Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis secara
pribadi mohon maaf yang sebesar-besarnya.
i
DAFTAR ISI
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mahkamah konstitusi yaitu lembaga tinggi suatu negara pada sistem
ketatanegaraan Indonesia yang memegang kekuasaan kehakiman bersama
dengan Mahkamah Agung. Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 2003
pasal 1. Mahkamah Konstitusi adalah salah salah satu lembaga negara yang
menjalankah kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk penyelenggaraan
peradilan untuk penegakan hukum dan keadilan.
4
berkala kepada masyarakat secara terbuka, dan Masyarakat mempunyai
akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.
5
2. Bagaimana Inkonsistensi Logika Mahkamah Konstitusi Terkait Putusan
No. 90/PUU- XXI/2023 Tentang Syarat Usia Capres dan Cawapres
Dilihat Dari Sudut Pandang Teori Penalaran?
6
BAB II PEMBAHASAN
7
hakim konstitusi masing-masing tiga orang.
8
peradilan dibawahnya, sedangkan pembahasan mengenai pembentukan badan
peradilan semacam Mahkamah Konstitusi memang telah digulirkan sejak lama
namun baru dapat terbentuk pada tahun 2003. Ide pentingnya sebuah uji
materiil undang-undang terhadap UndangUndang Dasar dan perlunya
pembentukan sebuah lembaga konstituante diusulkan ketika sidang konstituante
pasca pemilu 1955, namun dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
berimbas pada dibubarkannya konstituante sebelum tugasnya selesai.
Sementara itu Moh. Yamin menyatakan bahwa perlu adanya sebuah balai
Agung/Mahkamah Tinggi yang berfungsi sebagai pembanding undang-undang
yang akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syari’ah islam dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Sri
Soemantri sebagaimana dikutip dalam bukunya oleh Fatkhurohman bahwa
keberadaan Judicial review dalam sistem ketatanegaran Indonesia terkait
dengan adanya sistem dan kebutuhan, menyangkut masalah sistem, Judicial
review hanya boleh dipraktekkan oleh negara yang menganut sistem trias
politika, sedangkan berkaitan dengan kebutuhan Judicial Review diperlukan
9
karena berdasarkan stuffen theory bahwa peraturan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi
inferior). Setelah perdebatan selesai dan disepakati dengan perlu adanya sebuah
judicial review terhadap UUD NRI Tahun 1945, perdebatan kembali terjadi
ketika membicarakan lembaga mana yang akan berwenang dalam melakukan
judicial review yang dikehendaki tersebut. Dalam perdebatan saat Sidang
Umum MPR, menanggapi usulan dari Andi Matallata mengenai Judicial review,
Khofifah Indar Parawansa berpendapat bahwa kewenangan pengujian undang-
undang diberikan oleh Mahkamah Agung dengan memperluas kewenangannya,
sehingga tidak hanya menguji peraturan pemerintah saja. Sementara itu
kewenangan Judicial Review yang berpatokan terhadap UUD NRI Tahun 1945
oleh Mahkamah Agung diajukan oleh Fraksi TNI/Polri Hendri Tjaswadi.
10
MPR atau MA atau MK. Ide memberikan wewenang tersebut kepada MPR
akhirnya tidak dipakai karena, disamping tidak lagi sebagai lembaga tertinggi,
MPR bukan merupakan kumpulan ahli hukum dan konstitusi, melainkan wakil
dari partai politik yang terpilih. Sementara itu ide untuk memberikan
kewenangan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Agung juga
akhirnya tidak dapat diterima karena Mahkamah Agung sendiri sudah terlalu
banyak beban tugasnya dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi
kompetensinya. Itulah sebabnya wewenang pengujian undang-undang terhadap
UUD NRI Tahun 1945 akhirnya diberikan kepada lembaga tersendiri dengan
dasar prinsip check and balances, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman yang terbentuk pada 16 Agustus 2003.
11
Dari ketentuan rumusan pasal tersebut diatas, jelas terlihat perbedaan
antara rumusan pasal tentang kekuasaan kehakiman sebelum dengan pasca
amandemen UUD NRI Tahun 1945. Dalam UUD NRI Tahun 1945 pasca
amandemen disebutkan secara tegas pembedaan kewenangan antara Mahkamah
Agung dengan Mahkamah Konstitusi.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya yang termuat dalam Pasal 24C ayat (1) dan
ayat(2) UUDNRI Tahun 1945 bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai berikut :
12
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presidendan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945.
Dalam hal ini yang menjadi titik berat pembahasan adalah berkaitan
dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD NRI
Tahun 1945.
Atas putusan MK ini, Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 tentang Pemilu
yang dipersoalkan oleh PSI akan tetap berlaku. Pasal ini menentukan bahwa
capres dan cawapres harus berusia setidaknya 40 tahun. “Dalil para pemohon
tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Hakim Konstitusi,
Saldi Isra, saat membacakan putusan. Pun MK juga menolak dalil yang
diajukan PSI bahwa batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres bertentangan
dengan moralitas, rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut MK,
sebagaimana diutarakan Hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan
menjadi 35 tahun, syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.
13
penyelenggara Negara (Pernah menjabat sebagai kepada daerah provinsi dan
kabupaten atau kota).
Menurut MK, sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi
membuka peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain
berpotensi memicu kontradiksi hukum. “Melarang sekaligus membolehkan
yang seseorang di bawah 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres
sepanjang yang bersangkutan adalah atau pernah menjabat sebagai pejabat
negara memicu kontradiksi. Sifat kontradiktif akan memicu kebingungan dan
ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata MK dalam
putusannya.
14
“pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat menyimpangi batas usia
minimal 40 tahun.
15
langsung, serta bersifat spesifik dan aktual.
16
Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, Perkara No. 50/ PUU-XXI/2023 dan
Perkara No. 51/ PUU-XXI/2023. Padahal, fakta persidangan tersebut
sudah diabaikan MK ketika memutus ketiga perkara di atas.
17
sedikit kesadaran, bahwa apa yang mereka putus akan mengandung
cacat akademik sepanjang masa.
2.4.4 Mengetatkan Syarat bagi Elected Official
Logika umum mengetatkan syarat elected official juga hilang
dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Logika ini merujuk pada
Putusan MK No. 56/PUU- XVII/2019, yang menjadi landmark putusan
MK terkait persyaratan pejabat yang dipilih melalui Pemilu (elected
official). MK memiliki logika, syarat yang ketat harus dihadirkan bagi
elected official untuk mencegah demokrasi kearah mobocracy atau
pemerintahan masa yang berdasarkan populisme semata. MK
menegaskan seseorang harus melewati kualifikasi yang ketat agar layak
dikontestasikan dan ujungnya ditentukan oleh pemilih.
18
menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memilih dissenting
opinion. Namun, pada Perkara No.90-91/PUU- XXI/2023, Ketua MK
hadir dalam RPH dan beberapa hakim tiba-tiba bersikap mendukung
model alternatif yang dimohonkan pemohon.
19
berbeda (Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat)
sepertinya juga tidak percaya lima orang hakim konstitusi lainnya
mengabulkan ini. Sekali lagi, putusan ini akan dicatat sejarah, sebagai
salah satu putusan terburuk sepanjang keberadaan MK. Bahkan, putusan
ini adalah putusan yang penuh dengan konflik kepentingan, yang sukar
untuk dibantah. Seberapa kuat pun presiden dan keluarganya coba
membantah.
20
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
3.2 SARAN
Bagi penulis, batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah masalah
konstitusionalitas, melainkan open legal policy berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
UUD 1945, MK tidak berwenang memutus hal-hal yang bersifat teknis apalagi
tidak menyangkut urusan konstitusionalitas. Jika MK memutus, norma batas
usia minimal capres dan cawapres menjadi stagnan, dan bahkan bisa menabrak
konstitusi.
21
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.
22
DAFTAR PUSTAKA
Konstitusi
https:www.mkri.id
23