Tim Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa,Departemen Pendidikan
Nasional, (Gramedia Pustaka Utama, 2012), hlm. 963.
14
E.K. Kaswardi 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000, (Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia), hlm 38
19
perasaan, pengetahuan dan keterampilan.Sehingga dengan pendidikan
manusia berusaha untuk meningkatkan, mengembangkan, serta
memperbaiki nilai- nilai dalam kehidupannya.
15
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-nilai Moral di Indonesia, Cet. IV. (Jakarta: Bulan
Bintang, 1997), hlm 77
20
b) Adanya metode pendidikan yang sesuai. Sesuai dengan kemampuan
pendidik, materi, kondisi peserta didik, tujuan yang akan dicapai,
dan kondisi lingkungan di mana pendidikan tersebut berlangsung.
c) Adanya sarana dan perlengkapan pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhuan. Sarana tersebut harus didasarkan atas pengabdian pada
peserta didik, harus sesuai dengan stiap nilai yang
ditransformasikan.
d) Adanya suasana yang memadai, sehingga proses transformasi nilai-
nilai tersebut berjalan wajar, serta dalam suasana yang
menyenangkan.16
16
Sadulloh, U, Pengantar Filsafat Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2007), hlm. 58.
17
Ibid, 90
21
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
22
DAFTAR PUSTAKA
David Berry, Pokok pokok Pikiran Sosiologi, Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada,
1995.
E.K. Kaswardi 1993. Pendidikan Nilai Memasuki Tahun 2000. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Fitri, A. Z. (2012). Pendidikan Karakter Berbasis Nilai dan Etika di Sekolah.
Jakarta: Ar-Ruzz Media
Lukman Ali, Kamus Besar bahasa Indonesia, Jakarta: PT.Balai Pustaka, 1997
Munib Achmad, dkk. 2007. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang. UPT MKK
UNNES
Muhammad Noor Syam. 1988. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional.
Sanjono Seokanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2012
23