Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PERBANDINGAN HUKUM ACARA PIDANA DAN HUKUM


ACARA PIDANA MILITER

Dosen Pengampu : Dr. H. Mahsan, SH., M.Hum

Disusun Oleh :

NAMA NIM
RIA BUDIARTI : 2020174201030
AKHDIAT KARTHA WALINDRA : 2020174201006
BAIQ DEWI FEBRIANTI : 2020174201010
AYU MINARTI : 2020174201039

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 45 MATARAM
2023
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Perbandingan Hukum Acara
Pidana Dan Hukum Acara Pidana Militer”.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas
dari bantuan banyak pihak yang telah memberikan saran dan kritik
sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Makalah ini masih jauh dari
kata sempurna, oleh karena itu, kami mengharapkan segala bentuk saran
serta masukan maupun kritikan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
kita semua.

Mataram, 13 April 2023

Penulis
iii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR… ....................................................................................... ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN… .................................................................................. 1


1. Latar Belakang .......................................................................................... 1
2. Rumusan Masalah ................................................................................... 1
3. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN… ................................................................................... 3

1. Dasar hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan


pidana militer ................................................................................... 3
2. Subyek hukum acara pidana peradilan dan hukum acara peradilan
pidana militer ................................................................................... 8
3. Obyek hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan
pidana militer ................................................................................... 9
4. Azas-azas hukum acara peradilan pidana dan hukum acara
peradilan pidana militer........................................................................ 13

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 20


Kesimpulan .......................................................................................................... 20
Saran .................................................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 21


1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hukum acara pidana militer merupakan tata cara penyelesaian
perkara pidana khususnya di lingkungan anggota militer. Materi terkait
dengan acarapidana militer tidak atau kurang disebarluaskan termasuk
juga di lembaga pendidikan hukum kecuali di AH –PTHM. Namun
demikian pada kenyataannya KUHAPMIL merupakan studi yang
relevan dan menarik, terutama ada hal-hal yang berbeda dengan
KUHAP Karena keKhasannya di lingkungan dan kehidupan militer di
samping dalam kaitnya dengan adanya perkara-perkara koneksitas
yang penyelesaiannya perkaranya di atur dalam acara pidana yang
khusus.

Mengacu pada hal di atas penulis melalui makalah ini akan


menguraikan bagaimana perbandingan hukum acara peradilan pidana
dan hukum acara pidana militer

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah:
1. Apa yang menjadi dasar hukum acara peradilan pidana dan hukum
acara peradilan pidana militer?
2. Siapa subyek hukum acara pidana peradilan dan hukum acara
peradilan pidana militer?
3. Apa sajakah objek hukum acara peradilan pidana dan hukum acara
peradilan pidana militer?
4. Bagaimana azas-azas hukum acara peradilan pidana dan hukum
acara peradilan pidana militer?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Dasar hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan
pidana militer.
2

2. Subyek hukum acara pidana peradilan dan hukum acara peradilan


pidana militer.
3. Objek hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan
pidana militer.
4. Azaz-azas hukum acara peradilan pidana dan hukum acara
peradilan pidana militer.
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Dasar hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan


pidana militer
1. Dasar Hukum Acara Peradilan Pidana
Di dalam pelaksanaan Hukum Acara Pidana di Indonesia, maka
sumber dan dasar hukumnya antara lain sebagai berikut
a. Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945;
1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum
dan keadilan.
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang berbeda dibawahnya
dalam
lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama,
lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata
Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
b. Pasal 24 ayat (1) A Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun
1945; “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai
wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”
c. Undang-Undang RI No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana disingkat KUHAP (LN. 1981-76 &
TLN – 3209) dan Peraturan Pemerintah RI No. 27 Tahun 1983
tentang Pelaksanaan KUHAP, dan Peraturan Pemerintah RI No.
58 Tahun 2010 tentang Perubahan atas PP RI No. 27 Tahun
1983
tentang Pelaksanaan KUHAP.
d. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehaki man, diubah dengan
Undang-Undang No. 35 Tahun 1999, kemudian diubah dengan
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 dan terakhir diubah dengan
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
e. Undang-Undang RI No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah
Agung,
kemudian diubah dengan Undang-Undang RI No. 5 Tahun
2004,
dan terakhir diubah dengan Undang-Undang RI No. 3 Tahun
2009
tentang Perubahan kedua Undang-Undang RI No. 14 Tahun
4

1985
tentang Mahkamah Agung.
f. Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilam
Umum,
kemudian diubah dengan Undang-Undang RI No. 8 Tahun 2004
dan
Undang-Undang RI No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua
Undang-Undang RI No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
g. Undang-Undang RI No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian
Negara
Republik Indonesia, kemudian diubah dengan Undang-Undang
RI
No. 2 Tahun 2002
h. Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan
Republik
Indonesia, kemudian diubah dengan Undang-Undang RI No. 16
Tahun 2004
i. Undang-Undang RI No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat
j. Undang-Undang RI No. 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang
kemudian diubah dengan Undang-Undang RI No. 5 Tahun
2010.
k. Segala peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
proses
hukum acara pidana dan Pedoman Pelaksanaan KUHAP.
l. Surat edaran atau fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia
terkait masalah hukum acara pidana
m. Yurisprudensi atau putusan-putusan Mahkamah Agung atau
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang terkait
masalah hukum acara pidana.
n. Doktrin atau pendapat para ahli hukum di bidang hukum acara
pidana.1
2. Dasar Hukum Pidana Militer
Berlakunya Hukum Pidana dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) apabila dihubungkan dengan tempat dan
orang mengenai beberapaasas, dimana menurut Prof. Moelyatno
dalam seminar Hukum Nasional pada tahun 1963, yang sejalan
dengan pendapat Pompe mengatakan bahwa asa-sasas yang
terdapat dalam pasal 2 sampai dengan pasal 8 KUHP, dianggap
sebagai batas perlintasan antara hukum pidana dan hukum acara
pidana, dikatakan bahwa berlakunya ketentuan dalam pasal 1

1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005,
hlm. 27-31
5

KUHP dihubungkan dengan waktu, dan dalam pasal 2 KUHP


sampai pasal 8 KUHP, dihubungkan dengan tempat dan
orang/pelakunya.
Menurut sejarah hukum, pertama kali dikenal mengenai
pengkaitan berlakunya hukum (pidana) adalah kepada orang yang
disebut sebagai asas personalitas, selanjutnya berkembang
berkaitan dengan wilayah , yang disebut dengan asas teritoritas.
Dalam perkembangan selanjutnya, dikaitkan dengan kepentingan
negara/ masyarakat yang harus dilindungi yang disebut dengan
asas perlindungan, kemudian karena terjalinnya hubungan antar
Negara yang sudah semakin dekat dimana beberapa hak tertentu
dianggap sebagai suatu kepentingan bersama yang perlu
dilindungi, maka batas negara, orang dan kepentingan negara
sendiri seakan-akan ditiadakan, dalam kaitan hal-hal yang perlu
dilindungi secara bersama ini disebut sebagai asas universalitas.
Sebagaimana kita ketahui bahwa KUHP yang berlaku di
Indonesia menganut asas personalitas terbatas, artinya bahwa
berlakunya hukum pidana di Indonesia terkait dengan orangnya,
dalam hal ini warga negara Indonesia tanpa mempersoalkan
dimana dia berada, yaitu didalam ataupun diluar wilayah Negara
Indonesia, akan tetapi agar tidak melanggar kedaulatan negara
asing maka asas ini menggunakan batas-batas tertentu, yaitu yang
berhubungan dengan:
a. Kesetiaan yang diharapkan dari seseorang warga
negaraterhadap Negara dan Pemerintahnya
b. Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak
melakukansuatu tindak pidana diluar negeri dimana tindakan
itumerupakan kejahatan ditanah air;
c. Kesadaran dari seseorang warga negara untuk tidak
melakukansuatu tindak pidana diluar negeri dimana tindakan
itumerupakan kejahatan ditanah air;
HUKUM PERADILAN MILITER Dalam KUHP tidak memberi
6

pengertian yang otentik siapa yang dimaksud dengan pejabat


(pegawai negeri) akan tetapi batasan dalam pasal 92 ayat (3)
KUHP berbunyi : “Semua anggota angkatan perang juga
dianggap sebagai pejabat. Dengan demikian, KUHP juga
diberlakukan kepada anggota angkatan perang, anggota
Angkatan Bersenjata, anggota Tentara Nasional Indonesia, atau
anggota Militer, selain itu juga dikenal peraturan perundang-
undangan yang berlaku bagi militer yaitu wetboek van Militair
Strafrecht (W.v. M.s.)/Stb.1934 Nomor 167 jo UURI Nomor 39
Tahun 1947, yang diterjemahkan menjadi Kitab Undang-undang
Hukum Pidana Militer (KUHPM). Pemberlakuannya sama
halnya dengan pemberlakuan dalam hukum di Indonesia,
apabila KUHPM sebagai hukum pidana materiil, maka Undang
undang Nomor 6 Tahun 1950 jo Undang- undang Nomor 1 Drt
Tahun 1958 tentang Hukum Acara Pidana Militer yang
kemudian diperbaiki dan dituangkan dalam Bab IV dari pasal
264 Undang-undang tentang Peradilan Militer, sedangkan
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 berlaku sebagai hukum
pidana formil. Hukum Militer Indonesia mempunyai landasan,
sumber-sumber dan cakupan yang sejalan dengan hukum
nasional.
Landasan hukum Militer Nasional adalah:

a. Pancasila;
b. UUD 1945;
c. Saptamarga;
d. Sumpah Prajurit dan;
e. Dokteri-doktrin Militer yang berlaku bagi TNI.
Sumber-sumber formilnya adalah:

a. UUD, UU dan Peraturan-peraturan lainnya;


b. Adat dan kebiasaan-kebiasaan;
c. Perjanjian-perjanjian Internasional;
d. Doktrin-doktrin Militer Indonesia
7

Sedangkan cakupannya meliputi:

a. Hukum Disiplin Prajurit;


b. Hukum Pidana Militer;
c. Hukum Acara Pidana Militer
d. Hukum Kepenjaraan Militer;
e. Hukum pemerintahan Militer atau Hukum Tata Negara (darurat)
Militer
f. Hukum Administrasi Militer;
g. Hukum Internasional (Hukum perang/Hukum sengketa
Bersenjata);
h. Hukum Perdata Militer.
Demi kepastian hukum maka untuk mencegah kevakuman
hukum pada awal kemerdekaan, maka melalui pasal peralihan
Undang-undang Dasar 1945 dan Peraturan Pemerintah No.2
Tahun 1945, maka W.v.M.S. yang berlaku di negeri Belanda dan
Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer disingkat KUHDM
dinyatakan masih berlaku di Republik Indonesia dengan beberapa
perubahan-perubahan, pengurangan dan penambahan terhadap
kedua undang-undang tersebut dalam UU Nomor 39 dan 40 pada
tahun 1947. Undang-undang pelaksanaan dari KUHPM yang dibuat
pada tahun 1946, diperbaharui pada tahun 1950 dengan UU Drt.
Nomor 16 Tahun 1959 jo UURI Nomor 5 Tahun 1950 LN Nomor 52
Tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan Peradilan dan
kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Militer.2

2
Nikmah Rosidah, Hukum Peradilan Militer, Anugrah Utama Raharja, Lampung:2019, hlm 6-9
8

B. Subyek hukum acara pidana peradilan dan hukum acara peradilan


pidana militer
1. Subyek Hukum Acara Pidana
a. Orang
bahwa dalam pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(“KUHP”), yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah
seorang manusia sebagai oknum. Ini terlihat pada perumusan-
perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang menampakkan
daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga
terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-
pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan, dan denda. 3
b. Badan Hukum
Menurut Prof. Soebekti, Badan Hukum (Recht Persoon) adalah
suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak
dan melakukan perbuatan seperti menerima serta memiliki
kekayaan sendiri, dan dapat digugat dan menggugat di muka
hukum. Badan hukum dibagi menjadi 2 yaitu :
1) adan Hukum dalam lingkungan public
Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah
badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang
menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau
negara umumnya. Contohnya: Provinsi, kotapraja, lembaga-
lembaga dan bank-bank Negara.
2) Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan
hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata
yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam
badan hukum itu. Contohnya: Perhimpunan, Perseroan
Terbatas, Firma, Koperasi, Yayasan.

3
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama Bandung: 2003
hlm 5
9

2. Subyek Hukum Acara Pidana Militer


a. Militer
b. Setiap orang yang berdasarkan undang-undang dipersamakan
dengan militer.4

C. Obyek hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan


pidana militer
1. Obyek Hukum acara pidana
a. Penyelidikan
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk
mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai
tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
(ps 1 butir 4 KUHAP)
b. Penyidikan
Arti penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam UU ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan
tersangkanya (pasal 1 butir 2 KUHAP).
c. Penangkapan
Pasal l butir 8 KUHAP menentukan penangkapan adalah suatu
tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu
kebebasan tersangka/ terdakwa apabila terdapat cukup bukti
guna kepentingan penyidikan/ penuntutan atau peradilan dalam
hal serta cara yang diatur dalam UU
d. Penahanan
Penahan adalah penempatan tersangka / terdakwa ditempat
tertentu oleh penyidik atau Penuntut Umum atau oleh Hakim
dengan suatu penetapan dalam hal serta menurut cara yang

4
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014 Tentang Hukum Disiplin Militer.
Hlm. 6
10

diatur dalam UU . ini ( pasal 1 ke 21 KUHAP.)


e. Penggeledahan
Pengertian penggeledahan dalam KUHAP dibedakan menjadi
dua, yaitu: penggeledahan rumah dan penggeledahan badan
Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik untuk
memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya
untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan atau penyitaan
dan atau penangkapan dalam hal dan menurut cara yang diatur
menurut undang-undang ini (pasal 1 butir 17 KUHAP)
Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik untuk
mengadakan pemeriksaan badan atau pakaian tersangka
untuk mencari benda yang diduga keras ada dibadan atau
dibawanya serta, untuk disita (pasal 1 butir 18 KUAP).
f. Penyitaan
Arti penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk
mengambil alih atau menyimpan di bawah penguasaannya
benda bergerak/tidak bergerak, berwujud/tidak berwujud untuk
kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan
peradilan (pasal 1 butir 16 KUHAP).
g. Penuntutan
Pasal 1 butir 7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut
umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim disidang pengadilan.
h. Pra Peradilan
Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk
memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang:
o Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas
kuasa tersangka
11

o Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau


penghentian penuntutan atas permintaan tersangka,
penyidik, dan penuntut umum demi tegaknya hukum dan
keadilan
o Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan ( pasal 1 butir 10 KUHAP ).
i. Ganti Kerugian dan Rehabilitasi
Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat
pemenuhan atas tuntutan yang berupa imbalan uang karena
ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini (pasal 1 ayat 1 butir 22 KUHAP).
Sedangkan rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat
pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan,
penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan dan atau
diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini. (Pasal 1 ayat 1 butir 23 KUHAP)
j. Persidangan
Proses pengadilan yang mencakup berbagai tahapan seperti
pembacaan dakwaan, mendengarkan keterangan saksi,
pemeriksaan barang bukti, dan pembelaan terdakwa.
Persidangan dipimpin oleh hakim yang memutuskan kasus
tersebut.
k. Putusan
Keputusan hakim dalam mengadili perkara pidana yang
menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Putusan
juga menentukan jenis hukuman yang akan diberikan jika
terdakwa dinyatakan bersalah.
12

l. Upaya Hukum
Prosedur hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa atau
jaksa untuk mengajukan banding, kasasi, atau PK (Peninjauan
Kembali) terhadap putusan hakim yang telah dijatuhkan.

2. Obyek Hukum acara peradilan pidana Militer


a. Pelanggaran Hukum Militer
Obyek hukum acara peradilan pidana militer mencakup
aturan-aturan tentang pelanggaran hukum militer, yang
meliputi pelanggaran disiplin militer, pelanggaran hak asasi
manusia dalam konteks operasi militer, dan pelanggaran
hukum internasional humaniter.
b. Prosedur Penuntutan
Prosedur dan persyaratan untuk mengajukan dakwaan atau
tuntutan terhadap terdakwa yang diduga melakukan
pelanggaran hukum militer. Penuntutan dilakukan oleh jaksa
penuntut umum militer atau penuntut yang ditunjuk.
c. Pemeriksaan
Prosedur untuk mengadakan pemeriksaan terhadap
terdakwa dan saksi-saksi untuk menentukan fakta-fakta
dalam perkara pidana militer. Pemeriksaan dapat dilakukan
oleh hakim militer, jaksa, atau penyidik militer.
d. Persidangan
Proses pengadilan yang mencakup berbagai tahapan seperti
pembacaan dakwaan, mendengarkan keterangan saksi,
pemeriksaan barang bukti, dan pembelaan terdakwa.
Persidangan dipimpin oleh hakim militer yang memutuskan
kasus tersebut.
e. Putusan
Keputusan hakim militer dalam mengadili perkara pidana
militer yang menentukan apakah terdakwa bersalah atau
tidak. Putusan juga menentukan jenis hukuman yang akan
13

diberikan jika terdakwa dinyatakan bersalah.


f. Upaya Hukum
Prosedur hukum yang dapat dilakukan oleh terdakwa atau
jaksa untuk mengajukan banding, kasasi, atau PK
(Peninjauan Kembali) terhadap putusan hakim militer yang
telah dijatuhkan.

D. Azas-azas hukum acara peradilan pidana dan hukum acara


peradilan pidana milite
1. Azas-azas hukum acara pidana
Untuk mencapai tujuan memberikan perlindungan terhadap
keluhuran harkat dan martabat manusia maka asas-asas
penegakan hukum yang telah dirumuskan dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, ditegaskan lagi dalam KUHAP guna menjiwai setiap
Pasal atau ayat agar senantiasa mencerminkan perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Asas-asas tersebut adalah:
a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan
Termuat dalam Pasal 2 ayat 4 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan
bahwa: “Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan
biaya ringan.” “Sederhana” di sini artinya adalah, pemeriksaan
dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan
efektif. “Biaya ringan” artinya adalah biaya perkara yang dapat
dijangkau oleh masyarakat banyak. Isilah “Cepat” sendiri
diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama
untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada
keputusan hakim, hal tersebut tidak boleh lepas dari perwujudan
hak asasi manusia. Begitu pula dengan peradilan bebas yang
jujur, dan tidak memihak pihak mana pun sebagaimana
14

ditonjolkan dalam undang- undang tersebut.5 Walau begitu,


dalam praktiknya asas ini sangat sulit untuk dicapai. Berikut
adalah contoh kasusnya: Pada umumnya, orang yang
berperkara di depan pengadilan buta hukum, oleh karena itu
biasanya mereka menguasakan perkaranya kepada pengacara
untuk mengurus segala sesuatu yang berkenaan dengan
perkaranya di pengadilan. Apabila hal ini terjadi, biaya
perkara yang ditanggung tidaklah murah sehingga asas “biaya
ringan” tidak akan tercapai.6
b. Asas in presentia
Pada dasarnya pengadilan memeriksa dengan hadirnya
terdakwa, tetapi dengan ketentuan dan pertimbangan tertentu,
pengadilan dapat memeriksa tanpa adanya terdakwa (in
absentia).
c. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum
Asas ini menunjukkan pada dasarnya pengadilan dapat dihadiri
khalayak umum. Ini memiliki makna bahwa masyarakat umum
dapat memantau setiap proses persidangan sehingga
akuntabilitas putusan hakim dapat dipertanggungjawabkan. Hal
ini pula menjaga kemungkinan terjadi deal antara pihak-pihak
bermasalah. Meskipun demikian, dalam kasus atau perkara
tertentu, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum.
Perkara-perkara yang diperiksa dalam sidang tertutup adalah
mengenai perkara- perkara kesusilaan atau perkara yang
terdakwanya anak-anak.
Prinsip ini disebut juga dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”):
“Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam

5
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1996,
hlm. 12-13
6
M. Press, Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, UB Malang, 2011, hlm. 148
15

perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”


d. Asas Persamaan di Muka Hukum (equality before the law)
Hukum memberikan jaminan dan kepastian tentang hak dan
kewajiban warga negara. Hukum juga tidak dapat membedakan
apakah warga negara kaya atau miskin, berkuasa atau tidak
melainkan di mata hukum semua warga negara memiliki hak-
hak yang sama. Untuk itu simbol dari keadilan adalah seorang
dewi yang ditutup kedua matanya. Artinya seorang dewi harus
mengadili tanpa harus melihat status warga negara yang
bermasalah. Begitu juga dengan seorang hakim yang tidak
boleh membeda-bedakan orang. Dalam Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Pokok- pokok
Kehakiman dinyatakan “Pengadilan mengadili menurut hukum
dengan tidak membeda-bedakan orang”.
e. Asas Pengawasan
Pemeriksaan di muka umum sidang pengadilan bersifat
akuator, yang berarti si terdakwa mempunyai kedudukan
sebagai “pihak” yang sederajat menghadapi pihak lawannya,
yaitu Penuntun Umum. Seolah-olah kedua belah pihak itu
sedang “bersengketa” di muka hakim, yang nanti akan
memutuskan “persengketaan” tersebut. Pengawasan di sini
adalah pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam
perkara pidana. Adapun pemeriksaan dalam sidang pengadilan
bertujuan meneliti dan menyaring apakah suatu tindak pidana
itu benar atau tidak, apakah bukti-bukti yang dimajukan sah atau
tidak, apakah pasal dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang dilanggar itu sesuai perumusannya dengan tindakan
pidana yang telah terjadi itu. Pemeriksaan di muka sidang
pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali kalau
peraturan penentuan lain, misalnya dalam hal pemeriksaan
kejahatan kesusilaan dan lain-lain
f. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of innocent)
16

Setiap orang wajib diduga tidak bersalah sebelum ada putusan


yang menyatakan sebaliknya. Implikasi dari asas ini, bahwa
seseorang yang melakukan tindak pidana masih memiliki hak
untuk tidak dinyatakan bersalah sebelum ada putusan hakim
yang menyatakan ia bersalah. Penjelasan umum 3c KUHAP:
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap
tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh hukum tetap.
Sehingga dari pengertian di atas Asas Praduga Tidak Bersalah
tersebut membawa makna bahwa dalam proses pelaksanaan
acara pidana, tersangka atau terdakwa wajib diberlakukan
sebagaimana orang tidak bersalah, sehingga penyidik, penuntut
umum dan hakim memerhatikan hak- hak yang ada pada dirinya
terlebih mengenai hak asasinya benar-benar harus dilindungi
dan diperhatikan
g. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi
Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk dapat
mendapatkan pemenuhan atas tuntutannya yang berupa
imbalan sejumlah uang karena ditangkap atau ditahan dituntut
dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan UU atau karena
kekeliruan mengenai orangnya atau hukum diterapkan menurut
cara yang diatur dalam UU ini. (Pasal 1 butir 22 KUHAP)
Hal hal yang dapat diajadikan dasar alasan untuk menuntut
ganti kerugian bukan hanya seperti yang tercantum dalam Pasal
1 butir 22 KUHAP tetapi juga mencakup meliputi pengertian
tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan
rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut
hukum, termasuk penahanan yang lebih lama daripada pidana
yang dijatuhkan.(penjelasan pasal 95 (1) KUHAP.
Rehabilitasi merupakan salah satu dari tersangka atau
terdakwa (Pasal 6 dan 69 KUHAP). Menurut penjelasan Pasal 9
17

UU kekuasaan kehakiman, pengertian rehabilitasi adalah


pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi
semula yang diberikan oleh pengadilan. Menurut ketentuan
yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) dan (2) KUHAP apabila
sesorang yang diadili oleh pengadilan diputus bebas atau
diputus lepas dari segala tuntutan hukum, maka kepadanya
harus diberikan rehabilitasi yang secara sekaligus dicantumkan
dalam keputusan pengadilan.7
h. Asas Bantuan Hukum (Asas Legal Assistance)
Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya
i. Asas Akusator
Kebebasan memberikan dan mendapatkan nasihat hukum
menunjukkan bahwa dengan KUHAP telah dianut asas akusator
itu. Ini berarti perbedaan antara pemeriksaan pendahuluan dan
pemeriksaan sidang pengadilan pada asasnya telah
dihilangkan.
j. Asas Formalitas
Asas ini memberikan pengertian bahwa setiap proses pidana
mulai dari penyelidikan sampai pada penuntutan harus
dilakukan secara formal tertulis.
k. Asas Oppurtunitas
Wewenang penuntut menjadi kekuasaan sepenuhnya penuntut
umum atau jaksa. Kekuasaan untuk menuntut seseorang
menjadi monopoli penuntut umu, artinya bahwa orang lain atau
badan lain tidak berwenang untuk itu. Dengan demikian, hakim
hanya menunggu dari tuntutan jaksa untuk memeriksa suatu
perkara pidana. Meskipun hakim tahu bahwa ada kasus pidana
yang belum diajukan ke pengadilan, dia tidak berwenang

7
Hma Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang 200, hlm.281
18

memintanya.8
2. Azas-Azas Hukum pidana Militer
Keterlibatan Ankum dalam hal penyidikan pada sistem
peradilan pidanamiliter, sangat berkaitan dengan asas dan ciri-ciri
tata kehidupan militer, yaitu:
a. Asas Kesatuan Komando
Dalam kehidupan militer dengan struktur organisasinya,
seseorang komandan mempunyai kedudukan sentral dan
bertanggungjawab penuh terhadap kesatuan dan anak
buahnya, oleh karena itu seseorang komandan diberi
wewenang penyerahan perkara dalam penyelesaian perkara
pidana. Sesuai dengan asas kesatuan komando tersebut diatas,
dalam Hukum Acara Pidana Militer tidak dikenal adanya
lembaga ganti rugi dan rehabilitasi
b. Asas Komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya
Tatakehidupan militer dan ciri-ciri organisasi Angkatan
Bersenjata terdapat fungsi dari seorang komandan sebagai
pimpinan, guru, bapak, teman, saudara dan pelatih, sehingga
seorang komandan harus bertanggung jawab penuh terhadap
kesatuan dan anak buahnya.
c. Asas kepentingan Militer.
Untuk menyelenggarakan pertahanan dan keamanan negara,
kepentingan militer diutamakan melebihi daripada kepentingan
golongan dan perorangan. Namun. khusus dalam proses
peradilan, kepentingan militer selalu diseimbangkan dengan
kepentingan hukum. Asas-asas tersebut merupakan
kekhususan dari asas hukum Acara Pidana umum. Meskipun
demikian, Hukum Acara Pidana Militer tetap berpedoman pada
asas-asas yang tercantum dalam UURI Nomor 14 Tahun 1970
(tanpa mengabaikan asas-asas dan ciri- ciri tata kehidupan
militer). Begitu pula Hukum Acara Pidana Militer disusun
8
S.j. Fockema Andrea, Rechtgeleerd Handwoordenboek.Groningen, J.B Wolters,
Jakarta, hlm 8
19

berdasarkan UURI Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP


dengan pengecualian-pengecualian.
20

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat disampaikan adalah:
1. Dasar hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan
pidana militer memiliki kesamaan dan perbedaan
2. Subyek hukum acara pidana peradilan dan hukum acara peradilan
pidana militer terdapat persamaan dan perbedaan
3. Obyek hukum acara peradilan pidana dan hukum acara peradilan
pidana militer terdapat persamaan dan perbedaan
4. Azaz-azas hukum acara peradilan pidana dan hukum acara
peradilan pidana militer berbeda satu sama lainnya.

B. Saran
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, kritik dan saran yang
bersifat kontruktif diharapkan kepada pembaca guna kesempurnaan
makalah ini.
21

DAFTAR PUSTAKA

Buku :
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika,
Jakarta, 2005,
Nikmah Rosidah, Hukum Peradilan Militer, Anugrah Utama
Raharja, Lampung:2019
Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia.
Refika Aditama Bandung: 2003
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya,
Jakarta, 1996
M. Press, Bakri, Pengantar Hukum Indonesia, UB Malang, 2011
Hma Kuffal, Penerapan KUHAP dalam Praktik Hukum, Malang 200,
hlm.281
Fockema Andrea, Rechtgeleerd Handwoordenboek.Groningen, J.B
Wolters,Jakarta,

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2014
Tentang Hukum Disiplin Militer

Anda mungkin juga menyukai