Anda di halaman 1dari 23

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan penulis kemudahan
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya penulis tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat


sehat-Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis
mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah ini yang berfungsi untuk
memenuhi tugas mata kuliah Logika dan Penalaran Hukum.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, penulis mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah
ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis secara
pribadi mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.banyak


wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Selong, 12 Desember 2023

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................


1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Lembaga Mahkamah Konstitusi ........................................................ 3
2.2 Kewenangan Mahkamah Kontitusi dalam Pengujian Undang Undang .............. 4
2.3 Pertimbangan Mahkamah Kontitusi Dalam Memutus Perkata ............................ 8
2.4 Tafsir Serampangan Inkonsistensi Logika dan Kepentingan MK ....................... 9
2.4.1 Persoalan Legal Standing ............................................................................. 9
2.4.2 Open Legal Policy ....................................................................................... 10
2.4.3 Inkonsistensi dalam menilai Dalil ............................................................... 11
2.4.4 Syarat Bagi Electeed Official yang diperketat ............................................. 11
2.4.6 Fakta-Fakta dalan Rapat MK ....................................................................... 12
2.4.7 Konflik Kepentingan ................................................................................... 12
BAB III PENUTUP
A. Simpulan ............................................................................................................. 14
B. Saran .................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 15

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mahkamah konstitusi yaitu lembaga tinggi suatu negara pada sistem
ketatanegaraan Indonesia yang memegang kekuasaan kehakiman bersama
dengan Mahkamah Agung. Berdasarkan Undang-Undang No.4 Tahun 2003
pasal 1. Mahkamah Konstitusi adalah salah salah satu lembaga negara yang
menjalankah kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk penyelenggaraan
peradilan untuk penegakan hukum dan keadilan.

Wewenang dari Mahkamah Konstitusi, antara lain ; Mengadili di tingkat


pertama dan terakhir yang putusannya sifatnya final untuk; Menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Mengeluarkan putusan sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang- Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Memberikan putusan
pembubaran partai politik. Mengeluarkan putusan perselisihan mengenai
hasil pemilu (pemilihan umum).

Memberikan putusan terhadap pendapat DPR bahwa Presiden dan atau


wakil presiden diduga sudah melakukan pelanggaran hukum dalam bentuk
pengkhianatan kepada negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lain.
Atau perbuatan yang tercela dan atau tidak lagi terpenuhinya syarat sebagai
Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan Memanggil
pejabat, pejabat pemerintah, atau warga masyarakat untuk memberikan
keterangan.

Mahkamah Konstitusi memiliki Tanggung Jawab dan Akuntabilitas


yaitu ; Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab mengatur organisasi,
personalia, administrasi, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan
yang baik dan bersih, Mahkamah Konstitusi wajib mengumumkan laporan

4
berkala kepada masyarakat secara terbuka, dan Masyarakat mempunyai
akses untuk mendapatkan putusan Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah konstitusi (MK) menggelar sidang putusan uji materil pasal


169 huruf q UU No 7 Tahun 2017 tentang pemilu terkait batas usia minimal
calon presiden (capres) dan wakil presiden (cawapres) di ruang Sidang
Pleno, gedung MK, Jakarta, seni (16/10/23). Seperti halnya pasal yang
digugat mengenai batas usia minimal capres dan cawapres.

Perkara pertama, yaitu, perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan


Partai Solidaritas Indonesia (PSI) diwakili Giring Ganesha Djumaryo, Dea
Tunggaesti, Dedek Prayudi, Anthony Winza Probowo, Danik Eka
Rahmaningtyas, dan Mikhail Gorbachev Dom. Para pemohon memilih
Michael, Francine Widjojo, dkk sebagai kuasa hukum.

Dalam permohonannya kepada MK, PSI meminta MK mengubah batas


usia capres- cawapres dari 40 menjadi 35 tahun. Batas usia itu tertuang
dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan tidak dapat


diganggu gugat menjadikan lembaga ini sangat vital peranya dalam negara.
Keputusan yang dikeluarkan Makamah Konstitusi akan mempunyai
kekuatan hukum yang langsung mengikat

Dalam Makalah ini yang menjadi titik berat pembahasan adalah


berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023
sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman dalam hal pengujian
undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 dalam Pengujian Undang-
Undang.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-
Undang?

5
2. Bagaimana Inkonsistensi Logika Mahkamah Konstitusi Terkait Putusan
No. 90/PUU- XXI/2023 Tentang Syarat Usia Capres dan Cawapres
Dilihat Dari Sudut Pandang Teori Penalaran?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk Mengetahui Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam
Pengujian Undang- Undang
2. Untuk mengetahui penafsiran putusan Mahkamah Konstitusi terkait
syarat usia capres dan cawapres dilihat dari sudut pandang kajian teori
Penalaran.

6
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Lembaga Mahkamah Konstitusi

MK adalah lembaga yang berwenang menyelenggarakan peradilan


kontitusional di Indonesia. MK di Indonesia memiliki kedudukan dan derajat
sama dengan Mahkamah Agung (MA). Sebagai lembaga peradilan
konstitusional, salah satu wewenang MK adalah melakukan uji materiil
undang-undang terhadap UUD 1945.Dasar Hukum Pembentukan Mahkamah
Konstusi Pembentukan MK tidak terlepas dari amandemen Undang-Undang
(UUD) Dasar 1945 pada tahun 2001, atau masa setelah reformasi 1998. Dalam
amandemen itu, Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) mengadopsi gagasan
mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) untuk
dimasukkan dalam batang tubuh UUD 1945. Hasil amandemen itu kemudian
dirumuskan masuk dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945
hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 November 2001. Setelah
amandemen ketiga UUD 1945 disahkan pada 9 November 2001, pembentukan
MK lantas dipersiapkan. Pada periode usai amandemen dan MK belum
terbentuk, MPR memberikan mandat pada MA agar menjalankan sementara
fungsi Mahkamah Konstitusi.

Pemberian mandat untuk menjalankan kewenangan MK pada MA


tersebut termaktub dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 dari hasil
amandemen keempat UUD 1945. Kemudian, mengutip laman MK, DPR RI dan
Pemerintah selanjutnya membuat Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi. Akhirnya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi disahkan pada 13 Agustus 2003, dan masuk
dalam Lembaran Negara Nomor 98 serta Tambahan Lembaran Negara Nomor
4316. Dalam tenggat 2 hari usai pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2003, para
hakim konstitusi generasi pertama MK mengucapkan sumpah jabatan di Istana
Negara pada 16 Agustus 2003. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C ayat (3)
UUD 1945, tiga lembaga negara yakni DPR, Presiden, dan MA mengajukan

7
hakim konstitusi masing-masing tiga orang.

Wewenang Mahkamah Konstitusi memiliki kedudukan sebagai salah


satu lembaga negara yang menjadi pelaku kekuasaan kehakiman independen
untuk menyelenggarakan peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang ditegaskan kembali dalam
Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan d UU 24/2003, ada 4 wewenang
Mahkamah Konstitusi, yakni: Menguji undang-undang terhadap undang-
undang dasar Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
wewenangnya diberikan oleh UUD 1945 Memberikan putusan terkait
pembubaran partai politik Memberikan putusan terkait perselisihan mengenai
hasil pemilihan umum. Tugas Mahkamah Konstitusi Sementara tugas
Mahkamah Konstitusi ialah memberikan putusan terkait dengan pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) soal dugaan pelanggaran oleh Presiden dan
atau Wakil Presiden. Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) sampai (5) dan Pasal 24C
ayat (2) UUD 1945 yang ditegaskan lagi oleh Pasal 10 ayat (2) UU 24 tahun
2003, kewajiban atau tugas Mahkamah Konstitusi adalah: "Memberi keputusan
atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum, atau perbuatan tercela, atau tidak memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945."
Dikutipdari situs MKRI, MK juga memiliki kewajiban, yaitu wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Adapun pelanggaran
dimaksud sebagaimana disebutkan dan diatur dalam ketentuan Pasal 7A UUD
1945, yaitu melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.2 Kewenangan Mahkamah Konstitusi Dalam Pengujian Undang-Undang


Kekuasaan kehakiman ini sendiri sebelum ada amandemen
UndangUndang Dasar berada di tangan Mahkamah Agung dan lingkungan

8
peradilan dibawahnya, sedangkan pembahasan mengenai pembentukan badan
peradilan semacam Mahkamah Konstitusi memang telah digulirkan sejak lama
namun baru dapat terbentuk pada tahun 2003. Ide pentingnya sebuah uji
materiil undang-undang terhadap UndangUndang Dasar dan perlunya
pembentukan sebuah lembaga konstituante diusulkan ketika sidang konstituante
pasca pemilu 1955, namun dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959
berimbas pada dibubarkannya konstituante sebelum tugasnya selesai.

Dalam Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan


Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 15 Juli 1945 terjadi perbedaan
pendapat antara Soepomo dengan Moh.Yamin, Soepomo menyatakan bahwa
Rancangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 tidak
memakai sistem yang membedakan secara prinsipiil antara tiga badan, baik
legislatif, eksekuti maupun yudisiil, yang artinya kekuasaan kehakiman tidak
akan mengontrol kekuasaan undang-undang, ia juga mengatakan bahwa
dalam praktek jika ada perselisihan apakah suatu undang-undang bertentangan
dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak, pada umumnya bukan soal yuridis,
melainkan masalah politik selain itu menurut beliau pada saat itu Indonesia
masih kekurangan sarjana hukum yang kompeten sehingga tidak perlu ada
sebuah Judicial review karena dengan adanya Judicial review justru akan
memposisikan lembaga peradilan lebih tinggi dengan lembaga negara yang
lainnya.

Sementara itu Moh. Yamin menyatakan bahwa perlu adanya sebuah balai
Agung/Mahkamah Tinggi yang berfungsi sebagai pembanding undang-undang
yang akan memutuskan apakah sejalan dengan hukum adat, syari’ah islam dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut Sri
Soemantri sebagaimana dikutip dalam bukunya oleh Fatkhurohman bahwa
keberadaan Judicial review dalam sistem ketatanegaran Indonesia terkait
dengan adanya sistem dan kebutuhan, menyangkut masalah sistem, Judicial
review hanya boleh dipraktekkan oleh negara yang menganut sistem trias
politika, sedangkan berkaitan dengan kebutuhan Judicial Review diperlukan

9
karena berdasarkan stuffen theory bahwa peraturan yang lebih rendah tidak
boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi (lex superior derogat legi
inferior). Setelah perdebatan selesai dan disepakati dengan perlu adanya sebuah
judicial review terhadap UUD NRI Tahun 1945, perdebatan kembali terjadi
ketika membicarakan lembaga mana yang akan berwenang dalam melakukan
judicial review yang dikehendaki tersebut. Dalam perdebatan saat Sidang
Umum MPR, menanggapi usulan dari Andi Matallata mengenai Judicial review,
Khofifah Indar Parawansa berpendapat bahwa kewenangan pengujian undang-
undang diberikan oleh Mahkamah Agung dengan memperluas kewenangannya,
sehingga tidak hanya menguji peraturan pemerintah saja. Sementara itu
kewenangan Judicial Review yang berpatokan terhadap UUD NRI Tahun 1945
oleh Mahkamah Agung diajukan oleh Fraksi TNI/Polri Hendri Tjaswadi.

Pada UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen dikemukakan


“kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain
badan kehakiman menurut undang- undang”. Lebih lanjut dikemukakan
“susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman tersebut diatur dengan
undang-undang”. Ketentuan pasal tersebut hanya menjelaskan, siapa yang
menjalankan kekuasaan kehakiman dengan tetap membuka peluang adanya
lembaga lain yang juga dapat menjalankan kekuasaan kehakiman. Selain itu,
rumusan pasal tersebut tidak secara tegas mengatur dan menjelaskan bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang terpisah dari kekusaaan lainnya
karena susunan dan kedudukannya diserahkan pengaturannya dengan undang-
undang. Ada perbedaan jelas jika membandingkan rumusan pasal kekuasaan
kehakiman menurut UUD NRI Tahun 1945 sebelum amandemen dengan
sesudah amandemen. Rumusan pasal yang dikemukakan dalam UUD NRI
Tahun 1945 pasca amandemen menyatakan secara tegas “kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan”.

Pada mulanya terdapat tiga lembaga yang diberi kewenangan untuk


melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945, yaitu

10
MPR atau MA atau MK. Ide memberikan wewenang tersebut kepada MPR
akhirnya tidak dipakai karena, disamping tidak lagi sebagai lembaga tertinggi,
MPR bukan merupakan kumpulan ahli hukum dan konstitusi, melainkan wakil
dari partai politik yang terpilih. Sementara itu ide untuk memberikan
kewenangan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Agung juga
akhirnya tidak dapat diterima karena Mahkamah Agung sendiri sudah terlalu
banyak beban tugasnya dalam mengurusi perkara yang sudah menjadi
kompetensinya. Itulah sebabnya wewenang pengujian undang-undang terhadap
UUD NRI Tahun 1945 akhirnya diberikan kepada lembaga tersendiri dengan
dasar prinsip check and balances, yaitu Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu
pelaku kekuasaan kehakiman yang terbentuk pada 16 Agustus 2003.

Didalam Pasal 24 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “


kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada dibawahnya lingkungan peradilan umum,lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”

Didalam Pasal 24A ayat (1) menyatakan “Mahkamah Agung berwenang


mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang
lainnya yang diberikan oleh undang- undang. Pasal 24B ayat (1) menjelaskan
tentang komisi yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan wewenang dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Didalam Pasal 24C ayat (1) menyatakan “Mahkamah Konstitusi


berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji undang- undang terhadap Undang-Undang Dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan
oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

11
Dari ketentuan rumusan pasal tersebut diatas, jelas terlihat perbedaan
antara rumusan pasal tentang kekuasaan kehakiman sebelum dengan pasca
amandemen UUD NRI Tahun 1945. Dalam UUD NRI Tahun 1945 pasca
amandemen disebutkan secara tegas pembedaan kewenangan antara Mahkamah
Agung dengan Mahkamah Konstitusi.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya yang termuat dalam Pasal 24C ayat (1) dan
ayat(2) UUDNRI Tahun 1945 bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah
sebagai berikut :

1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan


terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan
tentang hasil pemilu.
2. Mahkamah Konstitusi wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran Presiden dan/Wakil
Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Kemudian wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus


diatur lagi dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Mahkamah Konstitusi
dengan rincian sebagai berikut:
a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945
c. Memutus pembubaran partai politik
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum
e. Mahkamah Konstitusi wajib memberi Putusan atas pendapat DPR

12
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presidendan/atau Wakil
Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945.

Dalam hal ini yang menjadi titik berat pembahasan adalah berkaitan
dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku
kekuasaan kehakiman dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD NRI
Tahun 1945.

2.3 Pertimbangan MK dalam Memutus Perkara

Adapun pertimbangan MK Dalam mempertimbangkan putusan mereka,


MK menyebut telah merunut pengaturan syarat usia capres-cawapres sejak era
kemederkaan, berakhirnya Orde Lama, dan pemilu pada masa Orde Baru.
Selain itu, MK juga melacak risalah perdebatan dalam pembahasan perubahan
UUD 1945, terutama mengenai persyaratan presiden yang tertuang dalam
Naskah Komprehensif Perubahan UUD Negara RI Tahun 1945.

Atas putusan MK ini, Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 tentang Pemilu
yang dipersoalkan oleh PSI akan tetap berlaku. Pasal ini menentukan bahwa
capres dan cawapres harus berusia setidaknya 40 tahun. “Dalil para pemohon
tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,” kata Hakim Konstitusi,
Saldi Isra, saat membacakan putusan. Pun MK juga menolak dalil yang
diajukan PSI bahwa batas usia 40 tahun bagi capres-cawapres bertentangan
dengan moralitas, rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan. Menurut MK,
sebagaimana diutarakan Hakim Saldi Isra, kalaupun syarat umur itu diturunkan
menjadi 35 tahun, syarat tersebut akan tetap menimbulkan persoalan.

Tidak cuma mengenai batas usia minimal, MK juga menolak


permohonan sejumlah kepala daerah yang meminta agar setiap orang di bawah
40 tahun tetap bisa menjadi capres- cawapres asalkan pernah menjabat sebagai

13
penyelenggara Negara (Pernah menjabat sebagai kepada daerah provinsi dan
kabupaten atau kota).

Menurut MK, sebuah pasal yang memuat batas usia minimal tapi
membuka peluang untuk mengabaikan batasan tersebut dengan aturan lain
berpotensi memicu kontradiksi hukum. “Melarang sekaligus membolehkan
yang seseorang di bawah 40 tahun untuk dicalonkan sebagai capres-cawapres
sepanjang yang bersangkutan adalah atau pernah menjabat sebagai pejabat
negara memicu kontradiksi. Sifat kontradiktif akan memicu kebingungan dan
ketidakpastian hukum, yang bertentangan dengan UUD 1945,” kata MK dalam
putusannya.

MK menyatakan bahwa Pasal 169 huruf q pada UU 7/2017 “tidak


bertentangan dengan perluakuan adil dan diskriminatif, dan tidak melanggar
Pasal 28D ayat (1) dan ayat serta 28I ayat (2) UUD 1945.

2.4 Tafsir Serampangan, Inkonsistensi Logika, dan Konflik


Kepentingan Mahkamah Konstitusi Dalam Putusan No.90/PUU-
XXI/2023
Pada Senin, 16 Oktober 2023, Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan
sebelas putusan pengujian undang-undang sekaligus. Beberapa putusan yang
dibacakan tersebut, berkenaan dengan pengujian konstitusionalitas ketentuan
Pasal 169 huruf q. UU 7/2017 tentang Pemilu, yang memberikan batasan usia
40 tahun kepada Calon Presiden dan Calon Wakil presiden.

Salah satunya adalah Perkara No. 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh


pemohon PSI dkk. Dalam permohonan ini, Para Pemohon meminta agar syarat
usia dikembalikan menjadi 35 Tahun seperti yang diatur dalam UU Pilpres
sebelumnya. Pemohon mendalilkan bahwa ketentuan Pasal 169 huruf q. tersebut
diskrimintatif, tidak ilmiah, dan bertentangan dengan original intent
pembentukan UUD 1945. Selain itu, terdapat permohonan dari Partai Garuda
pada Perkara No. 51/PUU-XXI/2023 yang mendalilkan alasan yang sama.
Dalam permohonan ini, Pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni

14
“pernah menjadi penyelenggara negara” untuk dapat menyimpangi batas usia
minimal 40 tahun.

Semuanya ditolak oleh MK. Namun, yang menggemparkan justru Putusan


No. 90/PUU- XXI/2023. Perkara yang meminta agar syarat usia 40 tahun bagi
Capres dan Cawapres dapat dikesampingkan, jika pernah menjabat sebagai
kepala daerah. Secara serampangan dan penuh dengan inkonsistensi, Mahkamah
mengabulkan permohonan ini.

2.4.1 Persoalan Legal Standing


Legal Standing pemohon sangat lemah, namun dikabulkan oleh
MK. Pemohon yang merupakan mahasiswa, hanya menyandarkan
kedudukan hukum pada keinginan pemohon menjadi presiden dan
terinspirasi pada Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming. Keterangan
legal standing Pemohon juga hanya dimuat dalam 3 halaman saja.

Pemohon tidak menjelaskan kerugian konstitusional yang jelas.


Basis kerugiannya hanya dilandaskan pada kekaguman Pemohon kepada
Gibran Rakabuming sebagai Walikota Solo, yang tidak bisa menjadi
Capres/Cawapres akibat keberlakuan ketentuan Pasal 169 huruf q. UU
Pemilu. Dalil tersebut tentu tidak memiliki hubungan langsung dengan
Pemohon. Bila permohonan ini diajukan oleh Gibran, kerugian
konstitusionalnya jelas karena dialami secara langsung sebagai
pemohon.

Penjelasan soal kerugian konstitusional juga tidak menyentuh


petitum tentang syarat alternatif terkait pejabat terpilih atau elected
official yang diajukan pemohon. Artinya, kerugian tidak terkoneksi
dengan petitum dan alasan permohonan, sehingga legal standing-nya
menjadi lemah. Namun, MK yang biasanya ketat dalam memeriksa legal
standing, justru seolah melunak dengan menerima kedudukan hukum
pemohon. Hal ini tentu inkonsisten dengan Putusan MK No. 006/PUU-
III/2005, yang menegaskan kerugian konstitusional harus dialami

15
langsung, serta bersifat spesifik dan aktual.

Pemohon bukanlah orang yang sudah berusia cukup untuk


menjadi calon kepala daerah. Ia juga bukan seorang kepala daerah,
anggota legislatif, bahkan untuk jadi calon pun tidak. Tapi MK dengan
mudah memberi jalan lapang baginya untuk memenuhi syarat jadi
pemohon. Sungguh pertimbangan yang sangat memalukan dan
melecehkan akal sehat.

2.4.2 Tentang Open Legal Policy


Sebelum memutus permohonan No. No.90/PUU-XXI/2023, MK
menegaskan ketentuan batas usia capres dan cawapres merupakan open
legal policy. MK kembali mengutip beberapa putusan terdahulu tentang
ketentuan syarat usia dalam jabatan publik. Dalam beberapa putusan
tersebut, MK menyatakan bahwa UUD 1945 memberikan keleluasaan
kepada para pembentuk undang-undang untuk menentukan syarat batas
usia minimum dalam undang-undang yang mengaturnya.

Namun, di hari yang sama, MK langsung mengubah


pendiriannya. Hal ini terlihat dalam Perkara No. 90/PUU-XXI/2023,
dimana pemohon meminta syarat alternatif tambahan, yakni ”pernah
/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk
Pilkada”.

Dalam perkara ini, Makamah mempersoalkan kembali konsep


open legal policy yang sebelumnya diterapkan pada Putusan No.
29/PUU-XXI/2023. MK secara sporadis mengesampingkan open legal
policy untuk menilai dalil yang sama dengan putusan tersebut, dengan
alasan menghindari judicial avoidance.

Lebih parahnya, MK menyatakan bahwa Presiden dan DPR


telah menyerahkan sepenuhnya penentuan batas usia dalam Pasal 169
huruf q. UU Pemilu, dengan mengutip fakta persidangan dalam

16
Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, Perkara No. 50/ PUU-XXI/2023 dan
Perkara No. 51/ PUU-XXI/2023. Padahal, fakta persidangan tersebut
sudah diabaikan MK ketika memutus ketiga perkara di atas.

2.4.3 Inkonsistensi dalam Menilai Dalil


Sikap tentang open legal policy, mempertontonkan inkonsistensi
MK dalam memutus suatu perkara. Hal ini juga terlihat pada komparasi
batas usia minimal calon presiden di berbagai negara, dengan
kesimpulan bahwa kepala negara yang berusia 40 tahun dapat menjadi
Presiden dan/atau Wakil Presiden sepanjang memenuhi kualifikasi
tertentu. Konyolnya, komparasi ini sebelumnya digunakan oleh
Pemohon dalam Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, yang dalilnya ditolak
oleh MK.

Keserampangan penafsiran juga terlihat ketika MK menyebutkan


batas usia minimal 40 tahun bagi Capres dan Cawapres adalah
perlakuan yang tidak proporsional dan intolerable. Hal ini persis dengan
dalil pemohon pada Perkara No. 29/PUU-XXI/2023, yang mendapatkan
perlakuan berbeda, walapun pengucapan putusannya dilakukan pada
hari yang sama.

Inkonsistensi juga terlihat dari perbedaan petitum yang


dimintakan pemohon, dengan petitum yang dibuat sendiri oleh MK.
Pemohon sendiri meminta syarat alternatif usia berupa “ Berpengalaman
sebagai kepala daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota”.
Namun, MK membuat sendiri amar putusannya dengan nomenklatur, “
…Pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan
umum termasuk pemilihan kepala daerah”, tanpa legal reasoning yang
jelas dan seolah hanya untuk memperbaiki permohonan yang cacat
secara substansi. Sungguh sikap lembaga peradilan yang sangat
memalukan. Sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman, hakim
MK yang memilih mengabulkan permohonan ini, mestinya punya

17
sedikit kesadaran, bahwa apa yang mereka putus akan mengandung
cacat akademik sepanjang masa.
2.4.4 Mengetatkan Syarat bagi Elected Official
Logika umum mengetatkan syarat elected official juga hilang
dalam Putusan No. 90/PUU-XXI/2023. Logika ini merujuk pada
Putusan MK No. 56/PUU- XVII/2019, yang menjadi landmark putusan
MK terkait persyaratan pejabat yang dipilih melalui Pemilu (elected
official). MK memiliki logika, syarat yang ketat harus dihadirkan bagi
elected official untuk mencegah demokrasi kearah mobocracy atau
pemerintahan masa yang berdasarkan populisme semata. MK
menegaskan seseorang harus melewati kualifikasi yang ketat agar layak
dikontestasikan dan ujungnya ditentukan oleh pemilih.

Anehnya, dalam Perkara No. 90/PUU-XXI/2023, MK justru


menggunakan logika yang berlawanan. Logika yang digunakan adalah
“to give opportunity and abolish restriction” atau singkatnya
menghilangkan pembatasan. Sayangnya, perubahan pendirian
Mahkamah dilalui tanpa penjelasan yang kuat.

2.4.5 Fakta dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)


Inkonsistensi Mahkamah juga diakui oleh Hakim Konstitusi, YM
Prof. Saldi Isra, dalam keterangan dissenting opinion yang ia sebut
sebagai peristiwa “aneh” yang “luar biasa”. Sebab, dalam Putusan No.
29-51-55/PUU-XXI/2023, Mahkamah secara eksplisit menegaskan
bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q. UU 7/2017 adalah
wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya. Namun,
sikap ini dapat berubah hanya dalam hitungan hitungan dengan alasan
yang tak masuk akal.

Hakim Konstitusi Saldi Isra menyebutkan, pada RPH Putusan


No. 29-51- 55/PUU-XXI/2023, dihadiri oleh seluruh Hakim MK kecuali
Ketua MK, Anwar Usman. Hasilnya para hakim bersepakat untuk

18
menolak permohonan ini, dengan dua hakim yang memilih dissenting
opinion. Namun, pada Perkara No.90-91/PUU- XXI/2023, Ketua MK
hadir dalam RPH dan beberapa hakim tiba-tiba bersikap mendukung
model alternatif yang dimohonkan pemohon.

Anehnya, permohonan ini telah mengalami persoalan formil,


ketika para pemohon sempat menarik permohonannya dan kembali
membatalkan niatnya, sehingga mengirimkan surat pembatalan
penarikan. Perilaku pemohon yang telah tampak mempermainkan
kehormatan Mahkamah, justru lanjut diproses dan dipertimbangkan
dengan mendalam.

2.4.6 Konflik Kepentingan


Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 tidak mendapatkan suara
bulat. Bahkan, putusan ini bisa menunjukkan betapa diametralnya posisi
hakim. Lima orang hakim yang mengabulkan (2 dengan alasan
berbeda – concurring opinion), menunjukkan kuatnya dugaan konflik
kepentingan di dalam perkara. Bahkan, putusan MK yang menunjukkan
posisi hakim diametral ini sudah dibincangkan publik sepekan terakhir.
Dari siapa bocoran putusan ini didapat? Ini menjadi soal serius yang
mesti tidak bolehdilupakan begitu saja.

Di samping itu, konflik kepentingan juga terlihat dari hubungan


keluarga Ketua MK, Anwar Usman, dengan Gibran Rakabuming, yang
disebut sebagai inspirasi dalam mengajukan permohonan. Anwar
Usman tentu tidak etis dan bertentangan dengan hukum, terutama pada
Pasal 17 (5) UU 48/2009. Dalam ketentuan pasal tersebut, wajib
mengundurkan diri dari persidangan bila memiliki kepentingan langsung
maupun tidak langsung terhadap perkara.

Empat orang hakim konstitusi yang menyatakan pendapat

19
berbeda (Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Arief Hidayat)
sepertinya juga tidak percaya lima orang hakim konstitusi lainnya
mengabulkan ini. Sekali lagi, putusan ini akan dicatat sejarah, sebagai
salah satu putusan terburuk sepanjang keberadaan MK. Bahkan, putusan
ini adalah putusan yang penuh dengan konflik kepentingan, yang sukar
untuk dibantah. Seberapa kuat pun presiden dan keluarganya coba
membantah.

20
BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan tidak dapat


diganggu gugat menjadikan lembaga ini sangat vital peranya dalam negara.
Keputusan yang dikeluarkan Makamah Konstitusi akan mempunyai kekuatan
hukum yang langsung mengikat.

Proses persidangan dalam Mahkamah Konstitusi yang akan menentukan


pihak mana yang akan “menang” dan “kalah” dalam suatu proses pengajuan
perkara. Keputusan merupakan hasil akhir atau kesimpulan oleh para hakim
setelah melalui proses yang panjang dengan berbagai pertimbangan. Dapat
kikatakan bahwa keputusan merupakan inti dari seluruh proses yang dijalani
dalam persidangan, menimbangan bahwa mekanisme berperkara dalam
Mahkamah Konstitusi membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit sering
kali saat pembacaan putusan oleh hakim dalam persidangan menjadi saat-saat
yang paling mendebarkan bagi pemohon maupun bagi termohon.

Jenis-jenis putusan Mahkamah Konstitusi yaitu Permohonan tidak dapat


diterima, Permohonan dikabulkan, dan Permohonan ditolak. Jika menurut
sifatnya putusan Mahkamah Konstitusi terdiri yaitu Putusan condemnatoir,
declatoir, dan constitutief.

3.2 SARAN

Bagi penulis, batas usia minimal capres dan cawapres bukanlah masalah
konstitusionalitas, melainkan open legal policy berdasarkan Pasal 6 ayat (2)
UUD 1945, MK tidak berwenang memutus hal-hal yang bersifat teknis apalagi
tidak menyangkut urusan konstitusionalitas. Jika MK memutus, norma batas
usia minimal capres dan cawapres menjadi stagnan, dan bahkan bisa menabrak
konstitusi.

Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat


banyak kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki

21
makalah tersebut dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang
membangun dari para pembaca.

22
DAFTAR PUSTAKA

Pasal 24C ayat 1 dan 2 UUD NRI 1945 Tentang kewenangan

Mahkamah Konstitusi Pasal 63 Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan


Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi ada tiga
jenis putusan yang dapat dijatuhkan berkaitan dengan perkara pengujian
undang-undang terhadap Undang- Undang Dasar

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana diubah dengan


Undang- Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Kewenangan Mahkamah
Konstitusi

Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajuddin, Memahami Keberadaan


MahkamahKonstitusi di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, h. 23

Sekretariat dan Jenderal Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah


Konstitusi,Jakarta2010, h. 7.

https:www.mkri.id

23

Anda mungkin juga menyukai